Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 12 Desember 2011

Rindu Hujan Pagi Hari

Pukul empat sore. Hujan. Sekarang di luar masih hujan. Meskipun hanya serintik. Pagi tadi, saya tiba-tiba rindu hujan pagi hari. Saya rindu pada hujan yang datang mendadak dan kejam menyembunyikan matahari. Tentu saja. Saya lebih senang hujan turun daripada matahari terik memanggang kepala saya. Berbicara tentang hujan memang takpernah membuat saya bosan. Tapi mungkin membuatmu muak. Sayangnya, saya sudah telanjut jatuh cinta pada rintiknya.
Kemarin, saya melihat postingan teman saya. Saya hanya mengingat dua baris di antara berbaris-baris yang dia tulis. Dia menulis puisi. Sederhana. "You say you love the rain, but you open your umbrella when its rain. This is why I'm afraid. You say you love me"
Yeah. Masih ada beberapa baris yang saya lupa. Kadang-kadang, manusia memang seperti itu. (Seolah-olah) mencintai sesuatu. Padahal hanya sebatas mengikuti orang lain mencintai sesuatu.
Percaya atau tidak. Saya tidak pernah menyelipkan payung di antara kosong tas saya. Ke mana pun saya pergi.
"Wah, hujan nih. Lo gak bawa payung?" teman saya bertanya pada saya dengan muka sedikit manyun.
"Mana pernah!" saya menjawab singkat. Teman saya mendengus. Terserah. Tapi itulah. Saya memilih bermain dengan hujan atau menungguinya hingga hujan pergi sama sekali.
Tentang kesetiaan. Ah, saya selalu terlalu sok tahu tentang hal ini. Ketika saya memilih sesuatu, saya akan tetap bersamanya atau meninggalkannya dari awal. Ya. Itu jugalah yang membuat saya enggan membuka payung ketika hujan.
Saya jadi ingat. Dulu saya selalu senang ketika hujan datang. Saya bisa bermain-main di bawah hujan dengan ayah dan adik saya. Kaki telanjang. Berkeliling kebun. Lempar-lemparan lumpur. Mencari ikan di empang. Bahkan, bermain bola. Saya, ayah, dan adik. Selalu senang ketika hujan. Itu berarti kami bisa bermain bersama. Walaupun setelah bermain, kami harus mendengar ocehan Mama. Tentu saja, Mama mengoceh. Karena kami masuk rumah dalam keadaan basah. Tetesan dari baju kami mengotori lantai yang sudah dipel paginya. Kami hanya tergelak, lalu bersama-sama mengepel kembali lantai rumah kami yang basah. Lalu, setelah mandi dan keramas, saya dan adik saya berlomba mencium pipi Mama. Tapi sayang, pasti ayah saya yang lebih dulu sampai ke pipi Mama saya.
Entah. Itu berapa tahun yang lalu. Mungkin sebelum saya menstruasi untuk pertama kalinya. Sudah sangat lama. Sekarang tidak lagi. Adik saya sudah besar. Sudah enggan berkotor-kotoran dengan hujan. Meski terkadang, masih sering saya melihat ayah saya berhujan-hujanan dengan ayam-ayamnya. Dan saya hanya melihat dari dalam rumah.
Banyak hal yang berubah. Meski rasa hangat itu takpernah berubah. Saya lebih suka menggelung di balik selimut ketika hujan sambil tetap mendengarkan rintiknya. Adik saya lebih senang berhubungan dengan teman-temannya di jejaring sosial. Mama saya lebih senang bermain Zuma di komputernya. Dan ayah saya lebih tertarik bercengkerama dengan ayam, burung, atau bebeknya di kebun.
Saya rindu pada mereka. Pada mereka yang telah memberi rasa hangat pada saya. Hujan hanya pengingat. Benang merah yang menghubungkan kenangan saya tentang tiga malaikat tanpa sayap itu. Terlampau banyak kenangan manis di rumah mungil--yang catnya tidak pernah tetap.
Tanggal 28 November kemarin, Ayah saya ulang tahun. Ke berapa? Saya pun lupa. Mungkin sudah kepala lima. Ah, ayah saya sudah setengah abad. Rambutnya sudah banyak yang memutih. Harapannya ada pada saya. Sungguh. Sekali pun saya tak ingin mengecewakannya.
Tanggal 7 Desember kemarin, adik saya ulang tahun. Yang ke-17. Oh, dia sudah besar sekarang. Padahal, rasanya, baru kemarin dia lahir. Menjadi bayi mungil yang menyedot banyak perhatian orang. Yang sering saya ciumi ubun-ubunnya. Rasanya, baru kemarin. Saya dan dia pergi bersama ke sekolah. Atau bertengkar rebutan remote TV di rumah. Berkejaran. Saling meneriaki. Mandi bareng. Tidur dalam satu ranjang. Dan sama-sama kena marah Mama atau Ayah. Mengesankan.
Tanggal 22 Desember nanti, hari ibu. Hari Mama. Tak ada kata yang bisa dirangkai untuk mendefinisikan perempuan ini. Terlampau sempurna. Dari Mama juga, saya belajar memberi dan mengasihi sesama. Belajar sabar dan menerima sesuatu. Bersyukur. Mama saya bukan ibu yang cerewet. Tidak panik ketika saya sakit atau mendapat masalah. Memang, seolah-olah Mama membiarkan saya berjalan sesuka saya. Tapi, di kota ini, saya baru mengerti pengajaran yang diterapkan Mama pada saya. Saya belajar untuk bertanggung jawab terhadap pilihan dan kehidupan saya. Belajar mengurusi keperluan saya tanpa terlalu bergantung pada orang lain. Ah, sudahlah. Mama saya tidak akan cukup diceritakan dalam ruang ini.

Yang pasti. Sekarang. Saya merindukan mereka. Ah, paling tidak. Saya sudah meluapkannya di sini. Siapa tahu kicauan ini sampai pada mereka. Entah terbawa hujan atau angin.

Tidak ada komentar: