Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 31 Desember 2011

Selalu Ada Akhir untuk Mengawali

Akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk sekadar menertawakan kegagalan atau sedikit tersenyum pada target yang taksempat tersampaikan. Seperti kali ini. Pengujung tahun yang indah. Ada banyak hal di luar sana. Terompet. Kembang api. Riuh. Setiap Ada riuh, akan selalu ada diam. Hening. Di sudut kamar atau hati. Berpacu dengan kenangan dan ingatan.
Buncah. Bersyukur. Paling tidak, Tuhan sudah berbaik hati. Memanjangkan usia saya hingga detik ini.
Saya selalu suka hingar bingar yang timbul ketika malam pergantian tahun. Warna-warni yang indah. Nada dar-der-dor yang sedikit memekakkan. Tapi saya tidak berniat untuk menjadi bagian dari euforia itu. Berdiam diri di rumah jauh lebih indah.
Selalu ada akhir untuk mengawali sesuatu yang baru. Yang dianggap akhir sebenarnya adalah pijakan untuk melompat lebih tinggi. Menyelam lebih dalam. Atau berlari dengan lebih cepat. Itulah yang saya harapkan.
Mengutip kicauan dari Goenawan Mohamad, "Yang baru bukan tahun. Tapi hidup."
Itu indah sekali. Tahun tidak pernah merasa menjadi baru. Hanya hidup yang seharusnya baru setiap hari. Semoga. Semoga Tuhan selalu baik kepada saya.

Jumat, 23 Desember 2011

Senja

Memang. Takada yang lebih menyenangkan
selain menyusuri jalanan lengang kampus ketika senja.
Duduk saja. Di tepi danau hijau.
Menatap lekat. Lama-lama.
Takada jingga. Hanya abu-abu.
Tidak masalah. Sebab angin telah mengganti
Semuanya.
Mengibarkan rok seolah bendera.
Menarik tubuh. Jatuh ke tanah.
Suatu saat.
Senja akan merindu
pada hujan yang membasahkan atau
angin yang menerbangkan.

Rabu, 21 Desember 2011

Natal




Sudah hampir Natal. Sekarang sudah pagi. Sedangkan mataku belum terpejam. Gejala insomnia? Bukan.
Aku hanya sekadar mengingatmu. Mengenangmu. Lalu, tiba-tiba terjaga. Tanpa air putih atau segelas cokelat.
Sekali lagi. Aku selalu heran pada kenangan yang taktahu malu. Lama-lama aku membencinya. Sebab dia selalu membawamu kembali. Mengolokku yang takbisa melawan. Membiarkanmu datang. Lantas, menari-nari. Sudahlah.
Sudah berapa Natal yang kita lewatkan sendiri? Mungkin tiga. Mungkin empat. Ya. Aku tahu. Pada akhirnya kita akan berjalan masing-masing. Tapi, tetap saja. Melihatmu beranjak itu seperti pecandu yang sakaw. Bagaimana kabarmu sekarang?
Dari dulu. Aku takpernah punya pohon Natal. Sama sekali. Aku takpernah tahu rasanya menghias cemara itu dengan gantungan-gantungan yang lucu. Aku hanya mendengar ceritamu. Menghias pohon Natal itu seperti sebuah persembahan pada Tuhan. Sukacita menyambut hari kelahiran Tuhan-mu. Padahal, aku ingin sekali memasang bintang di pucuk cemaramu. Atau menggantungkan kaus kaki kecil di setiap dahan. Atau melilitkan kapas putih--yang seolah-olah salju itu.
"Mungkin, sama halnya dengan menganyam janur untuk dibuat ketupat di hari Lebaran," celotehmu lalu.
Aku menggeleng. Mamaku takpernah memasak masakan lebaran. Sama sekali.
"Aku takpernah dan takbisa menganyamnya," kataku. Kamu mendengus. Tertawa kecil. Aku ikut tertawa.
Kita hanya terdiam setelah itu. Pikiranku dan pikiranmu mungkin sama: kita sampai di sini. Menyakitkan. Sangat.
"Percayalah. Kita akan menemukan kedamaian di jalan Tuhan kita masing-masing," kamu berkata pelan. Ada bening di matamu. Suaramu tertahan.
Aku hanya mengangguk perlahan. Aku masih ingat semua kalimatmu. Terima kasih.
Kenangan. Semoga Natal tahun depan, kenangan tentangmu sudah berubah cerita.

Setiap Natal tiba. Aku selalu mengingatmu. Seperti kali ini. Di dini hari--hampir pagi. Dan lagu "Someday"--John Legend masih berputar sendiri di playlist-ku. Entah. Sudah putaran ke berapa.

Kepada Ibu

Di luar gerimis. Mericik. Membunyi tik tik. Selain itu, sunyi.
Kepada Ibu. Maaf.
Aku takpernah sempat mengirimkan ucapakanku untukmu. Lewat sepotong
kartu pos atau mungkin berbisik pada senja.
Bagaimana kabarmu hari ini?
Aku yakin, engkau akan menjawab, "sangat baik."
Padahal aku tahu. Ada lelah di matamu. Ada letih di hatimu.
Ada sedikit luka di balik kata baik-mu.
Tapi bibirmu masih merasa baik-baik saja.

Kepada Ibu. Terima kasih.
Terima kasih kepada Tuhan. Yang memilihmu untuk menjagaku. Menjadi malaikat.
Tanpa sayap.
Pukul dua nanti aku ingin terlelap.
Berharap bisa memelukmu dalam dunia takberbatasku.
Aku tahu. Mata ini akan bengkak besok.
Sebab terlalu lama menahan rindu untukmu. Takapa.
Aku janji, sebelum matahari terbit,
aku akan mengirimkan satu kalimat untukmu. Semoga Ibu senang.

Selamat hari Ibu. Semoga setiap hari Ibu selamat. (Aku mengutip kicauan dari temanku, tak apa, kan?)

Ah, tunggu dulu.
Kemarin. Engkau mengirimkan satu klausa untukku.
Singkat. Dan menyayat.
"Dan kau wujudkan mimpi yang terindah di setiap malamku"
Masuk berjejal di dalam kotak masukku.
Aku tertegun di antara padat jadwal. Ada bening menggenang.
Terima kasih.
Tahukah engkau, Ibu?
apa mimpi terindahku di setiap malam?
ENGKAU!!
Melihatmu tersenyum. Mendengarmu bercerita riang.
Tidak ada yang lebih baik dari itu semua.
Ah, mungkin, coretan ini taksampai padamu.
Internet takbisa menyampaikan semua rasa, ternyata.
Iya. Takapa.
Aku yakin. Engkau sudah merasa bahwa aku (selalu) menulis
sesuatu untukmu setiap saat.

Selasa, 20 Desember 2011

Dan Ponsel Saya pun Bisa Cemburu!

Hampir enam tahun. Iya. Saya bersama ponsel saya. Itu ponsel pertama saya. Ayah membelikannya karena nilai UN saya hampir sempurna. Harganya jangan ditanya. Masih sangat mahal. Lebih dari gaji sebulan ayah saya. Saya ingat. Kelas 1 SMA ketika itu. Menyenangkan sekali. Sejak mendapat ponsel itu, sama sekali saya takberniat ganti, baik nomor apalagi ponselnya.
Ah, tapi sayang. Segala sesuatu memang selalu berbatas. Termasuk ponsel saya. Akhir-akhir ini ponsel saya sudah menunjukkan tanda-tanda penuannya. Angka 2 sudah terlalu sensitif. Sudah tidak bisa bekerja secepat dulu. Otaknya sudah enggan diajak menampung banyak kenangan. Tanda getarnya juga sudah tidak berlaku lagi. Kasihan. Waktunya beristirahat.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya memutuskan untuk membuat dia istirahat. Menemani saya kala senggang saja. Tidak harus bekerja keras untuk membantu pekerjaan saya. Saya membeli penggantinya. Mungkin generasi cicit dari ponsel saya tersebut. Harganya hanya setengah dari harga ponsel saya, tapi (mungkin) fiturnya jauh lebih banyak.
Sudah seminggu saya memakai ponsel baru. Ponsel lama sedikit terbengkalai, karena memang, saya mengisinya dengan nomor baru--yang hanya beberapa orang yang tahu. Sementara itu, ponsel baru--dengan nomor saya yang lama--menemani saya bekerja dan berhaha-hihi.
Ah, saya salah. Tidak hanya manusia, ponsel pun bisa cemburu. Kemarin, ponsel baru saya sama sekali tidak bisa digunakan. Tidak ada jaringan meskipun sudah saya refresh berkali-kali. Jadinya, saya harus menggunakan nomor baru dengan ponsel lama untuk menghubungi teman-teman saya. Padahal, kemarin saya sedang sibuk menjadi panitia tayang bincang di kampus saya.
Sesampainya di rumah, saya mencoba menukar nomor. Ajaib. Dua-duanya bisa mendapat jaringan. Aneh.
Tapi, tetap saja. Nomor lama saya memang sepertinya minta ganti cip. Nomor lama saya tidak bisa digunakan untuk mengirim sms, padahal masih bisa digunakan untuk menerima sms, menelpon, dan menyelancar dunia maya. Benar-benar aneh.
Ya ya ya. Saya sedikit mengambil kesimpulan bahwa ponsel pun bisa cemburu dan merajuk dengan caranya. Saya tertawa. Baru sekali saya ganti ponsel. Setelah enam tahun. Selalu (terlalu) setia pada apa pun!

Senin, 19 Desember 2011

Penelitian Dialektologi ke Kresek-Tangerang

 

Saya senang berada di semester 5 ini. Mata kuliah yang menyenangkan. Dosen yang menyenangkan. Dan (semoga) juga nilai yang memuaskan. haha.

Hari Sabtu (17/12), saya dan teman sekelompok saya—Inung—melakukan penelitian bahasa di desa Sukasari, kecamatan Kresek, kabupaten Tangerang. Ya. Penelitian ini adalah salah satu syarat kelulusan di mata kuliah Pengantar Dialektologi. Penelitian ini menyenangkan. Sangat.

Kami berangkat dari kamar kosan pukul 08.00 WIB. Pukul 09.00 baru mendapatkan bus yang jurusan Depok—Kalideres. Kami pun naik bus tersebut. Berhubung hari Sabtu, jalanan di Jakarta tidak terlalu macet. Sampailah kami di Kalideres pukul 10.50. Perjalanan belum selesai. Kami harus naik lagi (semacam) Kopaja yang menuju ke arah Kresek. Pukul 11.00, bus jurusan Kalideres—Kresek akhirnya berangkat. Kami mengira perjalanan ini tidak memakan waktu lama, ternyata salah. Kami baru sampai di Kresek pukul 13.45. Entahlah. Itu berapa jam jika dihitung dari awal keberangkatan. Dalam perjalanan tersebut, saya pun harus menyaksikan kenorakan Inung yang (mungkin) baru pertama kali tahu aplikasi navigasi di ponsel barunya. Haha

Kami sampai di sebuah terminal yang merangkap fungsinya menjadi pasar. Sedikit kotor dan bau. Sudahlah. Tidak apa-apa. Untunglah. Di depan situ terdapat sebuah masjid. Kami pun sholat dhuhur sekaligus ashar. Ah, jujur. Saya seperti jetlag ketika awal-awal sampai. Kepala pusing karena terlalu lama dalam perjalanan. Norak. Haha. Ini foto masjid tempat kami sholat.

