Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 01 Desember 2014

Betapa saya diam-diam menunggu kepulanganmu

Betapa saya diam-diam merindukanmu. Semacam perempuan remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Masih merona ketika taksengaja seseorang di luar sana menyebut namamu. Masih memerah pipi saya ketika taksengaja bercerita banyak tentangmu. Atau masih berbinar ketika taksengaja mengingat segala tentangmu. Kamu boleh bilang saya bodoh atau apa pun. Saya cukup menyebutnya ini rindu.

Betapa saya diam-diam membanding-bandingkanmu dengan beberapa lelaki yang tetiba datang. Semacam tidak adil memang. Tapi, nyatanya, semua kebaikan masih tentang kamu. Kamu boleh takpercaya, pada akhirnya saya pelan-pelan mundur, lalu diam-diam mengingatmu. Tentang kita. Tentang pembicaraan kita pada malam-malam panjang yang takkan pernah terganti itu. Tentang hari-hari pada kalender yang menjadi lebih lambat pada Desember tahun lalu.

Betapa saya diam-diam mengutuk Desember yang datang terlampau cepat. Semacam mengingatkan saya pada banyak hal. Pada titik segala sesuatu hampir dimulai. Nyatanya belum ke mana-mana. Dan, hujan pada Desember tahun ini barangkali hanya menyisakan harapan yang masih terus bertumbuh entah dengan penopang apa. Takapa. Selama masih ada harapan, saya masih percaya keajaiban itu selalu ada.

Betapa saya diam-diam mengambil jarak. Sejenak pergi dari kota ini menuju kota-kota lain. Berharap menemukan rumah, selain kotamu dan kamu. Hanya saja, kali ini saya memang harus menertawakan diri saya sendiri. Semacam sia-sia ketika tubuh harus pergi, sedangkan hati tetap tinggal. Dan, di kota-kota yang saya singgahi itu selalu ada banyak hal yang menghubungkan saya dengan kamu. Sesempit itu, kah, dunia ini? Entahlah.

Betapa saya diam-diam mengaminkan segala doa yang baik. Barangkali memang benar, tidak perlu mencari-cari alasan untuk berkemas jika memang itu tidak pernah ada. Dan, pada akhirnya saya pun setuju. Sebab, sampai sekarang, saya tidak pernah menemukan alasan mengapa saya harus berkemas dari kamu. Hanya saja, sekarang saya tahu bahwa saya harus membiarkan kamu melewati jalanmu sendiri. Sebab, tidak semua jalan bisa terlewati berdua, bukan?

Betapa saya pun diam-diam berdoa agar kamu taklupa jalan pulang. Dan, tahu bahwa di sini masih ada rumah yang pintunya selalu terbuka lebar menunggu kepulanganmu.

Selasa, 11 November 2014

Catatan atas Film Senyap: Percobaan Membalut Luka yang Sia-Sia

Akhirnya, sekuel film Jagal atau The Act of Killing yang berjudul Senyap atau The Look of Silence diputar perdana di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada tanggal 10 November 2014. Film yang disutradarai Joshua Oppenheimer ini meraih banyak penghargaan dan pujian. Barangkali, memang kedua film ini layak dipuji atas dasar dedikasi untuk mengungkap sebuah sejarah yang selama ini dibungkam. Sejarah kontroversi yang hingga detik ini belum ada penyelesaiannya.

Sedikit berbeda dengan film Jagal, film Senyap bersudut pandang dari keluarga "korban". Dalam hal ini, saya menyebut "korban" dalam tanda petik karena memang harus dipertanyakan kembali siapa "korban" siapa "pahlawan". Film ini menyebut "korban" adalah setiap orang yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia dan dibunuh. Film ini bermula ketika Adi Rukun--seorang tukang kacamata keliling--yang mendatangi satu per satu orang-orang yang dianggap terlibat dalam pembunuhan kakaknya. Ramli adalah nama kakak Adi Rukun, yang dibunuh secara sangat sadis hingga usus terurai dan tubuh tercincang. Jika membayangkan adegan pembunuhan tersebut, tentu betapa sangat tidak berperikemanusiaan orang-orang yang melakukannya.

Menjadi menarik ketika potongan-potongan dialog antara Adi Rukun dan beberapa orang yang dikatakan dulu terlibat pembunuhan dan sekarang masih berkuasa. Rerata orang-orang itu akan menjawab tidak merasa bersalah, mereka membela negara, dan yang sudah biarlah sudah. Terlihat bagaimana wajah kecewa Adi Rukun ketika mengetahui respons para pembunuh yang seringkali biasa saja itu.

Barangkali, banyak di antara yang menonton film itu yang kemudian serta-merta mengutuk para pembunuh tanpa menengok konteks yang terjadi pada masa itu. Mereka akan dengan senang hati membela orang-orang yang dibunuh. Wajar sekali karena memang dalam wacana film Senyap ditampilkan seperti itu. Hidup memang hanya perang wacana, kok! Dulu, film Arifin C. Noer yang Pengkhianatan G30S/PKI menjadi wacana dominan yang berkembang pada masa itu. Semua orang mencerca PKI atas kematian jenderal-jenderal itu. Sekarang, wacana dominan yang berkembang adalah PKI tidak bersalah dan orang-orang pemerintah yang harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM ini. Dulu, siapa pun yang tidak membela pemerintah disebut PKI, sekarang siapa pun yang tidak membela PKI disebut antek Orde Baru. Apakah hidup sehitam putih itu? Jika iya, betapa menyedihkan.

Saya, sebagai pribadi, sangat menghargai film Jagal dan Senyap. Itu hasil kerja yang luar biasa dan tidak mudah. Hanya saja, saya merasa bahwa film ini tidak melancarkan proses rekonsiliasi, tetapi malah menimbulkan banyak dendam. Luka yang memang tidak pernah kering itu harus dicongkel-congkel lagi. Sebelumnya, saya sangat setuju dengan tulisan Yosef Djakababa tentang protesnya terhadap film Jagal yang bisa dibaca di sini.

Jika boleh saya mengutip tulisan Djakababa bahwa apa yang dilakukan oleh Oppenheimer tidak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dengan film Pengkhianatan G30S/PKI. Wacana terbagi antara Si Baik dan Si Jahat. Akan tetapi, kemudian penonton filmnya mengelu-elukan bahwa film ini adalah pengungkapan sejarah yang selama ini didiamkan.

Sementara itu, konteks pada masa itu sama sekali tidak disinggung. Sejarah peristiwa 1965 memang mustahil ditampilkan secara utuh. Namun, bukan berarti pengungkapan sejarah tanpa konteks bisa dilakukan. Jika saya bisa secara frontal menyebut bahwa konteks pada saat itu adalah perang. Jika tidak membunuh maka dibunuh. Apakah menjadi salah ketika orang-orang yang membunuh itu merasa membela negara atas kekacauan yang ditimbulkan oleh pihak lawan?

Saya tidak tahu, tetapi merasa yakin bahwa dialog-dialog itu atas arahan sutradara. Pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan oleh Adi Rukun pun takubahnya dengan penulisan sejarah di buku-buku sekolah yang menuding pihak lawan berbohong dan memalsukan sejarah. Dalam film tersebut, ada adegan ketika Adi Rukun membantah semua cerita anaknya yang bersumber dari guru di sekolah anaknya. Pernyataan itu membuat saya mempertanyakan banyak hal. Apakah tidak ada pemaparan sejarah secara lebih holistik. Tidak lagi terbagi atas siapa yang paling benar atau paling salah, siapa yang paling menderita atau siapa yang paling berbahagia.

Dan, satu hal lagi pertanyaan saya, jadi Oppenheimer itu siapa? Jujur saja, saya merasa dia orang yang benar-benar asing, kemudian tetiba datang menawarkan rekonsiliasi, yang barangkali ia tidak tahu rasa setiap orang yang pernah terlibat dalam peristiwa itu. Saya yakin, dalam generasi 2014 ini, setiap orang pasti terlibat paling tidak dua generasi di atasnya. Pilihannya ada dua menjadi yang dibunuh atau membunuh entah dilihat dari sudut pandang mana. Yang jelas, luka itu masih ada, mungkin masih terlampau basah untuk dikorek lagi. Sementara itu, tetiba seorang yang entah siapa datang membawa skenario dan konsep rekonsiliasi di kepalanya yang sama sekali mungkin tidak bisa diterapkan di negeri ini. Entahlah.

Bagaimanapun, saya tetap merekomendasikan kedua film ini ditonton oleh siapa pun sebab kedua film ini adalah film yang memberikan perspektif baru atas sebuah sejarah. Perkara nanti bagaimana interpretasi, itu urusan belakangan yang setiap orang boleh menafsirkannya.

Selasa, 04 November 2014

Untuk Lelaki yang Pernah Terlibat Banyak dengan Hatiku

Selamat ulang tahun, selamat menghitung mundur umur. Ini kali ketiga aku bisa mengucapkan selamat ulang tahun untukmu. Rasanya masih tetap sama setiap tahunnya: aku bahagia. Paling tidak, aku bisa melihatmu menambah kebijaksanaan. Selamat sekali lagi. Semoga jalan di depan sana semakin terang dan tentu saja membahagiakanmu. Semoga segala sesuatu yang menjadi semoga pada bulan-bulan lalu telah didengar Tuhan.

Percayalah, aku masih berdoa untuk kebaikanmu, dengan atau tanpa aku di dalamnya. Berjanjilah untuk dirimu sendiri bahwa kau akan tetap baik-baik saja, apa pun yang terjadi. Aku yakin kaki-kakimu semakin kokoh menopang banyak hal yang barangkali sempat menggoyahkanmu. Ah, selamat sekali lagi untuk yang kesekian kali. Semoga pula kamu cepat menemukan rumah yang bisa menyamankan dalam segala hal.

