Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 29 November 2011

Tentang Kesetiaan

seperti jalan panjang--tak berkesudahan.
meniti sepi.
bermusim-musim.

adakah kau di situ?

Kamis, 24 November 2011

Terima Kasih

Di ruang ini, saya bebas bercerita. Tentang hal-hal sederhana apa pun. Tentang saya. Tentang kamu.
Di sini tempat bebas untuk membiarkan saya tetap ada. Menjaga jari-jari saya tetap dekat dengan tuts keyboard. Melihat mereka menari, lalu bercinta. Saya terkekeh ketika mereka takmencapai klimaks bersama. Terkadang, jari-jari saya lelah duluan atau tuts keyboard ini yang berkeringat terlalu deras. Melihat mereka itu nikmat. Serupa rangkaian musik klasik yang berbicara dalam kalimat sederhana.
Ruang ini sepi. Sama sekali. Tapi mampu menjaga gairah saya agar tidak mengendap atau terlalu meliar.
Hanya sesekali kamu dan teman-temanmu menengok. Dan saya percaya: yang datang ke mari adalah orang-orang yang rindu pada saya! Itu cukup membuat saya bahagia, paling tidak, masih ada yang peduli.
Begitulah. Ruang ini membuat saya bebas takmembatas. Yang memberikan kenyamanan semu membius. Yang mungkin jauh lebih baik dari rasa nyata tapi takterbaca.
Saya selalu menikmati kesendirian saya dalam sepi. Dan ruang ini menyediakannya untuk saya. Terima kasih.

Bau

Kenangan. Masih saja membuat saya bertanya. Tersusun atas apa dia? Beberapa orang teringat sesuatu ketika mendengar lagu atau melihat sesuatu. Ya. Begitulah kenangan. Mampir sejenak. Lantas pergi. Atau mengendap terlalu lama. Seperti hidup.

Kenangan juga tiba-tiba datang ketika saya mencium sesuatu. Entah wangi. [atau] busuk. Seperti kali ini. Ketika saya duduk di ruang megah. Saya mencium bau seduhan kopi. Mungkin dari arah warung kopi seberang ruangan ini.

Bau kopi yang mengepul selalu mengingatkan saya pada wajah Kakek. Yang setiap hari minum secangkir kopi. Duduk di dapur. Menunggui Nenek memasak nasi goreng. Tertawa melihat saya yang masih (sangat) kecil. Berlari-lari. Kadang kami saling memeluk dan berjanji. "Kalau kamu masuk TK, Kakek akan mengantar-jemputmu setiap hari!" Saya bersorak. Takada yang lebih menyenangkan daripada janji seorang kakek pada cucunya. Tapi sayang, Kakek sama sekali taksempat mengantar saya pergi sekolah. Kakek lebih memilih menemui Tuhan.

Bau kopi yang mengepul juga [kadang] membuat saya mengingat rasa mual. Saya ingat ketika saya muntah karena nekad meminum secangkir cappucino hangat di suatu senja.

Begitulah kenangan.

Mengingat kenangan. Saya selalu ingat bagaimana saya mengingat masa-masa SD saya ketika saya mencium aroma yang timbul dari telur ceplok. Saya ingat setiap pagi--setelah kepindahan Nenek ke Bandung--saya harus membuat sarapan sendiri. Apa yang bisa dimasak anak kecil berumur 10 tahun, selain menceplok telur? Belum ada. Ibu dan Ayah saya sudah berangkat ke kantor sebelum sempat menyiapkan sarapan untuk saya. Tidak apa-apa. Ini membuat saya belajar menyiapkan keperluan saya.

Begitu juga saya mengingat masa SMP dan SMA saya ketika mencium asap knalpot angkutan kota. Ini menyenangkan. Saya mengingat bagaimana saya harus berlari mengejar angkot agar takterlambat ke sekolah. Tak ada yang bisa mengantar saya ke sekolah.

