Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Rabu, 05 Desember 2012

pada minggu ketiga, aku melupa ingatan

[1]
ini minggu ketiga, aku meracik tubuhku searoma tubuhnya. agar wangiku serupa wanginya. agar aku bisa dengan santai datang ke kotamu. menemuimu. bersijingkat mengendap-endap. agar takketahuan olehnya. katanya, kotamu itu menyenangkan. membuat cemburu. dalam rindu.

[2]
jika boleh memilih. aku ingin meminjam tubuhnya. lalu aku bisa leluasa bertemu denganmu. atau mencintaimu, mungkin.

[3]
lalu, pada suatu pagi. aku bisa mengetuk pintu rumahmu. dengan aroma dia. atau mungkin dengan rupanya. mengantar rindu yang takbisa diurai lagi.

[4]
matamu memindai tubuhku. dari atas. mengerling. tanpa tahu maksud. "terima kasih, aku hanya butuh dia di sini", ucapmu pelan.

[5]
pelan-pelan. tubuhku yang beraroma dia menguap. menjadi bulir. merata di seluruh ingatanmu.

Senin, 26 November 2012

Rangkaian Latsitardanus XXXIII: Cerita tentang Saya yang di Kota

Akhirnya sudah sampai Lombok. Saya ditempatkan di Kota Mataram. Tidak ada susah-susahnya. Semuanya di luar ekspektasi. Saya sudah berharap akan ditempatkan di pelosok entah di mana. Tidak akan ada listrik. Terlebih sinyal. Tapi, sayang sekali. Saya di sini semacam liburan. Kegiatan hanya pagi sampai siang. Sore hanya istirahat. Bertempat tinggal di mess. Semuanya ada. Dekat dengan minimarket. ATM. Mall. Ah, sama saja. Semacam berada di Jakarta. Tapi dalam lingkup yang lebih kecil.
Ah iya, jangan kau tanya betapa bosannya. Saya sudah bosan dengan rasa bosan. Mungkin, sudah takbisa memisahkan lagi antara bosan dan taktahu harus bagaimana. Ya. Saya tinggal di lingkup Polda NTB. Paling tidak, harus mengikuti kegiatan mereka. Apel pagi, siang, sore, malam. Memakai seragam. Baris berbaris. Takboleh ada pelanggaran. Hidup macam apa ini? Lama-lama saya bisa mati konyol jika terus menerus seperti ini. Tapi, sudahlah. Ini pilihan. Harus dihadapi.
Sebenarnya, saya takpernah menyesal. Keindahan alam NTB ketika akhir pekan menyelamatkan saya dari rasa bosan ini. Hanya saja, saya belum merasakan pengabdian yang semacam K2N di Wana Bakti kemarin. Saya rindu berjalan-jalan di desa. Rindu mandi di sungai. Rindu berbincang panjang dengan warga lokal. Rindu berjalan  jauh. Rindu takada listrik. Rindu takada sinyal. Ah, padahal, saya sudah berharap ini akan lebih dari itu. Ternyata, saya di kota. Yang semuanya ada. Ah iya, bahkan, saya pun terkadang memilih untuk laundry.
Mungkin, benar kata teman saya, di sini, pengabdiannya hanya bonus.

Rabu, 07 November 2012

Tempat Singgah

Ke Lombok. Ya. Tinggal beberapa hari lagi saya berangkat ke Lombok. Antara buncah dan gelisah. Entahlah. Saya memang selalu senang perjalanan. Terkadang, tujuan dalam sebuah perjalanan takpernah saya nanti-nantikan. Saya hanya ingin melakukan perjalanan. Ke mana pun. Menikmati setiap sentimeter perpindahan dari satu ruang ke ruang lainnya. Itu menyenangkan.

Mungkin, kali ini saya akan melewati beberapa moda transportasi yang lengkap: udara, laut, dan darat. Terlebih itu. Saya suka duduk di ruang tunggu bandara yang senyap. Tapi, seringkali bising. Melihat lalu-lalang orang. Sibuk dengan perangkat elektronik mereka. Hampir takada percakapan di ruang tunggu bandara. Atau mungkin saya yang enggan membuka percakapan dengan orang di sebelah. Entahlah. Dan, saya juga suka ketika pesawat sudah terbang. Jendela sudah boleh dibuka. Saya bisa melihat gumpalan awan putih. Terbang. Menari-nari. Lantas, membayangkan diri saya berlarian di sana. Ya. Pastinya, saya pun taksuka ketika telinga saya sakit.

Namun, ruang tunggu bandara itu tidak pernah semenyenangkan peron stasiun. Bangku memanjang. Berderet-deret. Suara sirine. Rel kereta api. Decit ferum. Bau pesing. Suara bising. Gerbong yang berjajar. Serupa ular naga. Saya suka berlama-lama di sana. Datang jauh lebih awal sebelum kereta datang. Mengamati pedagang asongan. Melihat peluh yang menetes. Mendengar celoteh kasar. Menunggu senja yang akan datang. Menunggu kereta yang berubah warna menjadi jingga ketika terkena tempias senja. Ya. Atau apa pun itu. Jika di peron stasiun, saya bebas bercakap dengan siapa pun. Tentang apa pun. Saya suka tertawa mendengar obrolan kami. Yang kadang taktahu arahnya. Hanya pengisi kekosongan. Biar sama-sama takbosan. Biar takbosan dengan rasa bosan.

Laut. Laut itu seperti ibu: dalam dan menunggu. Saya suka ketika kapal mulai melepas jangkar. Bergerak perlahan. Lalu, ketika sudah berada di laut lepas. Saya jarang bisa membedakan antara langit dan laut. Mereka menyatu. Membentuk sebuah lengkung indah. Ujung langit adalah ujung laut. Mungkin, bisa jadi seperti itu. Senja. Ya. Itu yang membuat saya betah di laut lepas. Saya bisa melihat senja dengan jelas. Melihat bulat matahari yang (seolah) tertelan oleh laut. Kemudian, berganti dengan semburat jingga. Lantas, jingga itu hilang perlahan. Menjadi kelam. Lalu berganti dengan bintang dan bulan. Saya bisa dengan bebas menerka-terka bintang apa yang sedang menampakkan diri. Jika hujan, laut akan menjadi semakin menyenangkan. Rintiknya lembut. Bisa dengan mudah bercumbu dengannya di geladak.

Ya. Intinya. Saya suka melakukan perjalanan. Ke mana pun. Ah iya, satu lagi. Saya suka ketika tempat tujuan perjalanan saya itu tidak ada sinyal. Sama sekali. Saya takperlu repot-repot dihubungi atau menghubungi seseorang. Saya bisa menikmati perjalanan ini dengan utuh. Dengan menyerahkan sepenuhnya diri saya ke ruang tersebut. Tanpa berbagi dengan kenangan saya. Takada sinyal juga membuat rindu saya pada banyak hal terkumpul. Sebab, kadang saya memerlukan sedikit waktu dan jarak untuk merindukan sesuatu, ah, mungkin juga seseorang.

Selasa, 06 November 2012

seseorang yang ingin memotong senja untuk dikirim ke surga

[1]

ia pernah duduk di bangku taman ini sendirian. ketika hujan. lalu, buku-buku yang dia baca basah. dia bergeming. menengadah. dia ingin sekali menanyakan mengapa hujan yang harus jatuh ke bumi. bukan senja saja. sebab jika senja yang turun. dia bisa bermandi jingga. sebab dia ingin sekali menjadi jingga. semburatnya manis, katanya.

[2]

titik-titik air itu semakin membuat rambut dan bukunya basah. dia sudah tidak memikirkan sesuatu apa pun. termasuk tentang daun-daun yang tinggal tulang. atau mengapa ada penyair gadungan yang sedang menulis puisi tanpa huruf kapital. dia hanya ingin hujan yang turun ini akan menjelma menjadi senja. nanti beberapa menit lagi. maka dia masih duduk di kursi itu.

[3]

dia akan mengerat senja yang jatuh ke bumi. memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. mungkin, seukuran kartu pos. lalu, dia akan menempeli senja itu dengan perangko seharga lima ribu rupiah. pergi ke kantor pos yang kian hari kian berdebu. tanpa pengunjung. ia akan berdiri lama-lama. ingin menulis surat, tapi dia takpandai berkata. akhirnya, dia hanya menyerahkan senja yang ditempelinya perangko itu kepada mbak-mbak penjaga kantor pos.

[4]

tanpa melihat alamat yang dituju. senja yang tertempeli perangko itu dimasukkan begitu saja ke dalam tumpukan surat lainnya. ia mendesah. tersenyum simpul. berharap banyak. bahwa senja yang tertempeli perangko itu akan segera sampai di surga. ia hanya ingin ayahnya tahu bahwa ia rindu. ingin bertemu. sebab, sampai senja yang tertempeli perangko itu diserahkan. ia takpernah tahu dipeluk ayahnya. yang ia tahu hanya cerita-cerita kosong dari ibunya bahwa ayahnya sedang berbahagia di surga.

[5]

ia hanya mengangguk-angguk ketika ibunya bercerita. padahal, dia sedang teringat cerita gurunya bahwa di surga semua lelaki akan mendapatkan bidadari yang mereka inginkan. dari situ, ia mulai membenci surga. ia mulai membenci keberadaan surga yang telah merebut ayahnya. ia mulai mengumpulkan ingatannya tentang sosok bidadari. ia gemetar. ketika melihat ibunya, kemudian menengok ingatannya. ibunya renta, sedangkan bidadari cantik sempurna. ia kasihan melihat ibunya. yang sudah renta, tapi masih pandai membual.

[6]

sementara, di ruang yang terpisah. ibunya setiap malam menangis. mengutuk tuhan yang pernah menciptakan kata surga. sehingga membuatnya bercerita banyak tentang surga kepada anaknya. lelaki yang oleh ia disebut ayah, sebenarnya takpernah masuk surga. ia pergi bersama bidadari murahan pinggir jalan. bertahun-tahun. entah. sekarang di mana. mungkin sudah dimakan kenangan. atau tertelan ingatan.

[7]

ia masih duduk di kursi itu. senja yang harus dipotongnya takjuga jatuh. hanya rintik hujan yang menjelma gerimis. bukunya sudah hanyut. rindunya sudah teresap oleh tanah basah. lantas, kenangannya pun sedang mengembara bersama rintik.

Selasa, 23 Oktober 2012

Selamat Berakhir Semester 7!

Ya. Rutinitas saya menulis sesuatu pada akhir semester. Sekarang saya berada pada semester 7. Dan semester ini sudah berakhir. Paling tidak, bagi saya. Hari Kamis kemarin, saya resmi membatalkan semua mata kuliah yang sudah saya ambil. Tinggal menyisakan mata kuliah spesial, yaitu skripsi.

Semester ini sudah berjalan hampir setengah semester. Tetapi, saya membatalkan kuliah begitu saja. Oh, tidak. Tidak begitu saja. Ada alasan yang kuat. Alasan yang mungkin dianggap gila oleh banyak orang. Ah, yang dianggap gila oleh orang lain, belum tentu gila juga bagi saya. Sudah berkali-kali saya bilang, kan? Cita-cita hidup saya sederhana. Melakukan apa yang saya cintai dan mencintai apa yang saya lakukan. Itu saja.

Pembatalan mata kuliah ini tidak akan terjadi jika saya tidak melihat pengumuman di kampus. Mabes TNI mengadakan Latsitarda (Latihan Terintegrasi Taruna Wreda). Ini semacam KKN bagi Taruna TNI, Akpol, mahasiswa IPDN, dan mahasiswa tingkat akhir. Latsitarda akan diadakan di Lombok pada bulan November-Desember. Hampir 1.5 bulan. Ya. Memang untuk mahasiswa yang sudah tidak ada kuliah.

Entahlah. Kegiatan itu sungguh menyita perhatian saya. Tetiba saja berpikir untuk mengikuti Latsitarda sebab saya masih punya jatah satu semester untuk lulus tepat waktu dan (semoga) tetap cumlaude. Ah, dengan segera saya berkonsultasi dengan dosen pembimbing, mama, ayah, dan (tentu saja) Tuhan. Jawabannya 'Iya'.

Saya mendaftar. Terombang-ambing antara diterima dan tidak. Kuliah berjalan sebagaimana mestinya. Saya masih belum berani membatalkan kelas. Akhirnya. Pengumuman juga. Saya diterima! Empat hari sebelum UTS! Ohh.

Ya. Tuhan sepertinya sudah mengatur jadwal saya. Mata kuliah tidak bisa dibatalkan selepas pekan UTS. Tapi, ini sudah ada keputusan sebelum UTS. Jadi, saya bisa membatalkannya. haha Takperlu waktu lama untuk mengedrop semua mata kuliah. Hari itu juga, saya sudah tidak ada tanggungan mata kuliah. Saya bisa pergi ke Lombok. Tapi, dengan janji ke dosen pembimbing skripsi untuk menyelesaikan skripsi sebelum pergi ke Lombok. Voila! Semoga saja!

Tapi, komentar dan cercaan takberhenti di sini. Hampir semua orang yang tahu cerita saya pasti berkomentar, "Gila lo! Gak sayang apa kuliah udah jalan separo?" atau komentar-komentar sejenis itu. Ayah saya juga takkalah marah. "Kalau Ayah jadi kamu, Ayah bakalan menyelesaikan kuliah dulu. Setelah selesai kuliah, baru ikut kegiatan-kegiatan seperti itu!"

"Kalau seperti ini, kamu namanya membuang-buang waktu. Harusnya kamu bisa lulus pada semester 7!" Ayah saya masih saja berkomentar.

Saya hanya menggeleng dan tersenyum. Merasa ini sama sekali bukan kesalahan. Ini adalah pilihan. Menguji keberanian saya untuk memilih. Bukankah manusia akan dianggap Ada karena dia telah memilih? Mencoba keluar dari kerumunan. Mencoba menjadi individu yang memiliki alasan untuk memilih sesuatu.

Lulus 3.5 tahun atau 4 tahun bagi saya sama. Sama-sama menyimpan misteri. Bukan berarti yang bisa lulus 3.5 tahun jauh lebih hebat daripada yang lulus 4 tahun. Apa salahnya memanfaatkan status mahasiswa untuk sesuatu yang menyenangkan seperti ini.

Ya. Sembari menunggu keberangkatan pada minggu kedua November, saya tetap masuk kelas. Mengikuti kuliah sebagaimana biasanya. Bedanya, saya tidak perlu mengerjakan tugas. Lantas, teman saya masih berkomentar juga. "Ngapain lo tetep kuliah? Kan udah lo drop semua mata kuliah?"

Ah, sepertinya memang selalu mendapat komentar terhadap segala sesuatu yang telah saya lakukan. Saya tersenyum saja. Kuliah dan masuk kelas adalah salah satu cara saya bersenang-senang. Menikmati hidup. Belajar tanpa harus banyak menghabiskan waktu. Bukan beban yang harus segera diselesaikan. Jadi, takada salahnya jika saya tetap masuk kelas tanpa mendapatkan nilai nantinya. Sebab, segala sesuatu takselalu bisa diukur dengan angka atau huruf.