                                                                                                                      
Depok, 5 November 2014

Kamis, 16 Oktober 2014

Pemujaan terhadap Benda

Sesungguhnya, saya sedikit bingung memilih judul. Tapi, nanti semoga bisa dipahami maksud saya ketika saya menguraikan tulisan ini (tanpa) panjang-panjang. 

Pada mulanya, tulisan ini berawal dari kemuakan saya terhadap diri saya sendiri atau barangkali juga orang lain yang terlampau melekat dengan benda atau benda-benda. Sederhananya begini, saya punya ponsel keluaran terbaru dengan tingkat kecanggihan yang sudah tidak diragukan lagi, seharusnya saya bisa menggunakan ponsel tersebut dengan memaksimalkan segala macam fitur yang ada di dalamnya. Sayangnya, saya memilih untuk membuat ponsel tersebut berjalan normal dengan alasan sayang kalau rusak karena terlalu banyak fitur. Atau contoh lain, katakanlah Oknum A yang memiliki mobil, tetapi ia lebih memilih naik motor pada saat hari hujan dengan alasan sayang mobilnya nanti terkena hujan dan akan cepat aus. Atau barangkali pada zaman yang serba ini, masih ada seseorang yang mengatakan bahwa mesin cuci adalah barang tersier ketika seseorang tersebut telah mampu membeli rumah seharga 1 miliar rupiah tanpa cicilan. Dan, orang tersebut memilih mencuci bajunya secara manual.

Adakah bayangan?

Semester lalu, saya sedikit berpikir karena tingkah salah satu dosen saya, katakanlah inisialnya SGA--tentu saja ini singkatan dari Seno Gumira Ajidarma. Beliau mengajar mata kuliah ideologi kebudayaan populer. Di tengah-tengah mata kuliah, beliau menyalakan laptop--merek Samsung keluaran terbaru pada saat itu--untuk menampilkan bahan ajar kuliahnya. Namun, yang membuat kami berdecak adalah perlakuan beliau pada laptop itu tak ubahnya seperti memperlakukan mesin tik. Laptop yang seharusnya sudah bisa bekerja dengan gerakan halus, beliau menekan-nekan tombol demi tombol di keyboard seolah-olah itu adalah mesin tik yang sudah usang. Kami berdecak, beliau sepertinya paham.

"Kenapa kalian?" tanyanya tiba-tiba ketika mendengar gumaman kami.

"Itu laptopnya sayang, Pak," seorang teman saya menyahut.

"Loh, kenapa? Ini memang dibeli untuk diperlakukan apa saja. Ngapain sayang?" beliau menjawab dengan entengnya dan tetap melanjutkan mengetik di laptop mahal itu dengan gaya mengetik di mesin tik. Cetok, cetok, cetok. Ah, barangkali lebih keras daripada itu.

Kemudian, dari percakapan singkat itu, saya menjadi berpikir. Iya, betapa selama ini saya membeli barang untuk dipuja. Terlalu takut rusak, terlalu takut kenapa-kenapa. Padahal, jika dipikirkan ulang, benda-benda itu seharusnya diciptakan untuk membantu kebutuhan hidup, bukan untuk dipuja.

Atau bahasa yang seringkali dirasa keren adalah fetisisme. Katakanlah begini, seseorang membeli mobil merek Mercedes Benz. Mobil itu setiap hari dielus-elus--barangkali frekuensinya melebihi mengelus-elus istrinya--kemudian dia juga ikut klub mobil Benz. Untuk suku cadangnya pun harus asli dari Jerman. Dan, penggunaan mobil pun harus sesuai ketentuan, misalnya jok belakang harus diisi maksimal-semaksimalnya 3 orang karena kalau lebih akan membuat usia jok mobil itu berkurang. Seseorang itu hidupnya akan terus ter-attachment dengan mobilnya yang bermerek Benz itu.

Jadi bagaimana?
Saya, sih, mikirnya, how come? Bagaimana bisa seseorang--yang katanya berpendidikan tinggi dan berbudaya, tetapi ternyata masih memuja benda yang seharusnya bisa dengan gampang dibeli. Pemujaan terhadap sebuah benda akan terus ada dan bertumbuh tanpa disadari, terlebih pada orang-orang yang sangat sadar pada posisi kelasnya masing-masing. Pemujaan terhadap benda-benda tersebut sudah bukan hanya atas dasar suka, tetapi juga prestise yang membuatnya semakin bisa membedakan posisinya dengan orang lain.

Begitulah. Boleh percaya boleh tidak.

Kamis, 04 September 2014

Sekarang, Kemudahan itu Ada pada Segala Hal!

Sudah dua kali ini saya menjadi mahasiswa tingkat akhir. Haha. Rasanya? Jangan ditanya. Jika dulu, tingkat akhir adalah tahun keempat, sekarang tingkat akhir adalah tahun kedua. Baru saja saya meraba-raba tentang apa dan bagaimana kuliah saya, ah, atau bahkan mengapa saya berkuliah di jurusan Cultural Studies, tetiba saja dosen saya sudah menodong, "Fit, kamu mau ambil topik apa untuk tesis?"

Tenggorokan rasanya tetiba macet tanpa sebab. Entahlah. Saya tidak tahu harus menjawab apa. Liburan tiga bulan lalu saya habiskan untuk menata hati setelah patah hati, sedangkan teman-teman saya sudah mencuri start penelitian atau sudah membaca banyak buku. Haha. Tapi, sudahlah. Masih ada waktu dua semester untuk merancang segala sesuatunya, termasuk mau ngapain setelah lulus.

Pertanyaan sederhana itu sebuah pertanda bahwa saya harus segera berkemas, lalu mulai membaca banyak-banyak lagi. Mulai ikut seminar banyak-banyak lagi, mulai menulis banyak-banyak lagi. Biar tak melulu rindu banyak-banyak. Duh. Ini lupakan.

Jujur saja, mencari topik penelitian bagi saya itu tak semudah tidur di tengah-tengah seminar. Butuh waktu, butuh bacaan, butuh perenungan, butuh meditasi, dan kalimat saya mulai ke mana-mana. Maafkan saya. Jadi, begini, di tengah-tengah kebingungan dan kemalasan saya mencari buku referensi, seorang teman saya, katakanlah oknum R, memberitahu saya bahwa ada toko ebooks di instagram, namanya electrabookstore. Saya itu orangnya males belanja online, tapi, ini, kan, ebooks, jadi saya malah bingung kalau enggak belanja online.

Ya sudahlah, karena punya instagram, saya langsung menuju instagram si @electrabookstore ini. Dan, ternyata, buku-bukunya tidak hanya buku-buku populer. Dari novel Haruki Murakami sampe Gabriel Garcia Marquez, atau novel-novelnya si J.K. Rowling atau yang baru-baru ini ngetren itu The Fault in Our Stars juga ada. Yang paling menggembirakan, sih, ada buku-buku perihal sastra, sejarah, filsafat, dan tentu saja kajian budaya, bukunya Derrida aja ada.

Terus, sayanya jadi norak, deh, semua orang aja saya suruh follow si akun instagram ini. Siapa tahu, siapa tahu, kan, mereka butuh. Oh iya, katanya juga, kalau misalnya enggak punya akun instagram, buku-bukunya bisa dilihat di tab favorit twitter @elektrabooks_ 

Dan, terus, sekarang saya sudah menemukan kemudahan yang entah ke berapa karena adanya internet, kembali lagi ke bahasan awal, "Fit, mau ambil topik apa untuk tesis?"

Ada sungai yang alirannya deras, tak? Mau ikut hanyut!

Kamis, 21 Agustus 2014

Tentang Riki dan Mimpinya yang Terus Menyala


Ini Riki. Seorang anak yang hampir saja harus menggigit jari karena mimpinya nyaris punah. Namun, Tuhan masih begitu baik. Ia membiarkan Riki terombang-ambing ombak di lautan lepas, sebelum menjadikannya pelaut yang tangguh. Siapa pun yang belum mengetahui perihal Riki, silakan membuka beberapa tautan di bawah ini.


Secara garis besar, Riki adalah seorang siswa dari perbatasan Indonesia--Malaysia yang diterima di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. Setelah melalui banyak hal, baik suka maupun duka, Riki akhirnya secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa Untirta. Kronologis akhirnya Riki dapat membayar biaya kuliah dapat dilihat di sini.

Masih banyak orang baik di negeri ini. Masih banyak orang yang peduli sesama. Dan, masih banyak tangan yang terulur untuk membantu. Maafkan kami setelah kemarin kami sempat membuat sedikit "kericuhan" di banyak media sosial perihal Riki. Pada saat itu, kami hanya ingin mengusahakan yang terbaik untuk Riki. Agar Riki bisa berkuliah. Itu saja. Sebab, mimpi untuk bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri bukan mimpi yang terlalu muluk.

Namun, everything happens because of reason. Ya. Kami percaya itu. Masalah Riki ini telah banyak menggerakkan banyak pihak untuk turun tangan membantu. Tentu saja, Tuhan dalangnya. Misalnya, tiba-tiba saja, pada tengah malam, teman saya memberikan sebuah nomor, lalu menyuruh saya menghubungi nomor tersebut yang beratas nama Bapak Boyke Pribadi. Beliau adalah dosen Untirta yang bersedia membantu Riki perihal tempat tinggal dan juga biaya hidup. Betapa kami bahagia berkesempatan mengenal beliau.

Tidak berhenti sampai di situ, tetiba saja, pihak Untirta menelepon salah seorang dari kami dan mengabarkan bahwa Riki mendapatkan kuota bidik misi karena ada satu mahasiswa yang mengundurkan diri sehingga Riki dapat mengisi kuota tersebut. Segala puji bagi Tuhan. Lantas, apakah pertolongan Tuhan sampai di situ? Ternyata tidak! Pada mulanya, kami memang kebingungan mencarikan uang sebesar 3 juta rupiah untuk pendaftaran ulang, namun ternyata, banyak orang--yang entah siapa--tiba-tiba transfer ke rekening kami sehingga terkumpullah uang sebesar Rp7.150.000,00. Pun dengan seorang ibu dosen Teknik Industri yang turut banyak memberikan bantuan kepada kami. Terima kasih banyak.

