Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 24 Januari 2012

Setelah Semester 5

Setiap semester selalu memiliki cerita. Ada banyak hal yang terjadi dan tetiba berubah. Seperti kali ini. Semester lima telah berakhir. Benar-benar berakhir. Nilai-nilai saya sudah keluar. Dan baru saja saya membayar BOP untuk semester enam. Tapi, takada salahnya saya sedikit bercerita tentang semester lima saya.

Saya senang berada di semester ini. Mata kuliah yang menyenangkan. Dan dengan dosen-dosen yang menyenangkan pula. Jujur saja, saya sedikit trauma dengan IP saya yang terjun bebas pada semester empat kemarin. Ah, tapi ada untungnya juga. Ini membuat target IP saya pada semester lima adalah 4.00! Sedikit agak gila memang. Sudahlah. Saya memang suka segala sesuatunya berjalan seperti yang saya inginkan meskipun pada kenyataannya, tidak semua keinginan saya tercapai. Kecewa? Pasti. Setiap orang berhak kecewa. Tapi, saya tidak akan memelihara rasa kecewa saya. Masih banyak tempat sampah. Tinggal membuangnya, lalu menggantinya dengan harapan yang baru. Selesai.

Saya mengambil tujuh mata kuliah pada semester ini: Bahasa Isyarat, Gender dalam Sastra, Pengantar Dialektologi, Semantik dan Pragmatik, Leksikologi dan Leksikografi, Sastra Populer, serta Pengantar Metodologi Penelitian Kebudayaan. Entah kenapa. Saya suka semua mata kuliah tersebut. Saya memilih semua mata kuliah wajib linguistik dan sastra. Sebab, saya masih bingung memilih antara peminatan sastra atau linguistik. Haha

Baiklah. Semester ini, saya tidak hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang. Ada banyak kepanitiaan yang hampir membuat saya gila dan sedikit pesimis dengan nilai kuliah saya. Semester ini dimulai pada pertengahan bulan September. Di awal masuk, saya sudah diribetkan dengan pengurusan surat-surat Simposium Nasional Bahasa Indonesia, menghubungi calon peserta, mempersiapkan transportasi, menyewa kamar, dan rapat sana-rapat sini.

Selain itu, pada bulan Oktober awal, saya sudah sedikit sibuk mengurus keperluan final Lomba Esai Olimpiade Ilmiah Mahasiswa Universitas Indonesia (OIM-UI). Kebetulan, saya dipercaya buat jadi PJ lomba esai. Acara ini cukup membuat saya membolos tiga mata kuliah sekaligus. Ah, membolos adalah hal yang sangat jarang saya lakukan.

Hal yang paling menyita perhatian saya adalah acara Simposium Nasional Bahasa Indonesia. Mungkin, bagi orang lain, menangani acara ini terkesan biasa saja, tapi bagi saya, ini adalah sebuah kepercayaan besar. Acara ini berhasil membuat saya bolos kuliah seminggu penuh.

Setelah Oktober berlalu, saya kira, saya akan bisa mempelajari teori kuliah yang sedikit terbengkalai. Ternyata tidak! Saya harus mengajar. Mengejar rupiah. Tabungan saya mulai menipis gara-gara bulan Oktober saya tidak bisa mengajar sama sekali. Dan tidak mungkin saya minta kiriman orang tua. Saya sudah berniat untuk hidup mandiri. Apa pun yang terjadi. Haha. Ini terlalu berlebihan. Biasanya, jika mengajar, saya baru sampai rumah sekitar pukul 10 malam. Sangat bisa ditebak. Sesampai di rumah, saya langsung tertidur. Tanpa sempat membaca materi kuliah tadi pagi atau mempersiapkan kuliah besok pagi. Keadaan ini diperparah dengan dipercayanya saya menjadi koordinator siswa privat. Terjadilah ketidakkonsentrasian saya di dalam kelas karena sms yang menanyakan jadwal atau konfirmasi jadwal. Haha