Parfum aroma buah juga menyimpan cerita dalam kenangan saya. Saya ingat ketika saya mulai menyukai seseorang, saya mulai menggunakan parfum. Dosis pemakaiannya pun sedikit berlebihan, menurut saya. Bahkan takjarang ayah saya berkomentar jika parfum saya membuatnya pusing. Itu masa-masa labil. Entah. Mungkin SMP atau SMA. Yang pasti saya selalu tergelak ketika mencium parfum yang beraroma buah.

Saya selalu teringat pada Itali--dan keinginan saya untuk ke sana--ketika hidung saya menangkap bau pizza yang masih hangat. Saya teringat pada kegilaan saya pada jalan-jalan.

Sekarang, saya sedang mencium wangi cokelat dari aroma parfum saya. Mungkin, suatu saat kelak, saya akan mengingat hari ini ketika saya mencium parfum beraroma cokelat. Seperti saat ini. Persis. Ketika saya mulai [mencoba] jatuh cinta.

Sabtu, 19 November 2011

Truth or Death

Terbuat dari apakah kenangan itu? Aku takpernah tahu. Dari serpihan jerami yang menumpukkah? Atau dari debu di atas laci mejaku. Hanya saja, kenangan selalu membuatku mengingat-ingat sesuatu yang takingin kuingat, atau malah menghilangkan file penting dalam memori. Seperti jelangkung. Membuatku takut.
Kenangan jugalah yang menggedor-gedor ingatan. Tentang apa pun. Seperti halnya dini hari ini. Tiba-tiba aku mengingat permainan "Truth or Death" yang beberapa hari lalu kumainkan bersama teman-temanku. Mungkin kau akan bingung dengan permainan ini. Ya, harusnya, permainan ini bernama "Truth or Dare". Kami punya aturan sendiri. Takada tantangan. Atau memilih mati dan melompat dari lantai dua. Oh, tidak. Ini terlalu berlebihan.
Kami melingkar. Mungkin sepuluh atau sebelas orang. Tertawa. Aku duduk di sebelah utara, menghadap ke barat daya. Botol diputar. Setiap orang memasang muka (sok) tegang. Baiklah. Putaran pertama, kedua, ketiga, keempat. Aku lolos. Botol itu dengan baik hati tidak mengarah kepadaku. Sayangnya, ini takberlaku ketika putaran kelima. Dengan tepat, kepala botol itu menunjukku. Ya. Menunjukku untuk menjawab pertanyaan gila dari teman-temanku. Mereka bersorak. Aku mengernyit. Perasaanku sedikit takenak.
"Oke pertanyaan pertama yaaa!! Lo pernah jatuh cinta gak sih?"
Damn! Sudah kuduga. Pertanyaan itu akan muncul.
"Ehm, gimana ya? Sepertinya belum pernah!" aku mencoba mengatakan yang sejujurnya.
"Mana mungkin!!! Kami kan butuh kebenaran. Tapi, kenapa tulisan lo menandakan kalau lo (sepertinya) pernah bener-bener sakit hati?" sebuah pertanyaan tambahan dari orang yang sama.
"Haha. That's just writing! Gak ada hubungannya sama gue! Gue suka nulis, and that's why, I'll writing everything, termasuk rasa sakit hati!" Ini juga jujur. Yeah, selama ini aku hanya menulis. Tanpa harus memperhatikan apa yang kutulis.