Dan, akhirnya pun, pada tanggal 20 Agustus 2014, Riki sudah melakukan registrasi ulang dan sudah terdaftar sebagai mahasiswa Untirta. Selamat datang, Riki! Selamat datang di kehidupan yang baru!

Baiklah. Dalam tulisan ini, saya mewakili teman-teman saya, ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak pihak yang sudah sangat membantu, baik secara materi maupun dukungan, doa, retweet, reblog, atau apa pun bentuknya. Terima kasih banyak. Terima kasih. Ah, barangkali, sejuta kata terima kasih pun belum cukup untuk mewakili rasa terima kasih kami. Maafkan kami karena tidak dapat menyebutkan satu per satu pihak yang sudah membantu. Maafkan kami juga sudah banyak merepotkan teman-teman. Bukan maksud hati kami untuk membuat kericuhan, kami hanya ingin Riki bisa mewujudkan mimpinya.

Dan, satu hal saja, bahwa mimpi memang selayaknya harus diperjuangkan, setidakmungkin apa pun itu! Tuhan mendengar apa pun doa yang dipanjatkan, kok! Rezeki datangnya tanpa pernah diduga. Pun dengan kemungkinan yang selalu ada selama ada harapan.

Rabu, 13 Agustus 2014

Perihal Patah Hati dan Jangan Bunuh Diri!



Barangkali, patah hati lebih berjuta rasanya dibandingkan dengan jatuh cinta. Kukira begitu.

**

Ini, cerita patah hati pertama yang kamu tulis setelah kamu harus mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah kamu merasa siap untuk mengurai sedikit demi sedikit perasaanmu. Ah, tapi, bukankah kata orang patah hati akan membuat seseorang lebih banyak memiliki kesedihan untuk ditulis? Itu hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untukmu. Sebab, kamu terlalu sibuk melawan ketakutan-ketakutan setelah hatimu itu harus pecah lagi. Entah menjadi berapa bagian. Kamu terlalu sibuk memunguti satu per satu serpihannya. Mencoba membalutnya, yang kamu sendiri pun tahu, entah berapa lama lagi hatimu itu akan berbentuk seperti sedia kala.

**

Namun, kukira lagi, patah hati dan jatuh cinta memiliki banyak kesamaan: tentang seseorang.

**

Tentu saja tentang seseorang. Tentang seseorang yang sudah puluhan purnama menemanimu, yang menjadi orang pertama yang kamu ingat sebelum dan sesudah tidur. Tentang seseorang yang sudah menggenggam erat tanganmu, lalu memastikan semua akan baik-baik saja selama ada "kita". Atau tentang seseorang yang membuat rindumu membatu di matanya. Kamu tak bisa ke mana-mana, selain tertaut dengan matanya. Yang pada matanya itu pun kamu jatuh cinta berkali-kali.

**

Seseorang itu akan terus mengikutiku, semacam bayanganku terbelah: satu tentangku, satu tentangnya.

**

Bahkan, kamu pun tak memerlukan hujan untuk mengingatkanmu padanya. Pada detak jam di ruang tamumu atau angka-angka kembar pada jam digital ponselmu, cukup membuatmu merasakan kehadirannya. Adakah yang lebih sedih daripada kamu masih merasakan kehadiran seseorang yang tak lagi menemanimu? Dan, semua ada hanya di dalam bayanganmu? Coba kamu ingat-ingat, berapa kali kamu harus menarik napas panjang-panjang agar pelupukmu kuat menahan butiran air ketika kamu sedang berbelanja di supermarket, lalu tak sengaja matamu tertumbuk pada merek sabun muka yang sering ia pakai? Atau ketika kamu sedang ingin melupakan kesedihanmu dengan menonton film, dan kamu sibuk membuka-buka folder filmmu, tetapi kemudian pindaian kursormu tertuju pada film Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight? Atau setiap kali kepalamu menengadah ke langit, ada bulan bulat sempurna? Atau bahkan tentang kematian Robbin Williams, yang langsung mengingatkanmu pada film Dead Poet Society, yang serta-merta membawa kenanganmu tentangnya.

**

Kukira, aku tak bisa menyalahkan siapa pun, terlebih kenangan meskipun ia hadir tanpa tahu waktu.

**

Kamu pun cukup bijak untuk tidak menangis di lorong-lorong supermarket atau di jendela kereta. Ah, kamu pasti selalu mengingat kencan pertamamu di atas kereta, bukan? Perjalanan dari kotamu ke kotanya yang memakan waktu hampir semalam itu. Yang membuat jantungmu berdetak lebih cepat dari biasanya ketika tahu bahwa seseorang yang matanya selalu membuatmu jatuh cinta berkali-kali itu sedang duduk tepat di sampingmu. Ia sedang menjagamu semalaman. Kencan yang sempurna, bukan? Perjalanan ke kotanya, kota yang katanya dicipta Tuhan ketika sedang rindu itu, selalu bisa membuatmu hatimu bergetar. Mungkin rindu, terlebih pada dia.

**

Pun tentang jarak, yang katanya membuat rindu semakin khidmat, pada akhirnya pun melenyapkan.

**

Lalu, ingatanmu pun menambat pada percakapan-percakapan panjang pada malam-malam yang terasa pendek itu. Percakapan tentang segala hal yang bukan tentang kamu dan dia. Atau tentang kucing tetangga yang mati. Atau tentang rumah yang akan ia bangun bersamamu: tentang ruang keluarga, tentang kamar anak-anak, tentang perpustakaan kecil, atau tentang di kota mana rumah itu akan dibangun. Semua terasa sempurna hingga akhirnya kamu sadar bahwa itu hanya kenangan, yang barangkali lebih baik ditinggalkan, bukan ditinggali. Sebab kenangan sama sekali bukan rumah. Pun dengan hatinya kini, yang tak lagi seenaknya bisa kamu sebut rumah.

**

Dan, hari yang terus berjalan semakin membuatku sepi, membuat sadar bahwa aku (se)harus(nya) baik-baik saja.

**

Berapa kali juga kamu mengecek ponselmu. Siapa tahu, seseorang yang pernah menemanimu itu menghubungimu, sekadar bertanya "apa kabar?" atau mengucapkan "selamat tidur", seperti dulu. Dan, pada akhirnya kamu pun harus tahu, bahwa kotak masukmu akan kembali diisi oleh pesan-pesan dari operator atau sekadar broadcast message dari organisasi yang kamu ikuti. Lalu, kamu pun seharusnya kembali menata diri agar semuanya baik-baik saja. Agar kamu terbiasa melakukan segala hal sendiri lagi.

**

Barangkali memang benar, rusak susu sebelanga karena nila setitik, ah, jika memang begitu, semoga kamu masih mengingat alasanmu jatuh cinta padaku.

**

Entahlah. Hatimu sekarang sedang bercabang: untuk tetap tinggal atau segera berkemas. Kamu masih sangat mengingat rasa ketika hatimu berdetak menunggu pesan-pesannya atau pertemuan-pertemuan singkat yang harus ditempuh ratusan kilometer itu. Kamu masih sangat mengingat segala hal tentangnya. Tapi, kamu sangat percaya, hanya ada dua alasan seseorang tak lagi menemanimu: untuk digantikan dengan yang lebih baik atau untuk kembali. Itu saja. Bukankah kepergian dan kedatangan itu adalah hubungan yang sangat sederhana. Yang akan datang, pasti akan pergi. Pun yang pergi, akan terganti atau kembali. Sesederhana itu.

**

Aku tak pandai membalut luka, tetapi aku harus segera berkemas, lalu jatuh cinta lagi!

**

Lihatlah sekelilingmu, suara decit ferum rel kereta api, burung-burung di belakang rumahmu, sisa bau hujan semalam, bukankah itu terasa lebih menyenangkan? Daripada kamu harus sibuk membalut luka yang kedalamannya kamu tentukan sendiri itu. Atau tentang nenek di depan rumah yang tinggal sendiri, tetapi masih bisa tertawa karena guyonan ayahmu? Atau barangkali tentang rajutan dan kue-kuemu itu, yang telah menemanimu membalut luka. Jatuh cintalah! Jatuh cintalah pada benda-benda atau orang-orang yang selama ini luput dari pandanganmu. Jatuh cintalah, pada orang-orang yang selama ini tak pernah berjeda menemanimu. Maka, tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta lagi, bukan? Jika demikian, maka selamat! Sebab kamu telah patah hati, tanpa berniat bunuh diri!

Kamis, 24 Juli 2014

Please, Respect Your Body, Girls!

"Kamu kenapa beli pakaian dalam semahal itu?" seorang teman saya berceletuk ketika saya pulang dari berbelanja pakaian dalam beberapa bulan yang lalu. Saya hanya tersenyum.

"Kan, orang juga enggak bakal lihat kamu pakai apa di dalam. Entah mahal, entah tidak, toh, ujung-ujungnya ketutup juga." Teman saya itu berceloteh panjang lebar dan saya hanya mendengarkan. Tanpa berkomentar apa pun.

Sebenarnya, saya pun tidak bermaksud membeli pakaian dalam seharga itu, tapi saya hanya percaya bahwa pakaian dalam yang nyaman akan memengaruhi mood sepanjang hari. Begini saja, jika bra yang dipakai itu katakanlah sudah terlalu longgar, pasti rasanya sangat tidak nyaman. Dan, saya tidak ingin hari saya rusak hanya gegara bra yang sudah tidak pas lagi. Jauh lebih baik, saya mengeluarkan uang sedikit lebih banyak untuk membeli bra yang bagus dan tahan lama daripada harus membeli bra yang murah tapi sebentar saja sudah bikin tidak nyaman. 