Kepanitiaan saya belum berakhir. Bulan November, Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) tercinta bekerja sama dengan Faber Castell untuk mengadakan Talkshow “Kreatif Menulis, Rezeki Tak Akan Habis” bersama Raditya Dika. Dan saya sebagai Sekretaris Umumnya yang merangkap sebagai Kestari! Oh No! Surat lagi. Lagi-lagi surat. Saya harus ke sana ke mari (seolah lagu Ayu Ting Ting #halah) meminta tanda tangan orang-orang penting itu—yang namanya selalu berada di surat. Dan sedikit berhasil membuat saya gontok-gontokan atau merayu-rayu agar surat tersebut segera disetujui. Acara ini berhasil membuat saya membolos satu mata kuliah.

Ya. Sebelum acara tayang bincang tersebut, saya juga harus mempersiapkan presentasi esai saya dalam final UI untuk Bangsa. Meskipun belum menang, saya senang esai saya sempat masuk final. Saya membuat esai tersebut dalam semalam. Dan akhirnya lolos. Terima kasih.

Setelah semua kepanitiaan tersebut, saya bisa sedikit lega. Tapi, itu tidak bertahan lama. Rapat buat amandemen AD/ART IKSI FIB UI dan Laporan Pertanggungjawaban Kelompok Diskusi Ilmiah Program Studi Indonesia menunggu dijamah. Benar-benar memakan waktu di antara tugas UAS yang mulai menggempur. Sementara, saya masih harus mengajar!

Namun, kepanitiaan dan organisasi tetap saja masih nomor ke-13 dibandingkan dengan mengerjakan tugas kuliah. Semester ini benar-benar menyenangkan dan menguras energi.

Mata kuliah Pengantar Dialektologi mewajibkan saya turun lapangan untuk penelitian langsung. Perjalanannya sudah pernah saya ceritakan di ruang ini. Hasilnya, saya dan tujuh orang lainnya harus membuat makalah interpretasi dari data penelitian. Baiklah. Makalah tersebut setebal 350 halaman. Wow! Cukup membuat saya menarik napas panjang. Tapi saya senang. Ada kebersamaan yang takbisa ditukar dengan apa pun. Ada cerita ketika saya dan teman-teman lainnya harus lembur di kosan Rizma. Ada tawa. Tensi emosi yang sedikit naik. Atau sekadar bayar upeti bagi yang telat datang.

Saya harus membuat kamus istilah dalam mata kuliah Leksikologi dan Leksikografi. Sudah saya jelaskan juga di ruang ini. Akhirnya saya memilih membuat Kamus Istilah Mistik Indonesia. Sementara itu, betapa menyenangkannya kuliah Bahasa Isyarat juga sudah sering saya ceritakan di sini.

Untuk mata kuliah Gender dalam Sastra, Pengantar Metodologi Penelitian Kebudayaan, Semantik dan Pragmatik, serta Sastra Populer, saya hanya harus membuat makalah “normal” untuk tugas akhirnya. haha

Akhirnya. Semester 5 berakhir juga. Selesai dengan ceritanya. Dan kelak akan menjadi kenangan. Manis. Oh iya, target IP 4.00 saya belum tercapai. Mungkin lain kali. Tapi, Tuhan masih mendengar doa saya. IP saya tidak jauh-jauh dari 4.00. haha. Beruntung. Nilai B+ dan ke bawah tidak berani muncul dalam riwayat nilai saya. Tentu saja, naik dari semester kemarin. Ah, ini bukan pamer.

Selamat datang semester 6. (Semoga) menjadi semester terakhir sebelum saya skripsi. Saya masih berharap. IP 4.00 mau mampir ke saya dalam semester ini. Semoga. Semoga.

