Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Rabu, 08 Agustus 2018

Review Suka-Suka: Si Doel Anak Betawi Asli, Kerjaannye Bikin Anak Orang Sakit Hati

Baiklah.

Kita mulai isi blog ini dengan hal-hal yang cukup berfaedah (lagi), setelah banyak-banyak kegalauan nirfaedah yang seharusnya sudah tidak perlu terungkapkan. Setelah banyak-banyak hari terlewati tanpa menulis karena kebanyakan kerjaan yang (diam-diam) menjauhkan diri ini dari kegiatan menulis. Macem hubunganmu sama dia, kan? Yang suka tiba-tiba menjauh tanpa alasan. #halah

Sudah cukup.

Mari mulai saja dengan review film yang semoga saja memberi pandangan lain. Film pertama yang tertonton dalam bulan ini adalah: Si Doel the Movie!

Gambar dari sini.

Seperti biasanya, buanglah ekspektasi apa pun ketika menonton atau membaca sesuatu. Resapi saja. Nikmati. Nanti penilaian akan lebih objektif, paling tidak itu menurut saya.

Film ini dibuka dengan nukilan dialog-dialog dari masa lampau, entah dari Babe Sabeni, Mak Nyak, Mandra. Dan, kutipan tersebut cukup membangunkan kenangan bagi sebagian orang yang pasti sudah hafal betul dialog-dialog dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan atau Si Doel Anak Betawi. Babe Sabeni, yang menurut saya adalah tokoh sentral dalam rangkaian sinetron ini, dihadirkan kembali melalui dialognya. Tak banyak, tapi cukup membuatnya ada.

Lalu, film berjalan dengan menampilkan Mandra dan Doel yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke Belanda. Tak terelakkan, banyolan-banyolan khas Mandra dan Atun menjadi bumbu penyedap yang sangat pas, macem mecin dalam Indomie yang takpernah gagal bikin enak.

Tidak dapat dimungkiri pula, Mandra (dan Atun) menjadi primadona dalam film ini. Celetukannya mampu membuat seisi bioskop terkekeh, tanpa terkecuali. Kisah cinta menye-menye barangkali terselamatkan oleh kedua orang ini meskipun banyak candaan yang bodyshaming, yang mungkin dulu terdengar sangat lucu, tapi sekarang BIG NO!

Namun, kisah yang sedang ditonjolkan dalam Si Doel the Movie ini adalah (tentu saja) kisah cinta segitiga antara Doel, Sarah, dan Zaenab. Kisah cinta Atun dan Mas Karyo--yang di sinetronnya menjadi cerita tersendiri--juga tidak dibahas. Terlebih kisah cinta Mandra--yang sampai 14 tahun berlalu, ia tak juga menikah, tak sempat disinggung sama sekali.

Dulu, saya ingat sekali, ketika menonton sinetronnya, saya selalu mengganti channel ketika cerita sudah mulai memperlihatkan kegalauan Doel--Sarah--Zaenab. Saya hanya suka menonton kisah-kisah tokoh sampingan yang guyonannya lucu, segar, dan sangat menghibur.

Hanya saja, ketika menonton ini, saya tidak bisa mengganti channel. Mau tak mau, saya harus juga mengikuti bagaimana kerumitan cinta segitiga yang sesungguhnya tak perlu terjadi jika Si Doel berlaku tegas. Ketidaktegasan itu lalu tergambar dalam wajah Doel-Sarah-Zaenab yang cemas sepanjang film.

Tentang Sarah yang dialognya kaku dan puitis? Banyak yang protes tentang hal ini. Tapi coba bayangkan, seorang perempuan bertemu kembali dengan laki-laki yang masih sangat dicintainya setelah terpisah (dengan tidak baik-baik) selama 14 tahun? Tidak semua perempuan bisa bersikap wajar dalam situasi seperti itu. Dalam hal ini, coba bandingkan percakapan Sarah dan Mandra atau Sarah dan Hans, yang terdengar lebih luwes.

Tentang Zaenab yang juga sangat mencintai Doel meskipun ia sangat tahu bahwa hati Doel hanya untuk Sarah? Mungkin banyak juga yang kesal, yang berpikir bahwa Zaenab bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik daripada Doel. Sementara, Zaenab tetap memilih mendampingi Doel. Terlihat menyebalkan memang, namun relasi seperti ini sangat (di)wajar(kan) terjadi: Si Doel butuh istri yang bisa ngurusin dia dan Mak Nyak, gak cinta-cinta amat ama si bini juga kagak ape-ape. Terbukti, Doel dan Zaenab hanya menikah siri. Posisi Zaenab sama sekali tidak aman. Ia bisa saja terdepak dari kehidupan Doel jika Sarah kembali dan Mak Nyak tidak ada, misalnya. Karena satu-satunya orang yang mempertahankan Zaenab ada dalam hidup Si Doel adalah Mak Nyak.

Dan, Doel, lelaki yang dulu mati-matian disekolahin sama Babe agar jadi gubernur sekali-kali, dari puluhan tahun yang lalu masih saja terjebak dalam dua perempuan. Ia bekerja menjadi teknisi lepas, yang kadang ada panggilan, kadang tidak. Selama puluhan tahun itu, ia pun tidak (mampu) membangun dan berpindah ke rumahnya sendiri--terlepas dari film ini ingin menghadirkan suasana rumah masa lalu--karena ia masih saja tinggal di rumah Babe dan Nyak-nya. Tidak ada perkembangan secara materiil yang nyata dalam diri Si Doel, kecuali handphone yang bisa buat whatsapp-an. Mungkin, film ini memang ingin menghadirkan sosok Doel yang lugu dan sederhana. Dan, keluguan itu pulalah yang sekarang bikin gemesh karena kesal, sedangkan dulu nontonnya lempeng-lempeng aja.