Sudahlah. Pada akhirnya, ke Lombok pun saya tetap belajar. Belajar memaknai hidup di tengah masyarakat yang sama sekali belum saya kenal. Perjalanan selalu memberi saya cerita. Rumah yang baru. Saya tidak akan menyesal. Memilih sesuatu selalu ada sesuatu yang dibayarkan. Kali ini, saya membayar waktu sesemester saya kuliah dengan perjalanan yang mungkin tidak akan saya lewati lagi setelah lulus kuliah.Ya. Ini menjadi semacam sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kuliah di kelas. Itu menurut saya.

Saya bahagia dengan pilihan saya. Itu sudah cukup.

Jumat, 05 Oktober 2012

Jajanan Pinggir Jalan

Beberapa menit yang lalu, saya melihat tempelan banyak poster di lantai 1 perpustakaan. Poster tentang makanan yang sehat. Mungkin anak Fakultas Kesehatan Masyarakat yang mengadakan acaranya. Ya. Acaranya semacam lomba poster tingkat nasional. Lalu, poster pemenang dan poster peserta sama-sama dipajang. Biar orang tahu. Ah, mungkin juga sebagai pembelajaran. Isi posternya takjauh-jauh dari pembiasaan makanan sehat. Lucu-lucu.

Namun, ada beberapa poster yang menggelitik saya. Poster yang bertemakan "Jajanan Pinggir Jalan". Bisa ditebak. Poster tersebut pasti mengimbau tentang bahaya makan jajanan pinggir jalan. Setiap poster melarangnya. Ohh. Sedikit miris. Hampir menangis.

Teringat jajanan pinggir jalan. Teringat tentang tangan-tangan kekar. kulit legam. keriput pada wajah. peluh. kemiskinan. perjuangan hidup. anak-anak yang menangis lapar di rumah. anak-anak yang berharap banyak pada keuntungan--yang takseberapa--untuk membayar seragam dan buku sekolah. pada dapur di rumah yang harus mengepul. tentang palak preman pinggir jalan. tentang penertiban oleh Satpol PP. tentang razia kaki lima. tentang pembeli yang takbayar. tentang hujan yang takkunjung reda sehingga sepi pembeli. tentang utang pada rentenir. tentang makanan yang takhabis terbeli. banyak hal tentang mereka.

Entahlah. Saya miris saja membaca poster itu. Membayangkan tetiba masyarakat sadar dan melakukan apa yang diimbau dalam poster tersebut. Lantas, pedagang jajanan pinggir jalan taktahu harus menjual dagangannya ke mana dan siapa. Lalu, hidup mereka yang miskin akan semakin miskin. Makin banyak anak-anak yang taksekolah sebab takpunya biaya. Ah, makin banyak hal yang akan terjadi.

Baiklah. Memang terkadang jajanan pinggir jalan itu takbaik untuk kesehatan. Ya. Untuk kesehatan individu, lebih tepatnya. Terlalu kompleks memang. Padahal hanya masalah makanan apa yang akan termakan. Segalanya memiliki rantai--yang jika terputus bagiannya akan memutus bagian yang lain.

Pedagang itu pun (mungkin) takmau mencampur dagangannya dengan segala sesuatu yang taksehat. Tapi harga bahan baku yang sehat juga terlampau mahal. Sementara, pembeli takmau membeli jika harga terlalu mahal. Taksederhana.

Namun, melarang membeli makanan mereka juga bukan salah satu cara melenyapkan masalah kesehatan di negeri ini. Entahlah. Saya juga belum punya solusi untuk mensikronkan antara tuntutan kesehatan dan tuntutan ekonomi. Saya juga cuma bisa mengkritik. Takada beda sama mereka. Maafkan saya.

Minggu, 26 Agustus 2012

Ssstt... Jangan Bilang Siapa-Siapa!

Ini rahasia! haha
Sudah pernah saya katakan padamu, kan? Saya bisa jatuh cinta pada seseorang dari tulisannya. Seriously!
Ya. Saya memang sedang jatuh cinta sekarang. Sudah lama. Tapi berhasil memendam. Ah, mirip cerita picisan. Entahlah. Saya bahagia saja jatuh cinta padanya. Mungkin nanti, ada definisi lain tentang jatuh cinta semacam ini. Intinya, saya jatuh cinta pada tulisannya. Pada pemikirannya. Ya. Bisa saja jatuh cinta semacam ini berdampak pada cinta orangnya. Abaikan. Saya semakin konyol.
Baiklah. Pada mulanya memang kesalahan saya yang suka jalan-jalan di blog orang. Membaca-baca tanpa dosa. Kalau menarik, saya langganan. Kalau tidak, sekali saja mampir. Okelah. Berawal dari sebuah pernyataan teman saya di twitter, yang menyatakan bahwa blog www.catatanugahari.wordpress.com itu bagus. Naluri jalan-jalan saya bekerja dengan baik. Sekali klik. Blognya muncul.
Dari judulnya saja, saya tahu. Itu tulisan takbiasa. Tulisan yang muncul dari pemikiran seorang yang sedikit anti-mainstream. Semacam candu. Saya ketagihan. Mengikuti setiap tulisan yang dibuatnya. Perlahan. Saya mulai jatuh cinta. Ya. Sebatas jatuh cinta. Tanpa berani komentar apa pun di blognya. Sedikit pengecut. haha. Dari rasa cinta itu, saya sempat mencari makna kata ugahari dalam KBBI. Artinya 'sederhana'. Ya. Semacam itulah dia. Kesederhanaan.
Dia sering bercerita tentang ayahnya. Tentang perjalanan yang telah dia lakukan. Tentang rasa muaknya pada dunia yang penuh artifisial ini. Tentang buku-buku yang sedang atau telah dia baca. Tentang bola. Tentang sastra dan sosiologi. Tentang hal-hal sederhana di sekitarnya.
Semua topik itu menarik hati saya. Ya. Kecuali bola. Dia berbicara secara jujur tentang apa yang dia rasakan. Saya bisa merasakannya itu. Memandang dunia dengan analisis dalam sudut pandang sosiologis.
Dari ceritanya, saya mulai sadar. Dia tidak berada jauh dari saya. Baiklah. Dia sering bercerita tentang kuliahnya. Tentang universitas. Akhirnya, saya bisa menebak. Dia kuliah di universitas yang sama dengan saya. Yang fakultasnya bersebelahan. Beruntungnya lagi, dia adalah teman seangkatan teman baik saya. Ah, hidup memang kadang-kadang terlalu sempit.
Saya pun tahu namanya. Tahu sedikit cerita tentangnya dari teman baik saya itu. Semacam pengagum yang gila. Saya pun sudah tahu orangnya. haha. Berharap. Suatu saat nanti, saya bisa mengobrol banyak dengannya. Tentang apa pun. Tentang hal-hal sederhana.
Bahkan, kemarin, saya dan dia sempat berada dalam satu acara Kuliah Kerja Nyata. Sayangnya, sekali pun saya takberani menegurnya. Terlebih dia. Sama sekali takkenal saya. Konyolnya lagi, saya berdoa pada Tuhan, siapa tahu kami ditempatkan di lokasi yang sama. Ternyata tidak. Bahkan satu armada pun tidak. Dia berada di armada timur, sedangkan saya di armada barat. Benar-benar belum berjodoh. haha. Jadilah, sampai sekarang. Saya masih menguntit tulisannya saja. Seperti dulu. Taklebih. haha

Senin, 13 Agustus 2012

Rangkaian K2N: Tanah Surga, Katanya!

Beberapa hari yang lalu, saya melihat acara infotainment. Awalnya, takmenggubris. Namun, setelah ada paparan tentang film baru dari Deddy Mizwar, saya sedikit melongok. Pasalnya, film yang berjudul "Tanah Surga, Katanya" itu bercerita tentang kehidupan perbatasan. Tentu saja, sangat mengingatkan saya pada proses K2N UI beberapa minggu yang lalu.
Saya ditempatkan di desa Wana Bakti, kecamatan Ketungau Tengah, kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Desa ini termasuk wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Hanya terpisah bukit.
Lantas, cuplikan film tersebut juga sangat mengingatkan saya pada kondisi di sana. Rumah panggung. Mandi di sungai. Tanah berlumpur. Jalanan rusak. Anak-anak. Merah putih yang jarang.
Ah. Perbatasan selalu membawa cerita. Setiap hari ketika di sana, saya harus berjalan sekira sekilometer menuju ke lokasi kegiatan. Mungkin, lagu pengiring yang tepat adalah "Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah, la la la...". haha. Memang seperti itu. Saya harus melewati jalanan tanpa aspal. Penuh lumpur. Jika tidak hati-hati, dapat dipastikan kaki akan tercelup pada lumpur itu. Sementara, di Pulau Jawa, hampir tidak ada jalanan yang takteraspal. Kalaupun belum teraspal, tanahnya masih bersahabat.
Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke. Ini Kalimantan. Harusnya masih Indonesia. Namun, sepertinya, campur tangan negeri ini tidak sampai ke tempat ini. Jalanan saja masih jauh dari layak. Terlebih listrik sama sekali belum masuk. Sampai sekarang saya masih menanyakan sila kelima pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kebutuhan mendasar, seperti listrik, saja belum terpenuhi. Padahal, Pulau Kalimantan termasuk penghasil batu bara terbesar. Miris.
Kemudian tentang sungai. Biasanya, saya hanya melihat di televisi tentang kegiatan mencuci, mandi, dan segala macam dilakukan di sungai. Namun, di sini, saya merasakannya. Pertama kali mandi di sungai, saya seperti orang gagu yang ingin bicara. Kaku. Penuh ragu. Hanya memakai kain sebatas dada. Menuju sungai. Mencelupkan seluruh tubuh ke dalam air yang jernih dan sangat dingin itu. Ah, mungkin saya terlihat sangat norak pada saat itu. Namun, lama-lama biasa. Mungkin, keringat saya sudah menyatu dengan air sungai itu. haha. Mandi bersama-sama dengan penduduk setempat. Bercerita. Tentang apa saja.
Oh iya, ada tiga sungai di desa Wana Bakti, yaitu sungai Merakai, Empudau, dan Kemawil. Semuanya menyenangkan. Tapi saya paling suka mandi di sungai Empudau!
"Orang bilang tanah kita tanah surga..." Semacam lagu lawas yang berdengung. Kalau boleh saya meracau, tanah kita masih tanah surga. Surga dengan definisi yang berbeda. Surga di Jawa, mungkin, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Namun, surga di Kalimantan, mungkin, pasir sungai yang bercampur emas. Tuhan Mahaadil.
Beberapa waktu yang lalu, saya pulang dari Bandung. Naik kereta. Mengobrol banyak hal dengan Bapak yang duduk di sebelah saya.
"Tapi, sekarang kan semua daerah sudah terjangkau karena adanya internet." Beliau menanggapi cerita saya tentang Wana Bakti. Saya menggeleng pelan. Bagaimana bisa internet menyebar di sana, sementara sinyal pun takada.
Ya. Berbicara tentang perbatasan memang takakan habis masalah. Semoga saja. Suatu saat. Saya bisa kembali ke sana. Mengabdi lagi. Pada hal yang lebih nyata.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Rangkaian K2N: Tentang Desa yang Saya Tinggali

Hai, apa kabar kamu di sana? Tetiba saja ingat kamu. Pada panah yang menebas jarak. Sudah lama sekali. Kamu takmembalas suratku. Padahal kamu yang meminta. Mungkin kamu sibuk. Iya. Takapa.
Sedang apa kamu? Aku rindu. Rindu menulis pada lamanku. Sudah sangat lama taksinggah. Sudah banyak sarang laba-laba. Atau sarang semut.
Setiap kali aku rindu menulis, aku juga rindu kamu. Rindu kamu yang akan membacanya. Terima kasih.
Aku baik. Baik sekali. Tapi mungkin sedikit letih. Ada senyum dan luka sekarang. Ada banyak cerita yang ingin kusampaikan padamu. Buncah. Aku takingin menahannya lebih lama. Tapi takbisa. Sebulan terakhir ini aku selalu berlomba dengan masa dan letih. Hampir takpernah bisa menang. Bahkan sekadar mengingatmu pun baru kali ini.
Sudah lebih dari sebulan aku keluar dari zona aman kamar. Aku mengalahkan rasa takut untuk mengikuti kuliah lapangan. Akhirnya. Aku harus berangkat. Pergi ke Kalimantan. Menengok saudara-saudara kita yang di perbatasan.
Aku harus menghela napas dulu sebelum bercerita banyak. Ada banyak hal di sini. Di tempat yang mungkin takterpikir oleh orang. Hampir di antahberantah. Tapi ada kehidupan.
Pada mulanya adalah asing. Tanpa kata. Dan sedikit ragu. Tapi, itu taklama. Sebab, di sini ternyata rumah. Rumah yang memberi rasa hangat.
Aku bisa merasakan hangat. Tanpa dibuat-buat. Aku mencoba segala hal yang takpernah kulakukan sebelumnya. Memasak. Bercerita banyak pada orang. Menyapa setiap orang yang kutemui. Rasanya takseburuk yang kukira. Sangat menyenangkan ternyata.
Jatuh cinta pada segala sesuatu di sini memang terlampau mudah. Lantas, jangan kautanya cara melupakannya. Mungkin hingga ujung usia.
Banyak hal yang takterungkap sebelumnya. Masalah hutan lindung. Tanah yang didiami mereka selama ratusan tahun tetiba saja berubah statusnya menjadi hutan lindung. Sementara mereka tetap harus membayar pajak. Membayar tanpa ada hak untuk memiliki dan mengatasnamakan tanahnya. Miris. Ironi.
Hidup di perbatasan terlampau penuh dengan daya juang. Tanah tanpa aspal. Kala hujan akan berlumpur, kala panas akan sangat berdebu. Sudah berkali-kali aku jatuh.
Jarak antarrumah sedikit jauh. Jalannya licin dan berbukit. Sedikit berat, memang. Aku bisa merasakan betapa letihnya mereka hidup di sini. Tanpa akses. Tanpa informasi. Kalau saja mereka protes ingin mengibarkan bendera negara tetangga, aku takheran. Sebab, negeri ini terlampau luas. Terlampau penuh dengan orang-orang yang takpeduli.
Kamu bisa membayangkan bagaimana bentuk rumah yang halaman depannya dibiarkan saja. Tanpa dirawat. Seperti itulah negeri ini.
Harga-harga kebutuhan pokok dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari harga di pusat. Mencengangkan. Sementara mereka takpernah merasakan fasilitas apa pun.
Banyak cukong kayu yang sama sekali takkasihan pada mereka. Kamu tahu kayu gaharu? Kayu mahal itu. Cukong-cukong itu membeli dari penduduk sini hanya 3 juta rupiah per kilo, sedangkan mereka menjualnya lagi bisa mencapai 70 juta rupiah per kilo. Brengsek memang.
Entahlah. Semoga kamu takbosan membaca ceritaku.