Ah, saya pun seringkali menyayangkan ketika melihat perempuan cantik dengan baju yang sedikit transparan, dan terlihat bra yang dikenakannya sudah molor sana-sini. Aneh saja melihatnya. Bagi saya, membeli pakaian dalam yang bagus adalah salah satu cara untuk menghargai diri sendiri. Tubuh layak mendapatkan penutup yang terbaik. Sebagus apa pun baju yang dipakai, jika pakaian dalamnya tidak layak pakai, barangkali sama saja dengan makan di restoran mewah, tapi makanannya basi. Sayang sekali, bukan?

Dan, biasanya saya membeli pakaian dalam di toko pakaian langganan mama saya. Jujur saja, saya sebenarnya sedikit enggan membeli pakaian dalam seorang diri. Paling tidak, saya harus ditemani mama atau teman saya. Entahlah. Ini memang kebiasaan aneh saya. Saya merasa malu saja harus menyebut berapa ukuran pakaian dalam saya kepada penjaga toko atau memilih-milih di depan banyak orang. Risih saja.

Namun, sampai akhirnya, saya tak sengaja mendengar cerita teman saya tentang pengalamannya belanja di online shop.  Katanya, dia biasa belanja di zalora.co.id karena tokonya dapat dipercaya, barangnya bagus-bagus, dan harganya miring. Sesungguhnya, saya pun hampir tidak pernah belanja di online shop, hanya saja, cerita teman saya yang menggebu-gebu itu membuat saya penasaran mengeklik laman yang dia katakan tadi.

Ternyata banyak pilihan barang yang membuat saya bingung harus membeli apa. Haha. Tapi, menariknya, Zalora--nama online shop tersebut--mengklasifikasikan kategori berdasarkan jenis, misalnya pakaian, lalu di kategori pakaian tersebut dibedakan lagi menjadi pakaian muslim, dress, bawahan, atasan, dan lain sebagainya. Dan, yang membuat saya menjerit kegirangan adalah adanya kategori pakaian dalam wanita di Zalora. Itu artinya, saya tidak perlu lagi merasa risih belanja di toko dan harus diperhatikan banyak orang.

Setelah saya scroll ke atas dan ke bawah, apa yang dikatakan teman saya tersebut rasanya tidak berlebihan. Barang-barang yang dijual adalah barang-barang bermerek terkenal dengan harga yang miring. Kalau tidak percaya, cek laman ini http://www.zalora.co.id/women/pakaian/pakaian-dalam/ yang khusus pakaian dalam dengan berbagai macam jenis. Kalau mau berselancar ke kategori yang lain juga tidak rugi. Haha. Duh. Ini bahasannya sudah ke mana-mana, ya? Maafkan saya. Saya hanya sedang meluapkan kegembiraan saya atas "pertemuan pertama" saya dengan Zalora Indonesia yang mengerti kebutuhan saya.

Honestly, It's my first time for shopping online. And, it's no matter how I get my underwear, but how I respect my body (and my soul). Karena saya masih sangat percaya bahwa memilih pakaian dalam yang baik adalah salah satu usaha untuk membuat kehidupan yang lebih baik.

Selasa, 22 Juli 2014

Perkara Kelapangan Hati dalam Pilpres yang (Hampir) Selesai

Akhirnya. Segala macam proses yang entah dari kapan dan mana itu selesai juga. Saya yakin, yang terpilih hari ini adalah kandidat yang terbaik menurut Tuhan. Siapa pun itu yang terpilih--tapi kali ini calon presiden nomor 2--semoga bisa menjaga kepercayaan rakyat. Dan, hidup akan tetap baik-baik saja sampai nanti. Rasa syukur saya yang lain adalah saya tidak perlu membeli dua es krim magnum lagi. Calon presiden nomor 2 terpilih meskipun tidak terlalu telak. Haha

Hanya saja, ada satu hal yang menarik dalam proses pengumuman KPU dari pukul delapan pagi hingga delapan malam: tentang kelapangan hati. Saya yakin, siapa pun di sini sudah mengetahui, bahkan menonton pidato singkat dari calon presiden nomor 1. Mungkin beliau sedang lelah hingga muncullah banyak tuntutan terhadap KPU dan mungkin juga pada MK. Atau entah apa pun yang sedang beliau bicarakan, saya hanya bisa menangkap satu hal bahwa ada perasaan tak rela untuk menyerahkan kursi presiden pada lawannya, apa pun alasannya. Barangkali saya salah simpulan, tapi izinkan saya menguraikan.

Seandainya saja, calon presiden nomor 1 itu menerima kekalahan, lalu pergi ke kediaman presiden terpilih untuk mengucapkan selamat. Barangkali, rakyat yang tidak memilih akan sangat menghormatinya karena kelapangan hati dan sikap ksatria yang ditunjukkannya. Dan, barangkali juga, beliau akan terpilih menjadi presiden selanjutnya. Entah kapan. Tapi, saya tidak akan membahas lebih lanjut perkara siapa yang menang atau kalah dalam perhelatan ini. Sudahlah. Itu biarkan menjadi urusan KPU dan teman-temannya.

Begini saja, saya sedang mencoba mengurai perihal kelapangan hati atau barangkali sebutlah ikhlas. Ikhlas dalam menerima kekalahan atau kekecewaan dalam hal apa pun itu. Dan, jika saya boleh menyimpulkan, yang menghancurkan sebuah ketulusan atau keikhlasan adalah ekspektasi. Iya. Pengharapan atau angan-angan yang terlalu tinggi. Katakan saja, calon presiden nomor 1 sudah berekspektasi bahwa beliau menang, ternyata tidak. Sementara itu, harapan sudah melambung entah ke langit sebelah mana. Ah, itu pasti rasanya sakit sekali.

Seharusnya, ikhlas itu melepaskan. Melepaskan jabatan untuk orang yang lebih layak. Ah, ini mungkin juga berlaku pada perkara cinta. Bahwa cinta itu seharusnya melepaskan, bukan menggenggam erat. Dan, tanpa ekspektasi yang berlebih sebab seringkali ekspektasi itu menghancurkan banyak hal. Harusnya, ikhlas ya ikhlas saja, tanpa embel-embel mendapatkan kembali apa yang telah diberikan. Tanpa bilang-bilang saya tulus menerima kekalahan. Urusan mendapatkan kembali apa yang telah diberikan juga sesungguhnya bukan urusan yang telah diberi. Tuhan lebih tahu.

Duh. Lupakan paragraf sebelum ini, tapi saya ingin mengutip kalimat entah siapa bahwa ikhlas itu seperti surat Al-Ikhlas yang di dalamnya tidak ada kata ikhlas

Minggu, 13 Juli 2014

Mari Merajut!

Semingguan ini saya sibuk. Sibuk merajut. Haha. Ini serius. Bukan merajut kata, terlebih merajut cinta. Tapi, saya merajut benang untuk dijadikan banyak hal. Ehm, tapi, kali ini saya baru berhasil merajut satu syal. Saya mengerjakannya selama beberapa hari, mungkin sekira enam hari. Terpotong dua hari untuk ngedit sebuah novel. Tapi, lupakan waktu pengerjaan untuk satu syal ini. Yang penting, apa yang saya rasakan ketika merajut ini. Kalau kata teman saya merajut adalah in the name of serenity.

Pertama kali saya memegang jarum rajut dan benang, ayah saya berkomentar, "Mending kamu bantuin Ayah bikin kandang merpati. Kamu lebih jelas bisa pegang kayu, palu, dan paku. Daripada pegang jarum dan benang kayak gitu. Dari tadi gak jelas mau bikin apa." Saya hanya tertawa. Dalam hati mengiyakan juga, tapi, kan, saya tidak boleh menyerah begitu saja.

Ya, memang saya hampir menangis dan putus asa belajar merajut. Dari nol. Saya hanya bermodalkan satu jarum rajut untuk teknik crochet dan tiga gulung benang siet, entah apa namanya. Tapi, benang yang bagus untuk merajut adalah benang katun bali atau benang yang terbuat dari akrilik. Berhubung saya kesusahan dalam mencari benang di kota saya ini, jadilah hanya benang dan jarum ini yang saya beli. Jarum rajutnya seharga 3 ribu rupiah, sedangkan benangnya satu gulung seharga 5 ribu rupiah.


Saya mencari banyak video tutorial merajut, menirunya, gagal, cari lagi, menirunya, berhasil awalnya saja, gagal di akhir, cari tutorial lagi, susah, menirunya, gagal, begitu seterusnya sampai akhirnya saya menemukan beberapa video yang bisa membantu saya untuk merajut dengan lebih mudah.

Untuk teknik dasar merajut, saya sangat terbantu dengan video ini:


Masih ada beberapa video lagi, tetapi terlalu berat untuk diunggah di sini semua. Baiklah. Anggap saja, teknik dasar membuat crochet sudah mengerti. Ehm, cukup sulit pada awalnya, tapi nanti akan lancar dalam memutar-mutar jarum crochet-nya. Setelah teknik dasar sudah cukup bisa--meskipun tidak dapat disebut bisa, sih, haha--saya mencari video lain bagaimana caranya merajut syal dari jarum chrochet yang saya punya ini. Mengapa syal? Karena saya seringkali merasa kedinginan di tempat mana pun. Paling tidak, syal bisa bermanfaat untuk saya dalam hal ini. Ternyata saya menemukan video ini. Dan cukup mudah untuk diaplikasikan.


Dan, ternyata, videonya tidak dapat diunggah, tapi semoga link-nya masih bisa dibuka. Dari video tersebut, akhirnya saya mempunyai gambaran how to make a scarf. Ya, dari situ saya mencoba membuat syal a la saya. Dan, inilah hasilnya.

Taraaaaa ....


Ini adalah syal hasil rajutan tangan saya yang pertama. For the first time, merajut syal ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Tapi, semua itu terbayar ketika benang terakhir terkait. Ya, syal ini terlalu tipis dan kurang panjang. Ini masih dalam tahap belajar, saya ingin membuat syal lain atau mungkin nanti sweater dengan benang yang lebih halus dan bagus, lantas bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Haha.