2011-12-17 15.10.51

Kami bertanya rumah Pak RT setempat untuk meminta izin mengadakan penelitian ini. Ya. Sekaligus meminta tolong ke Pak RT untuk mencarikan informan yang sesuai dengan kriteria informan penelitian dialektologi ini, yaitu NORM’s. Yang pertama, Nonmobile, maksudnya orang tersebut jarang bepergian dari kampungnya. Yang kedua, Older, orang tersebut harus berusia sekitar 40—60 tahun. Yang ketiga, Rural, maksudnya orang tersebut haruslah penduduk asli daerah tersebut minimal dari dua generasi. Yang keempat, Male, diharapkan informan dalam penelitian ini adalah laki-laki karena laki-laki dianggap dapat menyimpan bahasa etnisnya dengan baik. Namun, kriteria yang terakhir ini masih diperdebatkan.

Akhirnya, kami dipertemukan dengan Ibu Salminah. Penelitian pun dimulai. Karena kami menghindari idiolek, kami pun mewancarai dua orang. Ibu Salminah dan Pak RT itu. haha

Inung mewancarai Ibu Salminah dan saya mewancarai Pak RT—yang saya lupa namanya. Penelitian pun berlangsung. Ah iya, namanya penelitian dialektologi, yang kami tanyakan pun seputar kosakata. Misalnya, mereka menyebut kata abu dengan kata apa. Daftar tanyaannya berupa 200 kosakata Swadesh dan 32 kosakata sistem kekerabatan—sapaan. Total ada 232 kosakata yang kami tanyakan.

Penelitian berlangsung selama kurang lebih 1 jam 15 menit. Pak RT itu baik sekali. Ibu Salminah juga. Mau meladeni mahasiswa kurang kerjaan seperti kami. Sekitar pukul 15.30 penelitian selesai. Untuk kenang-kenangan, saya sempat memotret Inung, Pak RT, dan Ibu Salminah.

2011-12-17 15.06.23

Bisa ditebak kan yang mana Inung, Ibu Salminah, atau Pak RT. Haha

Setelah itu, kami langsung pamit pulang. Takut terlalu malam pulang. Bus yang ke Kresek—Kalideres hanya sampai pukul 17.00, sedangkan Kalideres—Depok hanya sampai pukul 19.00. Wah, itu waktu yang terlalu riskan untuk berleha-leha. Sebelum benar-benar pulang, kami makan siang (atau sore) di warung samping Masjid.

2011-12-17 15.11.322011-12-17 15.10.20

2011-12-17 15.07.19

2011-12-17 15.38.52

Sembari menunggu bus yang takkunjung berangkat, saya memotret-potret saja keadaan yang di sana. (Dari kiri atas ke kanan) Gambar pasar di sana. Dan yang membuat saya kagum, di sana masih ada wartel sekaligus merangkap warnet. Oh waw! Sudah ada minimarket juga. Ckck. Investasi minimarket memang sudah merambah ke setiap pelosok. Jalanan lengang menuju rumah Pak RT.

Akhirnya, bus jurusan Kalideres berangkat juga. Sudah pukul 16.10. Hampir senja. Saya bosan di perjalanan. Baterai ponsel menipis. Membaca buku pun tidak memungkinkan. Yang saya lakukan hanya memotret apa pun yang ada di jalanan.

Kami tiba di Kalideres pukul 18.40. Fiuh. Masih ada bus yang lewat untuk ke Depok. Perjalanan pulang lebih panjang. Jakarta Macet lagi. Saya sampai di kosan pukul 22.00 dengan wajah kusut dan bau bus. Ini perjalanan gila. Penelitian hanya satu jam, sedangkan waktu tempuhnya 10 jam.

Ah, tapi jika tidak ada tugas ini, saya tidak akan jalan-jalan ke Kresek. Tidak akan tahu bahwa kamar mandi di sana masih belum tertutup sempurna. Tidak akan tahu bahwa ada daerah dekat Kota Metropolitan yang masih asli. Tidak akan tahu bahwa ada bahasa Jawa yang digunakan orang-orang tersebut. Kosakata Jawa dengan logat Sunda dan beberapa campuran kata sapaan bahasa Betawi. Itu sangat menarik. Ya. setelah penelitian ini, saya tertarik untuk mengambil skripsi dialektologi. Ingin meneliti dialek di sebuah tempat yang belum terjamah. Tentu saja. Keinginan utama saya adalah jalan-jalan. :P

Minggu, 18 Desember 2011

Kepada Kamu

Selamat pagi,
Sudah lama tak menyapamu. Ada rindu. Sepasang ngilu. Kamu.
Kamu. Masih kamu.
Kemarin hujan. Di jalanan. Menyusun ingatan. Masih tentang kamu. Remah-remah imajinasi. Sedikit saja.
Aku selalu mengingat. Bagaimana kenangan tentang imajinasiku.
Berjalan berdua. Beriringan. Bergandengan. Di bawah hujan.
Atau kita berada dalam bus kota. Bernyanyi. Mengusap nako.
Aku lebih suka berjalan kaki. Bersamamu. Daripada harus kedinginan di dalam mobilmu. Sederhana bukan? Sebab, berjalan membuat waktu berhenti sejenak. Agar aku bisa lebih lama menggenggam tanganmu.
Mungkin kita akan menikah kelak. Aku menjadi pasanganmu. Tapi aku takmau menukar nama belakangku dengan nama belakangmu. itu nama ayahku.
Kelak, akan lahir anak-anak lucu dari rahimku. Lakilaki dan perempuan sama saja.
Lantas, kita akan menghabiskan waktu di toko buku. Memilah dan memilih buku dongeng atau puzzle untuk anak kita. Atau kita akan membacakan sebuah dongeng setiap malam. Mengecup anak kita sebelum mereka tidur.
Membawa mereka jalanjalan. Menemani mereka membaca dan belajar. Itu menyenangkan bukan?
Kepada kamu,
aku senang menghabiskan waktuku bersamamu.

Selasa, 13 Desember 2011

Jarak

Daunmu gugur kataku
biarlah
kaumemandangnya sayu
Bukan itu mauku, katamu
lantas?
kamu! katamu lagi
aku jengah
mana mungkin?

sekali lagi
kita harus mengalah
pada jarak yang serta
merta tunduk pada waktu

mengapa kita taktumbuh
di tempat yang sama?
lalu kita dapat berjalan
beriringan
oh.

Senin, 12 Desember 2011

Rindu Hujan Pagi Hari

Pukul empat sore. Hujan. Sekarang di luar masih hujan. Meskipun hanya serintik. Pagi tadi, saya tiba-tiba rindu hujan pagi hari. Saya rindu pada hujan yang datang mendadak dan kejam menyembunyikan matahari. Tentu saja. Saya lebih senang hujan turun daripada matahari terik memanggang kepala saya. Berbicara tentang hujan memang takpernah membuat saya bosan. Tapi mungkin membuatmu muak. Sayangnya, saya sudah telanjut jatuh cinta pada rintiknya.
Kemarin, saya melihat postingan teman saya. Saya hanya mengingat dua baris di antara berbaris-baris yang dia tulis. Dia menulis puisi. Sederhana. "You say you love the rain, but you open your umbrella when its rain. This is why I'm afraid. You say you love me"
Yeah. Masih ada beberapa baris yang saya lupa. Kadang-kadang, manusia memang seperti itu. (Seolah-olah) mencintai sesuatu. Padahal hanya sebatas mengikuti orang lain mencintai sesuatu.
Percaya atau tidak. Saya tidak pernah menyelipkan payung di antara kosong tas saya. Ke mana pun saya pergi.
"Wah, hujan nih. Lo gak bawa payung?" teman saya bertanya pada saya dengan muka sedikit manyun.
"Mana pernah!" saya menjawab singkat. Teman saya mendengus. Terserah. Tapi itulah. Saya memilih bermain dengan hujan atau menungguinya hingga hujan pergi sama sekali.
Tentang kesetiaan. Ah, saya selalu terlalu sok tahu tentang hal ini. Ketika saya memilih sesuatu, saya akan tetap bersamanya atau meninggalkannya dari awal. Ya. Itu jugalah yang membuat saya enggan membuka payung ketika hujan.
Saya jadi ingat. Dulu saya selalu senang ketika hujan datang. Saya bisa bermain-main di bawah hujan dengan ayah dan adik saya. Kaki telanjang. Berkeliling kebun. Lempar-lemparan lumpur. Mencari ikan di empang. Bahkan, bermain bola. Saya, ayah, dan adik. Selalu senang ketika hujan. Itu berarti kami bisa bermain bersama. Walaupun setelah bermain, kami harus mendengar ocehan Mama. Tentu saja, Mama mengoceh. Karena kami masuk rumah dalam keadaan basah. Tetesan dari baju kami mengotori lantai yang sudah dipel paginya. Kami hanya tergelak, lalu bersama-sama mengepel kembali lantai rumah kami yang basah. Lalu, setelah mandi dan keramas, saya dan adik saya berlomba mencium pipi Mama. Tapi sayang, pasti ayah saya yang lebih dulu sampai ke pipi Mama saya.
Entah. Itu berapa tahun yang lalu. Mungkin sebelum saya menstruasi untuk pertama kalinya. Sudah sangat lama. Sekarang tidak lagi. Adik saya sudah besar. Sudah enggan berkotor-kotoran dengan hujan. Meski terkadang, masih sering saya melihat ayah saya berhujan-hujanan dengan ayam-ayamnya. Dan saya hanya melihat dari dalam rumah.
Banyak hal yang berubah. Meski rasa hangat itu takpernah berubah. Saya lebih suka menggelung di balik selimut ketika hujan sambil tetap mendengarkan rintiknya. Adik saya lebih senang berhubungan dengan teman-temannya di jejaring sosial. Mama saya lebih senang bermain Zuma di komputernya. Dan ayah saya lebih tertarik bercengkerama dengan ayam, burung, atau bebeknya di kebun.
Saya rindu pada mereka. Pada mereka yang telah memberi rasa hangat pada saya. Hujan hanya pengingat. Benang merah yang menghubungkan kenangan saya tentang tiga malaikat tanpa sayap itu. Terlampau banyak kenangan manis di rumah mungil--yang catnya tidak pernah tetap.
Tanggal 28 November kemarin, Ayah saya ulang tahun. Ke berapa? Saya pun lupa. Mungkin sudah kepala lima. Ah, ayah saya sudah setengah abad. Rambutnya sudah banyak yang memutih. Harapannya ada pada saya. Sungguh. Sekali pun saya tak ingin mengecewakannya.
Tanggal 7 Desember kemarin, adik saya ulang tahun. Yang ke-17. Oh, dia sudah besar sekarang. Padahal, rasanya, baru kemarin dia lahir. Menjadi bayi mungil yang menyedot banyak perhatian orang. Yang sering saya ciumi ubun-ubunnya. Rasanya, baru kemarin. Saya dan dia pergi bersama ke sekolah. Atau bertengkar rebutan remote TV di rumah. Berkejaran. Saling meneriaki. Mandi bareng. Tidur dalam satu ranjang. Dan sama-sama kena marah Mama atau Ayah. Mengesankan.
Tanggal 22 Desember nanti, hari ibu. Hari Mama. Tak ada kata yang bisa dirangkai untuk mendefinisikan perempuan ini. Terlampau sempurna. Dari Mama juga, saya belajar memberi dan mengasihi sesama. Belajar sabar dan menerima sesuatu. Bersyukur. Mama saya bukan ibu yang cerewet. Tidak panik ketika saya sakit atau mendapat masalah. Memang, seolah-olah Mama membiarkan saya berjalan sesuka saya. Tapi, di kota ini, saya baru mengerti pengajaran yang diterapkan Mama pada saya. Saya belajar untuk bertanggung jawab terhadap pilihan dan kehidupan saya. Belajar mengurusi keperluan saya tanpa terlalu bergantung pada orang lain. Ah, sudahlah. Mama saya tidak akan cukup diceritakan dalam ruang ini.