Rabu, 01 Agustus 2012

Rangkaian K2N: Tentang Sinyal dan Yang Mengubah Hidup

Baiklah. Saya memulai cerita tentang sinyal. Tentang ketergantungan yang sebenarnya takbegitu penting. Saya sudah hampir sampai di Pontianak. Sinyal mulai nyangkut sedikit. Sedikit saja. Takbanyak. Tapi, teman-teman saya sudah ribut. Meributkan mengapa ponselnya takjua mendapat sinyal. Saya sudah mengganti kartu saya dengan Telkomsel. Ini bukan promosi. Tapi itulah kenyataannya. Cuma provider ini yang bisa bertahan di luar Pulau Jawa. Hanya untuk menghubungi orang tua saya. Mengabarkan bahwa saya baik-baik saja. Selesai.

Saya teringat pada kata dosen saya, tiga hal yang mengubah hidup manusia, yaitu penemuan ponsel, penemuan www, dan penemuan internet. Salah satunya ponsel. Ponsel dekat dengan sinyal. Seolah-olah. Hidup bergantung pada kuat lemahnya sinyal. Mengerikan bagi saya.

Sebelum ikut K2N ini. Saya sudah sangat terbiasa untuk tidak membawa ponsel. Tidak mengeluarkan ponsel ketika di tempat umum. Atau tidak terlalu khawatir ketika ponsel ketinggalan. Untuk apa. Jika perlu. Saya ingin membuangnya ke laut lepas ini. Biar lepas sekalian hidup saya.

Obrolan dari tadi hanya menyangkut ada dan tidaknya sinyal. Apa yang saya pikir? Bosan! Coba saja ada agama baru, mungkin, agama ponsel jadi kandidat terkuat. Sudahlah. Di tengah laut seperti ini saya semakin mabok.

Ya. Saya juga. Saya juga. Sekarang ini ingin sekali menelepon Mama. Bilang bahwa saya baik-baik saja. Semoga Mama juga baik.

Selasa, 31 Juli 2012

Rangkaian K2N: Cerita tentang Marinir dan KRI

Ini posting pertama saya tentang K2N (Kuliah Kerja Nyata). Ya. Ketika saya memposting ini suatu saat. Cerita ini mungkin terjadi sebulan yang lalu. mungkin. Iya. Saya hanya bisa menulis di netbook saya. Takbisa mengunggah. Sama sekali. Takada sinyal.

Posisi saya sekarang ada di dalam KRI (Kapal Republik Indonesia). Menunggu bosan. Menunggu kapal sampai tujuan. Sudah hampir 4 hari saya di dalam sini. Jangan kau tanyakan bagaimana rasanya? Pasti akan saya jawab luar biasa. Terombang-ambing di laut lepas. Tanpa sinyal. Untung masih ada aliran listrik.

Sebelum berlayar, saya ada di Korps Marinir. Selama satu minggu di situ. Dididik dan ditempa. Bangun pagi-pagi. Lari-lari. Push up. Ya. Seperti itulah. Saya tidak kaget lagi. Sebab sudah biasa mendengar cerita. Tapi, banyak hal yang saya dapatkan dari pendidikan kilat itu. Teman-teman. Pelatih yang (sebenarnya) baik, tapi terlihat garang. Kebersamaan. Menjadi lebih kuat. Ah, takterlupakan yang pasti.

Tapi, saya jadi berpikir. Serius. Ini hanya pemikiran konyol saya. Jangan dimasukkan hati. Menjadi seorang tentara, berarti siap memberikan segala hal dalam hidupnya, termasuk hak kritisnya. Ya. Iseng-iseng, saya bertanya filosofi jargon “Kekuatan” yang harus dijawab serempak dengan “Lima lima”. Mereka takbisa menjelaskan. Sepele. Dan membuat saya berpikir. Selama ini mereka hanya menjalankan tugas dengan sangat sangat baik. Diperintah A, mereka akan mengerjakan A. Mungkin, takpernah bertanya dari mana, untuk apa, untuk siapa, tentang apa, mengapa harus, atau pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya. Sudahlah. Hentikan. Saya semakin mabok nanti. Pak Tentara yang baik, maafkan saya. Saya takada maksud apa pun.

Kau tahu, posisi saya sekarang di mana? Ada di haluan KRI. Menatap lurus. Laut lepas, Sebentar lagi senja. Betapa romantisnya, bukan? Ya. Setelah dari Marinir, saya dan teman-teman saya harus menyeberang laut Jawa ke Pontianak. Entah berapa lama lagi, kami harus di sini. Beruntung. Saya sekali pun belum muntah dalam perjalanan berhari-hari ini.

Segala sesuatu menjadi lebih nikmat di sini. Makan pop mie. Menjadi sesuatu yang patut dinikmati. Tidur berpuluh-puluh perempuan di ruangan sempit. Untung berpendingin ruangan. Sedikit takterasa. Atau mungkin sudah hilang rasa. Tipis bedanya.

Saya bertemu Angkatan Laut di sini. Sama kesan saya. Mereka baik. Sangat baik. Saya bisa membantu memasak di sini. Bahkan saya bisa mencoba mengemudikan kapal dari anjungan. Belajar navigasi. Sedikit saja. Tapi cukup berkesan. Terima kasih. Bercerita tentang kegiatan saya. Bertanya tentang kegiatan mereka. Menyenangkan. Sayang sekali. Saya takbisa mengunggah tulisan ini sesegera mungkin. Harus menunggu kembali ke Jakarta. Ya sudahlah. Semua nikmat jika dinikmati dengan nikmat.

Tulisannya terputus. Barusan saya dihukum. Bukan saya. Tapi kami. Seperti biasanya. Push up. Sit up. Yel-yel. Karena apa? Karena kami takmenjaga kebersihan. Haha. Terdengar bocah, bukan. Tapi itulah kenyataannya. Saya tahu. Setiap tentara pasti sangat menjaga kebersihannya. Saya juga tidak tahu, kenapa teman-teman saya jorok sekali. Mungkin juga saya yang jorok. Ah, tapi kan saya sudah berusaha menjaga kebersihan. Membuang sampah pada tempatnya. Tapi di sini tidak seperti itu. Satu salah semua salah. Satu benar, yang lain belum tentu benar. Yang lain ada yang salah. Jadinya ikutan salah. Sudahlah. Ini seperti permainan ayam dan telur.

Kau pasti tahu. Apa yang saya paling senangi berada dalam KRI seperti ini. Ya. Melihat senja. Hujan. Laut. Dan pagi. Semuanya terasa lebih jelas dan nikmat. Matahari bulat penuh ketika menjelang senja. Turun perlahan ditelan garis pandang. Sepagian tadi sempat hujan. Saya berdoa. Semoga kamu baik-baik saja. Saya juga.

Sekarang sudah senja. Saya bisa memotret senja di laut lepas. Ini untuk kamu. Semoga kamu senang. Semoga ini bagus. Cukup untuk menutup cerita saya kali ini. Lain kali, saya pasti akan cerita lagi. Tentang apa pun. Mungkin nanti tentang Sintang. Taksabar saya sampai di sana.

2012-06-20 18.05.10

Senin, 18 Juni 2012

Tentang Semester Enam

Akhirnya. Semester ini berlalu juga. Semester yang saya jalani dengan rasa bosan kuliah yang sudah di ujung ubun-ubun. Semester yang hampir tingkat akhir. Dan sekarang saya resmi menjadi mahasiswa tingkat akhir.
Banyak hal. Seperti biasanya. Tapi kali ini sedikit beda. Saya sedang tidak ingin ikut organisasi dan kepanitiaan apa pun. Saya hanya kuliah-ngajar-pulang. Sesederhana itu. Bagaimana lagi? Saya sedang sangat malas kuliah semester ini. haha
Meskipun demikian, target IP saya masih 4.00. Bagaimana? Lebih konyol lagi kan? Sudahlah. Saya memang gila. Tapi, Tuhan masih sangat baik. Dengan tugas dan ujian yang saya kerjakan asal-asalan, IP saya turun tidak terlalu banyak. IPK masih tetap. Tidak berkurang ataupun bertambah seangka pun. Terima kasih.
Ketika mengetik tulisan ini, saya sedang berada di Korps Marinir Cilandak. Sedang mengikuti tes fisik dan mental sekaligus pembekalan untuk Kuliah Kerja Nyata (K2N) 2012 di daerah perbatasan. Lebih tepatnya sedang mengerjakan proposal program K2N. Di sini banyak hal. Pendidikan disiplin semi semi-militer. Tapi, tetap saja. Saya senang. Di tempat ini, saya mengingat ayah saya lebih. Teringat pada obsesinya pada militer. Saya mendapat tugas di Desa Wanabakti, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Mengabdi pada negeri sekira 30 hari. Semoga saja saya benar-benar bisa mengabdi. Besok berangkat. Pukul 17.00. Naik KRI. Mungkin selama 2-3 hari. Lalu dilanjut perjalanan darat sekira 25 jam. Dan diakhiri dengan perjalanan sungai menaiki long-boat sekira 12 jam. Baiklah. Bisa dibayangkan bagaimana jauhnya tempat itu. Nanti sajalah cerita episode ini secara lebih lengkap.
Ya. Saya ingin mereview semester ini. Selain kuliah-ngajar-pulang, saya banyak menghabiskan waktu untuk memuaskan jiwa saya. Ah, ini terlalu berlebihan. haha
Ketika digempur dengan UAS, saya malah enak-enakan hadir dalam "Sapardi Membaca Sita" atau launching buku puisi Sapardi Djoko Damono di Salihara. Kemudian dilanjutkan dengan menonton teater "Balada Nabi Kembar" di Salihara juga. Hari kemarinnya, saya juga menghabiskan waktu untuk menonton "Malam Jahanam" di Auditorium Gedung IX FIB UI. Sebelumnya, saya juga sempat hadir dalam "Petang Puisi". Dan masih dalam semester ini, saya juga sempat menonton teater "Goyang Penasaran". Ah, saya memang takbisa menolak untuk acara-acara seperti itu. Yang penting, kuliah jangan sampai mengganggu jadwal senang-senang. INI SESAT!
Yang tidak kalah menarik dalam semester ini, banyak doorprize-doorprize yang saya menangkan. Iya sih, sedikit tidak penting. Tapi cukup membuat saya berterima kasih pada Tuhan. Tiba-tiba saja saya mendapat penghargaan IPK tertinggi. Ah, ini juga mencengangkan. Saya malas kuliah. Malas mengerjakan tugas. Kuliah ogah-ogahan. Sumpah. Ini hanya keberuntungan. Dan bisa disebut sebagai doorprize. Kedua, kemarin saya mendapat hadiah Blacberry karena berhasil menang menulis berita media cetak di Media Indonesia. Ini semakin ngaco. Berita saya sama sekali takpenting. Sudahlah. Tuhan memang baik. Saya bersyukur pada apa yang telah saya dapat.
Ini sudah pukul 03.30. Hampir pagi. Saya harus tidur. Besok KRI akan membawa saya mengarungi samudra raya. Membawa saya pada pengabdian di pelosok negeri ini. Mungkin, selama 40 hari ke depan, saya tidak bisa menulis tentang apa pun di jejaring sosial yang saya miliki. Sebab sinyal ponsel pun terancam takada. Tidak apa-apa. Saya juga masih bisa bertahan hidup tanpa ponsel dan kawan-kawannya itu kok. haha

Minggu, 10 Juni 2012

Suatu Waktu, Saya akan Kehilangan

Pagi-pagi tadi, Mama telepon. Katanya sakit, habis jatuh. Tangannya takbisa gerak. Saya tertegun. Sejenak. Mencemaskan waktu yang taktahu malu. Ada bening mengalir di pipi. Harusnya saya bisa pulang. Memeluk Mama. Atau sekadar memijit tangannya itu. Paling tidak, bisa menyuapinya atau memasak makanan untuknya. Tapi sayangnya takbisa. Saya tetap di sini. Makalah yang takjua saya kerjakan menahan saya. Sudahlah. Saya takmau menyalahkan makalah lagi.
Kemarin-kemarin juga sudah jarang telepon. Sudah jarang bercerita. Saya terlalu (sok) sibuk. Padahal rindu. Sangat. Dua minggu yang lalu Mama meminta saya pulang. Segera memesan tiket. Agar sebelum pergi ke perbatasan, saya bisa bertemu dengannya. Saya diam saja. Mengiyakan. Tapi ternyata, saya malah banyak main di sini. Takjadi pulang. Sama sekali.
Ah, waktu selalu terlalu cepat. Membawa hidup pada usia tua dengan cepat. Uban. Tubuh ringkih. Selalu mengingatkan saya pada satu hal: kehilangan. Saya benar-benar takut hal itu terjadi. Iya. Saya tahu. Saya takbisa mengelak pada waktu. Pada ketetapan. Entah Mama yang kehilangan, atau saya, bahkan mungkin kami berdua. Tuhan takpernah membocorkan jawaban.
Saya takut. Waktu itu sebentar lagi. Saya terlalu cepat berlari. Tapi takpernah sadar, bahwa waktu lebih cepat larinya, mencuri cantik Mama. Mencuri tegap Ayah. Mencuri bahagia kami.
Mengapa waktu takmembiarkan saja saya bersandar hangat di bahu Ayah lebih lama? Mengapa waktu takmembiarkan saja saya memeluk pinggul Mama lebih lama? Entahlah. Sepertinya dia hidup untuk merasa kehilangan. Untuk dirinya sendiri.
Agar semuanya indah pada waktu-Nya. Mungkin.

Rabu, 06 Juni 2012

Yang Fana adalah Waktu. Kita Menurut Saja.

