Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 25 April 2013

Naskah Melayu yang Terpampang Ayu


Berbicara tentang Negeri Kincir Angin, yang terlintas dalam benak saya adalah naskah-naskah kuno Melayu yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah ini serupa buku harian yang tersimpan di dalam lemari milik orang lain. Ironis. Sebab, yang memiliki tak bisa leluasa jika ingin membacanya. Begitulah kondisinya. Setiap yang ingin mempelajari naskah Melayu Kuno, orang tersebut harus pergi ke Belanda jika ingin versi lengkap atau aslinya. Lantas, apa yang masih tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia? Mungkin, hanya tentang kenangan.
            Di dalam katalog naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, terdapat sejumlah naskah yang sudah rusak dan tidak terdapat mikrofilmnya. Satu naskah hilang, mungkin seribu kearifan lokal yang terkandung di dalamnya juga turut lenyap. Namun, naskah-naskah yang tersimpan di Belanda, khususnya di Perpustakaan Universitas Leiden, berada dalam kondisi baik. Semua naskah yang tersimpan di Belanda telah terdapat mikrofilmnya. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Liaw Yock Fang (1991:23) yang menyatakan bahwa perpustakaan Universitas Leiden telah membuat teknologi untuk menyelamatkan naskah-naskah yang tersimpan di Belanda. Ada lebih dari seribu naskah Melayu yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Naskah-naskah ini dapat tersimpan di Belanda karena beberapa faktor, semisal harta rampasan perang, persembahan raja-raja Nusantara untuk pemerintahan Belanda, upeti, atau memang dibeli oleh pihak Belanda. Sebagaimana karya sastra kuno, naskah-naskah tersebut tidak ada kepemilikannya. Setiap orang berhak memilikinya, termasuk pemerintahan Belanda. Hanya saja, naskah-naskah tersebut beraksara Jawi (aksara Arab, bahasa Melayu). Jika boleh berpendapat, pada dasarnya, naskah-naskah yang berumur ratusan tahun ini lebih aman disimpan di Belanda.
Belanda memiliki teknologi yang cukup canggih untuk membuat naskah tetap bertahan dan bisa dibaca. Tidak dapat dimungkiri bahwa Belanda merupakan negara maju yang memiliki anggaran dana yang besar, bahkan untuk pemeliharaan naskah. Dengan demikian, pembuatan mikrofilm dari setiap naskah tidak memiliki rintangan yang cukup berarti. Selain itu, minat masyarakat—baik lokal maupun global—terhadap naskah-naskah yang berada di Universitas Leiden cenderung lebih baik daripada minat masyarakat terhadap naskah-naskah yang ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Begitulah. Entah mengapa, Belanda masih memesona. Bagi saya, Belanda merupakan negara yang menarik sebab Belanda adalah negara maju yang masih peduli dengan hal-hal budaya, contohnya kepeduliannya terhadap naskah. Itu mengagumkan. Meskipun ketika harus membaca naskah Melayu di Belanda, saya merasa sedang membaca buku harian saya di rumah orang. Rasanya ganjil dan aneh.


Referensi
Liaw Yock Fang. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga

Senin, 22 April 2013

Tentang Penyihir dan Mahasiswa Tingkat Akhir

Lagi-lagi. Saya membiarkan laman saya ini tanpa penghuni. Sarang laba-laba di mana-mana. Ah, maafkan saya. Ya. Tentu saja. Hanya satu makhluk yang menjadi alasan saya. Apa lagi jika bukan skripsi. Kasihan. Selalu jadi kambing hitam. Sudahlah. Lupakan skripsi.

Sekarang, saya sedang menunggu kuliah jadwal berikutnya. Sekira satu jam lagi. Tetiba terlintas. Cita-cita masa kecil saya: seorang penyihir. Haha. Konyol. Bagaimana mungkin. Pada saat teman-teman saya yang lain sedang bercita-cita sebagai dokter, guru, pilot, atau polisi, saya sedang membayangkan diri saya sebagai penyihir. Membawa sapu. Berkawan dengan kucing hitam. Bertopi kerucut yang ujungnya melengkung. Berteman dengan kegelapan. Lalu, bertempat tinggal di sebuah kastel di ujung gunung. Sepi. Setiap malam mencari puteri raja yang lengah untuk dijadikan santapan esok pagi.

Lalu, saya bisa terbang ke mana-mana. Tanpa membeli tiket pesawat. Bisa membuat sesuatu tanpa harus membeli. Bisa menaklukkan segalanya tanpa susah payah. Dan, saya bisa menyihir apa pun menjadi apa pun yang saya suka. Saya suka membayangkan bahwa saya akan menyihir diri saya menjadi air. Lantas mengalir. Diminum. Atau menguap. Saya juga sering membayangkan bahwa saya bisa menyihir teman-teman saya yang jail menjadi kodok. Biar taklagi berisik. Atau, saya juga bisa membebaskan seekor kodok dari kutukan sehingga dapat berubah kembali menjadi pangeran tampan.

Sudahlah. Saya hampir lupa dengan cita-cita saya itu. Saya hampir lupa bahwa saya pernah berharap segala sesuatunya bisa disihir. Lalu, semuanya akan berubah dalam sekejap. Ternyata tidak. Tidak akan pernah. Semuanya butuh proses. Sangat panjang, malah. Tentu saja. Tidak ada hal yang takberproses di dunia ini. Bahkan, mi instan pun membutuhkan waktu agar dapat dinikmati.

Ya. Saya memang sedang mengingatkan diri saya sendiri tentang proses yang saya jalani. Bahwa semuanya harus diusahakan, termasuk melanjutkan kuliah. Baiklah. Sekarang saya sudah taklagi percaya pada penyihir. Namun, saya masih harus percaya bahwa saya bisa mengubah apa pun menjadi apa pun yang saya inginkan. Dan, semua itu tidak mudah.

Saya mahasiswa tingkat akhir. Yang sebentar lagi akan gelagapan ketika ditanya "Setelah lulus mau ngapain?". Mungkin, hanya bisa tersenyum. Atau, dengan jawaban standar, "Mau lanjut S2."

Lantas, bukan berarti jawaban itu tidak menyisakan gemuruh dalam dada. Jawaban itu akan memunculkan pertanyaan lain, "Mau S2 di mana?" atau "Setelah S2 mau ngapain?" atau "Apa gak lebih baik kerja dulu, baru setelah itu ambil S2?"

Mati.

Dan, saya memang hanya bisa menarik napas panjang. Pertanyaan itu mau takmau harus terjawab. Paling tidak, untuk saya sendiri. Jawaban apa yang harus saya berikan untuk saya? Tersenyum tanpa esensi? Lama-lama memuakkan. Takdapat dimungkiri. Semakin lama hidup, semakin banyak pilihan. Karena memang hidup hanya tentang pilihan.

Di tengah kebingungan itu. Saya kembali teringat. Bahwa cita-cita kecil saya menjadi penyihir. Itu saja. Dan, saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan terdampar di pulau manusia yang penuh basa-basi dan kepura-puraan ini. Memang benar. Cita-cita masa kecil dan masa kecil itu menenangkan. Menyenangkan. Tanpa tuntutan.

Boleh saya memutar waktu? Sekadar menghidupkan kembali roh penyihir dalam diri saya.