Iya, ada sedikit kebenaran di situ. Aku memang pernah sakit hati. Tapi, sakit hati yang kualami memang berbeda dengan anggapan mereka. Bukan sakit hati pada cerita picisan seperti itu. Biarlah. Itu takapa.
"Pernah deket sama seseorang gak?" Sial. Pertanyaannya takcukup satu.
"Pernahlah! Gue deket sama orang tua gue, sama adik gue, sama temen-temen gue, sama kalian! Haha"
"Ishhh, maksud gue, lawan jenis!"
"Bokap gue!" entah. Ini bercanda atau serius. Sebab, sepersekian detik yang lalu aku mengingat-ingat segala sesuatunya, tak ada lelaki yang benar-benar dekat denganku, kecuali ayah.
"Lo bakalan pacaran gak?" Ini menyebalkan. Permainan sepertinya berhenti pada giliranku. Setelah ada pertanyaan itu, ada beberapa orang yang bersorak. "Gak pacaran lah, kan mau pakai proposal!" entah. Itu kalimat milik siapa. Sumpah. I never know about proposal of marriage. On my mind, proposal just for events! Haha
"Haha. Kok lo nanyanya pacaran sih? Lo nanya gue bakalan nikah atau enggak, itu aja gue masih binguung!" Yeah. That's true.
Derrr! Seperti tersengat lebah. Ruangan menjadi semakin gaduh dan sedikit ricuh. Ada banyak pertanyaan penyangkalan, kenapa?
"Yah, gue gak pernah tahu apa yang akan terjadi di kehidupan gue kelak. Tapi, yang pasti, untuk saat ini, gue belum bisa memutuskan gue bakalan nikah atau enggak!"
That's my choice!
"Kenapa? Kalau gue malah pengen cepet-cepet nikah. Buat menyempurnakan ibadah dan mengikuti sunnah Rasul. Haha" pernyataan itu didukung oleh beberapa orang lainnya.
"Emang kenapa lo gak pengen nikah? Pasti ada sesuatu yang membuat lo berpikiran seperti itu?"
Dasar manusia kepo!!
"Just about choices!" aku menjawab singkat.
Untung saja. Di tengah-tengah situasi yang memojokkan seperti ini, seorang temanku mengusulkan untuk mengakhiri saja giliranku. Sebab, pertanyaan yang diajukan sudah masuk ke ranah yang terlalu pribadi. Good advice! Thanks a lot to my friend!
Kuputar botol itu. Menunjuk ke teman sebelahku. Thanks God!
Maaf. Setelah pertanyaan tadi aku memang takbisa fokus lagi dalam permainan gila ini. Aku taktahu apa yang diungkapkan oleh teman-temanku pada giliran selanjutnya. Pikiranku terfokus pada pilihan menikah atau tidak.
Masih sangat tabu untuk memilih tidak menikah di negeri ini. Setiap orang punya alasan. Menikah atau tidak adalah soal pilihan. Dan setiap orang wajib menghormati terhadap pilihan orang lain. Lantas alasanku? Maaf. Aku takbisa menceritakan di sini. Terlalu umum. Mungkin, aku bis menghampirimu di lorong kosong untuk bercerita atau aku akan mengendap-endap memanjat tembok rumahmu agar bisa sampai ke kamarmu. Lalu, kita berbincang banyak di jendela lebarmu.

