Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 05 Januari 2012

Alasan Mengapa Saya Ingin Menjadi Editor!

“Mau makan apa kamu kalau kerja kayak gitu!” komentar ayah saya ketika saya ditanya cita-cita saya—yang saat itu saya jawab: editor!—Saya hanya tersenyum. Mencoba menjelaskan. Tidak mudah. Dalam pikiran ayah saya, pekerjaan adalah dokter, dosen, polisi, akuntan, pengacara, hakim, atau apa pun yang memakai seragam. Saya tidak menyalahkan ayah saya. Hanya saja, saya berkewajiban untuk memberi pandangan baru tentang pekerjaan!

Saya tahu ada sosok bernama “editor” ketika saya berada di bangku SMP kelas 1. Ada sebuah artikel—entah siapa penulisnya—yang terselip di antara jejalan artikel lain dalam buku paket pelajaran Bahasa Indonesia. Artikel yang menjelaskan bahwa editor adalah pekerjaan yang masih belum banyak orang yang tahu. Masih sering tidak dianggap keberadaannya, padahal memiliki peran penting dalam proses penerbitan buku. Sering dimaki penulis. Atau entahlah. Saya lupa apa lagi.

Saya membacanya berkali-kali. Diam-diam saya mengagumi pekerjaan ini. Ada sedikit keinginan untuk menjadi editor di saat teman-teman saya yang lain (mungkin) masih setia dengan cita-cita masa kecilnya: dokter, guru, pilot, atau bahkan superman. Namun, saya masih belum yakin pada keinginan saya tersebut. Saya belum mendapat gambaran: bagaimana kerja saya nanti atau bagaimana saya meyakinkan orang-orang dengan cita-cita saya ini. Entahlah. Mimpi itu sempat hilang.

Ketika masuk SMA, jujur saja, saya sempat melupakan cita-cita saya untuk menjadi editor—meskipun tidak sepenuhnya. Saya dituntut oleh ayah saya untuk masuk jurusan yang beliau inginkan. Harus belajar mati-matian untuk mendapat nilai sempurna dalam pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, dan Matematika. Sungguh. Saya muak dengan semua itu. Bagaimana mungkin elang dituntut mahir berenang atau kelinci dipaksa menjadi ahli terbang! Sayangnya, saya tidak berani mengecewakan ayah saya.

Ah, (lagi-lagi) Tuhan memang selalu baik. Untung saja, ayah saya tidak sampai hati melarang saya pergi ke acara bookfair atau bedah buku atau diskusi kepenulisan. Setiap kali ada acara seperti itu, saya selalu berusaha mengikutinya. Karena, di sekolah, saya tidak mendapatkan kesenangan. Sama sekali.

Dalam suatu kesempatan diskusi kepenulisan—saya lupa temanya—saya beruntung bisa bertemu dengan Windy Ariestanty, editor penerbit Gagas Media. Sungguh. Seperti bertemu dengan malaikat penunjuk jalan. Selama ini, saya hanya menerka-nerka bentuk editor itu seperti apa. Kali itu, saya bisa mendengarkan beliau berbicara. Menjawab pertanyaan saya. Membagi ilmu. Membagi kebahagiaan. Membagi mimpi dan semangat. Membuat mimpi saya yang sempat tertumpuk hal lain kembali muncul. Untuk beberapa saat, saya seperti berada di negeri dongeng. Tuhan memang senang mempertemukan orang-orang yang berjodoh! Pada saat itu, saya masih tinggal di kota kecil, masih SMA kelas XI, culun, lugu, dan norak. Ini mungkin hal yang biasa untuk orang lain, tapi bagi saya, ini adalah jawaban dari Tuhan atas doa saya. Mengagumkan. Kalau boleh dirunut, kejadian satu hari itu boleh dikatakan mengubah cita-cita (ayah) saya. Yang selama itu saya jalani dengan penuh kepura-puraan.