Rabu, 18 Januari 2012

Tentang Perempuan

"Si A hamil." suara mama saya di seberang sana. A adalah teman SD saya. Cukup akrab. Saya kaget. Sedikit tidak menyangka. A anak yang cukup pendiam. Tentu saja, dia hamil di luar nikah sehingga membuat saya keheranan.
Ini negeri timur. Masih sangat menganggap tabu perempuan yang hamil sebelum pernikahan.
Entahlah. Saya tidak mengerti apa yang dilakukan A. Saya tidak menyalahkan siapa pun jika perbuatannya atas dasar suka sama suka. Sudahlah. Pernyataan ini terbebas dari agama mana pun. Saya tidak berniat melawan agama apa pun.
Saya menyayangkan kejadian ini. Kali ini teman saya. Kemarin, sepupu saya. Saya hanya bisa menghela napas panjang. Mereka perempuan. Saya perempuan. Saya tidak mempermasalahkan jika mereka hamil lalu menikah dan hidup berbahagia. Tapi, sayangnya, cerita negeri dongeng seperti itu memang hanya ada di dalam negeri dongeng. Faktanya, mereka tersisih. Laki-lakinya pergi entah ke mana. Melepas tanggung jawab begitu saja. Sungguh. Saya selalu sakit hati dengan cerita seperti ini. Ingin rasanya mengejar "pacar-pacar" mereka untuk meminta pertanggungjawaban. Atau jika perlu memakinya.
(Lagi-lagi) perempuan. Teman dan sepupu saya (bisa-bisanya) masih membela "pacar-pacar" mereka. Yang dipersalahkan memang perempuan. Yang menanggung beban juga perempuan.
Entahlah. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh teman dan sepupu saya ketika menyerahkan keperawanannya begitu saja pada lelaki yang belum tentu bertanggung jawab padanya. Mungkin, termakan rayuan. Mungkin, memang takbisa menahan nafsu. Atau mungkin, larut dalam suasana. Saya tidak habis pikir.
Baiklah. Pemikiran setiap orang memang berbeda. Saya terbiasa menghadapi sesuatu dengan logika saya. Bukan dengan perasaan! Bahkan, untuk sekadar urusan jatuh cinta. Saya menimbang baik-buruk dalam setiap langkah yang saya lakukan. Mungkin, saya terlalu ekstrem menjadi perempuan. Biarlah.
Ah, sudahlah. Saya hanya mengingatkan.

Minggu, 08 Januari 2012

Pulang

Setelah selesai urusan di kota ini. Aku selalu bergegas pulang. Berkemas. Lantas pergi ke terminal atau stasiun cepat-cepat. Sebab, pulang selalu membawa cerita. Perjalanan panjang di dalam kereta atau bus membuatku selalu rindu untuk kembali. Aku takpernah memasang headset untuk mendengarkan musik atau sekadar menutup telinga. Sebab, aku takkan pernah mendengarkan apa pun jika telingaku penuh. Padahal, kereta selalu membuat cerita sendiri. Ada cerita di setiap perjalanan. Ada obrolan yang kadang membuatku terpingkal atau tertusuk. Banyak hal ketika pulang dan perjalanan.

Aku pulang. Ke rumah. Ke tempat yang memberiku rasa hangat. Ya. Tak lama sebab aku harus kembali “pulang” ke rumah yang lain.

“Ah, gue males pulang. Ngapain pulang. Di rumah gak ada kerjaan!”

Aku teringat kalimat yang terlontar dari temanku itu. Pulang itu ke tempat yang memberi rasa hangat. Bukan kembali pada bangunannya. Tapi pada “rumah”nya.

“Berarti itu bukan rumah lo kalau sampai males pulang!”

Aku menjawab sekenanya. Mungkin, dia marah. Lantas dia terdiam. Ya. Rumah takkan pernah memberi rasa malas untuk ditinggali, bukan ditinggalkan.

Ngapaian pulang? Banyak yang menanyakan itu. Banyak hal! Sekadar memastikan bahwa semuanya baik-baik saja juga menjadi salah satu alasan. Mencium pipi dan tangan serta memeluk orang-orang yang di “rumah” adalah hal yang takbisa dilakukan oleh dunia virtual. Maka, aku harus pulang. Ke rumah. Ke tempat yang memberiku rasa hangat.