Sesajak milik Sapardi itu bergema. Entahlah. Saya memang terlalu sering mengingatnya. "Yang fana adalah waktu. Kita abadi." seperti itu harusnya. Ya. Waktu memang terlalu fana. Tetiba pagi. Siang. Malam. Lalu kembali pagi. Begitu terus. Berlari. Meninggalkan saya. Saya yang takpernah sadar dimakan waktu. Lantas, menurut saja. Hendak di bawa ke mana.
Siang ini hujan. Bulan Juni. Ah, Sapardi lagi. Tidak. Saya taksedang ingin bercerita tentang Sapardi. Hanya saja tentang hujan yang telah membawa saya pada ingatan. Pada kenangan. Cepat-cepat memutar.
Memandang hujan di kota ini. Entah yang keberapa kalinya. Tapi, saya masih merasa itu hujan yang pertama. Hujan tiga tahun lalu. Hujan yang saya maknai sebagai ucapan selamat datang di kota ini. Kota yang mengajari saya banyak hal.
Tiga tahun yang lalu. Saya datang ke kampus ini. Dengan tawa yang menggema. Yang seolah-olah akan menaklukkan dunia. Menggenggamnya dalam sekali tangkup. Ya. Rasanya baru kemarin saya berteriak girang melihat akun sisa ujian. Sekarang hampir habis. Sudah tiga tahun. Rasanya baru kemarin. Baru kemarin. Waktu terlampau fana. Ataukah saya yang terlampau lambat berjalan? Bisa jadi.
Rasanya baru kemarin. Saya melihat hujan di titik yang sama. Di jendela kelas yang sama. Dulu saya tersenyum. Hari ini pun saya tersenyum. Dulu, saya tersenyum untuk keberanian saya datang ke kota ini sendirian. Hari ini, saya tersenyum sebagai ucapan terima kasih pada diri saya karena sudah bertahan. Paling tidak, bertahan dari sergapan rindu tiba-tiba. Pada apa? Tentu saja pada rumah.
Saya berjalan. Melewati rute yang sama dalam tiga tahun. Rasanya baru sekali melewati jalan itu. Tapi, sudah tiga tahun. Mungkin ribuan kali. Hitung saja. Sudah saya katakan, waktu memang terlalu angkuh. Meninggalkan saya tertatih. Hampir menyerah.
Sudah tiga tahun. Saya di sini. Merah-Biru-Ungu. Semuanya berbaur menjadi satu. Takada yang benar-benar jelas. Atau takada yang benar-benar takjelas. Semuanya sama saja. Boleh dianut. Boleh dirujuk. Tapi, saya belum mendapat apa-apa. Usia saja yang bertambah, tapi kedewasaan? Saya kira perlombaan sudah dimenangkan oleh waktu. Dan saya menurut saja.

Jumat, 01 Juni 2012

Catatan Pagi Hari

Sepagian tadi saya sudah tidak bisa terpejam. Selepas subuh, saya tidak terbiasa untuk tidur lagi. Hanya merenung. Atau membaca. Bahkan melamun. Lantas, saya teringat pada tugas makalah saya yang menumpuk. Tidak tahu harus berkata apa. Jujur saja. Semester ini saya terlampau malas mengerjakan semua makalah yang takbeda jauh dengan masalah itu. Saya tahu. Tapi saya diam saja. Membiarkan mereka terlunta. Siapa tahu mereka mencari penyelesaiannya sendiri. Abaikan. Ini saya berkhayal.
Biasanya. Pada bulan Juni. Saya sudah di rumah. Menunggu hujan yang kata Pak Sapardi tabah itu. Bersandar di bahu ayah. Atau menggelung dipeluk mama. Sekarang tidak. Saya masih di sini. Di kota yang sudah mengambil banyak hal dari hidup saya.
Sepertinya, saya akan pulang dua bulan lagi. Menjelang lebaran, mungkin. Ya. Saya akan pergi. Ke mana? Ke perbatasan. Ke pulau terdepan negeri ini. Beruntung. Saya bisa ikut kegiatan K2N yang diadakan oleh kampus saya. Pengabdian masyarakat. Menjangkau negeri ini hingga ke pelosok. Memberikan kasih pada mereka yang merasa tidak diperhatikan. Berbagi kebahagiaan. Saya bahagia. Semoga mereka juga bahagia.
Lantas, otak saya memikirkan setelah liburan. Apa yang akan saya kerjakan? Sementara SKS saya sudah hampir habis. Dan saya masih punya dua semester lagi. Tinggal 3 mata kuliah dan skripsi. Setelah itu sudah. Apakah saya akan mengejar target lulus 3.5 tahun? Dulu iya. Saya sudah mempersiapkan lulus 3.5 tahun mulai semester 1. Tapi, sampai sini. Saya berubah pikiran.
Lulus 3.5 tahun. Takada salahnya memang. Tapi, entah mengapa. Sekarang saya merasa sayang. Terlalu cepat meninggalkan tempat belajar. Dan setelahnya belum tahu harus berbuat apa. Saya masih ingin belajar. Mungkin, semester depan saya akan mengambil banyak mata kuliah (lagi). Belajar saja. Menikmati kampus. Lulus tepat 4 tahun.
Ya. Setelah lulus. Saya akan kuliah lagi. Melanjutkan belajar. Entahlah. Saat paling menyenangkan itu ada di kelas. Mendengar dosen. Belajar banyak. Lalu, saya bisa mengamati lingkungan sekitar saya. Menambah kepekaan saya.
Paling tidak. Saya sudah menghabiskan pagi ini dengan merenung. Semoga melegakan.

Rabu, 30 Mei 2012

(lagi) tentang hujan. semoga kau takbosan.

kau takperlu takut hujan. sebab ia hanya air. yang sebentar lagi terhempas. menyatu dengan rindumu. atau mungkin tangismu.
kau takperlu membuka payung saat hujan. sebab ia hanya tetes. yang takakan membuat basah puisi-puisimu. yang malah akan membuat puisimu menyatu. dengan hatimu mungkin.
kau juga takperlu cepat-cepat berteduh ketika hujan. sebab ia hanya rindu. ingin bercumbu dengan kamu. sesederhana itu kan hujan datang? lalu mengapa kau terlalu cepat resah?

Minggu, 27 Mei 2012

Kepada Euforia

Saya ingin menyapamu kali ini. Dalam dini hari. Seperti ini. Tetiba saja pikiranku penuh. Ingin dituang. Ke mana lagi. Kalau tidak di sini.
Baru saja, saya menghabiskan sisa malam dengan bercerita kepada teman saya. Tentang apa? Tentang apa saja. Kemudian saya teringat pada banyak hal. Pada hal-hal yang kadang membuat kita harus menjadi bagian dari sesuatu. Harus masuk ke dalam komunitas tertentu. Harus diakui oleh banyak orang. Untuk apa? Saya pun tidak pernah tahu jawabannya. Mungkin, untuk hal-hal yang di bawah sadar.
Kadang, kita juga terlalu mudah untuk mengikuti sesuatu yang sedang marak. Ah, mungkin kamu tidak, saya saja. Atau ikut-ikutan meneriakkan sesuatu tanpa mengerti apa yang sedang diteriakkan. Wajar saja. Hidup memang seperti itu. Dituntut memihak atau memilih pada apa yang takpernah diketahui. Lantas, jika tidak memilih, kita akan dihakimi.
Banyak yang bilang, hidup adalah soal pilihan. Pilihan pada apa? Pada iya dan tidak? atau pada tidak dan tidak? Lagi-lagi saya tidak tahu. Apakah dengan tidak memilih kita tidak hidup? Masih hidup rasanya. Tapi, benar juga. Sebab tidak memilih pun sebuah pilihan.
Maaf. Semakin dini hari. Pikiran saya semakin ngaco.
Baiklah. Judul tulisan saya kali ini adalah "Kepada Euforia". Tentang apa? Kamu bisa menceritakannya tentang apa saja. Pilihan-pilihan itu membawa kita pada arus dan anti-arus. Tinggal pilih saja, banyak teman atau terasing. Lantas, karena pada dasarnya manusia ingin diakui keberadannya, kemudian banyak yang berbondong-bondong mengikuti arus. Berteriak-teriak seolah-olah mereka bahagia pada pilihannya. Padahal, hanya ikut-ikutan. Yah. Mungkin itulah definisi euforia menurut saya. Saya tidak tahu makna leksikalnya. Kondisi gembira yang berlebihan. Yang (sok) senang pada hal yang tidak dimengerti. Sudah saya bilang. Ini definisi menurut saya. Protes saja pada yang mencipta kata euforia.
Ya. Sebenarnya, bisa saja kamu teguh pada pilihanmu meskipun itu harus melawan arus. Atau kamu tidak harus mengikuti arus agar dianggap sebagai manusia. Bukankah layang-layang terbang tinggi karena melawan arah angin?

Selasa, 22 Mei 2012

Mencintaimu adalah Mencintai Kekuranganmu.

Bagaimana mungkin aku bisa mencintaimu, sementara aku takpernah bisa mencintai kekuranganmu?
Terdengar klise? Bagaimana lagi. Itulah kenyataannya. Bagiku. Mencintaimu adalah mencintai kekuranganmu. Bukan yang lain.
Aku bisa penuh mencintaimu jika aku bisa dengan tulus mencintai kekuranganmu.
Maaf. Apakah aku menyakitimu dengan ini? Sungguh. Aku minta maaf.
Aku sama sekali takbermaksud menyakitimu. Bukankah akan lebih sakit jika aku (pura-pura) mencintaimu? Bukankah lebih sakit aku mencintaimu karena kelebihanmu saja?
Maaf. Jika begitu, takadil bagimu. Kamu sudah bersedia menyediakan bahagiamu untukku. Sementara aku? Aku masih terlalu payah untuk dimiliki. Untuk kaumiliki, tepatnya!
Maaf.
Sekali lagi. Aku belum mampu membagi letihku denganmu. Mungkin, suatu saat. Aku berharap begitu.

Sabtu, 19 Mei 2012

Liberalisme dan Hal-Hal yang Membuat Ragu

Seperti yang saya duga dan saya harapkan. Workshop kali ini memang mengarah pada hal itu. Liberalisme. Takmasalah. Hanya saja, saya belum bisa menolak atau mengiyakan seluruhnya. Ada beberapa hal yang bisa saya terima. Ada beberapa hal yang saya tolak. Wajar bukan?
Kemarin. Setelah makan siang. Pembahasan sudah bukan tentang iklim lagi. Sudah mengarah pada permasalahan negara. Sudah mengarah pada hal-hal yang memang seharusnya sudah dibicarakan.
Saya memang "tersesat" masuk ke dalam workshop ini. Tapi saya bersyukur. Paling tidak. Saya mengerti sudut pandang mereka.
Dari awal workshop ini saya sudah curiga. Ya ya ya. Saya memang terbiasa membaca teks. Yang segala sesuatunya harus dicari struktur batinnya. Harus dicari makna eksplisitnya. Seperti kali ini. Saya bisa membaca ketika mereka memulai acara dengan permainan. Ada empat blok. Lalu, fasilitator memberikan pilihan berbeda di setiap blok. Peserta diberi kebebasan untuk memilih menurut hatinya. Ya. Saya tahu. Kebebasan individu yang ditekankan di situ. Lantas, kebebasan yang seperti apa? Kebebasan yang tanpa mengganggu kebebasan orang lain, kata mereka. Sampai sejauh mana? Ini masih sangat bias.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan dunia ini. Kaya. Miskin. Masuk UI. Tidak masuk UI. Adalah sebuah pilihan. Well, bisalah itu disebut pilihan. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang terkungkung karena sistem kapitalis. Mereka tidak bisa bergerak. Bahkan memilih untuk hidup mereka pun takbisa. Apakah mereka dengan sengaja memilih untuk menjadi tidak kaya? Atau mereka sengaja memilih tidak punya rumah? Saya rasa tidak.
Mereka takpunya pilihan yang bisa diperjuangkan. Terbentur banyak hal. Lantas mereka terperangkap dalam sistem tersebut.
Saya memang sedikit sok tahu tentang hal ini. Tapi, saya gelisah. Unsur kemanusiaan saya memberontak. Oke. Banyak hal memang. Banyak hal yang berbenturan. Bias. Dan takterjelaskan. Pertanyaan saya tidak pernah dijawab. Padahal sederhana, saya hanya menanyakan nasib orang-orang yang takpunya pilihan itu. Nasib orang-orang yang terbentur sistem. Mau diapakan mereka? Masih tetap menganggap itu pilihan mereka? Konyol!
Liberalisme membuat orang berhak menentukan pilihan hidupnya, termasuk tentang mengembangkan modal. Hal ini memunculkan persaingan bebas, yang nantinya berujung pada kapitalisme. Saya juga tidak memungkiri jika saya juga pengguna produk kapitalis. Tapi, menjadi tidak wajar ketika yang kaya menjadi semakin kaya. Yang miskin akan semakin miskin. Pemilik modal itu sama sekali tidak peduli pada orang-orang yang takpunya akses. Sepertinya, bagi mereka, profit menjadi tujuan utama. Pragmatis. Praktis. Yang penting eksis. Mungkin seperti itu.
Saya juga taksuka menganut sistem sama rata sama rasa. Itu pun takadil. Orang yang bekerja keras layak mendapatkan lebih. Tapi sungguh menjadi takadil ketika menjadi takpeduli pada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan.
Kata mereka lagi. Pada dasarnya, setiap orang liberal. Setiap orang sudah memilih kehidupannya masing-masing. Tapi, banyak yang tidak mengakui itu. Untuk bagian ini, saya masih takbegitu paham. Ketika diskusi di luar forum pun, saya takmendapat jawaban lugas. Paling tidak. Saya sudah mengerti jalan pikiran orang-orang liberal. Mengikuti atau tidak, itu penuh menjadi hak saya.
Lantas, apakah saya salah jika meragukan bahwa liberalisme dapat diterapkan secara utuh di negeri ini?

Jumat, 18 Mei 2012

Workshop "Freedom and the Politics of Climate Change"

Baiklah. Kali ini saya memang berdosa. Mencuri-curi waktu di tengah seminar. Tapi bagaimana lagi. Saya sudah tidak tahan untuk tidak menulis. Hanya catatan sebenarnya.
Pada awalnya, saya ikut seminar ini karena diajak teman. Hanya itu. Jujur. Saya tidak tahu bagaimana bentuk seminar. Bahkan judulnya pun saya taktahu. Parah. Iya memang.
Namun, setelah sampai di tempat, ternyata judul diskusinya adalah "Freedom and the Politics of Climate Change". Well, saya tidak tahu itu apa. Haha. Saya memang payah.
Namun, pembahasan-pembahasan berikutnya (tentu saja) tentang perubahan iklim.
Apa coba? Saya masih tidak mengerti apa yang sedang diomongkan di depan. Climate Change. Perubahan Iklim. Sama saja. Iya. Saya tahu. Iklim akan terus berubah. Seiring manusia yang juga terus berubah. Bagaimana mungkin iklim tidak berubah, sedangkan manusia saja setiap hari berubah. Letih. Dari dulu yang dipermasalahkan tetap sama. Penyebab. Dampak. Solusi yang tidak solutif. Lantas bagaimana? Dari dulu, saya juga tidak pernah merasakan bagaimana dampak pemanasan global. Setiap waktu juga sama. Panas. Terus dengan kita melakukan hal-hal yang dianjurkan panas akan berubah dingin? Saya rasa tidak. Wajar saja iklim berubah. Lalu, mengapa harus dipermasalahkan? Bosan!
Abaikanlah itu.
Hei, saya baru sadar. Judul acara ini adalah "Freedom and the Politics of Climate Change". Freedom. Kebebasan. Liberal. Saya suka kata itu. Mengapa kita tidak membahas hal itu saja? Biar ramai. Biar teriak sampai serak. Dari kemarin. Saya menunggu.
Di luar berisik. Di dalam terganggu. Lantas menegur yang di luar. Terus? Di mana liberalnya? Katanya liberal. Batasannya apa? Saya semakin pusing dengan satu kata itu. Batasan mengganggu. Batasan tidak mengganggu.
Haha
Sangat mengingat jelas. Akhir-akhir ini bahasan tentang liberalisme sedang hangat. Panas malah. Seminarnya sih tentang perubahan iklim. Tapi, saya tahu. Ada tiupan perlahan tentang paham liberal yang disisipkan dalam workshop ini. Ah, saya tadi menyebutnya seminar. Maafkanlah saya. Ini workshop yaa. Haha
Setiap kali diskusi, kami diperbolehkan memilih. Memilih pendapat. Memilih tempat. Suka-suka. Lantas, yang masih saya pertanyakan sampai sekarang adalah batasan memilih itu sampai mana? Sampai ujung dunia? Saya semakin ngaco.
Ini masih pagi. Masih hari kedua. Mudah-mudahan nanti sesi selanjutnya bahasan tentang liberalisme sudah tidak gerilya lagi. Sudah blak-blakan. Toh, katanya liberal. Bebas saja mengajukan paham. Saya juga bebas saja menerima paham baru. Bukan berarti harus masuk ke dalamnya. Ah, tidak memilih apa pun juga sebuah kebebasan, bukan?