Mbak Windy, ya, anggap saja beliau mau saya panggil begitu! Orang yang bisa membuat saya berani jujur pada ayah saya bahwa saya tidak mau menjadi dokter. Jujur pada diri sendiri bahwa sudah seharusnya saya mengikuti passion saya. Bukan membohongi diri sendiri untuk menyenangkan orang lain. Mbak Windy jugalah orang yang membuat nyata editor bayangan saya. Membuat saya yakin bahwa pekerjaan editor buku benar-benar ada, tidak hanya di artikel yang saya baca.

“Saya mau menjadi editor, seperti Mbak Windy!” ketika ayah saya bertanya lagi saya mau kuliah di jurusan apa.

Ada cerita panjang setelah keberanian saya jujur itu. Ada penolakan keras dari ayah saya. Ada pembelaan dari ibu saya. Ada tangis saya. Ada adu pendapat. Ada pertahanan argumen. Tidak mudah meyakinkan ayah saya dengan pilihan saya. Perjalanan meyakinkan itu tidak sebentar dan sedikit melelahkan. Hampir saja saya menyerah dan larut dalam mimpi (ayah) saya. Dan sudah berniat menjalaninya dengan setengah hati. Tapi, Tuhan tak pernah membiarkan itu terjadi. Tidak tahu. Angin apa. Mungkin kegigihan saya. Mungkin kebaikan Tuhan. Ayah saya memberi kesempatan pada saya untuk mewujudkan keinginan saya. Terima kasih Tuhan! Ah, saya juga harus berterima kasih pada ayah, ibu, dan (tentu saja) Mbak Windy. Akhirnya, saya berani untuk menentukan jalan saya meski harus dengan cerita panjang. Tapi, cerita panjang itulah yang akan terangkai menjadi remah kenangan.

Saya sempat saling berkirim email dengan Mbak Windy. Dengan baik hatinya, Mbak Windy menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang tidak penting. Saya tahu. Mbak Windy super sibuk, tapi beliau masih menyempatkan diri membalas surat bocah ingusan seperti saya. Email-email balasan dari Mbak Windy masih saya simpan rapi di kotak masuk saya. Masih sering saya buka. Sekadar mengingat kebaikannya.

Beberapa bulan yang lalu, saya mengirim email lagi padanya. Mengucapkan terima kasih. Sedikit bercerita. Saya tahu. Mbak Windy akan membalasnya. Benar saja. Sehari setelah email saya terkirim, saya menerima balasan darinya.

Ah, seharusnya saya yang menangis, Mbak. Bukan Mbak! Ada banyak hal yang Mbak berikan pada saya. Pada cita-cita saya. Pada hidup saya. Terima kasih. Terima kasih. Saya tidak tahu frase apa lagi yang patut saya sampaikan pada Mbak, selain terima kasih. Saya tahu. Cerita saya hanya bagian kecil di antara cerita-cerita lain yang jauh lebih istimewa.

Ya. Kemarin baru saja membaca buku Mbak yang terbaru, Life Traveler, saya membaca satu kalimat: “Profesi yang saya jalani terkesan absurd dan mungkin tak pernah dicita-citakan dengan penuh kesadaran oleh seseorang”. Saya mungkin bukan seseorang itu, Mbak, karena saya menginginkan menjadi seorang editor dengan penuh kesadaran. Hehe

Pada akhirnya, saya tahu. Tuhan merangkai cerita saya dan “editor” dengan indah. Saya akhirnya berada juga di kota yang katanya metropolitan ini—meski harus ada tangis untuk memperjuangkannya di hadapan ayah saya. Menjalani kehidupan saya seperti apa yang saya impikan. Melakukan apa yang saya cintai, dan mencintai apa yang saya lakukan. Sungguh. Tidak ada yang lebih indah dari itu! Di sini, saya merasa, Tuhan semakin mendekatkan saya dengan cita-cita saya. Ya. Terima kasih.