Yang pasti. Sekarang. Saya merindukan mereka. Ah, paling tidak. Saya sudah meluapkannya di sini. Siapa tahu kicauan ini sampai pada mereka. Entah terbawa hujan atau angin.

Kamis, 08 Desember 2011

Tentang Kepedulian

Maaf. Saya memulai paragraf ini dengan sebuah permohonan tulus kepada kalian. Mencaci saya sekarang pun takapa. Sama sekali saya tidak keberatan. Baiklah. Selama ini kalian (mungkin) menganggap saya benar-benar tidak peduli dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan "kita". Maaf. Saya ralat. Yang berhubungan dengan "kalian". Hanya saja (seolah-olah) saya harus mengikuti semua kegiatan "kalian" itu.
Ya. Kebetulan saja kita "terlahir" di tempat yang sama. Tapi bukan berarti kita harus selalu bersama-sama. Jujur saja, saya sedikit risih ketika kalian berteriak-teriak di depan saya. Menanyakan di mana kepedulian saya terhadap "rumah kita"? Dalam hati, saya tergelak. "Rumah kita"? Rumah adalah tempat pulang yang hangat. Yang memberikan ruang untuk menjadi diri. Maaf. Saya tidak menemukan kehangatan itu di tempat yang kalian sebut "rumah kita" ini.
Kepedulian itu tidak harus kasat mata. Tidak harus muncul di setiap suasana. Setiap orang memiliki prioritas masing-masing. Yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh orang lain. Kalian punya kerjaan. Saya punya kerjaan. Baiklah. Tidak perlu mengunggulkan kerjaan siapa yang paling berat dan yang paling sibuk. Semua adalah soal pilihan. Saya memilih keluar. Dan kalian memilih masuk. Bukan masalah besar sebenarnya. Lantas, mengapa kalian mempermasalahkan pilihan saya, sedangkan saya tidak pernah mempermasalahkan pilihan kalian?
Ada banyak alasan (jika saya mau beralasan). Tapi saya memilih diam. Membiarkan kalian meneriaki dan memaki saya. Apakah kalian peduli terhadap pilihan saya? Saya rasa tidak. Dan mengapa saya harus peduli pada pilihan kalian? Saya tidak punya komitmen dan tanggung jawab apa pun terhadap kalian!
Maaf. Saya memang tidak terbiasa dengan kerumunan. Tidak terbiasa terpesona dengan huru-hara yang ada. Saya lebih senang menghabiskan waktu saya sendirian. Terkesan egois dan autis, memang. Tapi, apakah seseorang hanya dinilai dari kesannya? Semoga saja tidak.

Selasa, 29 November 2011

Tentang Kesetiaan

seperti jalan panjang--tak berkesudahan.
meniti sepi.
bermusim-musim.

adakah kau di situ?

Kamis, 24 November 2011

Terima Kasih

Di ruang ini, saya bebas bercerita. Tentang hal-hal sederhana apa pun. Tentang saya. Tentang kamu.
Di sini tempat bebas untuk membiarkan saya tetap ada. Menjaga jari-jari saya tetap dekat dengan tuts keyboard. Melihat mereka menari, lalu bercinta. Saya terkekeh ketika mereka takmencapai klimaks bersama. Terkadang, jari-jari saya lelah duluan atau tuts keyboard ini yang berkeringat terlalu deras. Melihat mereka itu nikmat. Serupa rangkaian musik klasik yang berbicara dalam kalimat sederhana.
Ruang ini sepi. Sama sekali. Tapi mampu menjaga gairah saya agar tidak mengendap atau terlalu meliar.
Hanya sesekali kamu dan teman-temanmu menengok. Dan saya percaya: yang datang ke mari adalah orang-orang yang rindu pada saya! Itu cukup membuat saya bahagia, paling tidak, masih ada yang peduli.
Begitulah. Ruang ini membuat saya bebas takmembatas. Yang memberikan kenyamanan semu membius. Yang mungkin jauh lebih baik dari rasa nyata tapi takterbaca.
Saya selalu menikmati kesendirian saya dalam sepi. Dan ruang ini menyediakannya untuk saya. Terima kasih.

Bau

Kenangan. Masih saja membuat saya bertanya. Tersusun atas apa dia? Beberapa orang teringat sesuatu ketika mendengar lagu atau melihat sesuatu. Ya. Begitulah kenangan. Mampir sejenak. Lantas pergi. Atau mengendap terlalu lama. Seperti hidup.

Kenangan juga tiba-tiba datang ketika saya mencium sesuatu. Entah wangi. [atau] busuk. Seperti kali ini. Ketika saya duduk di ruang megah. Saya mencium bau seduhan kopi. Mungkin dari arah warung kopi seberang ruangan ini.

Bau kopi yang mengepul selalu mengingatkan saya pada wajah Kakek. Yang setiap hari minum secangkir kopi. Duduk di dapur. Menunggui Nenek memasak nasi goreng. Tertawa melihat saya yang masih (sangat) kecil. Berlari-lari. Kadang kami saling memeluk dan berjanji. "Kalau kamu masuk TK, Kakek akan mengantar-jemputmu setiap hari!" Saya bersorak. Takada yang lebih menyenangkan daripada janji seorang kakek pada cucunya. Tapi sayang, Kakek sama sekali taksempat mengantar saya pergi sekolah. Kakek lebih memilih menemui Tuhan.

Bau kopi yang mengepul juga [kadang] membuat saya mengingat rasa mual. Saya ingat ketika saya muntah karena nekad meminum secangkir cappucino hangat di suatu senja.

Begitulah kenangan.

Mengingat kenangan. Saya selalu ingat bagaimana saya mengingat masa-masa SD saya ketika saya mencium aroma yang timbul dari telur ceplok. Saya ingat setiap pagi--setelah kepindahan Nenek ke Bandung--saya harus membuat sarapan sendiri. Apa yang bisa dimasak anak kecil berumur 10 tahun, selain menceplok telur? Belum ada. Ibu dan Ayah saya sudah berangkat ke kantor sebelum sempat menyiapkan sarapan untuk saya. Tidak apa-apa. Ini membuat saya belajar menyiapkan keperluan saya.

Begitu juga saya mengingat masa SMP dan SMA saya ketika mencium asap knalpot angkutan kota. Ini menyenangkan. Saya mengingat bagaimana saya harus berlari mengejar angkot agar takterlambat ke sekolah. Tak ada yang bisa mengantar saya ke sekolah.

Parfum aroma buah juga menyimpan cerita dalam kenangan saya. Saya ingat ketika saya mulai menyukai seseorang, saya mulai menggunakan parfum. Dosis pemakaiannya pun sedikit berlebihan, menurut saya. Bahkan takjarang ayah saya berkomentar jika parfum saya membuatnya pusing. Itu masa-masa labil. Entah. Mungkin SMP atau SMA. Yang pasti saya selalu tergelak ketika mencium parfum yang beraroma buah.

Saya selalu teringat pada Itali--dan keinginan saya untuk ke sana--ketika hidung saya menangkap bau pizza yang masih hangat. Saya teringat pada kegilaan saya pada jalan-jalan.

Sekarang, saya sedang mencium wangi cokelat dari aroma parfum saya. Mungkin, suatu saat kelak, saya akan mengingat hari ini ketika saya mencium parfum beraroma cokelat. Seperti saat ini. Persis. Ketika saya mulai [mencoba] jatuh cinta.

Sabtu, 19 November 2011

Truth or Death

Terbuat dari apakah kenangan itu? Aku takpernah tahu. Dari serpihan jerami yang menumpukkah? Atau dari debu di atas laci mejaku. Hanya saja, kenangan selalu membuatku mengingat-ingat sesuatu yang takingin kuingat, atau malah menghilangkan file penting dalam memori. Seperti jelangkung. Membuatku takut.
Kenangan jugalah yang menggedor-gedor ingatan. Tentang apa pun. Seperti halnya dini hari ini. Tiba-tiba aku mengingat permainan "Truth or Death" yang beberapa hari lalu kumainkan bersama teman-temanku. Mungkin kau akan bingung dengan permainan ini. Ya, harusnya, permainan ini bernama "Truth or Dare". Kami punya aturan sendiri. Takada tantangan. Atau memilih mati dan melompat dari lantai dua. Oh, tidak. Ini terlalu berlebihan.
Kami melingkar. Mungkin sepuluh atau sebelas orang. Tertawa. Aku duduk di sebelah utara, menghadap ke barat daya. Botol diputar. Setiap orang memasang muka (sok) tegang. Baiklah. Putaran pertama, kedua, ketiga, keempat. Aku lolos. Botol itu dengan baik hati tidak mengarah kepadaku. Sayangnya, ini takberlaku ketika putaran kelima. Dengan tepat, kepala botol itu menunjukku. Ya. Menunjukku untuk menjawab pertanyaan gila dari teman-temanku. Mereka bersorak. Aku mengernyit. Perasaanku sedikit takenak.
"Oke pertanyaan pertama yaaa!! Lo pernah jatuh cinta gak sih?"
Damn! Sudah kuduga. Pertanyaan itu akan muncul.
"Ehm, gimana ya? Sepertinya belum pernah!" aku mencoba mengatakan yang sejujurnya.
"Mana mungkin!!! Kami kan butuh kebenaran. Tapi, kenapa tulisan lo menandakan kalau lo (sepertinya) pernah bener-bener sakit hati?" sebuah pertanyaan tambahan dari orang yang sama.
"Haha. That's just writing! Gak ada hubungannya sama gue! Gue suka nulis, and that's why, I'll writing everything, termasuk rasa sakit hati!" Ini juga jujur. Yeah, selama ini aku hanya menulis. Tanpa harus memperhatikan apa yang kutulis.
Iya, ada sedikit kebenaran di situ. Aku memang pernah sakit hati. Tapi, sakit hati yang kualami memang berbeda dengan anggapan mereka. Bukan sakit hati pada cerita picisan seperti itu. Biarlah. Itu takapa.
"Pernah deket sama seseorang gak?" Sial. Pertanyaannya takcukup satu.
"Pernahlah! Gue deket sama orang tua gue, sama adik gue, sama temen-temen gue, sama kalian! Haha"
"Ishhh, maksud gue, lawan jenis!"
"Bokap gue!" entah. Ini bercanda atau serius. Sebab, sepersekian detik yang lalu aku mengingat-ingat segala sesuatunya, tak ada lelaki yang benar-benar dekat denganku, kecuali ayah.
"Lo bakalan pacaran gak?" Ini menyebalkan. Permainan sepertinya berhenti pada giliranku. Setelah ada pertanyaan itu, ada beberapa orang yang bersorak. "Gak pacaran lah, kan mau pakai proposal!" entah. Itu kalimat milik siapa. Sumpah. I never know about proposal of marriage. On my mind, proposal just for events! Haha
"Haha. Kok lo nanyanya pacaran sih? Lo nanya gue bakalan nikah atau enggak, itu aja gue masih binguung!" Yeah. That's true.
Derrr! Seperti tersengat lebah. Ruangan menjadi semakin gaduh dan sedikit ricuh. Ada banyak pertanyaan penyangkalan, kenapa?
"Yah, gue gak pernah tahu apa yang akan terjadi di kehidupan gue kelak. Tapi, yang pasti, untuk saat ini, gue belum bisa memutuskan gue bakalan nikah atau enggak!"
That's my choice!
"Kenapa? Kalau gue malah pengen cepet-cepet nikah. Buat menyempurnakan ibadah dan mengikuti sunnah Rasul. Haha" pernyataan itu didukung oleh beberapa orang lainnya.
"Emang kenapa lo gak pengen nikah? Pasti ada sesuatu yang membuat lo berpikiran seperti itu?"
Dasar manusia kepo!!
"Just about choices!" aku menjawab singkat.
Untung saja. Di tengah-tengah situasi yang memojokkan seperti ini, seorang temanku mengusulkan untuk mengakhiri saja giliranku. Sebab, pertanyaan yang diajukan sudah masuk ke ranah yang terlalu pribadi. Good advice! Thanks a lot to my friend!
Kuputar botol itu. Menunjuk ke teman sebelahku. Thanks God!
Maaf. Setelah pertanyaan tadi aku memang takbisa fokus lagi dalam permainan gila ini. Aku taktahu apa yang diungkapkan oleh teman-temanku pada giliran selanjutnya. Pikiranku terfokus pada pilihan menikah atau tidak.
Masih sangat tabu untuk memilih tidak menikah di negeri ini. Setiap orang punya alasan. Menikah atau tidak adalah soal pilihan. Dan setiap orang wajib menghormati terhadap pilihan orang lain. Lantas alasanku? Maaf. Aku takbisa menceritakan di sini. Terlalu umum. Mungkin, aku bis menghampirimu di lorong kosong untuk bercerita atau aku akan mengendap-endap memanjat tembok rumahmu agar bisa sampai ke kamarmu. Lalu, kita berbincang banyak di jendela lebarmu.