Kau takpernah tahu bukan,
rasanya takpernah jatuh cinta? Itu sepi.
Serupa musim dingin tanpa api. Lantas,
bagaiman mungkin kau memaksaku menikah.
Sementara aku takpernah bisa mencintai.
Terserah. Kau bilang hatiku terbuat dari
baja macam apa.
Bukankah kau pernah bilang,
cinta itu takpernah memaksa?
Sungguh. Aku percaya itu. Tapi, mengapa
kau takpernah percaya: aku takpernah jatuh
cinta!
Berapa kali harus kukatakan itu?
Aku takbisa.
Terlebih untuk menikah.
Menikah, bagiku, adalah upacara paling
sakral yang pernah ada. Penggabungan kembali
jiwa satu yang sempat terpisah. Bagaimmana
mungkin aku menikah, sedangkan jiwaku telah
satu.
Kau taktega melihatku tersiksa, bukan? Maka,
jangan paksa aku menikah.
Dengan siapa pun!

Kamis, 17 November 2011

Sederhana

Hidup itu sederhana. Sesederhana kecipak air yang terkena ujung sepatu. Atau lebih sederhana dari membalikkan telapak tangan. Sederhana sekali.
Saya jadi teringat, ketika saya kuliah isyarat--lagi-lagi isyarat--beberapa hari yang lalu. Seorang translator mengkritik beberapa dari kami yang terlalu rumit menyampaikan percakapan dalam bahasa isyarat. Ya. Saya memang masih menerjemahkan kata per kata untuk dibuat bahasa isyaratnya. Taksalah memang, tapi takperlu.
"Hidup itu sederhana. Jangan dibikin rumit!" Begitulah komentar dari translator tersebut. Saya tergagap. Iya. Hidup itu memang sederhana. Saya saja yang selalu sering membuat rumit.
Ah, sebenarnya. Dari dulu, saya juga enggan memikirkan rincian hidup. Saya senang menikmati hidup saya secara sederhana. Tanpa beban. Mengalir saja. Dan oleh beberapa orang, hidup saya terlalu santai. Takmasalah.
Saya seorang dateliner sejati. Terlalu tepat waktu, kalau dalam bahasa saya. Mungkin ini menyiksa bagi sebagian orang, tapi bagi saya ini adalah cara menyederhanakan hidup.
Saya juga taksuka mengkritik sesuatu. Taksuka bawel. Taksuka ribut. Saya kadang-kadang merasa jengah ketika teman-teman saya mulai mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya takmenyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya saja, ketika kami makan bersama, ada satu atau dua orang selalu marah-marah ketika pesanannya datang terlambat. Hei, yang pesan bukan cuma kalian!!! Tangan penjualnya juga cuma dua. Begitulah. Komentar saya dalam hati. Atau mereka mempermasalahkan tempat yang terlalu sempit, banyak lalat, masakan terlalu asin, banyak asap rokok, atau apa pun lah itu. Hello, kalau gak mau ribet dengan semua itu, cari tempat lain. dan urusan akan selesai.
Ah, mungkin saya yang terlalu apatis pada lingkungan sekitar. Yang menurut saya, semua hal akan jadi membahagiakan jika saya bisa membuat nyaman diri saya sendiri. Lingkungan itu tergantung perasaan saya. Sudahlah. Sebenarnya saya ingin sekali ngomong ke mereka, tapi ya itu, saya taksuka ribut. Taksuka berdebat.
Hidup itu sederhana. Bahkan lebih sederhana dari suhu tubuh yang naik setelah bermain hujan-hujanan.

Selasa, 15 November 2011

Ending




07:59:00
Penghitung waktu di pojok monitormu terus berjalan. Tik. Tik. Serupa jam dinding usang yang dentingnya terus menghantuimu. Menit itu diam saja. Namun, ada yang berteriak nyaring.
"Cepat selesaikan!! Kalau kamu tidak mau mengulang!"
Entah. Itu suara siapa. Mungkin dosenmu. Papamu. Mamamu. Atau bahkan pacarmu.
Tes. Tes.
Keringat di dalam ruangan berpendingin seperti ini memang taknormal. Tapi kamu basah. Lebih deras dari hujan yang mengguyurmu kemarin sore.

07:59:30
Monitor di depanmu masih kesepian. Hanya ada nama dan nomor mahasiswamu. Bodoh! Mau mengerjakan apa? Ingin kau lempar saja monitor yang dari tadi menjulurkan lidahnya ke arahmu. Mengejekmu. Mungkin, hidupmu akan bebas dalam 30 detik jika monitor ini hancur. Tapi, tentu saja. Kau akan terperangkap satu tahun lagi menghabiskan waktu di kuliah keparat ini.
Napasmu memburu. Logikamu menolak segala kemungkinan. Gila saja! Lima halaman hanya dalam waktu 30 DETIK!!! Hanya Tuhan yang bisa melakukan itu, pikirmu!
"Pukul 08.00, semua tulisan sudah harus dikumpulkan di meja biasa!" suara ketua kelasmu tempo lalu mendengung. Telingamu sakit, tapi (mungkin) tidak sesakit otakmu.
Mulutmu takberhenti mengucapkan sumpah serapah untuk mengutuk dosen yang menurutmu brengsek itu. Sudah dua kali kamu gagal lulus dalam mata kuliahnya.