Tapi, paling tidak, liburan ini saya tidak terlalu menganggur. Ada benang-benang yang harus saya rajut agar lebih bermanfaat.

Dan, kemudian, setelah urusan merajut ini sudah dalam level sanggup, proyek liburan selanjutnya adalah membuat kue. Tentunya di samping beberapa tulisan dan bacaan yang harus diselesaikan. Semoga nanti lebaran sudah bisa merealisasikan untuk membuat brownies kukus. Let's see!

Rabu, 09 Juli 2014

Perihal Pilpres yang Sudah Tadi

Pilpres 2014 seru, ya? Barangkali saya bisa menjawab pertanyaan itu dengan anggukan mantap. Tentu saja sangat seru. Baru kali ini saya ikut deg-degan menunggu hasil penghitungan suara. Karena baru kali, Indonesia hanya terbagi dalam dua kubu, jika tidak A, maka B. Atau pilihan terakhir adalah golput. Namun, saya rasa, jumlah pemilih yang memilih untuk tidak memilih jumlahnya tidak sebanyak pemilu-pemilu lalu.

Dan, pada akhirnya, hari ini saya telah memutuskan pilihan setelah hari-hari lalu saya masih ragu pada pilihan. Saya menjadi minoritas dalam keluarga saya. Hanya saya satu-satunya dalam keluarga saya yang memiliki pilihan berbeda. Tidak masalah. Latar belakang militer dalam keluarga saya membuat keluarga saya menjadi pemilih Prabowo garis keras. Saya pun menghormati pilihan keluarga saya. Pun keluarga saya menghormati pilihan saya. Meskipun tentu saja, ada adu argumen antara saya dan ayah saya, terutama.

Hari ini, saya memutuskan untuk memilih Jokowi. Saya bukan pendukung fanatik Jokowi. Hanya saja, saya memilih atas dasar beberapa pertimbangan dan hati nurani saya. Paling tidak, saya memilih dengan mempertimbangkan rekam jejak, prestasi, siapa orang-orang di sekitarnya. Barangkali pertimbangan saya ini terlalu dangkal, tapi sudahlah. Saya sedang mencoba memilih yang terbaik di antara yang tidak terlalu baik. 

Dan, terlepas dari alasan saya itu, hari ini saya mendapat satu buah es krim Magnum Infinity dari ayah saya. Sebagai bayaran atas taruhan semalam. Berhubung saya dan ayah saya berbeda pilihan, ayah saya mengajak taruhan. Awalnya, ayah saya mengusulkan jika Prabowo menang, saya harus push-up sebanyak 25 kali, dan jika Jokowi menang, ayah saya yang harus push-up sebanyak 15 kali. Terasa tidak adil dan tidak ada fungsinya, bukan? Haha.

Lantas, iseng-iseng saja saya mengusulkan agar mengganti saja taruhannya. Taruhannya es krim Magnum. Siapa pun yang kalah, wajib membelikan yang menang satu buah es krim Magnum. Ayah saya setuju. Dan, saling olok sepanjang hari hingga prosesi penghitungan cepat memunculkan hasil.

Pada akhirnya, hasil penghitungan cepat keluar. Hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Ada dua hasil yang diusung oleh masing-masing media pendukung capres. Satu mengatakan Prabowo menang, dan satu lagi mengatakan Jokowi yang menang. Aneh memang. Entah siapa yang berbohong. Perbedaan angka itu malah semakin membuat lucu pemilihan presiden 2014. Rasanya baru kali ini, angka pada penghitungan cepat menjadi semacam opini yang berbeda pada setiap media.

Untungnya, lembaga survei yang mengatakan Jokowi menang lebih dapat dipercaya--paling tidak menurut ayah saya. Lalu, tadi, sebelum magrib, ayah saya menepati janjinya untuk membelikan saya sebuah es krim, tapi dengan satu syarat: jika nanti penghitungan KPU sudah keluar, dan ternyata Prabowo menang, maka saya harus membelikan dua es krim. Satu atas bayaran taruhan, dan satu atas ganti es krim saya hari ini. Saya mengiyakan! Haha

Sesungguhnya, siapa pun yang menjadi presiden nanti, tidak banyak berpengaruh dalam hidup saya. Hari ini saya sudah mengambil hak saya untuk berpartisipasi menentukan pilihan sesuai hati nurani. Siapa pun nanti yang menjadi presiden, toh, saya harus tetap menjalankan hidup sebagai warga negara yang baik, bukan?

Hanya saja, saya tidak mau melewatkan momen yang saya yakin tidak akan terulang ini. Menikmati euforianya sebelum ini benar-benar berakhir, termasuk taruhan yang hanya seharga es krim, atau adu argumen dengan ayah dan adik saya yang ujung-ujungnya saling olok. Ah, tapi, bukankah keluarga dan kebahagiaan harus dinomorsatukan? Iya! Kalau begitu, presiden nomor dua saja!

Sabtu, 05 Juli 2014

Perkara Pilpres yang Sebentar Lagi

Akhirnya saya pun terseret arus untuk tidak tidak membicarakan perkara ini. Saya tidak tahu banyak hal tentang siapa dan bagaimana kedua calon itu. Tentang apa visi misi mereka. Atau tentang apa dosa-dosa mereka. Hanya saja, saya tergelitik dengan hal-hal di luar hal itu. Hal-hal yang jika ditarik benang merahnya tidak akan memengaruhi jalannya pilpres ini.

Kemarin, saya membaca tulisan yang cukup netral yang disampaikan oleh Faldo Maldini--mantan Ketua BEM UI--yang dimuat dalam blog pribadinya, "Ada Indonesia di Ujung Sana". Tulisan ini berbicara tentang jalan panjang yang harus ditempuh oleh rakyat Indonesia, perjuangan yang terus-menerus harus dijalani, terlepas dari siapa pun pemimpinnya.

Saya setuju. Bahwa hari-hari ini dan beberapa hari ke depan akan menjadi hari-hari yang menentukan sejarah bangsa ini. Untuk kali ini, saya memutuskan untuk memilih, meskipun sampai detik ini saya belum menentukan pilihan. Saya cukup merasakan euforia pilihan presiden kali ini setelah periode-periode sebelumnya presiden saat ini mendominasi suara. Hanya ada dua calon, yang mungkin sama-sama baik atau sama-sama buruk, sehingga saya yakin masih banyak orang yang bingung memilih atas dasar tidak tahu mana yang lebih baik.

Ini adalah hari pertama hari tenang. Hari tanpa kampanye resmi meskipun saya yakin masih banyak kampanye terselubung di setiap akun jejaring sosial, entah kampanye hitam, putih, atau bahkan pelangi. Teman-teman saya dari beberapa waktu yang lalu juga hampir setiap hari meriuhkan calon-calonnya di grup Whatsapp. Ayah saya juga se(ter)lalu bersemangat mempromosikan calon yang beliau pilih. Setiap kali saya membuka akun jejaring sosial, yang ada hanya hujatan atau pujian terhadap salah satu calon.

Itu sah!

Tidak ada hal yang perlu dirisaukan. Kemarin, saya melihat sebuah meme yang intinya memohon agar 9 Juli cepat berlalu sebab banyak yang mulai eneg. Bahkan, seorang teman saya mengaku dari beberapa hari yang lalu hingga 11 Juli telah memblokir segala macam obrolan yang berkait dengan pilpres, pemilu, dan lain sebagainya itu.

Sejujurnya, saya jauh lebih menikmati respons yang ada daripada visi misi dua kandidat itu. Respons yang muncul seringkali sebuah ide kreatif yang luar biasa, katakan saja video-video kampanye atau slogan-slogan kampanye. Barangkali memang benar, momen pilpres 2014 tidak akan pernah terulang. Dua kandidat dengan pendukung masing-masing yang saya rasa sama kuatnya. Yang sudah memiliki media sendiri untuk mempromosikan dirinya. Sehingga, sampai detik ini pun, saya tidak ada bayangan siapa yang akan memenangkan perhelatan ini.

Kurang dari 3 hari, perhelatan itu akan digelar. Detik-detik menuju sejarah baru. Memilih untuk menikmati momen-momen yang tidak akan terulang ini sepertinya jauh lebih menarik daripada hanya mencaci atau melarikan diri. Barangkali, kali ini saya percaya bahwa politisi yang buruk terpilih karena orang-orang baik memilih untuk tidak memilih. Siapa pun pilihannya, saya yakin, ada kebaikan yang sudah dipertimbangkan baik-baik.

Dan, yang lebih penting, tidak terlalu berharap lebih pada siapa pun yang telah terpilih nanti juga akan menjaga kepercayaan pada negara. Memilih sewajarnya, percaya sewajarnya. Sebab, terlalu tinggi ekspektasi akan menjatuhkan dan membuat sakit. Percayalah, ketika siapa pun yang terpilih nanti, janji-janji pada masa kampanye akan menguap satu per satu. Lalu, terlupakan perlahan. Barangkali saya salah akan hal ini. Dan, semoga yang terpilih nantinya juga akan tetap amanah. Namun, pemerintahan yang sudah-sudah mengajarkan banyak hal.

Lantas, bagaimana jika siapa pun yang terpilih nanti, akan bekerja untuk pihak yang sama? Atau memiliki tujuan yang sama. Apakah segala macam caci maki dan hujatan selama ini masih berarti? Apakah kehidupan akan berubah menjadi sejahtera semuanya? Atau apakah kandidat yang dibela mati-matian itu akan peduli pada kehidupan yang membela itu? Ah, maafkan saya yang terlalu pesimis memandang negeri ini. Nyatanya, saya harus memandang pilihan presiden ini dari dua sisi. Dua sisi yang akan menyeimbangkan segala sesuatunya.