Kau takpernah tahu bukan,
rasanya takpernah jatuh cinta? Itu sepi.
Serupa musim dingin tanpa api. Lantas,
bagaiman mungkin kau memaksaku menikah.
Sementara aku takpernah bisa mencintai.
Terserah. Kau bilang hatiku terbuat dari
baja macam apa.
Bukankah kau pernah bilang,
cinta itu takpernah memaksa?
Sungguh. Aku percaya itu. Tapi, mengapa
kau takpernah percaya: aku takpernah jatuh
cinta!
Berapa kali harus kukatakan itu?
Aku takbisa.
Terlebih untuk menikah.
Menikah, bagiku, adalah upacara paling
sakral yang pernah ada. Penggabungan kembali
jiwa satu yang sempat terpisah. Bagaimmana
mungkin aku menikah, sedangkan jiwaku telah
satu.
Kau taktega melihatku tersiksa, bukan? Maka,
jangan paksa aku menikah.
Dengan siapa pun!

Kamis, 17 November 2011

Sederhana

Hidup itu sederhana. Sesederhana kecipak air yang terkena ujung sepatu. Atau lebih sederhana dari membalikkan telapak tangan. Sederhana sekali.
Saya jadi teringat, ketika saya kuliah isyarat--lagi-lagi isyarat--beberapa hari yang lalu. Seorang translator mengkritik beberapa dari kami yang terlalu rumit menyampaikan percakapan dalam bahasa isyarat. Ya. Saya memang masih menerjemahkan kata per kata untuk dibuat bahasa isyaratnya. Taksalah memang, tapi takperlu.
"Hidup itu sederhana. Jangan dibikin rumit!" Begitulah komentar dari translator tersebut. Saya tergagap. Iya. Hidup itu memang sederhana. Saya saja yang selalu sering membuat rumit.
Ah, sebenarnya. Dari dulu, saya juga enggan memikirkan rincian hidup. Saya senang menikmati hidup saya secara sederhana. Tanpa beban. Mengalir saja. Dan oleh beberapa orang, hidup saya terlalu santai. Takmasalah.
Saya seorang dateliner sejati. Terlalu tepat waktu, kalau dalam bahasa saya. Mungkin ini menyiksa bagi sebagian orang, tapi bagi saya ini adalah cara menyederhanakan hidup.
Saya juga taksuka mengkritik sesuatu. Taksuka bawel. Taksuka ribut. Saya kadang-kadang merasa jengah ketika teman-teman saya mulai mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya takmenyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya saja, ketika kami makan bersama, ada satu atau dua orang selalu marah-marah ketika pesanannya datang terlambat. Hei, yang pesan bukan cuma kalian!!! Tangan penjualnya juga cuma dua. Begitulah. Komentar saya dalam hati. Atau mereka mempermasalahkan tempat yang terlalu sempit, banyak lalat, masakan terlalu asin, banyak asap rokok, atau apa pun lah itu. Hello, kalau gak mau ribet dengan semua itu, cari tempat lain. dan urusan akan selesai.
Ah, mungkin saya yang terlalu apatis pada lingkungan sekitar. Yang menurut saya, semua hal akan jadi membahagiakan jika saya bisa membuat nyaman diri saya sendiri. Lingkungan itu tergantung perasaan saya. Sudahlah. Sebenarnya saya ingin sekali ngomong ke mereka, tapi ya itu, saya taksuka ribut. Taksuka berdebat.
Hidup itu sederhana. Bahkan lebih sederhana dari suhu tubuh yang naik setelah bermain hujan-hujanan.

Selasa, 15 November 2011

Ending




07:59:00
Penghitung waktu di pojok monitormu terus berjalan. Tik. Tik. Serupa jam dinding usang yang dentingnya terus menghantuimu. Menit itu diam saja. Namun, ada yang berteriak nyaring.
"Cepat selesaikan!! Kalau kamu tidak mau mengulang!"
Entah. Itu suara siapa. Mungkin dosenmu. Papamu. Mamamu. Atau bahkan pacarmu.
Tes. Tes.
Keringat di dalam ruangan berpendingin seperti ini memang taknormal. Tapi kamu basah. Lebih deras dari hujan yang mengguyurmu kemarin sore.

07:59:30
Monitor di depanmu masih kesepian. Hanya ada nama dan nomor mahasiswamu. Bodoh! Mau mengerjakan apa? Ingin kau lempar saja monitor yang dari tadi menjulurkan lidahnya ke arahmu. Mengejekmu. Mungkin, hidupmu akan bebas dalam 30 detik jika monitor ini hancur. Tapi, tentu saja. Kau akan terperangkap satu tahun lagi menghabiskan waktu di kuliah keparat ini.
Napasmu memburu. Logikamu menolak segala kemungkinan. Gila saja! Lima halaman hanya dalam waktu 30 DETIK!!! Hanya Tuhan yang bisa melakukan itu, pikirmu!
"Pukul 08.00, semua tulisan sudah harus dikumpulkan di meja biasa!" suara ketua kelasmu tempo lalu mendengung. Telingamu sakit, tapi (mungkin) tidak sesakit otakmu.
Mulutmu takberhenti mengucapkan sumpah serapah untuk mengutuk dosen yang menurutmu brengsek itu. Sudah dua kali kamu gagal lulus dalam mata kuliahnya.

08:00:00
Waktu habis.
Tet. Tet. Tet. Black Berry-mu bergetar. Panggilan masuk. Temanmu. Kamu sudah seharusnya menyerah. Kautekan tombol hijau. Menempelkan dengan malas di telingamu yang panas.
"Bapak Bachtiar meninggal!" telepon ditutup. Singkat. Jelas. Padat.
Matamu mengerjap. Seperti mimpi. Itu nama dosen yang kauserapahi sepersekian detik yang lalu.

Senin, 14 November 2011

Rintik dan Kamu

Aku sendirian saja di sini. Di gedung yang menjulang. Sudah pukul lima. Dan aku belum segera pulang. Kulihat orang lalu-lalang. Mungkin berpikir sedih atau senang. Ya, sedih karena tidak segera sampai rumah. Atau senang melihat hujan.
Seperti biasanya, kamu tahu bukan? Jika aku suka memperhatikan rintik. Senang melebur dengan rintik. Tik. Tik. Suara itu mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali. "Pada siapa?", tanyamu. "Mungkin padamu atau pada rintik." jawabku singkat.

Aku suka pada hujan. Pada hujan yang suka bersijingkat menghampiriku dalam tidur. Atau pada hujan yang bersepatu bot agar jika masuk kamarku, lantaiku tidak kotor. Aku suka pada hujan yang membawakanku payung. Padahal, aku tahu. Hujan tidak akan membasahi rambutku.
Ah, aku selalu suka pada hujan. Kapan pun. Terlebih ketika hujan pada senja seperti ini. Jingga yang memudar. Temaram. Petang. Mengingatkanku padamu. Padamu yang sudah melukis jingga pada kanvas putihku.
Di luar hujan, Sayang. Kau mendengarnya, bukan? Kau juga bisa mendengar degup jantungku yang ketakutan, bukan? Aku ketakutan, Sayang. Hujannya terlalu liar bermain dengan halilintar. Jujur. Aku cemburu pada petir yang menyambar.

Sudah berapa kali aku terjebak hujan? Entahlah. Mungkin ratusan. Dan di antara ratusan itu, ratusan kali juga aku menghampirinya. Menadahkan tanganku ke arah langit. Berharap tubuhku terguyur air. Dingin. Tapi, itu menyenangkan, Sayang.
Hujan semakin deras, Sayang. Kau dengar itu kan? Kau juga dengar denyut hatiku? Hatiku yang takpernah berhenti merindukanmu!

Minggu, 13 November 2011

Buku dan Rak Buku

 

“Jika S2 nanti kamu akan tetap mengambil Linguistik?” tanya teman sekamar saya. Saya mengangguk mantap.

“Saya telanjur cinta!” saya berkelakar. Dia hanya menggeleng dan tertawa.

Mungkin, baginya, saya sudah sedikit tidak waras. haha. tidak apa-apa. Mungkin, baginya, kuliah saya selama ini terlalu rumit dan tak penting. sama sekali bukan masalah. Saya telanjur jatuh cinta pada bahasa. telanjur jatuh cinta pada naskah. dan tentu saja, telanjur jatuh cinta pada sastra. Terlalu berlebihan, sepertinya. Tapi tetap saja. Saya hanya mengatakan bahwa saya sedang jatuh cinta.

Di sudut kamar saya, ada sebuah rak buku sederhana. Rak buku itu selalu mengingatkan saya pada cinta saya pada bahasa. Selalu. Saya menyempatkan diri untuk memberi sampul plastik pada buku-buku saya. Agar terlindung dari lalat, saya pikir.

Ada empat susun. Saya bisa menaruh apa pun di rak itu. Saya meletakkan fotokopian semua naskah dan buku—yang takbisa saya beli—di rak paling atas.

Image(572)

Ah, saya kadang-kadang harus memfotokopi buku-buku atau naskah-naskah ini. Bukan tindak kejahatan, saya kira, karena saya ingin mendapatkan ilmunya. #ngeles haha

Tumpukan ini menandakan cinta yang bertumpuk-tumpuk. halah, ini juga terlalu berlebihan.