Untuk saat ini, saya memang belum resmi bekerja di sebuah penerbitan sebagai editor. Hanya saja, saya senang membantu menyunting tulisan teman-teman saya. Ucapan terima kasih dari mereka adalah kekuatan saya untuk mempertahankan mimpi saya: menjadi editor!

15 komentar:

Clara Ayu Marhaendra mengatakan...

Such a great story.. Kamu berani memperjuangkan mimpimu tanpa menyakiti hati kedua orangtuamu. Saya salut. Saya juga membaca TL mba Windy di Twitter yang menceritakan tentang (mungkin benar) kamu. I'm speechless. You're amazing. Kamu mau menjadi berbeda dengan mimpimu dan kamu tetap menjaga kontak dengan orang yang menginspirasimu. Semoga kamu bisa meraih segala mimpimu perfetcly :)

Fitria Sis Nariswari mengatakan...

Terima kasih Mbak sudah mau mampir. Semoga saya juga masih bisa mempertahankan mimpi saya.
Mbak Windy bercerita dengan sangat menarik. Saya lebih terharu membaca TL Mbak Windy. Saya yang harus berterima kasih pada Mbak Windy dan Mbak. :)

Sisilia mengatakan...

Mau jadi editor kuliah apa kak?

Sisilia mengatakan...

mau jadi editor kuliah apa kak?

Fitria Sis Nariswari mengatakan...

Hai, @sisilia amanda, maaf ya baru membalas. saya baru melihat komentar kamu. :)
Pada dasarnya, menjadi editor tidak harus kuliah jurusan A atau jurusan B, tetapi seorang editor harus paham betul bagaimana kaidah-kaidah bahasa digunakan sesuai dengan ranahnya. Lalu, rasa terhadap bahasa juga harus tetap diasah.
Hanya saja, kebetulan, saya kuliah di Sastra Indonesia. Dan, itu membantu banyak untuk bekal sebagai editor.

usisayusuf mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Fitria Sis Nariswari mengatakan...

Hai, maaf yaa. Komentarnya terhapus dg tidak sengaja. Baik, saya akan mengulang pertanyaanmu (kalau tidak salah ingat) bahwa kamu sering diminta teman-temanmu untuk mengedit tulisannya, apakah kamu bisa disebut sebagai editor, right?

Ya, tentu saja. Kamu sudah menjadi seorang editor. Karena editor adalah orang yg mengedit. Tapi, apakah profesimu sudah editor? Itu lain persoalan. Namun, untuk sekarang ini, lakukan yg terbaik dalam hal yg bisa kamu lakukan. Nanti semesta akan berdoa untukmu. :))

Awokawok mengatakan...

Huhuhu😭😭. Aku baru kelas XI kak, lulus nanti aku bingung mau kuliah jurusan apa, terus nanti mau kerja apa. Tapi setelah aku baca blog kakak, aku pingin jadi editor. Doa'in aku ya kak, semoga cita citaku terkabul. :)

Mel mengatakan...

Kak, mau tanya..
Tadi kan dibilang kalau jadi Editor tidak harus jurusan A atau jurusan B.
Lalu gimana cara nya awalnya bisa masuk ke dunia Editor kak?
Misal setelah lulus kuliah, apakah bisa langsung melamar ke Perusahaan Penerbitan gitu?
atau gimana?

Terima kasih

Anonim mengatakan...

Thumbs up! Postingan yang benar-benar bermanfaat!
Kebetulan saya memiliki seorang putra yang masih kelas 5 SD dan punya passion di dunia video editing di saat teman-temannya malah sudah pasrah tidak tau cita-citanya mau jadi apa yang menurut saya sangat disayangkan untuk usia segitu sudah hilang passion -_-". Dia mempelajarinya dengan cara otodidak meski baru sebatas memakai aplikasi video editing di gawai android dan diakui skillnya oleh sahabat-sahabatnya. Hanya dia diejek teman-teman lainnya karena passionnya tersebut dengan alasan gak ada pekerjaan yang namanya editor. Kebetulan mayoritas ortu teman-temannya berprofesi pedagang, karyawan, pemilik warung, driver ojol full time, guru, servis pompa, bahkan banyak yang bekerja serabutan. Alhamdulillah suami saya mendukung passion putra kami karena yakin bahwa tiap anak memiliki bakat dan minat masing-masing, jadi putra kami kembali termotivasi untuk asah skill video editingnya.