Senin, 14 Mei 2012

menanam luka

pada seikat kata aku percaya. ada kamu di sana. menungguku. dalam gelap. oh. mungkin aku yang malah menunggumu dalam senyap. aku takpernah tahu. apakah kamu. kapankah kamu.
kadang. aku terlalu haru. lupa pada hakikat. buncah pada gelisah. siapakah aku. aku (mungkin) yang tumbuh bergeliat di hatimu. rajin menanam luka. atau perih. lantas, kamu juga rajin menanam cinta.
"agar luka yang kautanam takjadi belukar," katamu suatu waktu ketika kutanya apa yang sedang kamu kerjakan.
meleleh. siapa yang takmeleleh jika terbakar terus menerus. kamu yang membakar aku. serupa lilin. yang dibakar gelap.
tapi tetap saja. aku takpernah bisa mengalah pada altar egoku. terlalu angkuh. kamu juga bilang begitu.
sudahlah. terlalu banyak aku menulis tentangmu. nanti muak. aku taktanggung jika kamu bosan. maaf.

Kamis, 10 Mei 2012

World Class University: Antara Merakyat dan Melarat.

Saya teringat. Setiap hari senin, setiap mata kuliah Kritik Sastra di gedung IV FIB UI. Kami harus berbagi LCD dengan kelas sebelah. Kami memulai kelas pada pukul 10.00, sedangkan kelas sebelah pukul 11.00. Kami sama-sama membutuhkan LCD untuk presentasi, tetapi yang ada hanya ucapan, "LCD habis. Semuanya terpakai. Kalau mau gantian."

Baiklah. Berbagi LCD. Mungkin, istilahnya terlalu romantis. Tapi, jujur ini miris. Bagaimana mungkin, kami harus memotong presentasi kami pada pukul 11.00 karena kelas sebelah harus memulai presentasinya juga. Sementara, pembahasan belum selesai.

Mau takmau. Kami pun harus merelakannya. Berbagi LCD. Meski harus mengelus dada. Enthlah. Universitas yang (katanya) berkelas internasional tidak memiliki LCD sejumlah kelas. Mungkin, kami harus merakyat. Menggunakan papan tulis dan spidol. Kembali pada zaman antahberantah.

Takhanya itu. Hampir setiap hari. Kami pun harus berbagi bangku. Lagi-lagi kami diajari untuk berbagi dengan sesama. Ya. Berbagi bangku. Lebih romantis bukan kedengarannya?

Setiap pagi. Ada saja pemindahan bangku dari satu kelas ke kelas yang lain. Bangku diseret-seret. Diangkat-angkat. Mengganggu! Kelas takpunya bangku sejumlah mahasiswanya. Parahnya, berbagi bangku ini terjadi antarlantai. Mahasiswa harus naik atau turun untuk mengambil bangku di kelas yang kosong.

Baiklah. Masih beruntung bisa kebagian. Yang datang terlalu telat dapat dipastikan akan duduk lesehan. Atau tidak perlu masuk kelas karena tidak ada bangku.

Suatu saat, kami harus terheran-heran kembali. Pasalnya, bangku yang ada adalah bangku seminar (tanpa ada meja). Well, ini lucu. Kami tidak boleh menulis karena tidak ada sandaran untuk menulis. Terpaksa lagi. Kami harus menerima keadaan itu dengan lapang dada.

Itu masih belum seberapa. Hari Rabu, 9 Mei 2012, kami harus kuliah di ruang 4309. Kelas kosong. Hanya ada papan tulis, meja dan kursi dosen, serta meja LCD. Taksatu pun bangku untuk mahasiswa di sana. Kami harus lesehan. Duduk di bawah. Seperti akan pengajian. Bangku di gedung itu sudah terpakai semuanya. Tidak mungkin kami mengambil bangku di gedung lainnya.



Lantas, bagaimana dengan gembar-gembor World Class University? Ataukah kami harus diajari merakyat agar takketahuan kalau melarat? Entah. Berbagi LCD dan berbagi bangku. Miris. Lalu, berbagi apa lagi nanti? Mungkin berbagi kelas. Sebab mahasiswa yang diterima melebihi kuota.

Rabu, 02 Mei 2012

jatuh cinta

waktu memang terlalu cepat membawa kita pada hal lain. termasuk jatuh cinta. siapa sangka. aku bisa jatuh cinta padamu. setelah banyak waktu yang kita habiskan bersama.

Selasa, 24 April 2012

Ponsel Saya Hilang

Seperti biasanya. Saya terlalu biasa untuk menerima hal senang maupun sedih. Bagi saya sama saja. Sama-sama dari Tuhan yang patut disyukuri. Sore tadi. Sehabis kelas Wacana, saya (dengan sangat tidak sengaja) meninggalkan ponsel saya di laci kelas Wacana. Keluar gedung menuju perpustakaan. Dan saya baru tersadar jika ponsel saya tidak ada di dalam tas. Saya yakin. Ponsel saya ketinggalan di laci itu. Dengan segera saya kembali ke kelas.
Baiklah. Mungkin ceritanya mudah ditebak. Ponsel saya sudah tidak ada lagi di laci meja saya. Teman saya mencoba menelepon ponsel saya. Mati.
"Kok lo nyantai gitu sih handphone lo ilang?" teman saya--yang daritadi menemani saya--mungkin heran.
"Ya. Mau gimana lagi. Kalau jodoh pasti akan balik lagi. Kalau gak jodoh berarti ya bakal dapat ganti yang lebih baik." saya menjawab enteng sambil tertawa.
Dia terdiam. Membenarkan. Ya. Saya selalu percaya pada Tuhan. Yang akan mengganti hal-hal yang diambil-Nya dengan hal yang lebih baik.
Sesampainya di rumah, saya menelepon Mama saya. Seperti biasanya juga, Mama saya juga biasa saja. Sangat biasa. Malah melarang saya untuk menanyakan ke OB besok.
"Kamu kurang memberi kali!" Pas! Saya sudah menduga itu yang akan dibilang oleh Mama saya.
Iya. Mungkin saya memang sangat kurang memberi. Memberi ke siapa pun. Memberi apa pun. Termasuk ke Tuhan. Saya tahu.
Jujur saja. Ini kehilangan barang yang sedikit istimewa untuk pertama kalinya. Saya termasuk orang yang teliti. Sangat malah. Rapi menyimpan barang-barang saya. Apa pun. Tapi entah kali ini. Mungkin memang waktunya hilang. Sudahlah. Tidak apa-apa. Akan ada ganti yang lebih baik.
Kenapa saya harus mempertanyakan alasan ponsel hilang, sementara saya takpernah bertanya alasan segala kebahagiaan yang diberikan Tuhan pada saya. Cukup adil bukan? Semoga saja.

Senin, 23 April 2012

April Hampir Habis. Dan Aku Baru Saja Menulis.

Ini benar-benar April hampir habis. Dan aku belum menulis sama sekali. Tentang apa pun. Terlebih tentang kamu. Maaf. Aku salah fokus. Seperti bulan-bulan yang lalu. Banyak hal yang terjadi. Menyenangkan. Mengharukan. Menyedihkan. Bagiku. Itu sama saja. Sama-sama membahagiakan. Takkurang apa pun. Sudah kukatakan bukan? Konsep bahagia bagiku terlalu sederhana. Bahkan hanya bisa bangun pagi lalu melakukan hal-hal rutin, bagiku itu juga bahagia. Bulan April ini. Tuhan memang sedang sangat-sangat baik padaku. Sudah kuceritakan padamu juga kan? Jika aku taklolos seleksi Mahasiswa Berprestasi, bahkan masih di tingkat Jurusan. Perasaanku biasa saja. Dan masih tetap berpikir akan ada ganti yang jauh lebih baik. Entah kapan. Ternyata. Apa yang teryakini. Itu jugalah yang terjadi. Aku memang taklolos seleksi Mapres Utama, tapi aku tetap menjadi Mahasiswa Berprestasi di Bidang Akademik. Takmenyangka. Indeks Prestasi Komulatif-ku menempati angka tertinggi di seluruh mahasiswa program studiku. Namaku terpanggil. Menerima penghargaan dan bantuan membayar Biaya Operasional Pendidikan--yang bagiku mahal itu. Terima kasih Tuhan. Mungkin, jika boleh kumenyebutnya, ini kado dari Tuhan untuk tanggal lahirku. Baiklah. Aku memang selalu percaya kebaikan-kebaikan sederhana yang kulakukan untuk orang lain akan berdampak besar padaku. Di saat yang tepat. Mungkin kamu taktahu atau takingat. Jika tanggal 17 April kemarin aku berkurang umur. Entah. Berapa sisa umurku sekarang. Ya. Takperlu ucapan memang. Tapi aku bahagia ketika malaikat-malaikat kecil takbersayap yang serumah denganku menyiapkan kejutan tengah malam. Aku dibangunkan tepat pukul 00.00, mereka membawa kue tart cokelat yang lezat dengan angka lilin 99. Aku tertawa saja. Terima kasih. Sempat kami berdoa bersama. Bersenda gurau. Kata mereka, usiaku sudah mencapai 99 tahun. Iya. Tandanya aku harus sesegera mengingat kematian. Jika dihitung oleh kalkulator manusia, usiaku baru mencapai 21 tahun. Usia ranum. Jujur saja. Tanggal 17 kali ini, aku takbanyak berharap mendapat ucapan selamat. Sebab aku tahu. Ini takpanjang. Takabadi. Tapi, aku tetap berterima kasih pada mereka yang sudah bersusah payah mengingat tanggal itu tanpa bantuan jejaring sosial. Lalu, adikku satu-satunya. Dia mengirimiku ucapan "Selamat Ulang Tahun" berbelas-belas kali di kotak masukku. Mungkin, itu caranya menyayangiku. Aku juga sangat menyayanginya. Sangat. Orang-orang terdekatku memang takpernah melupakan tanggal itu. Kedua orang tuaku. Tanteku. Dan kedua adik sepupuku. Aku menyayangi mereka. Sangat. Ketika berangkat ke kampus pun, aku bebas saja. Takada beban. Namun, lagi-lagi. Membuatku terharu. Teman baikku membawakan kue tart mungil yang cantik. Mengucapkan selamat ulang tahun dengan caranya. Aku hampir menangis. Terima kasih sekali lagi. Bahkan, sampai hari ini aku masih mendapat ucapan selamat ulang tahun dan kado. Padahal, aku takmemiliki situs jejaring sosial yang beraplikasi pengingat ulang tahun itu. Terima kasih. Sudah mengingat hari itu untukku. Satu lagi. Kado dari Tuhan yang takpernah berakhir. Aku lolos hingga tahap esai untuk Peneliti Muda Good Governace MWA UI Unsur Mahasiswa. Besok petang akan wawancara. Semoga Tuhan takbosan baik kepadaku. Satu hal yang belum tertuliskan pada April ini: kamu! Semoga kamu juga baik-baik saja.

Jumat, 30 Maret 2012

Bahagia itu sederhana. Seperti kemarin.

Entahlah. Definisi bahagia bagi saya memang terlalu mudah. Menjalani sepanjang hari dengan berjalan-jalan juga membahagiakan. Seharian kemarin saya tersenyum. Hal-hal sederhana memang biasanya membuat saya sangat bersyukur pada Tuhan. Saya masih bisa menikmatinya. Hingga sekarang.

Pagi-pagi. Saya membaca pesan singkat dari teman saya bahwa kuliah Sastra Bandingan ditiadakan. Hari itu hanya satu mata kuliah. Otomatis. Kemarin saya sedikit terbebas dari kuliah yang penuh tuntutan. Saya juga sengaja menolak tawaran mengajar. Alasan saya ada seminar, padahal saya akan hadir di diskusi film. Sudahlah. Berbohong demi kebahagiaan. Sepertinya Tuhan mengerti.

Berangkat ke kampus. Memakai baju ungu. Menyenangkan. Saya akan ke perpustakaan hari ini. Menonton film. Mengerjakan tugas. Lalu mengikuti diskusi filmnya.

Sengaja saya tidak menunggu bus untuk sampai ke perpustakaan. Meminjam sepeda. Menaikinya. Bersepeda selalu menyenangkan. Ya. Mengingatkan pada masa kecil. Takada rasa takut. Takbanyak pertimbangan. Seperti sekarang. Panas. Tapi, takmembuat bersepeda menjadi tidak menyenangkan. Angin masih bertiup. Untunglah, sedikit mendung. Saya memang suka bersepeda atau berjalan kaki. Bebas polusi. Bebas dikejar waktu.

Sesampainya di perpustakaan. Saya langsung masuk ke sinema. Filmnya sudah hampir mulai. Oh iya, saya menonton film “Dilema”. Film yang diproduseri oleh Wulan Guritno. Sangat menarik. Film ini gabungan dari lima film pendek. Yang disutradrai oleh empat orang berbakat. Yang memiliki cerita masing-masing, tetapi tetiba memiliki benang merah. Ada kritik sosial tentang negeri ini. Ada penggambaran hubungan antara ayah dan anak di setiap scene. Garis Keras, The Officer, The Gamblers, Big Boss, dan Rendesvouz. Judul tiap-tiap scene. Menjadi satu kesatuan. Bergerak. Seperti kenangan. Terpisah-pisah. Tapi menyatu. Nanti. Jika ada waktu saya akan menulis resensinya.

Setelah menonton film, saya naik ke lantai tiga. Mengerjakan tugas. Baru kali ini saya mengerjakan tugas yang bahannya berbahasa Inggris dengan senang hati. Entahlah. Mungkin perasaan masih terbawa.

Minum segelas jus jeruk yang berwarna oranye juga menjadi hal yang menyenangkan. Sederhana saja.

Pukul lima. Saya harus ke lantai enam. Diskusi film hampir dimulai. Kembali menyenangkan. Wulan Guritno, empat sutradaranya, dan Ario Bayu hadir sebagai pembicara di diskusi itu. Ario Bayu. Iya. Dia salah satu pemain dalam scene The Officer. Sebagai Brigadir Aryo. Ah, sudah lama saya kagum dengan kemampuan akting dia. Selalu dingin. Dingin yang menghangatkan.