Mendengar tawa, bercerita banyak, atau hanya sekadar menanyakan kabar. Itu semua bisa dilakukan ketika pulang. Meski bisa dilakukan oleh teknologi, rasanya akan jauh lebih hangat ketika pulang.

Ah, yang terpenting. Aku bisa membuang rindu dari mereka. Pada orang-orang yang tulus mencintai. Yang setiap saat membuka pintu rumahnya untukku. Menyambut gembira kepulanganku.

Tapi, pulang selalu saja melalui proses panjang. Ada banyak pertimbangan. Sudah pernah kukatakan, di kota ini, aku (selalu) terlalu sibuk pergi. Hingga, terlalu lupa pada pulang. Ya. Aku tidak akan merasakan pulang, sebelum pernah pergi. Terlalu lama pergi, kadang juga membuatku lupa untuk pulang.

Semoga. Urusanku kali ini cepat selesai. Sebab. Sudah terlalu lama aku tidak pulang. Bahkan, sekadar bertanya kabar mereka pun taksempat.

Kamis, 05 Januari 2012

Akhirnya, Kamus Istilah Mistik Saya Selesai!



Itu kamus saya! Bukan. Kamus kami! Saya, Inung, Rizma, dan Suci. Empat orang gila yang tiba-tiba tercetus ide gila untuk membuat Kamus Istilah Mistik di mata kuliah Leksikologi dan Leksikografi.
Kelompok lain membuat kamus yang bombastis. Kamus Keperawatan, Astronomi, Kecantikan, atau Kriminal. Ah, sungguh. Saya tak paham atas materi-materi itu. Akhirnya, saya kegirangan ketika Inung mencetuskan ide ini. Saya menyambut dengan tarian hujan. Ah, tidak. Ini terlalu berlebihan.
Jujur saja, saya akrab dengan hal-hal seperti ini. Meskipun tidak mengalaminya secara langsung, tapi saya tumbuh dan besar di lingkungan yang masih percaya dengan adanya kekuatan "lain" di kehidupan ini.
Yang pasti. Selama satu semester ini. Saya dan ketiga teman saya itu akrab dengan hal-hal mistik. Seperti seorang cenayang. Ke mana-mana membawa primbon dan majalah Misteri. Itu menyenangkan. Melihat tatapan aneh orang-orang di sekitar yang melihat kami. Kami hanya cekikikan. Ada banyak cerita dan khayalan konyol selama masa pengerjaan kamus ini. Ada banyak bantuan yang terasa ganjil. Semoga saja lema dalam kamus ini tidak bertambah dan berkurang dengan sendirinya atau tanpa diketahui oleh pemilik kamus! #Ini(sok)serem
Akhirnya, hari ini, kamus itu lahir. Keluar dari masa tapanya. Kami menamainya: Kamus Istilah Mistik Indonesia
Saya bahagia. Mungkin, lebih bahagia daripada kuntilanak yang melahirkan. #SumpahIniNgaco
Ya ya ya. Kamus itu dikumpulkan pada dosen saya besok. Dan lucunya, kami tidak memiliki kopiannya yang sudah rapi. Hanya file-file berserakan di dalam komputer jinjing masing-masing. Haha
Sudahlah. Saya akan menghentikan racauan ini dengan satu doa: SEMOGA ADA PENERBIT YANG BERBAIK HATI (dan sedikit mistis) YANG MAU MENERBITKAN KAMUS ISTILAH MISTIK INDONESIA INI!
Semoga.
Semoga.

Alasan Mengapa Saya Ingin Menjadi Editor!