08:00:00
Waktu habis.
Tet. Tet. Tet. Black Berry-mu bergetar. Panggilan masuk. Temanmu. Kamu sudah seharusnya menyerah. Kautekan tombol hijau. Menempelkan dengan malas di telingamu yang panas.
"Bapak Bachtiar meninggal!" telepon ditutup. Singkat. Jelas. Padat.
Matamu mengerjap. Seperti mimpi. Itu nama dosen yang kauserapahi sepersekian detik yang lalu.

Senin, 14 November 2011

Rintik dan Kamu

Aku sendirian saja di sini. Di gedung yang menjulang. Sudah pukul lima. Dan aku belum segera pulang. Kulihat orang lalu-lalang. Mungkin berpikir sedih atau senang. Ya, sedih karena tidak segera sampai rumah. Atau senang melihat hujan.
Seperti biasanya, kamu tahu bukan? Jika aku suka memperhatikan rintik. Senang melebur dengan rintik. Tik. Tik. Suara itu mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali. "Pada siapa?", tanyamu. "Mungkin padamu atau pada rintik." jawabku singkat.

Aku suka pada hujan. Pada hujan yang suka bersijingkat menghampiriku dalam tidur. Atau pada hujan yang bersepatu bot agar jika masuk kamarku, lantaiku tidak kotor. Aku suka pada hujan yang membawakanku payung. Padahal, aku tahu. Hujan tidak akan membasahi rambutku.
Ah, aku selalu suka pada hujan. Kapan pun. Terlebih ketika hujan pada senja seperti ini. Jingga yang memudar. Temaram. Petang. Mengingatkanku padamu. Padamu yang sudah melukis jingga pada kanvas putihku.
Di luar hujan, Sayang. Kau mendengarnya, bukan? Kau juga bisa mendengar degup jantungku yang ketakutan, bukan? Aku ketakutan, Sayang. Hujannya terlalu liar bermain dengan halilintar. Jujur. Aku cemburu pada petir yang menyambar.

Sudah berapa kali aku terjebak hujan? Entahlah. Mungkin ratusan. Dan di antara ratusan itu, ratusan kali juga aku menghampirinya. Menadahkan tanganku ke arah langit. Berharap tubuhku terguyur air. Dingin. Tapi, itu menyenangkan, Sayang.
Hujan semakin deras, Sayang. Kau dengar itu kan? Kau juga dengar denyut hatiku? Hatiku yang takpernah berhenti merindukanmu!

Minggu, 13 November 2011

Buku dan Rak Buku

 

“Jika S2 nanti kamu akan tetap mengambil Linguistik?” tanya teman sekamar saya. Saya mengangguk mantap.

“Saya telanjur cinta!” saya berkelakar. Dia hanya menggeleng dan tertawa.

Mungkin, baginya, saya sudah sedikit tidak waras. haha. tidak apa-apa. Mungkin, baginya, kuliah saya selama ini terlalu rumit dan tak penting. sama sekali bukan masalah. Saya telanjur jatuh cinta pada bahasa. telanjur jatuh cinta pada naskah. dan tentu saja, telanjur jatuh cinta pada sastra. Terlalu berlebihan, sepertinya. Tapi tetap saja. Saya hanya mengatakan bahwa saya sedang jatuh cinta.

Di sudut kamar saya, ada sebuah rak buku sederhana. Rak buku itu selalu mengingatkan saya pada cinta saya pada bahasa. Selalu. Saya menyempatkan diri untuk memberi sampul plastik pada buku-buku saya. Agar terlindung dari lalat, saya pikir.

Ada empat susun. Saya bisa menaruh apa pun di rak itu. Saya meletakkan fotokopian semua naskah dan buku—yang takbisa saya beli—di rak paling atas.