Barangkali, tulisan ini terlampau terlambat. Barangkali juga sudah terlalu banyak dibahas. Ah, maafkan saya yang tidak membawa kebaruan dalam sumbangan pemikiran perhelatan akbar ini. Namun, satu hal saja yang patut saya camkan baik-baik bahwa seharusnya saya tidak berhak membenci siapa pun meskipun saya berhak tidak memercayai siapa pun.

Jombang, 6 Juli 2014, hari-hari menjelang pilpres

Rabu, 25 Juni 2014

The Fate of Pedestrians in Jakarta, Indonesia

Some years ago, 11 pedestrians died because of car accident. The car who is driven by Afianty--a young woman--hit eleven pedestrians who were walking on the sidewalk, Tugu Tani area, Central Jakarta, Indonesia. The case showed us how the pedestrians did not save too. Jakarta is a metropolitan city which many problems occur here, included high traffic jam, even car accident. The case of Afianty is the one case, because there are many others case which happen in Jakarta, especially for pedestrians.
Detik.com upload a news about a pedestrian who get abusive words from the biker because the biker hit him in sidewalk. The biker was angry whereas the accident occur on the sidewalk. It is irony. How come the biker who is angry, whereas the pedestrian walks on the sidewalk? Is the pedestrian right?
In Jakarta, it becomes a habit when the bikers ride their motorcycle on the sidewalk. I'm sure that Jakarta's government has many efforts to give some good facilitates for the people, like a sidewalk, public transportation, and so on. Yet, the people oftentimes negotiate what the given of government. The simplest example is sidewalk's function. In Jakarta, the sidewalk normally becomes a place for selling something, riding a motorcycle, parking, even placing of pet, like cow. Is it interested, right? The phenomena can be seen in pictures below.
Picture is taken from here http://jakartapedestrian.wordpress.com/
The biker was riding her motorcycle on the sidewalk
The generic is sidewalk for pedestrians, but here sidewalk can be anything. The people negotiate how can maximized the empty space around the crowded space in Jakarta. Therefore, they are able to sell something or to bike their motorcycle when traffic jam on the sidewalk. I think, it is their way to adapt the new system.
However, some people think that the sidewalk's functions have to restore. Therefore, some people make a community which wanna restore the function of sidewalk for pedestrians' right. For the first time, they make the community in Facebook and Twitter, the name is "Gerakan Koalisi Pejalan Kaki" or Pedestrians' Coalition Movements. Then, they demonstrate on the sidewalk to give awareness for the bikers. On the others side, government try to put some iron barrier on the sidewalk which purpose the bikers can not pass the barrier.
The picture was taken from here http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/69867-kegigihan-gerakan-koalisi-pejalan-kaki-kembalikan-hak-pedestrian-di-jalan
Gerakan Koalisi Pejalan Kaki demonstrate to give awareness about pedestrians' right to the bikers.
I think, all of the efforts restore the function of sidewalk, but, I'm sure, the people of Jakarta always find the new way for negotiating the new system, whatever it is. Let's see, the sidewalks in Jakarta only have a little probability to get their mainly function for the pedestrians. It can be concluded that the fate of pedestrians in Jakarta never change well if the people are not awareness about the pedestrians' right.

Source of picture:
Picture 1: http://jakartapedestrian.wordpress.com/
Picture 2: http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/69867-kegigihan-gerakan-koalisi-pejalan-kaki-kembalikan-hak-pedestrian-di-jalan

*This article also was published in http://aquantumcityjakarta.wordpress.com/2014/06/26/the-fate-of-pedestrians-in-jakarta-indonesia/ for the result of Quantum City Jakarta Workshop, in University of Indonesia, 23 until 26 June 2014

Senin, 23 Juni 2014

Perayaan Kehilangan

Rasanya terlampau susah jika hidup dengan kepala yang di dalamnya sedang ada peperangan. Ricuh. Setiap kata saling bertabrakan entah akan menghasilkan apa. Saya sedang berada di dalam sebuah lokakarya yang berbicara tentang Quantum City. Entahlah. Saya juga tidak terlalu paham dengan segala macam yang dibicarakan dalam ruangan ini. Kepala saya sedang berperang untuk hal yang lain. Sedang ada kericuhan di kepala saya tentang sebuah hal di luar sana yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ruangan ini. Mungkin ada hubungannya, hanya saja saya belum bisa mengelaborasi perang di kepala saya dengan apa yang terjadi di ruangan ini. Semoga nanti.

Tentang ruang, tentang waktu, tentang jarak, tentang kecepatan, yang semuanya berada dalam satu aliran yang sama. Hanya saja ada banyak persimpangan. Entah saya berada di persimpangan yang mana. Saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya. Setiap hal tumpang tindih dan selalu berseberangan. Saya sedang mencoba memilah-milah apa penyebab perang di kepala saya. Nyatanya pun saya bukan pemilah yang baik. Saya sama sekali tak berhasil. Jadi, maafkan saya, jika kalimat-kalimat selanjutnya adalah kalimat yang melompat-lompat, bahkan mungkin tidak saling berhubungan.

Tiba-tiba saja, saya teringat kalimat Seno Gumira Ajidarma bahwa dalam setiap diri pertemuan sudah terkandung perpisahan. Iya. Cepat atau lambat. Perpisahan selalu saja dekat dengan kehilangan. Lantas, kehilangan selalu saja memenuhi ruang, menebas jarak, dan menghentikan waktu. Rasanya begitu cepat. Saya masih teringat bagaimana keranda membawa tubuh kakek saya. Kakek yang beberapa waktu sebelum pergi selalu berjanji akan mengantar saya sekolah TK. Pada saat itu, saya masih berusia empat tahun, beberapa bulan lagi akan memasuki sekolah. Sayangnya, di atas janji kakek saya, masih ada Tuhan. Pada bulan Juni, kakek saya harus pergi. Meninggalkan saya menunggu janji itu. Padahal, tinggal beberapa hari lagi, ayah saya mendaftarkan saya ke sekolah. Jadilah, sejak kepergian kakek saya itu, saya harus menjalani hari-hari TK saya sendirian. Tidak pernah ada yang menunggui saya sebagaimana teman-teman saya yang lain. Pada akhirnya, saya pun terbiasa menjalani hidup sendirian.

Barangkali, Sapardi benar. Bahwa tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.

Atau mungkin Tuhan memang senang bercanda. Dia suka mendatangkan orang-orang di tengah-tengah kehidupan, lalu tiba-tiba saja menyuruhnya pergi. Tanpa permisi. Entah lama, entah sebentar, orang itu singgah atau menetap. Kalaupun menetap, suatu waktu pasti akan tetap pergi. Jadi, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar menetap dalam hidup. Datang dan pergi begitu saja jika kata Letto.

Maafkan saya yang tiba-tiba saja teringat pada kakek saya. Pada janjinya yang akan selalu mengantar saya sekolah. Pada kebiasaannya yang selalu membawakan saya sekotak Buavita rasa jeruk setiap bulannya. Pada rutinitasnya yang pagi-pagi sudah membersihkan halaman. Pada hangat pelukannya. Pada cerah senyumnya. Dan, pada keranda yang telah membawanya pergi. Membuat kehilangan. Membuat kesepian.

Namun, kepergian seseorang dalam hidup selalu mengajarkan banyak hal. Agar tak melulu bergantung, tak selalu berharap, dan tak sering meminta. Kepergian selalu menyisakan kehilangan. Dan, kehilangan tak melulu dimaknai dengan kesedihan meskipun kata kehilangan dan kesedihan adalah dua saudara kandung. Hanya saja, kehilangan dapat sedikit dirayakan dengan atau tanpa kembang api.

Saya bisa keluar rumah sejenak. Melihat langit, entah sedang berwarna apa. Atau pergi naik kereta listrik, menghitung panjang rel entah dengan apa. Atau saya bisa mengikuti lokakarya seperti ini entah membahas apa. Atau mungkin saya bisa pergi sejenak dari rutinitas entah ke mana.

Ah, Kakek, sedang apa di sana? Semoga selalu bahagia. Semoga juga sedang merindukanku. Semoga baik-baik saja.

Rabu, 18 Juni 2014

Semester Dua yang Selesai

Dan, percayalah, segala sesuatu akan selesai pada tenggatnya.


Begitulah. Akhirnya, semester ini pun selesai juga. Tiga hari yang lalu, lebih tepatnya, setelah makalah terakhir terkumpul. Segala macam perjuangan semester ini berakhir secara simbolis. Jika boleh menganalogikan, semester ini adalah sebuah perjalanan mendaki gunung. Dua belas makalah tugas akhir untuk lima mata kuliah, semacam terdengar tidak masuk akal untuk dikerjakan dalam waktu tidak lebih dari dua minggu. Perjalanan selalu mengajarkan banyak hal, termasuk semester ini. Mengajarkan saya untuk berhenti mengeluh dan sering-sering bersyukur. Bahwa segala sesuatu tidak ada yang sia-sia.

Pun, perjalanan selalu menemui banyak rintangan. Tengah semester yang lalu, saya harus opname karena terkena typhoid. Opname pertama dan semoga yang terakhir. Lima hari di rumah sakit rasanya sewindu. Setelah itu pun tak juga pulih. Saya harus meminta izin untuk tidak masuk kuliah kurang lebih dua minggu karena saya masih ringkih untuk kembali ke rutinitas. Dua minggu saya hanya lontang-lantung di rumah tanpa tahu harus melakukan apa, selain main Candy Crush. Saya juga harus menunda untuk mengumpulkan beberapa tugas karena saya sama sekali tak bisa berpikir. Lalu, saya juga harus terpaksa menolak beberapa pekerjaan dengan alasan kesehatan. Ah, padahal, dulu saya selalu merasa tangguh untuk melakukan banyak hal sekaligus. Nyatanya, setiap hal selalu ada limitnya.

Bagaimanapun, saya sudah seharusnya bersyukur. Semester ini akhirnya berlalu, padahal sebelumnya saya sempat mengajukan cuti, tetapi ditolak dengan alasan sudah separo semester. Sekarang, kondisi saya sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa hari pascaopname. Semoga sampai nanti selalu baik, dalam segala hal.