Kebahagiaan itu sepertinya memang datang beruntun. Saya berhasil memenangkan kuis yang diadakan panitia. Mendapat bingkisan. Yang menyerahkan Ario Bayu. Bersalaman. Foto bersama. Hampir berciuman. Oh. Yang ini lupakan. Saya hanya bercanda. Haha

Di luar hujan. Semakin petang. Saya harus pulang sendirian. Iya. Takapa. Sudah biasa. Ada rerintik. Yang semakin membawa pada dejavu. Pada rindu. Terima kasih. Kemarin sangat menyenangkan. Bolehlah nanti. Saya mengajakmu serta dalam bahagia versi saya.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana hujan. Yang takpernah memilih tempat untuk jatuh. Seperti kemarin.

Sabtu, 24 Maret 2012

Intinya, Saya Rindu!

Sepertinya sudah sangat lama, saya tidak menjenguk rumah ini. Sudah banyak sarang laba-laba di sana-sini. Berdebu. Kotor. Tapi mungkin cukup disapu atau dipel. Sedikit saja. Sebab, saya takmeninggalkan rumah ini terlampau lama. Lama tapi takterlalu.
Entahlah. Tetiba saja saya kangen bercerita di sini. Padahal takada yang sedang ingin saya ceritakan. Saya ingin menulis. Itu saja. Saya juga sudah lama tidak menulis puisi. Sekadar membimbang dalam tulisan pun tidak. Saya tidak tahu. Apa yang saya lakukan akhir-akhir ini. Gempuran tugas. Makalah. Presentasi. Menjadi satu kesatuan yang menjelma monster. Merampas separo lebih waktu saya. Ditambah jadwal mengajar yang lama-lama tidak manusiawi. Saya rindu. Kangen. Menulis puisi.
Paling tidak, menulis puisi adalah cara sederhana untuk bercerita. Sesingkat waktu. Sependek usia. Takperlu berpanjang lebar.
Ah, saya ingat. Kemarin libur panjang. Saya tidak pulang, ke Bandung ataupun ke Jombang. Sama sekali. Hanya berdiam diri dan bercinta dengan tugas. Lama-lama memuakkan. Tapi, bagaimana lagi. Sudahlah. Nikmati saja.
Jika saya sedang bosan dengan tugas saya, menulis hal takpenting seperti ini yang saya lakukan. Sekadar membunuh jenuh. Meminta waktu berlama-lama. Entahlah. Akhir-akhir ini saya lebih sering rindu rumah. Rindu pulang. Menurut saya, rumah itu manis. Ada banyak kenangan di dalamnya.
Tadi, saya mengatakan sedang rindu pada puisi. Sekarang, saya benar-benar rindu pulang. Intinya, saya rindu. Pada apa? Pada siapa? Pada setiap hal yang membuat rasa hangat. Tertawa. Bercerita. Banyak hal. Pada setiap orang yang pernah mengajari saya mengeja nama. Rindu. Ingin bertemu.

Sabtu, 17 Maret 2012

Ada Banyak Cerita pada Malam. Yang Takterlihat saat Terang

Saya selalu senang melakukan perjalanan pada malam hari. Ada banyak hal yang takterlihat pada siang hari akan tampak pada malam hari. Ah, ini bukan cerita seram.
"Kamu kalau pulang jangan malam-malam!" nasihat Oma saya setiap kali saya akan pulang ke Bandung. Saya diam. Tidak menolak ataupun mengiyakan. Masalahnya, hari terakhir sebelum akhir pekan yang panjang, urusan saya di kota ini baru selesai menjelang senja. Saya hanya bisa naik bus dari terminal pukul enam. Itu mungkin bus yang terakhir.
Kemarin, akhirnya saya pun pulang. Setelah melalui perdebatan panjang dalam diri saya. Antara urusan di kota ini yang takpernah selesai atau meluangkan sedikit waktu untuk bisa memeluk Oma, Tante, Om, dan dua adik sepupu saya. Untunglah, saya memilih pilihan yang kedua.
Perjalanan yang menyenangkan meskipun terlalu dingin. Saya suka duduk di samping jendela. Menatap keluar. Tidak memasang headset. Membaca buku. Melihat pengamen-pengamen kecil di lampu merah-kuning-hijau. Menatap nanar pada kakek atau nenek yang masih belum istirahat di usianya yang senja.
Melihat mereka. Mengingat negeri ini. Banyak protes di sana sini. Menolak kebijakan itu ini. Miris.
Banyak ketimpangan. Sang pemilik modal tetaplah pada posisinya yang aman. Sang proletar juga harus tetap menerima nasibnya. Lantas, bagaimana dengan kelas menengah? Kelas setengah-setengah. Yang takbisa dianggap pemilik modal juga takpantas dianggap proletar? Saya kira, kelas menengah akan terombang-ambing. Mencoba dengan keras meraih "gaya hidup" yang di atas sebab takmau dicap kelas bawah. Dilematis.
Perjalanan malam selalu mengingatkan saya pada hal-hal yang takterduga. Seperti kali ini, saya teringat pada Marx yang membagi dunia atas dua kelas: borjuis dan proletar. Sementara kelompok menengah yang sulit teridentifikasi takpernah dipikirkan oleh Marx.
Ada kesenjangan di sini. Saya selalu kasihan pada orang-orang yang di pinggir jalan itu, pada sopir angkot, pedagang asongan, mungkin juga pada makelar penumpang. Bagaimana jika mereka tak mendapatkan cukup uang untuk mencukupi kebutuhan anak istri mereka di rumah.
Kadang, di tengah keterbatasan mereka, masih ada senyum yang tulus. Ya. Bahagia memang sederhana. Kemarin, saya sempat melihat sepasang kakek nenek yang bergandengan di trotoar. Berjalan. Berdua saja. Saling menopang tubuh ringkih masing-masing. Membuat iri. Termasuk saya. Mereka bahagia. Bahkan dengan cara yang sangat sederhana.
Setiap kali ke Bandung, saya tidak pernah absen pergi ke pusat perbelanjaan. Sekadar jalan-jalan atau memang ada urusan. Jujur saja, saya tidak begitu tertarik pergi ke arena modern ini. Hanya saja, saya menikmati kebersamaan saya dengan tante dan kedua adik [sepupu] saya. Saya bisa ngobrol atau sekadar menggandeng tangan mereka. Itu hal yang takbisa ditukar dengan apa pun. Termasuk kemewahan yang ada di pusat perbelanjaan. Setiap kali tante saya memilih dan memilah produk, saya hanya menungguinya. Mengajak ngobrol tante atau duduk jika memungkinkan. Melihat-lihat pengunjung lain. Mencatat apa pun yang dapat disimpan.
Banyak yang datang dan pergi di setiap gerai. Masing-masing membawa gayanya. Setiap orang berusaha berpenampilan sangat menarik--paling tidak menurut dia.
Mungkin, mereka termasuk kelas menengah. Yang takpernah mau disebut ketinggalan zamam. Sepertinya, gadget terbaru selalu ada dalam genggaman mereka. Berjalan tanpa mendongak karena (mungkin) sibuk membuat livetweet tentang perjalanannya ke mall. Atau sedang check-ini di foursquare.
Entahlah. Itu hanya sekilas pemikiran liar saya. Boleh setuju boleh tidak.
Sudah saya bilang. Perjalanan malam selalu membuat saya semakin meracau. Melamun ke mana-mana.

Warna: Identitas Budaya Populer

Warna. Warna-warni. Setiap yang oranye, paling tidak, harus berpasangan dengan yang serupa oranye. Senada, katanya. Tak bolehkah yang oranye berpasangan dengan yang hijau atau biru?
Kalau itu takboleh, betapa kasihan si warna. Oranye hanya bersama (serupa) oranye!
Paling tidak, itulah yang saya lihat di pusat perbelanjaan hari ini. Tas warna oranye dipadupadankan dengan sepatu dan dompet oranye. Begitu halnya dengan warna merah, biru, ungu, dan lainnya.
Kemudian, tante saya ribut. Dia ingin membeli tas oranye tersebut, namun bingung harus dipasangkan dengan baju warna apa. Masalahnya, dia hanya punya sedikit baju yang bernada oranye. Pada akhirnya, tas tersebut tak jadi terbeli. Hanya karena taktahu harus memakai baju apa.
Entahlah. Hal-hal seperti ini siapa yang mengonstruksikan. Siapa yang memulai.
Jika menanyakan hal ini, nantinya, akan sama dengan permainan telur dan ayam. Siapa yang duluan? Takada yang mengaku!
Pusat perbelanjaan tidak akan mengonstruksikan pola dan warna senada untuk setiap produk yang mereka tawarkan jika takada konsumen yang meminta. Sementara itu, pola pikir konsumen juga tidak akan terbentuk jika takada pola dari produsen. Masalah ini sederhana. Hanya saja, banyak yang enggan peduli.
Masalah warna dalam berpenampilan. Ya itu saja. Dari sini. dapat terlihat adanya konstruksi sosial yang lekat. Streotip masyarakat yang kuat bahwa yang tidak senada akan terasing!
Pada dasarnya, manusia membutuhkan komunitas untuk mengakui keberadaannya. Menjadi bagian dari kerumunan. Akan merasa termarginalisasi jika tidak mengikuti perkembangan zaman. Boleh juga disebut sebagai budaya populer untuk fenomena semacam ini. Dalam budaya populer, penyeragaman cita rasa pada masyarakat itu menjadi unsur yang penting.
Warna dalam penampilan pun dapat menjadi identitas seseorang. Ada semacam peraturan taktertulis dalam diri setiap penikmat warna. Keberpikiran seperti ini takelak dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pemilik modal. Produk diciptakan dengan asas keterserasian. Belum afdol jika memakai tas warna ungu tanpa sepatu warna ungu juga. Mungkin itu paradigma yang digembar-gemborkan secara diam-diam dan menyelinap. Display pada manekin dan etalase toko semakin menguatkan ideologi itu. Masyarakat berebut di depan kasir untuk memuaskan keinginan yang sebenarnya takpernah cukup. Merasa sangat puas jika bisa membeli tas dan sepatu yang sepaket dengan harga selangit. Kemudian dengan bangga memakainya ketika bertemu dengan orang lain. Dengan begitu, mereka dapat dianggap bagian dari sebuah komunitas yang takdisadari: budaya populer.
Warna adalah konsep. Realitasnya berupa ungu, hijau, oranye, dan sebagainya. Klasifikasi warna yang mengatur adalah manusia menurut budaya masing-masing. Lantas, mengapa masih meributkan warna yang taksenada dalam sebuah penampilan? Padahal, boleh saja kau memakai warna sesukamu di satu waktu! Bukan berarti kau bukan bagian dari komunitas.

Senin, 12 Maret 2012

Beberapa Cerita tentang Bahasa Kita

Sepagian tadi, saya kembali diingatkan oleh dosen saya beberapa istilah atau peribahasa dalam bahasa Indonesia yang memiliki "sejarah" atau "muatan budaya". Sebelum menguap, saya mencoba menuliskannya di sini. Kamu boleh menyebarluaskannya, asalkan masih ada nama saya. Hehe.

1. Alah Bisa karena Biasa

Peribahasa ini bermakna leksikal 'kalah bisa (racun) karena biasa'. Kata alah berasal dari bahasa Melayu Klasik yang berarti juga 'kalah', sedangkan bisa bermakna 'racun'. Mungkin, sebagian orang menganggap bahwa kata bisa di sini bersinonim dengan kata dapat. Yang pasti, peribahasa ini mengisyaratkan bahwa bisa itu dapat kalah dengan kebiasaan. Jika tubuh setiap hari memakan sedikit racun, kelak, tubuh akan membentuk sistem kekebalannya sendiri. Ya. Kalah bisa karena biasa! Tidak berlebihan memang.

2. Mata Keranjang

Istilah ini sering terdengar ketika ada seseorang yang hobinya menggoda lawan jenis. Pada dasarnya, istilah ini berasal dari frase dari mata ke ranjang. Yang maksudnya, seseorang melihat orang lain dengan pikiran menuju ke ranjang, bukan keranjang yang dapat menampung semuanya.

3. Hidung Belang

Istilah ini sering digunakan untuk menyebut lelaki yang "nakal" atau suka gonta-ganti pasangan. Istilah ini muncul ketika zaman penjajahan ada seorang sersan yang jatuh cinta pada puteri jenderalnya. Suatu saat, sersan tersebut kepergok sedang bercinta dengan puteri tersebut. Singkatnya, sersan dihukum di tengah lapangan banteng dengan hidung dicat hitam belang-belang, sedangkan sang puteri tidak dihukum karena dia anak jenderal. Julukan ini tetap berlaku sampai sekarang. Perempuan tidak ada yang mendapat julukan ini. Agak sedikit bias gender sih. haha

4. Dirgahayu

Ini makna katanya 'semoga panjang umur'. Ada banyak yang salah, termasuk saya. Pada awalnya, saya mengira kata ini bermakna 'selamat ulang tahun'. haha. #ngaco

5. Antara Wanita dan Perempuan

Dua kata ini seringkali mengalami pergeseran makna, kadang yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Namun, penutur bahasa Indonesia dapat memilih, ingin menggunakan kata wanita atau perempuan. Kata wanita berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Vanita yang kemudian diserap dalam bahasa Inggris menjadi fun yang artinya senang-senang. Sementara itu, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti yang memiliki. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa wanita juga berasal dari kata wani ditoto (dalam bahasa Jawa) yang artinya berani ditata.

Begitulah. Sekelumit cerita tentang bahasa kita. Boleh percaya boleh tidak. Sebab ini semacam tradisi lisan yang turun temurun. Namun, bahasa acapkali dipengaruhi oleh budaya dan alam yang membentuknya, termasuk peribahasa dan istilah yang digunakan. Segala sesuatu yang ada di bumi ini tidak turun dari langit, termasuk bahasa.

I Wanna Learn Indonesian atau I Wanna Learn Bahasa?