♤Pelajaran Ayam♤ mengatakan...

Saya juga suka mengedit ! Lanjutkan Bakatmu !!!

Unknown mengatakan...

Hai kk, jadi edotor itu susah nggak sih. Walaupun saya masih kelas 5 SD tapi impian saya menjadi editor. Dulu saya sempat mau menjadi designer tetapi saya ragu, akhirnya saya bermimpi menjadi editor film. Karna saya liat di YouTube tentang film-film gacha. Jadi saya mencoba untuk membuat channel, dan alhamdulillah banyak yang suka, dan itu juga sangat susah walaupun belum 1k. Dan saya berniat menjadi seorang editor.

"Semangat"

Khansa Humaira Dyfka mengatakan...

Meurut kakak, apa kesulitan menjadi seorang editor? Saya masih kelas 8, dan saya sudah melamar menjadi seorang editor di beberapa penerbit. Semoga saya bisa diterima^^

Ida Choi mengatakan...

Halo kak, saya seorang siswa kelas 12 akhir yang akan menempuh perguruan tinggi. Dulu,cita cita saya beraneka macam, Namaun pada saat SMP saya memiliki cita cita menjadi seorang penulis. Lambat laun cita cita saya kembali berubah karena saya kurang yakin saya bisa menjadi penulis, lalu saya berkeinginan untuk menjadi apapun itu dalam hal penerbitan buku. Kemudian saya kembali berfikir, jika saya menjadi apapun saya akan kewalahan mewujudkannya nanti karena belum tahu hal apa itu. Sekarang setelah membaca artikel yang kakak buat saya sungguh bersyukur karena saya jadi mempunyai keyakinan untuk bercita cita menjadi seorang editor buku. Tetapi, saya memiliki sedikit masalah. Saya telah mendaftarkan diri saya pada salah satu perguruan tinggi dengan jurusan yang orangtua saya inginkan. Adakah solusi yang bisa kakak berikan? Saya sungguh cemas akan hal ini, karena saya menemukan apa yang saya cintai pada saat saya telah melakukan apa yang orangtua saya cintai.
Terima kasih, mohon balasannya

Anonim mengatakan...

Hallo kak!! Aku dapet tugas hari ini, di tugas ini aku di tanya profesi yang aku ingin capai di masa yang akan datang dan harus di berikan juga alasannya. Aku sempet bingung profesi apa yg aku inginkan di masa depan nanti aku coba-coba cari di internet macam-macam profesi yang mungkin cocok dengan kemampuanku dan kejuruan yang aku ambil saat ini di SMK, tapi setelah di teliti dan di cocok kan dengan kejuruan ku ini aku tidak merasa cocok, jadi aku coba cari-cari lagi yg tidak ada kaitannya dengan kejuruan yang aku ambil. Nah aku ketemu dengan profesi editor buku,aku merasa cocok untuk menjadi editor buku karena hobiku adalah membaca, tp apakah dengan bekal hobi membaca saja akan cukup untuk menjadi editor? Aku rasa tidak, jadi aku bingung alasan apa yang harus aku berikan pada tugas ini, lalu apa aku bisa mencapai profesi ini atau tidak aku bingung, menurut Kaka aku cocok tidak untuk menjadi editor buku?? tp bismillah dengan kerja keras dan semangat yang besar semoga bisa, SEMANGAT!! ୧(^ 〰 ^)୨


Terimakasih, tolong di balas ya KK
<( ̄︶ ̄)>