Semester dua telah selesai, tinggal satu semester lagi untuk merencanakan segala sesuatunya. Waktu itu seperti terbang, ya? Rasanya baru kemarin saya wisuda sarjana, sekarang saya sudah harus merencanakan topik tesis. Ah, di penghujung semester dua ini pun saya belum tahu akan membahas apa, sedangkan bab I harus sudah selesai pada semester tiga.

Sudahlah. Saya yakin, segala sesuatunya pasti akan selesai pada waktunya. Meskipun belum memiliki topik tesis sekarang, pada waktunya nanti juga akan ketemu, akan mendapatkan ilham, sebagaimana skripsi saya tempo lalu. Saya percaya, dua tahun adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan kuliah ini. Tidak perlu lebih, kalau bisa kurang. Demi senyum yang merekah di wajah kedua orang tua saya. Semoga. Semoga saya masih sempat membahagiakan banyak orang.

Kamis, 05 Juni 2014

Ayah dan Cerita-Ceritanya yang Tak Pernah Ada

"Raden Patih Gajahmada itu pengkhianat, Yah!" kata saya sambil tertawa.
"Kamu itu, semua orang aja dibilang pengkhianat, Prabowo pengkhianat, SBY pengkhianat. Siapa coba yang gak kamu bilang pengkhianat? Gajahmada orang besar dibilang pengkhianat."

Saya hanya tertawa. Bukan. Bukan tentang isi percakapan yang sedikit absurd. Atau tentang pembelaan ayah saya pada orang-orang itu. Saya hanya bahagia. Bahagia saja ketika bisa bercerita dan berbicara apa saja dengan ayah saya meskipun sekali lagi percakapan kami absurd. Bahkan, ayah saya suka sekali mengarang cerita bahwa dia sedang rapat koordinasi dengan PKD (Partai Kekuasaan Desa), PKW (Partai Kebugaran Wanita), atau PKPR (Partai Kebugaran Pria). Katanya, rapat itu untuk mempersiapkan pemilu 2019 dan saat ini sedang menggalang dukungan untuk kemenangan Prabowo-Hatta.

Sudahlah. Jangan hiraukan cerita karangan itu. Demi apa pun, cerita itu tidak pernah ada. Ayah saya sedang mencari topik untuk obrolan di telepon bersama saya. Telepon yang tak jarang berjam-jam itu hanya dihabiskan dengan membicarakan hal-hal yang tak pernah ada. Saya menanggapinya agar kami sama-sama bahagia.

Iya. Jarak yang entah berapa ratus kilometer di antara kami memang terasa sedikit mengganggu waktu bertemu kami. Berapa bulan sekali saya pulang pun tak tentu. Berapa kali ayah menjenguk saya di kota ini pun hanya sekali. Itu pun saat saya wisuda sarjana.

"Kamu kalau kuliah di Gadjahmada, nanti Ayah bisa menjenguk kamu kapan pun. Dan, kamu bisa pulang kapan aja," kelakar ayah saya. Saya hanya mengaminkan dalam hati. Semoga. Semoga segala sesuatunya bisa berjalan sesuai rencana.

Saya tahu sekarang. Barangkali, ayah saya sedang kesepian. Adik saya sudah besar, sudah kuliah, sudah tinggal di luar kota, sudah tidak di rumah setiap hari. Lalu, di rumah tinggal ayah dan mama. Saya bisa membayangkan betapa sepi hari mereka. Pulang kerja, sama-sama capek, tanpa hiburan dari kedua anaknya. Ah, rasanya ingin sekali bisa pulang kapan pun. Namun, entahlah. Di sini terlalu penat.

Satu hal saja yang saya takutkan jika saya masih terlampau egois melawan jarak. Saya takut tidak bisa menghitung lagi uban di kepala ayah saya atau sekadar memijit punggungnya atau membuatkan segelas teh--yang katanya tak ada rasanya itu. Tapi, saya bahagia. Semoga ayah saya juga bahagia memiliki saya. Semoga.

Rabu, 04 Juni 2014

Dibutuhkan Segera: Bahu dan Telinga

Maafkan saya, yang akhir-akhir ini sedang banyak berkeluh kesah di ruang ini. Namun, entahlah. Saya juga tidak tahu bagaimana harus membuat rasa yang membuncah ini agar memiliki tempat. Satu-satunya ruang hanya di sini. Yang sepi. Tanpa kericuhan yang sedang ada di luar sana.

Sudah beberapa hari ini saya sulit memejamkan mata: satu hal yang hampir tidak mungkin bagi saya. Saya terjaga hingga pukul tiga dini hari, bahkan puncaknya semalam saya tidak bisa tidur sama sekali. Sementara paginya saya harus ke kampus.

Alhasil, dari semalam, kepala saya sakitnya tak mereda, malah bertambah setiap saat. Rasanya seperti sedang ditekan oleh tangan yang kuat. Sakit sekali. Sudah istirahat juga tadi sore. Ah, tetap sakit. Entah mengapa. Mungkin saya sedang stres tentang banyak hal. Satu hal saja sebenarnya yang saya inginkan: bahu dan telinga. Entah berapa kali saya membutuhkan ini. Saya hanya ingin bercerita panjang lebar pada seseorang seperti biasanya, lalu berdiskusi memecahkan masalah atau sekadar mencari ide untuk makalah. Agar sakit ini cepat mereda. Sebab semacam waktu saya terbuang percuma. Saya sakit dan tak bisa tidur. Lantas, saya juga tidak bisa menyelesaikan tugas akhir. Semakin menambah sakit rasanya.

Barangkali, harga bahu dan telinga pun sekarang sedang mengikuti harga dolar. Untuk kali ini, saya tak mampu membelinya. Jadi, saya harus tetap bertahan. Pada rasa sakit dan cerita-cerita yang tak bisa lagi diceritakan.

Jumat, 30 Mei 2014

Listrik Sudah Nyala, Nyatanya Aku Masih Memikirkanmu

Hampir tengah malam. Beberapa waktu yang lalu listrik padam, hampir lima jam. Aku takbisa tidur, sama sekali. Kamu pun sangat tahu jika aku takbisa tidur dalam gelap sebab rasanya sedikit sesak. Biasanya, aku hanya tinggal menunggu teleponku berdering tepat ketika aku mengatakan bahwa listrik padam kepadamu. Sayangnya, malam ini aku harus melewatinya sendirian. Namun, takapa. Aku masih bisa mengingatmu dengan baik, tandanya aku masih baik-baik saja.

Maka dari itu, aku pun berpindah-pindah kamar: mencari teman. Namun, tetap saja aku takbisa tidur hingga detik ini, padahal listrik sudah nyala. Barangkali, memikirkan kamu yang membuatku takbisa tidur hingga pukul sekian. Ditambah lagi bau obat kecoa yang menguar memenuhi ruangan. Teman sebelah kamarku takut kecoa, lantas ia seolah berperang dengan kecoa-kecoa yang keluar dari lubang kamar mandi karena efek listrik padam.

Ah, kamu. Apa kabar? Semoga tetap baik-baik saja. Semoga taklupa makan, mandi, dan istirahat. Aku rindu. Sangat. Ah, tapi sudahlah. Lupakan sejenak rinduku ini. Aku hanya ingin meminta maaf. Sungguh-sungguh minta maaf. Aku sama sekali takmembantu, malah menghancurkan hasil kerjamu. Maafkan aku, sekali lagi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, selain mendoakan untuk kebaikanmu. Semoga kamu tetap baik-baik saja, sebaik aku memikirkanmu. Dan, tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu. Namun, untuk kali ini aku takbisa berbuat banyak.

Semoga kamu tetap memaafkanku. Semoga. Barangkali, aku memang terlalu sibuk hingga takada waktu untuk membantumu. Lagi-lagi aku hanya bisa meminta maaf. Namun, sungguh, pada saat itu, aku sudah melakukan hal yang terbaik. Sudahlah. Maafkan aku. Yang sampai saat ini pun belum bisa menjadi orang yang baik, paling tidak untukmu. Maafkan aku untuk yang entah keberapa kali. Maaf untuk segala hal.

Kamis, 29 Mei 2014

Kali ini tentang saya

Menjadi perempuan manusia yang baik itu sedikit butuh usaha, ya? Harus kuat menghadapi banyak hal dan banyak orang. Harus tahan dengan rasa kecewa dan sedih. Entahlah. Ini saya sedang tidak ingin membicarakan gender--apakah perempuan atau laki-laki yang lebih kuat menahan rasa kecewa--anggap saja saya sedang berbicara tentang manusia, atau jika masih terlalu umum, saya sedang membicarakan diri saya sendiri yang diatasnamakan manusia berwujud perempuan.

Baiklah. Sesungguhnya saya bingung harus memulai segala macam rasa ini dari mana. Entah dari mana rasa sedih yang tetiba banyak ini. Saya hanya ingin melakukan segala hal yang terbaik untuk orang-orang yang saya sayangi. Mencoba banyak cara agar mereka bahagia. Namun, terkadang, niatan baik itu tidak berbanding lurus dengan timbal baliknya. Lantas saya kecewa? Barangkali sudah tidak. Barangkali saya juga sudah menuliskan hal yang sama ini berkali-kali. Tapi, saya masih merasakan kesedihan yang sama. Ohh. Mungkin saya hanya belum banyak belajar bagaimana mengatasi rasa ini.

Mungkin benar, bahwa manusia tidak bisa membahagiakan semua orang. Ah, tapi, jika ingin membahagiakan beberapa orang pun saya belum mampu. Mungkin masalahnya ada pada saya. Saya yang terlalu memaksakan agar mereka bahagia. Nyatanya, mungkin sebaliknya. Duh. Jangan-jangan saya sedang membuat beberapa orang berpura-pura bahagia di hadapan saya. Ah, maafkan saya.