“Mau makan apa kamu kalau kerja kayak gitu!” komentar ayah saya ketika saya ditanya cita-cita saya—yang saat itu saya jawab: editor!—Saya hanya tersenyum. Mencoba menjelaskan. Tidak mudah. Dalam pikiran ayah saya, pekerjaan adalah dokter, dosen, polisi, akuntan, pengacara, hakim, atau apa pun yang memakai seragam. Saya tidak menyalahkan ayah saya. Hanya saja, saya berkewajiban untuk memberi pandangan baru tentang pekerjaan!

Saya tahu ada sosok bernama “editor” ketika saya berada di bangku SMP kelas 1. Ada sebuah artikel—entah siapa penulisnya—yang terselip di antara jejalan artikel lain dalam buku paket pelajaran Bahasa Indonesia. Artikel yang menjelaskan bahwa editor adalah pekerjaan yang masih belum banyak orang yang tahu. Masih sering tidak dianggap keberadaannya, padahal memiliki peran penting dalam proses penerbitan buku. Sering dimaki penulis. Atau entahlah. Saya lupa apa lagi.

Saya membacanya berkali-kali. Diam-diam saya mengagumi pekerjaan ini. Ada sedikit keinginan untuk menjadi editor di saat teman-teman saya yang lain (mungkin) masih setia dengan cita-cita masa kecilnya: dokter, guru, pilot, atau bahkan superman. Namun, saya masih belum yakin pada keinginan saya tersebut. Saya belum mendapat gambaran: bagaimana kerja saya nanti atau bagaimana saya meyakinkan orang-orang dengan cita-cita saya ini. Entahlah. Mimpi itu sempat hilang.

Ketika masuk SMA, jujur saja, saya sempat melupakan cita-cita saya untuk menjadi editor—meskipun tidak sepenuhnya. Saya dituntut oleh ayah saya untuk masuk jurusan yang beliau inginkan. Harus belajar mati-matian untuk mendapat nilai sempurna dalam pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, dan Matematika. Sungguh. Saya muak dengan semua itu. Bagaimana mungkin elang dituntut mahir berenang atau kelinci dipaksa menjadi ahli terbang! Sayangnya, saya tidak berani mengecewakan ayah saya.

Ah, (lagi-lagi) Tuhan memang selalu baik. Untung saja, ayah saya tidak sampai hati melarang saya pergi ke acara bookfair atau bedah buku atau diskusi kepenulisan. Setiap kali ada acara seperti itu, saya selalu berusaha mengikutinya. Karena, di sekolah, saya tidak mendapatkan kesenangan. Sama sekali.

Dalam suatu kesempatan diskusi kepenulisan—saya lupa temanya—saya beruntung bisa bertemu dengan Windy Ariestanty, editor penerbit Gagas Media. Sungguh. Seperti bertemu dengan malaikat penunjuk jalan. Selama ini, saya hanya menerka-nerka bentuk editor itu seperti apa. Kali itu, saya bisa mendengarkan beliau berbicara. Menjawab pertanyaan saya. Membagi ilmu. Membagi kebahagiaan. Membagi mimpi dan semangat. Membuat mimpi saya yang sempat tertumpuk hal lain kembali muncul. Untuk beberapa saat, saya seperti berada di negeri dongeng. Tuhan memang senang mempertemukan orang-orang yang berjodoh! Pada saat itu, saya masih tinggal di kota kecil, masih SMA kelas XI, culun, lugu, dan norak. Ini mungkin hal yang biasa untuk orang lain, tapi bagi saya, ini adalah jawaban dari Tuhan atas doa saya. Mengagumkan. Kalau boleh dirunut, kejadian satu hari itu boleh dikatakan mengubah cita-cita (ayah) saya. Yang selama itu saya jalani dengan penuh kepura-puraan.

Mbak Windy, ya, anggap saja beliau mau saya panggil begitu! Orang yang bisa membuat saya berani jujur pada ayah saya bahwa saya tidak mau menjadi dokter. Jujur pada diri sendiri bahwa sudah seharusnya saya mengikuti passion saya. Bukan membohongi diri sendiri untuk menyenangkan orang lain. Mbak Windy jugalah orang yang membuat nyata editor bayangan saya. Membuat saya yakin bahwa pekerjaan editor buku benar-benar ada, tidak hanya di artikel yang saya baca.