Kemudian, di rak kedua, saya meletakkan buku-buku fiksi saya. Belum saya baca semua, tapi saya suka semua buku fiksi saya ini. Ah, jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan toko buku. Atau koleksi teman-teman saya. Tapi, ini kumpulan buku fiksi saya sejak kuliah. Dan tentu saja, saya membelinya dengan uang hasil kerja saya. haha. #sedikitpamer

Image(568)

Image(570)

Image(565)

Image(575)

Image(573)

Itu buku-buku yang sedang saya pinjam dari perpustakaan UI tercinta. Buku Hikayat Kadiroen yang sudah saya cari dari semester kemarin. Bercerita tentang bagaimana masyarakat semasa kolonial. Dan ini benar-benar aset. Buku Membaca Sapardi dan Pengarang Telah Mati adalah dua buku yang saya baca untuk membandingkan. Segenggam cerita dalam Pengarang Telah Mati ada yang dibahas dalam buku Membaca Sapardi. Dan yang terakhir adalah buku Seno Gumira Ajidarma “Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian!” Ah, Seno selalu membuat saya jatuh cinta berkali-kali.

Kemudian rak ketiga, saya meletakkan jurnal-jurnal yang saya dapatkan gratis, block note hasil seminar, map-map, majalah, berkas-berkas kepanitiaan, modul mengajar, bahkan hasil ujian. Sengaja tidak saya potret. Sebab bagian ini terlalu berantakan. haha

Saya meletakkan buku-buku kuliah saya di rak keempat. Ada kamus, tesaurus, dan buku-buku nonfiksi. Ini sedikit membuat saya pusing. Tapi, tetap saja. Tidak mengurangi cinta saya pada mereka.

Image(560)

Image(559)

Ini kamus yang baru saya miliki. Masih sangat kurang sekali! Harus ditambah. Ah, sebentar lagi akan ada Kamus Mistik karya saya dan kelompok Leksikografi saya. haha

Image(561)

Image(562)

Image(563)

Image(564)

Ini buku-buku kuliah saya. (Lagi-lagi) tidak banyak. Biasanya, saya meminjam di perpustakaan. Itu pun, masih sangat kurang sebenarnya. Dan saya harus membaca lebih banyak buku referensi lagi. Fiuh. Tapi, masalahnya saya selalu tertidur jika membaca. Oh la la. Ini menyebalkan.

Kembali ke kecintaan saya pada sastra, naskah, dan bahasa. Saya mencintai buku-buku itu seperti saya mencintai bahasa saya. Buku adalah bahasa. Buku adalah sastra. Dan buku adalah naskah. Dengan mencintai buku sama halnya dengan mencintai sastra, naskah, dan bahasa. Ah, tolong. Saya sedang jatuh cinta.

 

*Pada buku yang selalu menyampaikan rindu!

Sabtu, 12 November 2011

Selamat Datang

Selamat datang di latar belakang yang baru. Sepagian tadi saya sibuk mengotak-atik latar belakang laman saya. Agak ribet dan susah. Ya, karena memang saya tidak begitu pandai berotak-atik dengan dunia seperti ini. Tapi, lumayanlah hasilnya. Tidak begitu mengecewakan. haha.
Kenapa saya ganti latar belakang? Kenapa? Karena saya ingin ganti. Just it! haha. Kenapa ganti hijau? Bukankah sukanya ungu? Kenapa lagi? Ya memang, lagi ingin suasana baru. Sudah ah. Tidak usah mempermasalahkan masalah penggantian warna atau bentuk latar belakang saya. Itu tidak penting. :P
Selamat datang saja. Nikmati jika berkenan. Jika tidak, tutup saja tab-nya. Selesai. Terima kasih untuk yang sudah datang. Semoga latar belakang yang baru bisa membuat semangat saya juga baru!

Kamis, 10 November 2011

Surat untuk Adik-Adikku

Dear adik-adikku,

Apa kabarmu? Semoga baik, sebaik kabarku ketika menulis surat ini. Kemarin aku sempat melihatmu. Di dalam angkot. Bercerita banyak. Bersenda gurau. Aku senang melihatmu tertawa. Aku juga senang melihatmu bahagia di remajamu.

Dear adik-adikku,

Maafkan aku yang tiba-tiba lancang menulis surat padamu. Kita mungkin takpernah kenal sebelumnya. Tapi, aku sudah menganggapmu sebagai adik. Adik yang harus aku lindungi—meski kita takpernah sedarah. Adikku, Perempuan itu terlihat lebih cantik tanpa make up. Sederhana. Murni. Berapa usiamu sekarang? Mungkin 7 atau 8 tahun di bawahku. Tapi lihatlah, pipimu sudah merona. Mata aslimu merana. Bibirmu memerah.

Aku takmenemukan lagi kejernihan dan keluguan gadis-gadis kecil yang berusia belasan. Berbagai merk kosmetik mungkin sudah kaupakai untuk memoles wajah polosmu.

“Biar terlihat lebih dewasa dan cantik!” katamu jujur.

Adikku, dewasa itu pilihan. Kau bisa memilih menjadi dewasa, tanpa harus memoles wajahmu. Kau juga bisa menjadi cantik tanpa peralatan itu. Kau mau tahu cantik itu apa? Pegang dadamu Adikku. Cantik itu di dalam sana. Di dalam kemurnian hatimu. Itu kecantikan terindah yang dimiliki perempuan. Bukan wajah yang penuh polesan. Kau percaya itu, bukan?

Dear adik-adikku,

Menjadi seorang perempuan adalah anugerah Tuhan yang takterkira. Aku dan kamu. Perempuan. Aku takmau cara berpikirmu mengikuti stereotip masyarakat: make up membuat perempuan cantik. Lantas, kau berlomba-lomba memoles wajahmu sedemikian. Tapi, kau lupa merias hatimu dengan sejuta kebaikan. Bukan itu, Adikku. Bukan itu yang disebut cantik.

Adikku, cantik itu ada dalam kebaikanmu. Kebaikanmu menghargai dirimu sebagai perempuan. Kebaikanmu menghormati orang lain. Kebaikanmu bersyukur pada Tuhan. Dan kebaikanmu memperbaiki hatimu.

“Bagaimana jika tak ada cowok yang suka padaku kalau aku tak memoles wajahku?” (mungkin) inilah pertanyaan yang muncul di kepalamu.

Adikku, laki-laki yang baik adalah laki-laki yang mencari kebaikan hatimu. Bukan lelaki yang menerimamu karena seberapa tebal make up-mu. Maafkan aku. Aku sama sekali takmelarang perempuan merias diri. Hanya saja, aku terlalu sayang padamu. Usiamu masih belasan. Belum waktunya kau mengenal peralatan itu. Kau bisa mengerti kekhawatiranku, bukan?

Percayalah. Perempuan itu cantik dari hatinya.

Sabtu, 05 November 2011

Wine. Wine. Wine

Ah, akhir-akhir ini postingan saya agak sedikit kacau. Sekarang, saya ingin mengunggah gambar-gambar wine Tidak tahu kenapa. Tiba-tiba saya jatuh cinta pada benda satu itu. Tentu saja, semua terlepas dari agama apa yang saya anut.
Saya suka pada warnanya. Menyala. Apa pun jenis winenya. Dan sebenarnya, saya pun takbisa membedakan jenis wine. Saya suka ketika wine itu dituang. Memenuhi setengah gelas. Cantik. Saya suka ketika wine dalam gelas itu bergoyang, meliuk indah. Terlihat seksi. Ah, sebenarnya saya suka wine. #eh!

winepour1

Dan cara menuang seperti ini sedikit menimbulkan efek dramatis, eksotis, dan romantis.

Wine figures

Cantik dan menarik.

wine

Mungkin, seperti saya dan kamu. Yang bahagia ketika mencecap rasa wine pertama kali.

wine_965871

Dan, suatu saat kelak. Saya akan menuangkan wine pada gelasnya. Entah. Untuk siapa.

12_4_orig

Gambar ini menggoda saya. Titik-titik embun pada gelas itu mengingatkan saya pada kerontang rentang.
Menggoda saya agar mencobanya sececap saja

Ya. Wine. Saya tidak tahu harus berharap apa pada benda satu ini! Hanya saja, saya menikmati eksotisme yang timbul darinya

Selasa, 01 November 2011

Ketika Perempuan Seharga Selaput Dara

Maaf. Judul yang saya gunakan sedikit ekstrem.

Jujur saja, saya sedikit tersinggung ketika beberapa orang beramai-ramai operasi selaput dara agar dikira perawan. Dan itu dipermudah dengan adanya penawaran-penawaran murah dari pihak medis untuk melakukan operasi ini. Sakit.
Maaf, kalau tulisan saya ke bawah agak sedikit subjektif dan emosional.
Baiklah. Saya akan memulai tulisan saya dengan rasa kecewa saya pada konstruksi sosial yang ada: Perawan adalah perempuan yang selaput daranya belum robek. Yang ketika malam pertama akan berdarah.
Itu menyakitkan. Sangat. Sebagai seorang perempuan, saya merasa itu jelas-jelas aturan yang dibuat seenaknya. Tak berperikemanusiaan! Selaput dara yang masih utuh tidak bisa digunakan sebagai tolok ukur apakah perempuan tersebut masih perawan atau tidak. Selaput dara adalah lapisan tipis--yang setiap perempuan memiliki ketahanan selaput dara yang berbeda. Bisa saja selaput dara robek karena jatuh atau terantuk benda tumpul. Jika sudah telanjur robek, lantas seseorang bilang bahwa perempuan tersebut tidak dapat menjaga kehormatannya dengan baik. Bukankah itu terlalu menyakitkan untuk pihak perempuan? Sementara (mungkin) perempuan tersebut benar-benar belum melakukan hubungan intim dengan siapa pun.
Perempuan dipaksa menjaga selaputnya, sedangkan laki-laki bisa seenaknya. Maaf, ini bukan tentang gender. Hanya saja, ini sebuah anggapan yang benar-benar menyudutkan perempuan.
Anggapan seperti ini membuat banyak perempuan yang berpikir pintas. "Ah, nanti bisa perawan lagi!" Ya, perawan lagi. Frasa yang muncul ketika ada operasi menyambung selaput dara. Ini jauh lebih menyakitkan. Keperawanan tidak dapat terjadi dua kali. Perempuan-perempuan yang termakan konstruksi sosial tersebut pasti menganggap bahwa keperawanan ditandai dengan utuhnya hymen (selaput). Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, sebab isu yang berkembang di masyarakat memang seperti itu adanya. Lantas, banyak perempuan yang berbondong-bondong ingin operasi penyambungan selaput dara. Dan kebohongan pun akan terjadi.
Sungguh. Saya miris.
Ah, perempuan. Selalu saja. Kadang, saya terlalu bingung dengan semua ini. Di satu sisi, saya melihat ada banyak perempuan yang berjuang mati-matian memperjuangkan hak-haknya, tetapi di sisi yang lain, ada banyak perempuan yang terlalu pasrah pada keadaan.
Entahlah.
Namun, isu operasi selaput dara ini benar-benar membuat saya geram. Bagaimana bisa. Keperawanan seseorang hanya dilihat dari utuh atau tidaknya selaput dara, bukan dari caranya dia menjaga kehormatan. Apakah malam pertama akan jadi menyenangkan karena ada darah hasil operasi selaput dara? Saya tidak tahu. Tanyakan saja sama hujan yang merintik ketika senja.