Ah, mungkin topik ini sudah terlalu basi. Namun, saya baru saja tersadar akan hal ini ketika membaca artikel singkat dari Anton M. Moeliono beberapa jam yang lalu.
Seringkali, penutur bahasa Indonesia dalam berbahasa Inggris mengucapkan I'll speak in Bahasa atau I wanna learn Bahasa. Kalimat ini juga diucapkan oleh dosen MPK Bahasa Inggris saya.
Dulu, jujur, saya tidak mengerti mengapa banyak orang menggunakan kata bahasa untuk mengganti kata, yang seharusnya, Indonesian. Dalam hal ini, saya benar-benar tidak mengerti (dalam arti yang sebenarnya) konsep pemakaian kata bahasa dalam bahasa Inggris.
Hal ini dapat ditelusuri pemakaian katanya. Seperti yang saya rangkum (semoga tepat) dari tulisan Anton M. Moeliono bahwa ada kesejarahan yang bisa dirunut dalam penggunaan kata bahasa Indonesia. Pada mulanya, orang Belanda di Tanah Air seringkali menggunakan istilah bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa Belanda. Pada mulanya, orang Belanda menyebut het maleis untuk bahasa Melayu--yang menjadi induk bahasa Indonesia. Setelah itu, muncul bentuk de bahasa atau de bahasa Indonesia sebagai bentuk kompromi atau (mungkin) analogi dalam kalimat berbahasa Belanda.
Kebiasaan menggunakan de bahasa ini menjalar ke beberapa penggunaan bahasa asing lainnya meskipun alasannya berbeda dengan kalangan Belanda. Istilah ini kemudian ditiru secara terus menerus hingga menjadi kaprah. Sebagai contoh sederhana, orang Inggris akan mengatakan "I'm going to learn French, German, Dutch, and Japanese"
Dan, mereka tidak akan mengatakan, "I'm going to learn le francais, das Deutsche, het nederlands, and Nihon-go," padahal, nama itu lazim digunakan dalam bahasanya masing-masing.
Tanpa kita sadari, penutur bahasa Indonesia, juga tidak akan mengatakan, "Saya besok akan belajar English dan le francais!" kecuali dia adalah Cinta Laura. haha
Masih menurut Moeliono, bangga berbahasa Indonesia itu memperlakukan bahasa Indonesia sewajarnya seperti bahasa lain dan tidak (sok) menganggap kata bahasa tidak dapat diterjemahkan. Bentuk I wanna learn bahasa akan menjadi wajar dan lazim jika bentuk I wanna learn le francais sama rapinya dengan I wanna learn French--dalam bahasa bakunya.

Artikel itu sederhana, namun mencerahkan. Kesalahkaprahan memang kerapkali terjadi di negeri ini, terutama dalam hal bahasanya. Tulisan tersebut pemikiran Anton M. Moeliono yang saya rangkum dengan kalimat saya. Jika dipikir, logika yang digunakan Moeliono memang benar. Takselamanya yang sering digunakan orang itu benar. Seringkali, penutur bahasa hanya menggunakan tanpa curiga pada sejarahnya. Ya. Takada salahnya menggunakan kalimat, "I'm going to learn Indonesian!" atau "Io studio l'Indonesiano!"

Minggu, 26 Februari 2012

Merajut Perih

Kadang memang, sepertinya hidup takpernah adil. Kamu yang sudah berjuang mati-matian mendapatkan sesuatu, temanmu dengan mudah mendapatkannya. Sementara kamu? Kamu tetap pada perjuanganmu. Tanpa hasil. Paling tidak, itulah yang kamu pikirkan.

Kadang, kamu merasa berhak mendapatkan sesuatu, tapi ternyata tidak. Kamu sama sekali tidak pernah mendapatkan itu.

Remah-remah perih memang selalu ada. Terjadi begitu saja. Menyusun. Menjadi sekumpulan sayatan luka. Dan mungkin kamu pikir itu akan menjadi borok.

Kamu berpikir begitu? Tolong, jawablah tidak.

Remah perih itu akan jadi luka yang menguatkan. Yang akan tumbuh menjadi kulit yang lebih kuat. Kamu ingat cerita tentang adonan roti bukan? Atau cerita tentang rajutan benang?

Telur mentah. Tepung terigu. cokelat mentah. gula pasir. baking powder.

paling tidak, itulah bahan dasar roti. coba cicipi satu satu. macam-macam bukan rasanya? pahit. hambar. manis. getir.

Begitulah. Kehidupanmu sekarang. Kamu hanya butuh bersabar untuk mencampur keperihanmu itu menjadi "kue" yang lezat. Menjadi "kue" yang membuat rindu lidah.

Atau, coba kamu perhatikan rajutan benang dari bagian bawah. Berantakan dan terlalu ruwet, bukan?

Karena kamu memandangnya dari sudut pandang bawah. Tuhan yang tahu. Sebab Tuhan melihat kehidupanmu dari atas. Keruwetan itu akan membentuk rajutan indah di atas kain. Itulah. Rajutan Tuhan untukmu.

Sekarang kamu mengerti betapa hidup ini indah pada waktu-Nya. Tuhanmu akan tetap menjawab doa-doamu. Bukankah dia sudah menjanjikan hal itu?

Percayalah. Kehidupan ini sangat adil dengan cara-Nya.

*Note to my self

Senin, 20 Februari 2012

Bahagia

ada banyak hal yang membuat saya
bahagia. termasuk mencium bau rumput yang baru saja dipotong. wangi sisa hujan. air di pucuk daun. tawa bayi. pulang malam. berjalan di depan kandang rusa. bermain hujan. atau sekadar duduk di peron
stasiun. ya. sesederhana itu.
saya bahagia. melihat kakek dan nenek di samping rumah. setiap sore bercengkerama di depan warung kecil milik mereka. meladeni anak-anak yang membeli pop ice. menutup warungnya sebelum larut. membukanya sebelum ada matahari. ada senyum di wajah mereka. mereka bahagia. ya. sesederhana itu.
bahagia takperlu pengakuan. cukup
perasaan. bersyukur. terima kasih pada Tuhan. yang telah menciptakan segala sesuatunya memiliki
harmoni. terima kasih. saya bahagia. dengan hal-hal sederhana yang saya miliki.

Rabu, 15 Februari 2012

Rutinitas

Kembali ke rutinitas itu selalu mampu membuat saya tertegun. Kembali belajar hidup. Seorang diri.
Ada banyak hal. Awalnya memang selalu merasa jetlag. Merasa memulai sesuatu dari awal lagi setelah berminggu-minggu hidup di istana (baca: rumah). Rumah takpernah mengizinkan saya melihat sekitar. Pagar yang menjulang. Dan gembok yang terkunci rapat. Sangat melindungi saya dari dunia luar. Boleh dikatakan mengisolasi.
Sekarang tidak. Saya harus berpanas-panas lagi. Mengejar angkutan umum. Antri di terminal.
Sekarang pukul enam sore. Hampir magrib. Terminal penuh. Macet. Bahkan, di kota ini perjuangan dimulai dari titik awal perjalanan. Saya hanya menghela napas. berharap ini akan baik-baik saja sampai tujuan.
Ada banyak pengamen.
Penjaja makanan.
Penjaja es teh manis dalam plastik.
Penjaja permen.
(bahkan) mungkin penjaja tubuh.
Saya selalu kasihan melihat mereka. Ada rasa haru yang luar biasa pada orang-orang itu.
Seorang anak kecil. Mungkin masih 8 tahun. Terseok-seok membawa botol-botol minuman untuk dijual. berkeringat. sangat.
Mbak pengamen. Ada banyak tato dan pearching di tubuhnya. Suaranya cempreng. Tapi masih nekad mengamen.
Ah, betapa kadang hidup ini terlihat tidak adil. Mereka mencari koin untuk makan, sedangkan orang-orang yang ada Senayan itu dengan ganasnya menghabiskan koin--yang sebenarnya--milik mereka. Sudahlah, saya semakin ngelantur.
Rutinitas ini selalu mampu membuat saya merasa. Ada banyak hal yang terjadi. Yang rutin terjadi--meski dengan cerita dan pemeran yang berbeda.

Senin, 13 Februari 2012

hampir tujuh tahun

sesekali bolehlah saya tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. ini sekali saja. saya janji.
saya sudah kembali ke rutinitas. diajar dan mengajar. dipimpin dan memimpin. semuanya kembali pada semangat baru.
sore tadi gerimis. ketika saya baru berangkat ke tempat ngajar. saya berjalan terus. tanpa berniat membawa payung. seperti biasanya. saya juga taktakut make-up di wajah saya luntur. sebab saya takpernah memoles wajah saya dengan sapuan warna-warni. cukup pelembap dan lipgloss tipis. itu sudah lebih dari cukup.
di jalanan itu, tetiba saya teringat kamu. teman di sekolah menengah pertama dan atas. teman seorganisasi intrasekolah. kamu wakilnya, saya sekretarisnya. seringkali kita menghabiskan waktu berdua, atau bertiga dengan adik saya. berenang. memasak. atau apa pun hal menyenangkan lainnya.
dari kamu pula saya belajar sabar dan toleransi. menghargai kekurangan dan kelebihan orang lain. banyak hal. saya kenal baik dengan orang tuamu. kamu pun kenal baik dengan orang tua saya.
ah, kita sama-sama perempuan yang sedikit maskulin. kamu suka lihat pertandingan sepak bola. saya suka main bola. entahlah. mungkin itu yang membuat kita akrab.
hal yang paling saya senangi ketika kita berada di kolam renang. beratapkan langit. kadang muncul pelangi di sana. kita suka memandangi langit itu lama-lama. hingga taksadar baju renang kita sudah hampir mengering.
lantas kita tertawa.
"yuk, bikin janji." kamu memecah keheningan di antara kita. saya mendelik. bingung.
"tentang?"
"tentang laki-laki. kita berjanji. tidak akan menerima cinta laki-laki sebelum kita meraih mimpi tertinggi kita masing-masing." kamu mengucapkan kalimat itu dengan lancar. saya menanggapinya dengan antusias. mengangguk dengan cepat.
kelingking kita tertaut. saya tahu, ketika itu, kamu punya mimpi sebesar saya. bahkan mungkin lebih besar.
janji itu hampir tujuh tahun yang lalu. ketika kita sedang berada di tingkat dua sekolah menengah pertama.
kamu tahu? saya masih memegang janji itu. taktergoda untuk mengingkarinya. meski saya tahu. di tahun yang kedua, kamu sudah mulai menerima cinta laki-laki. mengakuinya sebagai kekasihmu.
saya bergeming. tetap dengan pendirian ini. mimpi tertinggi saya belum tercapai. ini terdengar naif dan tolol memang. tapi biarlah. saya tidak pernah diajarkan untuk mengingkari janji yang telah saya buat.
saya tak marah padamu. sama sekali tidak. tapi saya tahu. kamu menjauh dari saya ketika kamu punya kekasih yang pertama. entahlah. apa yang ada di pikiranmu saat itu.
hampir tujuh tahun. saya masih setia pada janji bocah ingusan. yang mungkin diucapkan di tengah kegalauan. tapi percayalah, saya masih menyayangimu. berharap kita bisa tertawa di kaki langit lagi.
itulah mengapa. saya tak ingin mengawali semua kalimat ini dengan huruf besar. sederhana. jika ada (tanda) untuk awal, selalu ada masanya berakhir. saya tak ingin hubungan kita terhenti.

Senin, 06 Februari 2012

Berharap Cerita Ini akan Berlanjut

Berdua saja. Kamu menunduk. Saya bercerita panjang. Derap langkah di depan kita seolah bayangan yang taknyata. Datang dan pergi. Tanpa kenangan. Serupa figuran. Kita pemeran utamanya. Sesekali kamu menanggapi obrolan saya. Saya pun mendengarkan.
Sepi.
Kamu tahu? Saya bisa mencium wangi rambutmu yang baru tercuci itu. Jarang sekali saya memperhatikan rincian. Tapi kali ini lain. Saya suka ketika pertama kali melihatmu menunggu saya di ujung pintu itu. Menarik sekali.
Saya memakai baju ungu. Kacamata ungu. Jam tangan ungu. Sepatu ungu. Tas ungu. Dan ponsel ungu. Entahlah. Mungkin kamu menganggap saya pesakitan. Yang semuanya harus berwarna sama. Sebenarnya tidak. Tadi hanya kebetulan.
Baiklah. Ini pertemuan pertama kita. Setelah beberapa kali mengirim pesan singkat. Yang benar-benar singkat.
Saya hanya ingin mengambil kumpulan puisi yang kamu janjikan itu. Cuma-cuma.
Lantas, kita bertemu.
Berbicara banyak. Ah, tidak. Saya yang berbicara. Kamu lebih banyak mendengarkan. Diam. Ya. Lelaki yang takbanyak bicara memang selalu terlihat sangat menarik di mata saya. Termasuk kamu.
"Nanti lupa," kamu menyerahkan kumpulan puisi(mu) dan teman-temanmu. Antologi kecil. Yang sepertinya menarik.
Saya menerimanya. Mengucap terima kasih.
Temanmu datang. Lalu meminjam antologi itu dari tangan saya. Pasrah.
"Ini terlalu mahal kalau lo jual dengan harga segitu!" temanmu itu berceloteh.
Kamu hanya bergidik.
"Lo tahu kan pemikiran teman-teman kita? Duit segitu lebih baik buat nongkrong daripada buat beli buku? Apalagi kumpulan puisi." temanmu itu masih meneruskan kalimatnya yang tadi.
"Gue gak ngeliat pasar. Tapi idealis! Sastra bukan kacang goreng yang bisa dijual murah pinggir jalan. Ini karya yang harus dihargai!" nadamu tetap tenang. Tapi cukup menusuk. Untuk saya dan (mungkin) untuk temanmu. Diam-diam. Saya mengagumimu pada pertemuan pertama.
Setelah itu, temanmu pergi. Kita masih betah duduk di bangku yang sama. Takada dari kita yang berniat mengakhiri pertemuan ini.
Sesekali saya mencuri pandang pada matamu. Mencoba menemukan bening. Atau melihatmu lekat ketika kamu menghisap sebatang rokok. Meskipun saya harus terbatuk. Tapi itu sedikit membuatmu lebih seksi.
Saya melirik jam di tangan. Sudah hampir pukul 1 siang. Hampir 4 jam kita di sini. Berdua. Bercerita.
Ponsel saya berdering. Teman saya memanggil. Sebentar saja saya menyelinap dari kamu.
Untunglah. Teman saya sudah selesai dengan urusannya. Saya harus ke rumahnya sekarang. Terima kasih. Sedikit menyelematkan saya dari pesonamu. Ah.
Lima menit yang lalu, pesan singkatmu masuk ke kotak masuk saya.
"Bolehlah, lain kali kita diskusi sastra lagi." katamu singkat.
"Tentu saja. Dengan senang hati!" saya juga menjawab dengan singkat.
Saya tersenyum. Menyenangkan. Terima kasih untuk hari ini. Yakinkan saya bahwa kita akan bertemu lagi.

Jumat, 03 Februari 2012

Saya Hampir 21 Tahun!

“Umur berapa kamu akan menikah?” tiba-tiba ayah saya menanyakan hal itu di tengah obrolan kami. Saya tercekat. Memandangnya nanar. Saya menggeleng pelan.

“Tidak tahu. Belum ada target.” jawab saya singkat.

“Kok bisa belum ada rencana. Umur kamu sudah hampir 21 tahun. Paling tidak, kamu menikah umur 24!” ayah saya akhirnya menyatakan hal ini. Hal yang paling saya takutkan.

“Sekolah dululah. Baru mikir nikah, Yah!” saya mencoba membuat pilihan.

“Iya, sekolah dulu. Tapi sampai sekarang, kamu belum punya pacar! Setelah S2 kamu sudah harus menikah.” ayah saya masih ceramah panjang lebar. Sementara pikiran saya, sudah entah ke mana.

