Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 02 November 2019

Tanpamu

sumber di sini!

Aku pernah berdoa suatu kali pada Tuhan: memohon agar aku sekali saja sempat dipertemukanmu kembali setelah malam-malam sepiku tanpa kamu. Pada saat itu, aku hanya rindu tentang banyak hal tentangmu. Namun, hidup harus tetap berjalan, bukan? Dengan atau tanpa kamu.

Aku mengobati lukaku sendiri, tanpa mencari orang lain sebagai pengering luka-luka yang diam-diam kamu tanam. Aku melakukannya seorang diri. Mencintai diri pun kulakukan berkali-kali lipat agar aku tak mudah terluka, agar panah dari orang tak mudah tertancap dalam. Aku belajar banyak darimu: mencintaimu yang terlalu, membuatku tak kebal peluru.

Hingga akhirnya, aku menyadari satu hal: hidupku ternyata jauh lebih baik tanpa kamu. Tangis berhari-hari untukmu kuanggap sebagai peluruh rindu. Hingga akhirnya, aku pun lupa pada doaku pada Tuhan yang terlalu itu: bertemu kamu. Kukira sudah tidak perlu lagi kamu hadir dalam hidupku. 

Aku tetap bahagia melihatmu bersamanya, tanpa syarat dan embel-embel. Hanya saja memang, setelah kamu, hidupku jauh berubah. Aku tak lagi bisa menaruh hati sembarangan, aku setakut itu untuk terluka kembali. 

Hanya saja, Tuhan memang suka bercanda, ya?

"Hei, apa kabar?" Ada suara yang bagiku sangat tidak asing. Aku mendongak. Kamu. Berdiri di depanku secara tiba-tiba. Untuk pertama kalinya, setelah kepergianmu yang tiba-tiba itu.

Pertemuan ini, sudah kuperhitungkan sebab aku melihat nama panjangmu di daftar peserta seminar yang juga kuikuti.

Aku hanya tersenyum, lalu menjawab baik dengan tersenyum lebar. Padahal, ingin sekali aku menjawab, "I'm totally fine. My life is running better without you!"

Aku tak ingin bercakap lebih lanjut. Itu saja.

"Duluan, ya!" Aku melambaikan tangan, gesture tubuhmu seolah menahan. Aku harus menyelesaikan sesuatu di tempat lain. Dan, memang, aku tak ingin terlibat apa-apa lagi denganmu, termasuk hanya menanyakan "Sedang sibuk apa sekarang?"

Bagaimanapun, aku harus berterima kasih padamu. Tanpamu, aku tidak tahu caranya mengobati luka yang begitu menyakitkan seorang diri.

Jumat, 09 Agustus 2019

Setelah Kamu



Kamu apa kabar?
Kalimat aku bahagia melihatmu bahagia masih berlaku untukmu sampai saat ini. Jangan khawatir. Aku tidak akan menarik perkataanku, dalam sedih maupun bahagia.

Aku tahu tanpa kamu cerita. Kamu sudah menemukan kebahagiaanmu, bukan? Lama. Sudah lama sekali. Terlihat lengkap sekali kebahagiaanmu. Tentu saja, tanpa ada aku di dalamnya. Tidak masalah.

Lalu, aku bagaimana?
Tentu saja bukan kamu yang bertanya atas pertanyaan itu. Aku saja yang sedang mempertanyakan diriku sendiri.

Jika mungkin kau sempat memikirkanku, kubilang, tidak perlu terlalu mencemaskanku. Aku sudah sangat andal dalam menyembunyikan segala sesuatunya, termasuk kecemasan-kecemasan yang mulai menghantuiku. Aku masih bisa terbahak di antara banyak-banyak orang. Jangan sedih.

Kegiatan sehari-hariku masih seperti biasanya. Pagi mengajar hingga sore, kadang diselingi dengan menulis dan meneliti. Lalu sore menjelang malam, aku pulang. Dan, malam-malam sepi akan berulang setiap harinya.

Setelah kamu, hampir tidak ada lagi malam-malam yang berlalu begitu cepat. Semuanya melambat dan menyepi. Aku tak lagi bisa bercerita panjang-panjang pada seseorang lainnya. Aku tak lagi punya kepercayaan diri untuk menemukan rumah. Sebab, kamu yang kukira rumah saja, ternyata hanya singgah. Ternyata aku hanya sewa dari tubuh perempuan yang memintamu pulang.

Kamu pernah memintaku jangan pergi, nyatanya kamu yang pergi. Jauh, jauh sekali.

Sudah berapa lama dari terakhir kita berbicara? Mungkin empat, mungkin lima tahun yang lalu. Apa kamu juga masih mengingatnya? Kukira tidak. Dan memang tidak perlu.

Aku tetiba saja mengingatmu. Sebab, aku sedang rindu pulang. Terakhir kali aku merasa punya rumah adalah kamu. Sedang sekarang yang kukira rumah itu ternyata milik perempuan lain.

Tenang saja, aku sama sekali tidak ada niatan untuk menjadikanmu rumahku lagi. Aku hanya sedang membenci diriku sendiri yang tidak juga percaya bahwa rumah bukan hanya utopia.

Setelah kamu, perihal hati ini memang jauh lebih rumit.

Untuk K.

Depok, 9 Agustus 2019