Image(572)

Ah, saya kadang-kadang harus memfotokopi buku-buku atau naskah-naskah ini. Bukan tindak kejahatan, saya kira, karena saya ingin mendapatkan ilmunya. #ngeles haha

Tumpukan ini menandakan cinta yang bertumpuk-tumpuk. halah, ini juga terlalu berlebihan.

Kemudian, di rak kedua, saya meletakkan buku-buku fiksi saya. Belum saya baca semua, tapi saya suka semua buku fiksi saya ini. Ah, jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan toko buku. Atau koleksi teman-teman saya. Tapi, ini kumpulan buku fiksi saya sejak kuliah. Dan tentu saja, saya membelinya dengan uang hasil kerja saya. haha. #sedikitpamer

Image(568)

Image(570)

Image(565)

Image(575)

Image(573)

Itu buku-buku yang sedang saya pinjam dari perpustakaan UI tercinta. Buku Hikayat Kadiroen yang sudah saya cari dari semester kemarin. Bercerita tentang bagaimana masyarakat semasa kolonial. Dan ini benar-benar aset. Buku Membaca Sapardi dan Pengarang Telah Mati adalah dua buku yang saya baca untuk membandingkan. Segenggam cerita dalam Pengarang Telah Mati ada yang dibahas dalam buku Membaca Sapardi. Dan yang terakhir adalah buku Seno Gumira Ajidarma “Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian!” Ah, Seno selalu membuat saya jatuh cinta berkali-kali.

Kemudian rak ketiga, saya meletakkan jurnal-jurnal yang saya dapatkan gratis, block note hasil seminar, map-map, majalah, berkas-berkas kepanitiaan, modul mengajar, bahkan hasil ujian. Sengaja tidak saya potret. Sebab bagian ini terlalu berantakan. haha

Saya meletakkan buku-buku kuliah saya di rak keempat. Ada kamus, tesaurus, dan buku-buku nonfiksi. Ini sedikit membuat saya pusing. Tapi, tetap saja. Tidak mengurangi cinta saya pada mereka.

Image(560)

Image(559)

Ini kamus yang baru saya miliki. Masih sangat kurang sekali! Harus ditambah. Ah, sebentar lagi akan ada Kamus Mistik karya saya dan kelompok Leksikografi saya. haha

Image(561)

Image(562)

Image(563)

Image(564)

Ini buku-buku kuliah saya. (Lagi-lagi) tidak banyak. Biasanya, saya meminjam di perpustakaan. Itu pun, masih sangat kurang sebenarnya. Dan saya harus membaca lebih banyak buku referensi lagi. Fiuh. Tapi, masalahnya saya selalu tertidur jika membaca. Oh la la. Ini menyebalkan.

Kembali ke kecintaan saya pada sastra, naskah, dan bahasa. Saya mencintai buku-buku itu seperti saya mencintai bahasa saya. Buku adalah bahasa. Buku adalah sastra. Dan buku adalah naskah. Dengan mencintai buku sama halnya dengan mencintai sastra, naskah, dan bahasa. Ah, tolong. Saya sedang jatuh cinta.

 

*Pada buku yang selalu menyampaikan rindu!

Sabtu, 12 November 2011

Selamat Datang

Selamat datang di latar belakang yang baru. Sepagian tadi saya sibuk mengotak-atik latar belakang laman saya. Agak ribet dan susah. Ya, karena memang saya tidak begitu pandai berotak-atik dengan dunia seperti ini. Tapi, lumayanlah hasilnya. Tidak begitu mengecewakan. haha.
Kenapa saya ganti latar belakang? Kenapa? Karena saya ingin ganti. Just it! haha. Kenapa ganti hijau? Bukankah sukanya ungu? Kenapa lagi? Ya memang, lagi ingin suasana baru. Sudah ah. Tidak usah mempermasalahkan masalah penggantian warna atau bentuk latar belakang saya. Itu tidak penting. :P
Selamat datang saja. Nikmati jika berkenan. Jika tidak, tutup saja tab-nya. Selesai. Terima kasih untuk yang sudah datang. Semoga latar belakang yang baru bisa membuat semangat saya juga baru!