Setelah S2? Itu berarti 3-4 tahun lagi. Terlalu cepat. Sebenarnya, saya ingin S3 dulu. Meraih gelar doktor. Hidup melajang. Jalan-jalan ke mana pun saya suka. Entahlah. Saya tidak tahu mengapa harus cepat-cepat menikah.

“Kalau cari suami itu yang baik! Menikah itu ibadah. Biar hidupmu sempurna.” mama saya ikut nimbrung. Saya bergeming. Tanpa menolak atau mengiyakan.

Saya tidak mungkin melontarkan pendapat ekstrem saya bahwa saya tidak mau menikah. Atau mengarang cerita bahwa saya seorang penyuka sesama jenis, mungkin. Ah, tidak mungkin. Pernyataan ini akan membunuh kedua orang tua saya.

“Kamu harus menikah! Punya anak. Biar tidak sepi hidupmu.” Mama saya menambahi. Seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan.

Bergeming.

Obrolan terhenti sampai di situ. Telepon dari tempat saya mengajar berhasil mengalihkan eksekusi ini. Bla bla bla. Sesaat saya disibukkan lagi dengan pengaturan jadwal mengajar. Tapi, itu hanya sampai tombol end di ponsel saya tertekan. Setelah itu kembali lagi. Meski tanpa kedua orang tua saya. Saya sudah berhasil izin keluar dari percakapan itu.

Hanya saya dan pikiran saya.

Menikah.

Saya selalu sensitif mendengar satu kata itu. Seperti pesakitan yang sebentar lagi menemui ajal. Ah, ini terlalu berlebihan. Kenapa saya tumbuh terlalu cepat. Tetiba hampir 21 tahun. Dan orang tua saya pun semakin menua. Sungguh. Saya takingin mengecewakan mereka.

Lelah. Waktu memang takpernah ke mana-mana. Tetap berputar di tempatnya. Hanya letih yang berubah. Menjadi semakin perih.

Entahlah. Sampai sekarang pun saya belum bisa memutuskan. Kapan saya harus menikah. Mungkin saja besok. Atau beberapa tahun lagi. Saya masih enggan memikirkannya. Ya. Jika pemikiran saya berubah. Saya janji. Akan segera mengabarimu. Di mana pun. Dan kapan pun!

Selasa, 24 Januari 2012

Setelah Semester 5

Setiap semester selalu memiliki cerita. Ada banyak hal yang terjadi dan tetiba berubah. Seperti kali ini. Semester lima telah berakhir. Benar-benar berakhir. Nilai-nilai saya sudah keluar. Dan baru saja saya membayar BOP untuk semester enam. Tapi, takada salahnya saya sedikit bercerita tentang semester lima saya.

Saya senang berada di semester ini. Mata kuliah yang menyenangkan. Dan dengan dosen-dosen yang menyenangkan pula. Jujur saja, saya sedikit trauma dengan IP saya yang terjun bebas pada semester empat kemarin. Ah, tapi ada untungnya juga. Ini membuat target IP saya pada semester lima adalah 4.00! Sedikit agak gila memang. Sudahlah. Saya memang suka segala sesuatunya berjalan seperti yang saya inginkan meskipun pada kenyataannya, tidak semua keinginan saya tercapai. Kecewa? Pasti. Setiap orang berhak kecewa. Tapi, saya tidak akan memelihara rasa kecewa saya. Masih banyak tempat sampah. Tinggal membuangnya, lalu menggantinya dengan harapan yang baru. Selesai.

Saya mengambil tujuh mata kuliah pada semester ini: Bahasa Isyarat, Gender dalam Sastra, Pengantar Dialektologi, Semantik dan Pragmatik, Leksikologi dan Leksikografi, Sastra Populer, serta Pengantar Metodologi Penelitian Kebudayaan. Entah kenapa. Saya suka semua mata kuliah tersebut. Saya memilih semua mata kuliah wajib linguistik dan sastra. Sebab, saya masih bingung memilih antara peminatan sastra atau linguistik. Haha

Baiklah. Semester ini, saya tidak hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang. Ada banyak kepanitiaan yang hampir membuat saya gila dan sedikit pesimis dengan nilai kuliah saya. Semester ini dimulai pada pertengahan bulan September. Di awal masuk, saya sudah diribetkan dengan pengurusan surat-surat Simposium Nasional Bahasa Indonesia, menghubungi calon peserta, mempersiapkan transportasi, menyewa kamar, dan rapat sana-rapat sini.

Selain itu, pada bulan Oktober awal, saya sudah sedikit sibuk mengurus keperluan final Lomba Esai Olimpiade Ilmiah Mahasiswa Universitas Indonesia (OIM-UI). Kebetulan, saya dipercaya buat jadi PJ lomba esai. Acara ini cukup membuat saya membolos tiga mata kuliah sekaligus. Ah, membolos adalah hal yang sangat jarang saya lakukan.

Hal yang paling menyita perhatian saya adalah acara Simposium Nasional Bahasa Indonesia. Mungkin, bagi orang lain, menangani acara ini terkesan biasa saja, tapi bagi saya, ini adalah sebuah kepercayaan besar. Acara ini berhasil membuat saya bolos kuliah seminggu penuh.

Setelah Oktober berlalu, saya kira, saya akan bisa mempelajari teori kuliah yang sedikit terbengkalai. Ternyata tidak! Saya harus mengajar. Mengejar rupiah. Tabungan saya mulai menipis gara-gara bulan Oktober saya tidak bisa mengajar sama sekali. Dan tidak mungkin saya minta kiriman orang tua. Saya sudah berniat untuk hidup mandiri. Apa pun yang terjadi. Haha. Ini terlalu berlebihan. Biasanya, jika mengajar, saya baru sampai rumah sekitar pukul 10 malam. Sangat bisa ditebak. Sesampai di rumah, saya langsung tertidur. Tanpa sempat membaca materi kuliah tadi pagi atau mempersiapkan kuliah besok pagi. Keadaan ini diperparah dengan dipercayanya saya menjadi koordinator siswa privat. Terjadilah ketidakkonsentrasian saya di dalam kelas karena sms yang menanyakan jadwal atau konfirmasi jadwal. Haha

Kepanitiaan saya belum berakhir. Bulan November, Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) tercinta bekerja sama dengan Faber Castell untuk mengadakan Talkshow “Kreatif Menulis, Rezeki Tak Akan Habis” bersama Raditya Dika. Dan saya sebagai Sekretaris Umumnya yang merangkap sebagai Kestari! Oh No! Surat lagi. Lagi-lagi surat. Saya harus ke sana ke mari (seolah lagu Ayu Ting Ting #halah) meminta tanda tangan orang-orang penting itu—yang namanya selalu berada di surat. Dan sedikit berhasil membuat saya gontok-gontokan atau merayu-rayu agar surat tersebut segera disetujui. Acara ini berhasil membuat saya membolos satu mata kuliah.

Ya. Sebelum acara tayang bincang tersebut, saya juga harus mempersiapkan presentasi esai saya dalam final UI untuk Bangsa. Meskipun belum menang, saya senang esai saya sempat masuk final. Saya membuat esai tersebut dalam semalam. Dan akhirnya lolos. Terima kasih.

Setelah semua kepanitiaan tersebut, saya bisa sedikit lega. Tapi, itu tidak bertahan lama. Rapat buat amandemen AD/ART IKSI FIB UI dan Laporan Pertanggungjawaban Kelompok Diskusi Ilmiah Program Studi Indonesia menunggu dijamah. Benar-benar memakan waktu di antara tugas UAS yang mulai menggempur. Sementara, saya masih harus mengajar!

Namun, kepanitiaan dan organisasi tetap saja masih nomor ke-13 dibandingkan dengan mengerjakan tugas kuliah. Semester ini benar-benar menyenangkan dan menguras energi.

Mata kuliah Pengantar Dialektologi mewajibkan saya turun lapangan untuk penelitian langsung. Perjalanannya sudah pernah saya ceritakan di ruang ini. Hasilnya, saya dan tujuh orang lainnya harus membuat makalah interpretasi dari data penelitian. Baiklah. Makalah tersebut setebal 350 halaman. Wow! Cukup membuat saya menarik napas panjang. Tapi saya senang. Ada kebersamaan yang takbisa ditukar dengan apa pun. Ada cerita ketika saya dan teman-teman lainnya harus lembur di kosan Rizma. Ada tawa. Tensi emosi yang sedikit naik. Atau sekadar bayar upeti bagi yang telat datang.

Saya harus membuat kamus istilah dalam mata kuliah Leksikologi dan Leksikografi. Sudah saya jelaskan juga di ruang ini. Akhirnya saya memilih membuat Kamus Istilah Mistik Indonesia. Sementara itu, betapa menyenangkannya kuliah Bahasa Isyarat juga sudah sering saya ceritakan di sini.

Untuk mata kuliah Gender dalam Sastra, Pengantar Metodologi Penelitian Kebudayaan, Semantik dan Pragmatik, serta Sastra Populer, saya hanya harus membuat makalah “normal” untuk tugas akhirnya. haha

Akhirnya. Semester 5 berakhir juga. Selesai dengan ceritanya. Dan kelak akan menjadi kenangan. Manis. Oh iya, target IP 4.00 saya belum tercapai. Mungkin lain kali. Tapi, Tuhan masih mendengar doa saya. IP saya tidak jauh-jauh dari 4.00. haha. Beruntung. Nilai B+ dan ke bawah tidak berani muncul dalam riwayat nilai saya. Tentu saja, naik dari semester kemarin. Ah, ini bukan pamer.

Selamat datang semester 6. (Semoga) menjadi semester terakhir sebelum saya skripsi. Saya masih berharap. IP 4.00 mau mampir ke saya dalam semester ini. Semoga. Semoga.

Rabu, 18 Januari 2012

Tentang Perempuan

"Si A hamil." suara mama saya di seberang sana. A adalah teman SD saya. Cukup akrab. Saya kaget. Sedikit tidak menyangka. A anak yang cukup pendiam. Tentu saja, dia hamil di luar nikah sehingga membuat saya keheranan.
Ini negeri timur. Masih sangat menganggap tabu perempuan yang hamil sebelum pernikahan.
Entahlah. Saya tidak mengerti apa yang dilakukan A. Saya tidak menyalahkan siapa pun jika perbuatannya atas dasar suka sama suka. Sudahlah. Pernyataan ini terbebas dari agama mana pun. Saya tidak berniat melawan agama apa pun.
Saya menyayangkan kejadian ini. Kali ini teman saya. Kemarin, sepupu saya. Saya hanya bisa menghela napas panjang. Mereka perempuan. Saya perempuan. Saya tidak mempermasalahkan jika mereka hamil lalu menikah dan hidup berbahagia. Tapi, sayangnya, cerita negeri dongeng seperti itu memang hanya ada di dalam negeri dongeng. Faktanya, mereka tersisih. Laki-lakinya pergi entah ke mana. Melepas tanggung jawab begitu saja. Sungguh. Saya selalu sakit hati dengan cerita seperti ini. Ingin rasanya mengejar "pacar-pacar" mereka untuk meminta pertanggungjawaban. Atau jika perlu memakinya.
(Lagi-lagi) perempuan. Teman dan sepupu saya (bisa-bisanya) masih membela "pacar-pacar" mereka. Yang dipersalahkan memang perempuan. Yang menanggung beban juga perempuan.
Entahlah. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh teman dan sepupu saya ketika menyerahkan keperawanannya begitu saja pada lelaki yang belum tentu bertanggung jawab padanya. Mungkin, termakan rayuan. Mungkin, memang takbisa menahan nafsu. Atau mungkin, larut dalam suasana. Saya tidak habis pikir.
Baiklah. Pemikiran setiap orang memang berbeda. Saya terbiasa menghadapi sesuatu dengan logika saya. Bukan dengan perasaan! Bahkan, untuk sekadar urusan jatuh cinta. Saya menimbang baik-buruk dalam setiap langkah yang saya lakukan. Mungkin, saya terlalu ekstrem menjadi perempuan. Biarlah.
Ah, sudahlah. Saya hanya mengingatkan.

Minggu, 08 Januari 2012

Pulang

Setelah selesai urusan di kota ini. Aku selalu bergegas pulang. Berkemas. Lantas pergi ke terminal atau stasiun cepat-cepat. Sebab, pulang selalu membawa cerita. Perjalanan panjang di dalam kereta atau bus membuatku selalu rindu untuk kembali. Aku takpernah memasang headset untuk mendengarkan musik atau sekadar menutup telinga. Sebab, aku takkan pernah mendengarkan apa pun jika telingaku penuh. Padahal, kereta selalu membuat cerita sendiri. Ada cerita di setiap perjalanan. Ada obrolan yang kadang membuatku terpingkal atau tertusuk. Banyak hal ketika pulang dan perjalanan.

Aku pulang. Ke rumah. Ke tempat yang memberiku rasa hangat. Ya. Tak lama sebab aku harus kembali “pulang” ke rumah yang lain.

“Ah, gue males pulang. Ngapain pulang. Di rumah gak ada kerjaan!”

Aku teringat kalimat yang terlontar dari temanku itu. Pulang itu ke tempat yang memberi rasa hangat. Bukan kembali pada bangunannya. Tapi pada “rumah”nya.

“Berarti itu bukan rumah lo kalau sampai males pulang!”

Aku menjawab sekenanya. Mungkin, dia marah. Lantas dia terdiam. Ya. Rumah takkan pernah memberi rasa malas untuk ditinggali, bukan ditinggalkan.

Ngapaian pulang? Banyak yang menanyakan itu. Banyak hal! Sekadar memastikan bahwa semuanya baik-baik saja juga menjadi salah satu alasan. Mencium pipi dan tangan serta memeluk orang-orang yang di “rumah” adalah hal yang takbisa dilakukan oleh dunia virtual. Maka, aku harus pulang. Ke rumah. Ke tempat yang memberiku rasa hangat.

Mendengar tawa, bercerita banyak, atau hanya sekadar menanyakan kabar. Itu semua bisa dilakukan ketika pulang. Meski bisa dilakukan oleh teknologi, rasanya akan jauh lebih hangat ketika pulang.

Ah, yang terpenting. Aku bisa membuang rindu dari mereka. Pada orang-orang yang tulus mencintai. Yang setiap saat membuka pintu rumahnya untukku. Menyambut gembira kepulanganku.

Tapi, pulang selalu saja melalui proses panjang. Ada banyak pertimbangan. Sudah pernah kukatakan, di kota ini, aku (selalu) terlalu sibuk pergi. Hingga, terlalu lupa pada pulang. Ya. Aku tidak akan merasakan pulang, sebelum pernah pergi. Terlalu lama pergi, kadang juga membuatku lupa untuk pulang.

Semoga. Urusanku kali ini cepat selesai. Sebab. Sudah terlalu lama aku tidak pulang. Bahkan, sekadar bertanya kabar mereka pun taksempat.