Saya tidak tahu harus bagaimana ketika seseorang yang saya sayang mengatakan bahwa dia kecewa dengan saya. Sementara, saya sudah melakukan hal terbaik dari diri saya untuknya. Ohh. Barangkali, terbaik dari saya belum tentu bisa menyamai standarnya. Saya hanya bisa minta maaf, tanpa tahu dimaafkan atau tidak. Lalu, saya tidak tahu harus bagaimana ketika saya ingin mengingatkan seorang teman agar tidak terjebak ke dalam sesuatu yang merugikan, teman saya tersebut malah menyalahkan saya karena menurutnya dia batal mendapat keberuntungan. Saya juga hanya bisa minta maaf. Saya juga tidak tahu harus berbagi dengan siapa lagi. Sesungguhnya, masih banyak hal lain yang membuat saya tidak tahu harus bagaimana. Saya hanya bisa meminta maaf. Berlagak kuat bahwa saya baik-baik saja di depan semua orang.

Begini saja, bagaimana jika kamu sudah melakukan segala hal dan apa pun untuk orang-orang terdekatmu, tetapi orang-orang terdekatmu tidak pernah menganggapmu ada? Lalu, jika kamu mengeluhkan hal ini pada entah siapa, dan entah siapa itu mengatakan bahwa kamu yang terlalu berpikiran aneh-aneh. Apa yang bisa kamu lakukan? Jika saya memang hanya bisa menangis diam-diam. Namun, menangis diam-diam pun, masih dikatakan terlalu sensitif dan aneh. 

Ah, menjadi manusia pun terlalu rumit rupanya, terlebih perempuan seperti saya. Yang menjadi serbasalah. Terlalu perhatian pada orang-orang yang saya sayang juga takut. Tidak perhatian pun saya merasa bersalah. Sebab, sungguh, saya menyayangi mereka. Jika rasa sayang ini pun belum cukup untuk membuat mereka bahagia, saya tidak pernah tahu lagi apa yang bisa saya berikan untuk mereka. Mungkin kebahagiaan tanpa saya.

Selasa, 20 Mei 2014

Dear Kamu,

Barangkali, memang benar apa yang dikatakan oleh seseorang di luar sana, Sayang. Bahwa cinta itu membuat cukup, membuat menerima.

"Pergilah. Kamu pasti akan menemukan lelaki yang jauh lebih baik daripada aku," katamu suatu waktu yang entah berapa kali. Yang entah ke berapa kali juga aku menangis setiap kamu mengatakan kalimat itu. Kamu bilang aku terlalu sensitif. Namun, perempuan mana yang tidak menangis ketika lelakinya menyuruhnya pergi untuk mencari kebahagiaan lain. Sementara, lelaki itulah sumber kebahagiannya.

Ada nyeri yang takterungkap.

Aku takpernah tahu, apa yang sedang ada dalam pikiranku tentangmu. Hanya saja aku mencintaimu. Itu saja. Barangkali, itu cukup bagi seseorang--termasuk aku--untuk memutuskan bertahan. Pada apa pun. Pada setiap apa, mengapa, dan bagaimana. Bertahan untuk tetap ada.
Aku takpernah menunggu lelaki lain--yang katamu akan lebih baik dari kamu--sebab aku mencintaimu. Cinta itu membuat cukup, membuat menerima. Aku takpernah tahu--atau lebih tepatnya takpernah mencari--siapa yang lebih baik. Bagiku, takada lelaki yang lebih baik daripada kamu. Sebab aku mencintaimu. Hanya kamu. Mencintaimu hanya tahu perkara waktu yang sedang dijalani. Bukan kemarin, terlebih besok.
Aku mencintaimu. Jika dengan cinta yang aku gembar-gemborkan ini takcukup, tentu saja, kamu boleh memilih: untuk pergi atau memilih yang lain. Ah, tetapi, tentu saja, kamu boleh bertahan selama kamu mau. Kamu juga masih boleh takpercaya jika aku akan tetap membuka lebar-lebar lenganku untuk menyambut pelukanmu selama apa pun.

Bukankah kita sudah sangat hafal kalimat ini: aku takkeberatan menunggu siapa pun seberapa lama pun, selama aku mencintainya? Aku hanya mencintaimu. Itu saja. Semoga itu cukup untuk membuatmu nyaman, bersamaku.

Senin, 24 Februari 2014

Kepada Kamu. Muara Rindu

Semenjak kepergian itu, aroma tubuhmu--yang sempat kucium sebelum kereta yang membawamu pulang itu berangkat--masih melekat. Dalam ingatan. Padahal, sudah berapa purnama semenjak kepergianmu? Kukira banyak. Hanya saja, kenangan selalu saja membawa pada hal-hal yang seharusnya diingat. Tanpa diminta.

Kepada kamu. Rinduku itu jatuh. Bertumpah ruah dalam ruang tak terbatas. Pun tanpa diminta. Rindu. Yang semenjak bertemu matamu, aku selalu saja kerepotan untuk mengasuhnya. Pun rindu. Yang membuat mataku selalu mencari matamu. Mata bulat itu. Yang tak pernah berhenti membuatku merindu.

Kepada kamu. Rinduku menjadi liar. Yang sebelumnya tak pernah ada. Terbungkus rapi. Kini ke mana-mana. Serupa kopi panas yang tumpah. Menempel. Membuat noda. Susah hilang. Begitulah. Barangkali bisa dikata seperti itu. Ya. Hanya kepada kamu.

Lalu, jarak seringkali dituduh sebagai penghalang rindu. Aku toh setuju saja. Hanya, yang aku tahu. Jarak adalah satu-satunya alasan yang membuat rindu semakin khidmat. Yang aku juga tahu. Apa pun itu. Muara rindu masih sama. Kamu.

Rabu, 12 Februari 2014

Anak Panah, Apa Kabar?

Gambar diambil di sini


Anak Panah, apa kabar?

Ceritanya aku sedang ikut-ikutan menulis surat cinta. Pada bulan yang katanya bulan cinta. Meskipun aku tahu, aku tidak akan sanggup ikut #30HariMenulisSuratCinta. Dan, ini pun bukan surat tentang cinta. Hanya saja aku sedang mencoba mencari tahu tentang kabarmu. Hallo, Anak Panah, apa kabar?

Bagaimana? Adakah sesuatu hal yang lain yang membuatmu enggan menulis surat atau sekadar membalas suratku lagi? Atau mungkin kau tak lagi mengunjungi laman ini karena kesibukanmu, mungkin? Barangkali memang seperti itu.

Aku hanya ingin berterima kasih padamu. Pada anak panah yang pernah kau lepaskan meskipun taktahu arah. Terima kasih sudah menulis untukku. Barangkali aku sudah berterima kasih padamu berkali-kali pada surat yang takpernah lagi kau balas itu. Tapi, takapa. Aku hanya ingin berterima kasih.

Ah, iya, satu lagi. Aku pernah bercerita tentang Lelaki Lampu, bukan? Iya. Lelaki Lampu yang pada saat itu hampir menyita seluruh perhatianku. Yang hampir saja membuatku gila. Ah, ini mungkin berlebihan. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu. Tuhan mendengar doa-doaku untuk Lelaki Lampu itu. Agar aku dan Lelaki Lampu itu dipertemukan dalam aliran waktu yang sama. Ah, kau pun sebenarnya takperlu tahu doa-doaku yang lain. Tapi, terima kasih. Aku bahagia bersama Lelaki Lampu itu. 

Anak Panah, apa kabar?

Aku pun takpernah tahu bagaimana harus berterima kasih padamu. Dan, masih sangat berharap, kau tetap ada di depan lamanku meskipun takharus setiap hari. Terima kasih sudah membaca dan menulis untukku.

Sabtu, 25 Januari 2014

Seharusnya Aku Bertemu Kekasihmu di Stasiun Tugu

Seharusnya aku bertemu kekasihmu di stasiun tugu tempo lalu. Sayangnya, kekasihmu takpernah datang. Hingga dini hari. Hingga kereta fajar yang membawaku pergi. Barangkali kekasihmu takpernah mau bertemu denganku. Atau barangkali gemericik air dari langit sejak senja kemarin berhasil mengurungkan niatannya. Atau kekasihmu sedang sakit. Yang pasti tidak ada kabar dari kekasihmu. Sama sekali. Selain menunggu fajar, aku juga menunggu layar. Layar ponsel hitam putihku berkedip. Berharap dari kekasihmu. Ternyata hanya kamu. Kamu yang berkali-kali menanyakan apakah kekasihmu sudah tiba. Aku yang akhirnya berkali-kali juga membalas pertanyaanmu dengan jawaban yang sama. Barangkali, operator seluler kita juga bosan mengirim pesan yang sama berkali-kali. Tapi, peduli apa. Kekasihmu takpernah datang. Takpernah menemuiku di stasiu  tugu hingga pekat berganti semburat merah, lalu terang.

Seharusnya aku bertemu kekasihmu di stasiun tugu waktu itu. Sebatas mengucap salam. Barangkali sedikit permohonan maaf dan ucapan terima kasih. Sebab, telah menjagamu. Paling tidak, menjaga hatimu. Lalu, menyampaikan pesanmu yang singkat itu. Sebatas selembar kertas. Bertuliskan namamu dan namaku. Dan, dengan kerendahan hati, meminta kekasihmu hadir pada tanggal yang telah ditentukan dalam selembar kertas itu. Ah, kekasihmu cukup baik untuk datang, bukan? Begitulah katamu tempo lalu. Bahwa kekasihmu itu bak malaikat. Lalu, dengan mudahnya kamu membandingkanku dengan kekasihmu itu. Tentu saja, aku manusia.

Seharusnya aku bertemu kekasihmu di stasiun tugu pada senja itu. Tapi, sayangnya, kekasihmu takpernah datang. Tidak akan pernah. Kamu lihat saga yang menggantung di langit itu? Barangkali. Itu kekasihmu yang menjelma. Menjelma isyarat.