Senin, 31 Oktober 2011

Dan Keajaiban itu Selalu Ada

Selepas Oktober. Saya berjanji untuk pergi ke suatu tempat. Hanya sekadar menyegarkan emosi. Tapi ternyata saya salah. Saya kehilangan Oktober sebab Oktober tahun ini memberikan banyak hal.
Jujur saja. Memasuki awal Oktober, saya ingin sekali Oktober cepat berkemas. Meninggalkan saya. agar saya bisa menjalani rutinitas dengan normal. Tapi, Oktober tetap bergeming. Berjalan lambat seperti adanya.
Ah, iya. tentu saja. acara itu yang membuat saya ketakutan setengah mati. acara yang diadakan tingkat nasional dan saya dipercaya sebagai ketua pelaksana. terlihat biasa saja dan sederhana memang. hanya saja, bagi saya ini luar biasa. berada di sebuah kepanitiaan dan saya sebagai pemimpinnya. ketidaksuksesan acara ini, tentu saja, merupakan kesalahan saya seutuhnya.
Tapi, saya beruntung. saya berada di antara orang-orang hebat. orang-orang yang punya komitmen dan karakter.
Baiklah. Tuhan memang selalu baik. Selalu mendengar. Ada banyak hal yang tak terduga saat acara ini sudah di ambang mata. Ada banyak bantuan. Saya tidak bisa mengisahkannya satu per satu. Yang pasti, saya hanya ingin berterima kasih pada Tuhan Yang Selalu Baik memberikan bantuan.
Keajaiban. Itu yang Tuhan berikan pada kami. Saya bersyukur. Paling tidak saya bisa memegang acara ini. Saya bisa bertukar pesan dengan Seno Gumira Ajidarma dan Sapardi Djoko Damono. Sungguh. Saya ingat ketika kelas 1 SMP dan pertama kali membaca cerpen "Pelajaran Mengarang" karya SGA, saya tidak pernah terpikirkan untuk bertemu langsung dengannya. Bahkan sekarang, saya bisa memberikan plakat untuknya. Terima kasih Tuhan. Saya juga ingat, ketika saya pertama kali membaca puisi-puisi Sapardi Djoko Damono ketika SMA, saya berjanji untuk bisa melihatnya secara langsung suatu saat nanti. Tapi, jawaban Tuhan lain. Saya diizinkan untuk menjabat tangannya dan mengobrol banyak dengannya. Terima kasih sekali lagi Tuhan.
Ah iya, Tuhan selalu memberikan keajaiban-Nya lewat tangan-tangan yang takterduga. Orang-orang yang berada di dekat saya, contohnya. Tuhan mengirimkan orang-orang hebat ini untuk membantu saya. untuk menyelesaikan semuanya agar semua berakhir dengan baik-baik saja. Terima kasih pada mereka yang sudah sangat sangat membantu saya.

Yang pasti, Tuhan itu selalu memberikan sebesar apa yang kita usahakan. Keajaiban yang kita terima itu sesuai dengan seberapa besar kerja kita untuk Tuhan.

Rabu, 19 Oktober 2011

Selepas Oktober

Selepas Oktober. Mungkin saya harus melepaskan penat. Pergi ke Bandung atau ke mana pun. Atau mungkin cukup berjalan-jalan santai di kampus. Menikmati pemandangan tanpa harus diburu waktu atau senja. Atau berlama-lama menghabiskan waktu di Salihara. Menonton pertunjukan.
Sedikit saja saya meluangkan waktu untuk mengetik ini. Agar kelak, setelah Oktober berkemas. Saya tidak lupa apa yang harus saya lakukan.

Minggu, 16 Oktober 2011

Maaf, Ceritakan Padaku Kisah tentang Ranjang

Setiap yang datang akan sedikit tegang. Setiap yang pergi tak
elak menggigil. Ada rindu yang tersisa di sini.
di sprei yang putih dengan sedikit noda perih.
dan sedikit bunyi merintih.
kau boleh meretas kisah di sini. sebelum ia datang.
sebelum ia menampakkan sangarnya di balik pintu.
jika kau belum sempat pergi, kau boleh tiarap di bawah sini.
menahan napas dan kentut. agar dia tak kalut.
ada yang telah merajut cinta di tempatnya.
kau tahu? di sinilah perginya bermuara
meski kau juga tahu, singgasana ini bukan laut.

Katamu, orang-orang yang berkisah di sini
akan berakhir. aku sedikit bergidik.
aku bukan pengisah, hanya saja terkisah, kataku.
kau mengangguk.
maka aku terduduk. diam. berharap tak ada kisah
yang muncul lagi dari mulutku.
serupa tunarungu yang gagu.
kau juga hanya berdiam. menungguiku.
menungguiku menunggu pengisah.

aku berkemas. segera memakai sweater.
membuka pintu. lantas membiarkan tubuhku
melebur pada panas dan kisah.
aku tak ingin berakhir di sana.
sebab kau takpernah tahu.
apa itu lelah. mengalah.

Rabu, 12 Oktober 2011

Isyarat

Aku selalu senang belajar di kelas ini. Diam. Sepi. Kadang ada tawa, secuil saja. Sebab tak ada gunanya tertawa keras-keras. Tak akan terdengar.
Ya. Sepertinya aku sudah pernah bercerita bahwa semester ini aku mengambil kelas bahasa Isyarat. Kelas yang belajar tentang kehidupan, lebih tepatnya.
Mereka orang-orang hebat. Masih mampu menyalakan lilin terang di antara gerhana pekat. Kalau aku jadi mereka, aku takpernah tahu apa yang akan terjadi. Mungkin bunuh diri. Ah, Tuhan memang memberi cobaan takpernah lebih besar dari kemampuan hamba-Nya. Kemampuan bertahanku taklebih besar dari mereka. Dan aku menyadari itu.
Takgampang mengikuti mereka. Seperti belajar bahasa asing dari antahberantah. Tanganku kaku. Ngilu. Terlalu kelu. Ekspresiku tak mampu merayu.
Sebelum memulai kelas, tanganku harus digerak-gerakkan. Seperti gerakan pemanasan sebelum lari, mungkin. Bersama mereka, aku harus bisa mengungkapkan semua hal hanya dengan ekspresi dan gerak tangan. Ada aku. kamu. kita. Ada senja. jinggga. dan hujan.
Komposisi yang sederhana.
Tapi, aku selalu saja kesulitan menyampaikan isyarat, (mungkin) seperti halnya mereka yang kesulitan menyampaikan suara.
Kamu tahu kan aku suka berada di kelas ini? Seperti halnya aku suka berjalan di lorong-lorong sepi. sendirian. Seperti halnya aku suka memandang hujan di balik kaca. Seperti halnya aku suka mendengarmu bernyanyi.

Minggu, 09 Oktober 2011

Ayah. Ayah. Ayah



Jika sedang banyak hal seperti ini, aku jadi kangen ayah. Kangen lelucon-leluconnya yang kadang terasa garing dan kering, tapi bisa membuatku terbahak. Kadang aku hanya menyenangkannya atau memang tak ada hal lain yang patut ditertawakan.
Tak ada nasihat yang diucapkannya untuk menyederhanakan masalahku. Tapi, aku tahu. leluconnya itu untuk memastikan bahwa aku masih baik-baik saja. Leluconnya itu mewakili kalimat-kalimatnya yang (seharusnya) panjang. Yang mungkin berinti, "Ini bahu dan telinga untukmu!"
Aku sering menangis di bahunya. Meski tak kekar, tapi mampu membuatku betah berlama-lama di sana. Aku sering bercerita banyak dan ayah hanya mendengarkan. Kadang menimpali ceritaku dengan lelucon yang sama sekali tak penting. Tapi itulah yang membuatku rindu.
Ah, ayah. Selalu mampu membuatku terharu.
Aku tak tinggal serumah lagi dengan ayah. Sudah lebih dari 2 tahun. Selalu. Ayah yang memulai percakapan denganku. meneleponku. Kadang terangkat, kadang tidak. Maaf. Aku selalu (terlalu) sibuk di kota ini. Hampir tak pernah ada waktu untuk sekadar bilang, "Aku baik-baik saja," pada ayah. Senggangku ketika sudah larut. Ketika malam seperti ini. Ketika di sana sudah tak ada kehidupan lagi. Aku tak bisa menelepon ayah. Jam di dinding kamarku sudah bertengger di angka 11.35. Hampir tengah malam. Ayahku sudah terlelap, pastinya. Dan aku tak mau mengganggu istirahatnya.
Aku tahu, tak ada laki-laki yang mencintaiku melebihi dirinya, selain ayahku.
Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang harus kukerjakan. Aku ragu. Apakah aku sanggup mengerjakannya atau tidak. Jika sedang begini. Aku butuh ayah. Butuh ayah untuk menenangkanku dan mengatakan semuanya akan terselesaikan dengan baik.
Sungguh. Aku rindu ayah.


**pada kamar yang menjagaku sepanjang malam
bangunkan aku pagi-pagi agar aku bisa menelepon ayah.
jangan sampai keduluan matahari

Sabtu, 08 Oktober 2011

9 10 11

9 10 11
Seperti hitungan sebelum berlari. Bagus. Berurutan.
Itu tanggal hari ini. Mungkin tanggal terbagus sebelum kiamat. Bolehlah kukatakan seperti itu meski aku taktahu kapan kiamat.
9 10 11
Mengingatkanku pada urutan kematian. Kesempurnaan pada 9. Lantas 10 dan 11 adalah kembali pada hitungan awal: 1 2. Kembali adalah pulang, lalu mati.
9 10 11
Akhirnya aku ke Anyer. Iya, tak apa. Norak. Baru pergi sekarang.
Otakku sedikit acak hari ini. Antara senang ke Anyer dan muak dengan penghakiman.
Berkali-kali aku menulis, takperlu kita membawa palu untuk menyatakan: saya benar, kau salah.
Dunia ini terlalu berharga untuk meributkan siapa yang paling benar atau paling salah.
Baiklah. Akan sedikit kudeskripsikan. Mayoritas memang selalu mengintimidasi minoritas. Mereka lupa bahwa menjadi minoritas adalah pilihan yang wajib dihormati oleh siapa pun.
Tapi, sepertinya tidak begitu. Meskipun sebenarnya aku masuk dalam mayoritas tersebut, aku selalu merasa ada orang-orang yang teranggap salah.
Menyakitkan.
9 10 11
Jujur. Aku suka pada urutan angka ini. Nanti saja ya, aku lanjutkan. Sepulang dari Anyer jikat takterlelap.

Minggu, 02 Oktober 2011

Seruas Jalanan, antara Aku dan Kamu

Lantas kamu menghilang. Di balik sebuah lorong
yang takbertuan. Sepi.
Kemarin. Kemarinnya lagi. Aku selalu melihat
tubuhmu yang sedikit kaku di jalanan yang
setiap hari kulewati. Aku menghembuskan napas,
dan kamu menatapku berharap.
Maaf.
Taksetiap hari ada sisa receh untukmu. atau sisa rotiku
tadi pagi. syukurlah. kamu tidak tahu, ada sebotol kecil
wine yang kusimpan dalam tasku.
Tubuhmu legam. kausmu hitam.
serupa jelaga yang menempel di dinding
kamar bambu.
Aku. Kamu. di tempat ini. (tidak) jatuh cinta.
hanya saja menyimpan cerita.
Jika melihatmu, aku ingat adikku. mungkin seusiamu.
kita sering bersitatap. saling mengamati. aku selalu iba
melihatmu di situ. tidur di jalan ini. tanpa ranjang yang
bisa membuatmu menggelinjang. atau selimut yang
memelukmu lembut.
(lagi). maaf.
aku takpernah bisa membawamu ke kamarku.
jangan khawatir. aku selalu berdoa pada Tuhanku,
suatu saat kelak. kamu akan mendapat tempat yang layak.
yang bisa memberimu rasa nyaman, senyaman rasa anggur
yang membuatku tertidur.