Kamis, 10 November 2011

Surat untuk Adik-Adikku

Dear adik-adikku,

Apa kabarmu? Semoga baik, sebaik kabarku ketika menulis surat ini. Kemarin aku sempat melihatmu. Di dalam angkot. Bercerita banyak. Bersenda gurau. Aku senang melihatmu tertawa. Aku juga senang melihatmu bahagia di remajamu.

Dear adik-adikku,

Maafkan aku yang tiba-tiba lancang menulis surat padamu. Kita mungkin takpernah kenal sebelumnya. Tapi, aku sudah menganggapmu sebagai adik. Adik yang harus aku lindungi—meski kita takpernah sedarah. Adikku, Perempuan itu terlihat lebih cantik tanpa make up. Sederhana. Murni. Berapa usiamu sekarang? Mungkin 7 atau 8 tahun di bawahku. Tapi lihatlah, pipimu sudah merona. Mata aslimu merana. Bibirmu memerah.

Aku takmenemukan lagi kejernihan dan keluguan gadis-gadis kecil yang berusia belasan. Berbagai merk kosmetik mungkin sudah kaupakai untuk memoles wajah polosmu.

“Biar terlihat lebih dewasa dan cantik!” katamu jujur.

Adikku, dewasa itu pilihan. Kau bisa memilih menjadi dewasa, tanpa harus memoles wajahmu. Kau juga bisa menjadi cantik tanpa peralatan itu. Kau mau tahu cantik itu apa? Pegang dadamu Adikku. Cantik itu di dalam sana. Di dalam kemurnian hatimu. Itu kecantikan terindah yang dimiliki perempuan. Bukan wajah yang penuh polesan. Kau percaya itu, bukan?

Dear adik-adikku,

Menjadi seorang perempuan adalah anugerah Tuhan yang takterkira. Aku dan kamu. Perempuan. Aku takmau cara berpikirmu mengikuti stereotip masyarakat: make up membuat perempuan cantik. Lantas, kau berlomba-lomba memoles wajahmu sedemikian. Tapi, kau lupa merias hatimu dengan sejuta kebaikan. Bukan itu, Adikku. Bukan itu yang disebut cantik.

Adikku, cantik itu ada dalam kebaikanmu. Kebaikanmu menghargai dirimu sebagai perempuan. Kebaikanmu menghormati orang lain. Kebaikanmu bersyukur pada Tuhan. Dan kebaikanmu memperbaiki hatimu.

“Bagaimana jika tak ada cowok yang suka padaku kalau aku tak memoles wajahku?” (mungkin) inilah pertanyaan yang muncul di kepalamu.

Adikku, laki-laki yang baik adalah laki-laki yang mencari kebaikan hatimu. Bukan lelaki yang menerimamu karena seberapa tebal make up-mu. Maafkan aku. Aku sama sekali takmelarang perempuan merias diri. Hanya saja, aku terlalu sayang padamu. Usiamu masih belasan. Belum waktunya kau mengenal peralatan itu. Kau bisa mengerti kekhawatiranku, bukan?

Percayalah. Perempuan itu cantik dari hatinya.

Sabtu, 05 November 2011

Wine. Wine. Wine

Ah, akhir-akhir ini postingan saya agak sedikit kacau. Sekarang, saya ingin mengunggah gambar-gambar wine Tidak tahu kenapa. Tiba-tiba saya jatuh cinta pada benda satu itu. Tentu saja, semua terlepas dari agama apa yang saya anut.
Saya suka pada warnanya. Menyala. Apa pun jenis winenya. Dan sebenarnya, saya pun takbisa membedakan jenis wine. Saya suka ketika wine itu dituang. Memenuhi setengah gelas. Cantik. Saya suka ketika wine dalam gelas itu bergoyang, meliuk indah. Terlihat seksi. Ah, sebenarnya saya suka wine. #eh!

winepour1

Dan cara menuang seperti ini sedikit menimbulkan efek dramatis, eksotis, dan romantis.