“Saya mau menjadi editor, seperti Mbak Windy!” ketika ayah saya bertanya lagi saya mau kuliah di jurusan apa.

Ada cerita panjang setelah keberanian saya jujur itu. Ada penolakan keras dari ayah saya. Ada pembelaan dari ibu saya. Ada tangis saya. Ada adu pendapat. Ada pertahanan argumen. Tidak mudah meyakinkan ayah saya dengan pilihan saya. Perjalanan meyakinkan itu tidak sebentar dan sedikit melelahkan. Hampir saja saya menyerah dan larut dalam mimpi (ayah) saya. Dan sudah berniat menjalaninya dengan setengah hati. Tapi, Tuhan tak pernah membiarkan itu terjadi. Tidak tahu. Angin apa. Mungkin kegigihan saya. Mungkin kebaikan Tuhan. Ayah saya memberi kesempatan pada saya untuk mewujudkan keinginan saya. Terima kasih Tuhan! Ah, saya juga harus berterima kasih pada ayah, ibu, dan (tentu saja) Mbak Windy. Akhirnya, saya berani untuk menentukan jalan saya meski harus dengan cerita panjang. Tapi, cerita panjang itulah yang akan terangkai menjadi remah kenangan.

Saya sempat saling berkirim email dengan Mbak Windy. Dengan baik hatinya, Mbak Windy menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang tidak penting. Saya tahu. Mbak Windy super sibuk, tapi beliau masih menyempatkan diri membalas surat bocah ingusan seperti saya. Email-email balasan dari Mbak Windy masih saya simpan rapi di kotak masuk saya. Masih sering saya buka. Sekadar mengingat kebaikannya.

Beberapa bulan yang lalu, saya mengirim email lagi padanya. Mengucapkan terima kasih. Sedikit bercerita. Saya tahu. Mbak Windy akan membalasnya. Benar saja. Sehari setelah email saya terkirim, saya menerima balasan darinya.

Ah, seharusnya saya yang menangis, Mbak. Bukan Mbak! Ada banyak hal yang Mbak berikan pada saya. Pada cita-cita saya. Pada hidup saya. Terima kasih. Terima kasih. Saya tidak tahu frase apa lagi yang patut saya sampaikan pada Mbak, selain terima kasih. Saya tahu. Cerita saya hanya bagian kecil di antara cerita-cerita lain yang jauh lebih istimewa.

Ya. Kemarin baru saja membaca buku Mbak yang terbaru, Life Traveler, saya membaca satu kalimat: “Profesi yang saya jalani terkesan absurd dan mungkin tak pernah dicita-citakan dengan penuh kesadaran oleh seseorang”. Saya mungkin bukan seseorang itu, Mbak, karena saya menginginkan menjadi seorang editor dengan penuh kesadaran. Hehe

Pada akhirnya, saya tahu. Tuhan merangkai cerita saya dan “editor” dengan indah. Saya akhirnya berada juga di kota yang katanya metropolitan ini—meski harus ada tangis untuk memperjuangkannya di hadapan ayah saya. Menjalani kehidupan saya seperti apa yang saya impikan. Melakukan apa yang saya cintai, dan mencintai apa yang saya lakukan. Sungguh. Tidak ada yang lebih indah dari itu! Di sini, saya merasa, Tuhan semakin mendekatkan saya dengan cita-cita saya. Ya. Terima kasih.

Untuk saat ini, saya memang belum resmi bekerja di sebuah penerbitan sebagai editor. Hanya saja, saya senang membantu menyunting tulisan teman-teman saya. Ucapan terima kasih dari mereka adalah kekuatan saya untuk mempertahankan mimpi saya: menjadi editor!