Senin, 26 September 2011

Analisis Gender dalam Cerita “Saya, Kenangan & Hujan”

Perempuan dan laki-laki. Selalu saja menarik dibicarakan. Kali ini saya ingin sedikit sok tahu dan sedikit (saja) membahas laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang seorang (yang mencoba menjadi) genderis.

Istilah genderis pertama kali saya dengar ketika saya mengambil mata kuliah "Gender dalam Sastra". Konsep genderis yang dimaksud oleh dosen saya tersebut adalah seseorang yang melihat laki-laki dan perempuan dalam tataran yang sama. Bukan mendukung patriarki, apalagi feminis garis keras. Seorang genderis berada di tengah. Melawan yang salah, membela yang benar. Siapa pun itu. Apa pun jenis kelaminnya. Aih, maaf. Ini bukan cerita ninja.

Menurut Relawati (2011:3), istilah gender dan seks (jenis kelamin) memiliki arti pembedaan perempuan dan laki-laki, tetapi acuan yang digunakan berbeda. Istilah seks mengacu pada perbedaan biologis, sedangkan istilah gender mengacu pada konstruksi sosial tentang peran, tugas, dan kedudukan perempuan & laki-laki.

Seks merupakan kodrat dari Tuhan yang tidak bisa dipertukarkan: perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara itu, gender adalah konsep yang dibentuk masyarakat dalam kaitannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan. Gender dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Konsep gender sangat dipengaruhi oleh tata nilai, perbedaan adat istiadat, budaya, dan agama. Jadi, setiap wilayah tidaklah mempunyai konsep gender yang sama. Selain itu, gender dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Tak dapat dimungkiri, dari buku-buku yang saya baca, penelitian gender lebih ditujukan kepada perempuan. Kenapa? Karena perempuan selalu dikonstruksikan sebagai makhluk yang lemah dan perlu dibela. Ah, saya sedikit tersinggung.

Dalam tulisan ini, (sekali lagi) saya akan mencoba menganalisis tulisan teman laki-laki saya dari sudut pandang seorang genderis. Dia menulis sebuah pengakuan dalam blog pribadinya. Dia memberi judul tulisannya "Saya, Kenangan & Hujan". Dari judulnya, memang, tak ada tanda-tanda dia menulis sesuatu yang berhubungan dengan gender.

Paragraf pertama dibuka dengan ungkapan rasa sukanya pada hujan. (Kalau hujan mah, saya juga suka. #lupakan)

“Sejak kecil saya menyukai hujan. Mengamati tempiasnya dari balik jendela adalah kesukaan saya. Sebab selain indah, hujan juga membuat saya merasa (ny)aman….”

Saya tidak akan membahas rasa sukanya pada hujan. Meskipun kebanyakan, pecinta hujan adalah perempuan.

Dulu, saya memiliki julukan-julukan yang sering kali membikin saya menjadi rendah diri. Saya disebut-sebut sebagai anak laki-laki yang lembut. Jarang terlibat pertengkaran, tetapi kerap disalahkan jika ada teman sepermainan yang cekcok dan pulang dengan cucuran air mata. Tapi saya tetap diam.

Itu paragraf kedua. Kalimat Saya disebut-sebut sebagai anak laki-laki yang lembut. Jarang terlibat pertengkaran. Tentu saja itu adalah pelabelan yang diberikan masyarakat kepada dia. Ini dapat digolongkan ke dalam fenomena stereotip yang ada di dalam masyarakat. “Laki-laki adalah makhluk yang kuat, tegar, suka bertengkar, tidak pernah menangis, dan sebagainya!”

Disadari atau tidak, stereotip seperti itu menciptakan pengelompokan. Pengelompokan kemayu atau tidaknya seorang laki-laki berdasarkan sering atau tidaknya mereka bertengkar. Kasihan. Lantas, pengelompokan yang menunjukkan perbedaan itu sama halnya dengan membatasi gerak seseorang? Saya rasa tidak perlu. Setiap orang memiliki pilihan untuk menentukan sifat, sikap, dan peran mereka masing-masing.

Adalah gadis kecil yang bernama Diah lah yang selalu saya hindari. Setiap kali saya bermain-main bersamanya, Diah akan menangis di setiap akhir permainan dan mengadu pada orang tuanya, bahwa saya lah yang menjadi penyebab tangisnya meledak. Lucu memang!
Sampai sekarang, saya tidak tahu apa motifnya bersikap begitu. Namun terakhir bertemu, beberapa bulan lalu, dia tampak selalu tersenyum jika berpapasan dengan saya tanpa berucap sepatah kata, bahkan sekadar salam atau say hai.

Itu paragraf ketiga dan keempat yang saya jadikan satu. Diah. Seorang gadis. Tapi, saya rasa dia mampu mengintimidasi teman saya dengan kebiasannya mengadu dan menangis. Mungkin, teman saya takpernah melawan diperlakukan seperti itu. Mungkin, teman saya sangat geram dan memilih diam. Atau mungkin, teman saya ikut-ikutan mengadu dan menangis. haha.

Diah itu perempuan. Ketika Diah menangis dan mengadu kepada orang tuanya, Diah lebih didengarkan dan diberi simpati lebih. Meskipun, misalnya, Diah yang salah. Hanya saja, konstruksi sosial yang berkembang dalam masyarakat bahwa laki-laki harus melindungi perempuan.

Sampai sekarang julukan itu turut mengiringi pertumbuhan saya dalam menjalani kedewasaan. Tak perlulah orang lain menyadari, sebab saya sendiri yang menyadarinya. Saya memang cenderung pendiam, pemalu, introvert, atau apalah itu namanya.
Suatu hari saya pernah mengikuti tes (sejenis) personal preference yang dilakukan oleh teman saya yang kuliah di jurusan psikologi. Dan pada kenyataannya, hasil yang muncul adalah saya lebih banyak mendapatkan skor nurturance ketimbang aggression. Keduanya juga tak jauh beda dengan filsafat Teoisme, dengan istilah Yin dan Yang. Itu artinya, sisi feminis lebih mendominasi saya ketimbang sisi maskulin.

Dua paragraf selanjutnya menunjukkan bahwa labelling yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar teman saya itu membawa dampak yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan teman saya. Sifat-sifat feminin (mungkin) lebih banyak ditemukan dalam diri teman saya tersebut. Ya, tak ada yang salah dengan sifat mana yang lebih mendominasi. Sungguh. Feminin atau maskulin sama saja atau bahkan androgini pun memiliki hak yang sama.

Ah iya, saya jadi teringat kuliah siang tadi bahwa tak ada agama satu pun yang berat sebelah. Artinya, semua agama menganggap laki-laki dan perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama. Kitab-kitab suci yang dianut oleh umat beragama pun tak ada yang mengajari sistem patriarki.

Tapi ingat, ini bukan masalah jenis kelamin, tetapi energi kehidupan!

Ya, ini bukan tentang seks, tapi gender. Gender dibuat manusia. Manusia yang mengotak-kotakkan apa yang pantas dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

Dulu, sebutan-sebutan itu membuat saya merasa sedih. Saya menyadari bahwa saya memang seorang yang sensitif dan tertutup. Saya cenderung lembut dibandingkan anak laki-laki seusia saya dan lebih suka tinggal di rumah sembari membaca, menggambar, dan menulis puisi. Kalau pun bermain di luar saya lebih suka sendirian, atau ditemani oleh sahabat kecil saya, Rahmad, yang sekarang pun telah menghilang bak ditelan bandang.

Paragraf terakhir yang saya analisis—fiuh! akhirnya—haha.

Dia menegaskan kembali bahwa sisi feminin dan kelembutannya memang lebih dominan. Dia lebih senang tinggal di rumah—streotip untuk perempuan yang lebih senang melakukan pekerjaan domestik.

Hidup lebih berwarna justru mengajarkan kita agar tidak mudah menghakimi seseorang atas dasar saya benar, kamu salah. Begitu juga dengan sifat, sikap, dan peran seseorang. Tak ada salahnya jika perempuan harus bekerja di sektor publik atau tidak menangis ketika ditimpa kesedihan. Mereka tetap perempuan meski ada sisi maskulin di dalam dirinya. Hal itu juga berlaku pada laki-laki. Tak ada salahnya jika laki-laki mempunyai kelembutan hati atau menangis ketika menonton drama Korea, misalnya. Mereka tetap laki-laki meski sisi feminin lebih dominan.

Saya beruntung, saya dididik dalam keluarga yang demokratis. Yang menghormati pilihan saya. Dan yang telah mendidik saya untuk menjadi perempuan yang bisa melakukan pekerjaan apa pun. Saya memasak ketika pagi dan mencuci mobil ketika sore. Saya menulis menjelang pagi, belajar ketika pagi, dan mengajar menjelang petang. Saya menyapu rumah dan juga mengganti bohlam lampu. Saya dapat memperbaiki perabotan rumah yang rusak. Kadang, saya harus mengangkat galon air mineral. Tak jarang pula saya harus tampil anggun ketika akan ke pesta. Tak ada yang menyebut saya laki-laki. Saya perempuan. Saya bangga menjadi perempuan.

Ya, setelah saya membaca tulisan teman saya tersebut, saya berharap tidak ada lagi orang-orang yang membawa palu lantas mengetukkannya di mana-mana. Dan, suatu saat nanti, saya juga berharap akan menganggap biasa laki-laki yang menangis atau perempuan yang mengangkat besi. Mereka punya pilihan hidup yang harus dihormati oleh siapa pun.

 

Daftar Referensi:

Jumali. 2011. “Saya, Kenangan & Hujan”. (online) http://tepi-langit.blogspot.com/2011/09/saya-kenangan-hujan.html

Mulia, Samuel. 2011. “Bencong…!”. Kompas, 11 September 2011, hlm. 13

Relawati, Rahayu. 2011. Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender. Bandung: Muara Indah