Dia juga masih tidak pernah tahu, hatinya untuk siapa. Antara cinta pada Sarah atau sayang pada Zaenab. Menurut saya yaa, ia sama sekali tidak pernah ada usaha untuk memperjuangkan atau minimal mempertahankan cinta. Selempeng itu ia berlaku pada Sarah, terlebih Zaenab.

Contohnya, ia tidak pernah ada usaha untuk mencari Sarah selama 14 tahun dengan alasan tidak tahu harus mencari Sarah ke mana dan tidak punya cukup uang untuk menyusul Sarah, sedangkan ia tahu, Sarah sedang mengandung anaknya ketika pergi. Meskipun, di atas hitam dan putih, ia tidak pernah menceraikan Sarah. Cem manalah enaknya digantung gitu? Lalu, ia malah nikah siri dengan Zaenab. Oh, men, bagaimana perasaan Sarah? Lalu, bagaimana perasaan Zaenab yang tetiba dituduh pelakor

Sebab, Doel semacam terjebak dalam pikiran-pikirannya yang belum terjadi. Perasaan "tidak pantas" untuk Sarah masih terus menghantuinya. Sementara Sarah tidak pernah menuntut untuk itu. Ia hanya ingin Doel ada dan hadir dalam kehidupannya, tanpa ada Zaenab. Sedangkan, ia pun tidak bisa memberikan kejelasan status pada Zaenab.

Dan, Doel tetaplah Doel, yang takpernah bisa mengambil keputusan tegas, bahkan hingga film selesai. Jadi, bersiaplah, yang kemarin sempat ribut #timsarah atau #timzaenab pasti akan langsung berpindah pada #timmandra atau #timatun karena macem tidak ada gunanya membela salah satu dari mereka karena mereka sesungguhnya menikmati terjebak dalam cinta segitiga macem itu. Lah, kok, emosi. Sabar, Mbak, sabar!

Jadi gini, hal itu sebenernya bisa dijelaskan secara logika. Cinta Sarah dan Zaenab tidak akan tetap sebesar itu tanpa ada pesaingnya. Sarah membutuhkan Zaenab agar tetap mencintai Doel dengan menggebu, begitu pula Zaenab. Ia tidak akan tetap setia pada Doel tanpa adanya Sarah. Mereka membutuhkan rival agar merasa menang, agar merasa lebih baik dari perempuan lain. Dan, perasaan itu ada pada dua perempuan itu. Barangkali, mereka bersaing sudah tidak murni lagi untuk mendapatkan Doel, tetapi lebih kepada pemenuhan self-esteem dengan cara sama-sama berlaku (sok) ikhlas agar Doel melepaskan dirinya, lalu kembali pada rivalnya. Mereka tahu kelemahan Doel yang tidak pernah bisa memilih. Jadi, mereka merasa lebih aman berlaku demikian daripada meminta Doel tetap tinggal bersamanya.

Sementara Doel? Dalam hal ini, perasaan tidak ingin kehilangan fans sudah terpupuk rapi dalam lubuk hati Doel yang paling dalam. Ia pada dasarnya tidak ingin kehilangan keduanya, tapi juga tidak ingin terlihat menginginkan keduanya. Ia akan membuat batas dalam dirinya untuk melihat siapa yang paling gigih memperjuangkannya dan ia membiarkan seleksi alam yang menyingkirkan salah satunya. Tapi itu tidak pernah terjadi sebelum luar angkasa mulai dihuni manusia.

Terkesan jahat? Oh, tidak. Cara Doel sangat halus sehingga dua perempuan cantik itu masih sangat tergila-gila padanya. Come on, tanyain gih, dia pakai susuk apa? Wk.

Well, tapi dari awal sampai akhir, sih, film ini cukup terekomendasikan untuk ditonton dan cukup menguras emosi juga, terlepas dari beberapa detail yang terlewat, misalnya tas-tas barang bawaan Bang Mandra yang pas berangkat banyak banget, eh, pas sampai Belanda tinggal koper dan kardus. Atau baju Zaenab yang tetiba ganti pas lagi duduk di oplet, padahal ga sampai 10 detik. Dan, mengenai kebudayaan Betawi yang ingin dihadirkan melalui dialog, tapi kesannya lagi baca paparan Teori Kebudayaan.

Terlepas dari itu semua, bolehlah kasih 8 out of 10 untuk film ini karena sudah bikin saya tak berasa nontonnya karena tetiba sudah selesai dan juga nangis dalam bioskop pas adegan Sarah ketemu Doel, Zaenab membayangkan Sarah ketemu Doel, dan satu lagi, ketika Doel Jr. memeluk Doel di Bandara Schiphol. Saya kalau jadi anaknya cukup sakit hati juga sih sama Doel. Tapi, yaudahlah, ya. Hubungan anak dan bapak untuk kali ini masih dimaafkan. 

Jadi, saya #timsarah atau #timzaenab? Saya #timmakanindomiepakaiboncabe ajalah yaaa ....

#SiDoelTheMovie #ReviewDoelTheMovie #Fitriview