Wine figures

Cantik dan menarik.

wine

Mungkin, seperti saya dan kamu. Yang bahagia ketika mencecap rasa wine pertama kali.

wine_965871

Dan, suatu saat kelak. Saya akan menuangkan wine pada gelasnya. Entah. Untuk siapa.

12_4_orig

Gambar ini menggoda saya. Titik-titik embun pada gelas itu mengingatkan saya pada kerontang rentang.
Menggoda saya agar mencobanya sececap saja

Ya. Wine. Saya tidak tahu harus berharap apa pada benda satu ini! Hanya saja, saya menikmati eksotisme yang timbul darinya

Selasa, 01 November 2011

Ketika Perempuan Seharga Selaput Dara

Maaf. Judul yang saya gunakan sedikit ekstrem.

Jujur saja, saya sedikit tersinggung ketika beberapa orang beramai-ramai operasi selaput dara agar dikira perawan. Dan itu dipermudah dengan adanya penawaran-penawaran murah dari pihak medis untuk melakukan operasi ini. Sakit.
Maaf, kalau tulisan saya ke bawah agak sedikit subjektif dan emosional.
Baiklah. Saya akan memulai tulisan saya dengan rasa kecewa saya pada konstruksi sosial yang ada: Perawan adalah perempuan yang selaput daranya belum robek. Yang ketika malam pertama akan berdarah.
Itu menyakitkan. Sangat. Sebagai seorang perempuan, saya merasa itu jelas-jelas aturan yang dibuat seenaknya. Tak berperikemanusiaan! Selaput dara yang masih utuh tidak bisa digunakan sebagai tolok ukur apakah perempuan tersebut masih perawan atau tidak. Selaput dara adalah lapisan tipis--yang setiap perempuan memiliki ketahanan selaput dara yang berbeda. Bisa saja selaput dara robek karena jatuh atau terantuk benda tumpul. Jika sudah telanjur robek, lantas seseorang bilang bahwa perempuan tersebut tidak dapat menjaga kehormatannya dengan baik. Bukankah itu terlalu menyakitkan untuk pihak perempuan? Sementara (mungkin) perempuan tersebut benar-benar belum melakukan hubungan intim dengan siapa pun.
Perempuan dipaksa menjaga selaputnya, sedangkan laki-laki bisa seenaknya. Maaf, ini bukan tentang gender. Hanya saja, ini sebuah anggapan yang benar-benar menyudutkan perempuan.
Anggapan seperti ini membuat banyak perempuan yang berpikir pintas. "Ah, nanti bisa perawan lagi!" Ya, perawan lagi. Frasa yang muncul ketika ada operasi menyambung selaput dara. Ini jauh lebih menyakitkan. Keperawanan tidak dapat terjadi dua kali. Perempuan-perempuan yang termakan konstruksi sosial tersebut pasti menganggap bahwa keperawanan ditandai dengan utuhnya hymen (selaput). Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, sebab isu yang berkembang di masyarakat memang seperti itu adanya. Lantas, banyak perempuan yang berbondong-bondong ingin operasi penyambungan selaput dara. Dan kebohongan pun akan terjadi.
Sungguh. Saya miris.
Ah, perempuan. Selalu saja. Kadang, saya terlalu bingung dengan semua ini. Di satu sisi, saya melihat ada banyak perempuan yang berjuang mati-matian memperjuangkan hak-haknya, tetapi di sisi yang lain, ada banyak perempuan yang terlalu pasrah pada keadaan.
Entahlah.
Namun, isu operasi selaput dara ini benar-benar membuat saya geram. Bagaimana bisa. Keperawanan seseorang hanya dilihat dari utuh atau tidaknya selaput dara, bukan dari caranya dia menjaga kehormatan. Apakah malam pertama akan jadi menyenangkan karena ada darah hasil operasi selaput dara? Saya tidak tahu. Tanyakan saja sama hujan yang merintik ketika senja.