Sabtu, 24 September 2011

Sekadar Cerita Lalu tentang Hujan dan Pulang

Langit menjingga. Kelas terakhir hari ini baru saja usai. Sudah pukul lima. Biasanya, kuliahku tidak sesore ini. Kampus sudah mulai sepi. Hanya terlihat beberapa pegawai yang mengecek ruang kelas yang terkunci.
Kurapikan tasku, lalu mengecek barang-barangku. Mungkin kurang sesuatu. Atau lebih sesuatu. Ah, tak perlu.
Aku berjalan pelan. Menikmati setiap langkah di koridor ruangan. Di luar semakin sepi, jingga yang kupikirkan pada langit sudah berganti warna. Mungkin menghitam atau mengabu. Ada tetes-tetes mungil yang menitik di map dan bajuku. Bau hujan. Mungkin sebentar lagi dia datang. Hujan. Aku suka berlindung di bawahnya. Menikmati setiap tetesnya. Membiarkan tubuhku basah. Hujan selalu membuatku betah berlama-lama di luar.
Rintik air semakin kerap dan lebat. Kulambatkan langkahku. Menyusun ingatanku tentang hujan dan semuanya. Kampusku terlalu panjang dan luas untuk dilewati, kadang kusyukuri, kadang kurutuki. Kali ini aku bersyukur.
Syukur. Ah, iya. Kata itu selalu mengingatkanku pada semua hal yang Tuhan berikan padaku. Aku teringat, kelas terakhir yang kutinggalkan hari ini adalah kelas Bahasa Isyarat. Aku yang mendengar dipaksa untuk diam dan takmendengar di kelas itu. Semua menggunakan isyarat. Tanganku kaku. Mulutku kelu.
Aku kagum. Pengajar-pengajarku adalah orang-orang tunarungu. Manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk menerima kelebihan--jika tidak ingin mengatakan itu sebuah keterbatasan. Mereka bisa menangkap isyarat dengan benar. Tanpa kata. Mampu memahami dan "mendengarkan" orang lain. Aku selalu terharu ketika melihat mereka mengajar. Ada lelatu yang meluap-luap. Membuatku malu dan terkesiap. Kurasa, kepekaan mereka jauh lebih besar daripada orang-orang yang mengaku bisa mendengar dan berbicara.
Langkahku semakin pelan. Hujan semakin bergairah. Kupandangi rusa-rusa yang teronggok kedinginan di kandangnya. Setiap hari aku melihat rusa-rusa itu. Mereka menatap nanar setiap orang yang lewat. Mungkin lapar, mungkin mengaduh. Rusa-rusa itu semakin kurus. Ah, menyedihkan. Jatah makannya dimakan anjing rektor atau malah dimakan rektor? Ups. Aku takboleh membicarakan ini di depan umum. Maaf. Sedikit keceplosan.
Jalanan semakin basah. Kandang rusa di sisi kiriku, hutan di sisi kananku. Oh, ini kampus atau tempat wisata. Entahlah. Aku takpeduli. Aku berjalan saja. Menuju stasiun. Suara sirine kereta datang dan berangkat menambah riuh denting hujan. Memekikkan sekaligus menikmatkan. Aku juga selalu suka stasiun. Bangku peron yang memanjang. Orang-orang yang lalulalang. Ada penantian panjang. Ada pertemuan dan perpisahan. Kehilangan dan proses menemukan. Stasiun punya cerita itu. Kalau tidak hujan, aku sering mampir ke stasiun ini, sekadar duduk di peron. Melihat orang-orang bergegas keluar dan masuk. Mendengar dengung sirine. Melihat pengamen berceloteh tentang hidupnya yang malang. Atau menunggu penjual permen menjajakan dagangannya. Semuanya indah.
Lantas, aku menyusuri lorong belakang stasiun. Genangan air di mana-mana. Atau jika hari panas, tempat ini seperti neraka yang menawarkan keeksotisan oven 100 derajat celcius. Terlalu berlebihan memang, tapi panas di tempat itu memang mampu membuatku meleleh. Aku takbetah berlama-lama di sana.
Setelah itu, aku harus melewati jalanan lebar yang takberperikemanusiaan. Mesin-mesin bergerak itu takpunya hati, termasuk pengemudinya. Aku selalu berhenti sejenak di tepi jalan, menunggu orang yang punya kepentingan yang sama denganku: menyeberang! Aku hanya berani menyeberang ketika banyak orang. Jalanan ini seperti ibu yang takbertanggung jawab. Yang membiarkan anak-anaknya berlarian taktentu arah. Tanpa arahan. Tanpa pegangan.
Sederhana. Aku hanya ingin dibangun jembatan penyebrangan di jalan ini. Hanya itu.
Setelahnya, aku harus berjalan melewati gang yang sedikit lebar. Selalu. Bau makanan yang tercium di gang ini mampu membuat nafsu makanku meningkat drastis. Jika di gang ini, aku suka berjalan di sebelah kanan. Aku suka melihat wajah orang-orang yang berpapasan denganku. Meski aku tahu: aku tak pernah mengenal mereka.
Gang yang kulewati masih cukup lebar dibandingkan dengan gang yang menuju kamarku. Gang menuju kamarku berada di antara tembok dari dua rumah yang menjulang. Di sepanjang jalan gang ini, ada banyak tai kucing. Kucing-kucing itu tak punya malu untuk berak sembarangan. Persetan dengan tai kucing! Aku bisa menghindarinya dengan meloncat. Seperti menari di atas panggung. Mungkin, setelah ini akan ada tarian tai kucing. haha
Kamarku ada di ujung gang. Sederhana. Namun selalu membuatku (ny)aman. Aku membuka pintu kamarku dengan segera. Baju dan tubuhku basah dan dingin. Aku takpernah tahan dengan dingin yang berlama-lama di tubuhku. Segera kuganti bajuku dengan kaos oblong dan celana pendek. Ini nyaman.
Di luar masih hujan. Jalanan depan kosku terlalu sepi. Hanya rintik hujan dan kodok. Sudah pukul enam. Biasanya senja datang dengan warna jingga atau orange yang menyala dan menyilaukan. Indah. Tapi senja kali ini takkurang indah. Ada hujan.
Aku duduk di jendela. Memandangi rintik hujan. Entah sampai kapan ku di sini. Mungkin sampai hujan berhenti atau sampai senja menghilang.

Rabu, 21 September 2011

Sendiri

Sendiri selalu menyenangkan. Seperti kali ini. Di sana ramai. Banyak orang. Hanya saja aku di sudut sendiri. Ya. Kali ini aku ingin menulis. Ingin bercerita. Aku sedang di café sekarang. Café yang terletak di dalam gedung pertunjukan Salihara. Menunggu acara. Menunggui orang-orang bercengkerama. Aku memesan roti—entah apa namanya—dan es teh manis. Roti tawar yang dibakar. Dua iris. Di sampingnya ada semangkok kecil saus yang berisi telur setengah matang, irisan tomat dan bawang bombay, serta mayonaisse. Dari namanya, kukira rasanya manis. Ternyata tidak. Gurih. Tak ada yang istimewa. Hanya saja aku sendiri. Itu menjadi lebih nikmat. Hanya satu yang tak kulakukan jika di café seperti ini: merokok. Sungguh. Aku tak suka bau rokok. Apalagi mengisapnya.

Sekarang pukul berapa? Mungkin 6.45. Pukul tujuh nanti, aku akan ke atas. Menaiki tangga kecil yang ada di balik café ini. Lalu, aku akan duduk di sana untuk mendengarkan ceramah. Ceramah dari Sapardi Djoko Damono. Aku sudah pernah bercerita bukan? Jika aku suka Sapardi Djoko Damono.

Aku tidak tahu apa yang akan dibicarakan di sana nanti. Katanya tentang “Kesusastraan Indonesia sebelum Kemerdekaan”. Bahasan yang menarik sepertinya. Ya ya ya. Kesusastraan memang selalu menarik dibicarakan dan didengarkan.

Minggu lalu—di hari yang sama—aku juga ke sini. Tapi tidak mampir ke café. Pembicaraan mengenai gender dan kekuasaan pada tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer yang menjadi bahasannya. Menarik. Minggu lalu, aku bisa mengobrol dengan Ayu Utami. Ah, iya. Penulis itu. Penulis yang membuatku tergila-gila pada sastra.Seperti mimpi.

Sebentar, aku ingin kembali lagi bercerita tentang suasana café ini. tak terlalu luas. tapi cukup nyaman untuk menulis. Hanya diterangi lampu 5 watt di setiap meja. Tak berisik, tapi juga tak sepi. Aku satu-satunya orang yang memakai jilbab di sini. Lainnya adalah orang-orang yang sepertinya bebas dengan hidupnya. Ngobrol. Nongkrong. Merokok. Tertawa. Dan mungkin secuil dari kegiatan mereka adalah untuk mencari ide. Berbagi cerita. Menyenangkan. Ah, tapi hidupku juga tak kalah menyenangkannya dari mereka.

Sudah pukul tujuh. Acara segera dimulai. Aku harus segera membayar pesananku. Dan aku harus segera naik. Duduk manis mendengarkan ceramah. Rotinya mengeyangkan atau membuat eneg. Entahllah. Aku tak tahu antara dua itu. Lain kali saja aku meneruskan ceritaku. Aku senang di sini.

Jumat, 26 Agustus 2011

Sangat Cinta Sapardi Djoko Damono!




Sudah lama saya tidak menulis. Lama sekali. Mungkin sebelum lebaran tahun lalu. Sekarang hampir lebaran lagi. Ada kerinduan. Ada gejolak tertahan. Dulu. Saya suka sekali menulis puisi. Masa-masa labil. Sekarang pun saya masih sangat menikmati puisi. Hanya menikmati. Tak lagi bisa menulis puisi seperti dulu. Sepertinya, puisi-puisi saya sekarang tak bernyawa. Tak pernah hidup.
Ya, tentu saja beda sekali dengan puisi-puisinya maestro. Sapardi Djoko Damono, misalnya. Dari saya mengenal puisi hingga saya menjadi puisi, saya masih sangat mengagumi puisi-puisinya Sapardi. Yang mana pun. Yang dalam kumpulan apa pun.
Saya beruntung. Saya kebetulan bisa berkuliah di jurusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia. Ya. Itu adalah rumah bernaung Sapardi Djoko Damono. Saya cinta dia! Ah.
Beberapa kali saya bertemu dengan beliau, dari sekadar lewat lalu saya memandanginya hingga punggungnya menghilang, sampai saya duduk di depannya untuk menyaksikannya membaca puisinya. Romantis sepertinya. Haha.
Kalau saja. Ya. Kalau saja. Sapardi masih seumuran saya. Saya tidak akan mampu menolak untuk menjadi kekasihnya. Aduh, saya mulai ngelantur.
Suatu ketika, saya harus tertegun, ketika beliau ngomong bahwa sampai sekarang beliau belum menikah. Ah, penyair. Entah. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Kekasihnya beda agama. Masing-masing dari mereka masih sangat mencintai Tuhannya. Tak ada yang mengalah, sepertinya.
Miris.
Beberapa waktu lalu, saya kembali bertemu dengan beliau dalam acara Renungan Malam Kemerdekaan yang diadakan oleh Rektor Universitas Indonesia. Acaranya romantis dan eksotis. Bertempat di audit perpustakaan pusat UI, di depan danau dan rektorat. Ada banyak lilin sebab acaranya tengah malam. Sapardi membacakan sajaknya yang berjudul "Kemerdekaan". Benar-benar bagus, seperti biasanya. Analogi yang digunakannya sungguh takterpikirkan oleh otak saya.
Ah, kalau ada yang tanya, puisi Sapardi yang paling saya suka apa. Saya bingung harus menjawab apa. Sebab, hampir semua puisinya saya suka. Tapi, ada satu puisi yang sering membuat saya menarik napas, yaitu "Sajak Kecil tentang Cinta".

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjelma aku

Ya, itulah liriknya. Sederhana. Hanya saja ada konsep yang ditawarkan oleh Sapardi. Mencintai adalah meleburnya dua menjadi satu. Angin dan siut, air dan ricik, gunung dan terjal, api dan jilat, cakrawala dan jarak adalah dua hal yang takpernah terpisah. Manunggal. Satu. Saya jadi teringat konsep "Manunggaling Kawula Gusti" atau bersatunya hamba dengan Tuhannya. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan oleh Sapardi. Mencintai sesuatu berarti harus siap menjadi seperti sesuatu tersebut.
Ah, yang membuat saya sedikit merinding itu adalah lirik "Mencintaimu harus menjelma aku". Saya suka kalimat ini. Suka sekali. Ya. Jika saya mencintai seseorang, saya sudah merasa bahwa diri saya adalah bagian daripadanya. Saya dan dia adalah satu hal yang menjadi dua hal. Sehingga, saya cukup menjelma menjadi "aku" untuk dapat menyatu kembali dengannya.
Ah, romantis.


*gambar dari google.co.id

Senin, 22 Agustus 2011

Rummikub





Kita melingkar. Berempat. Di meja makan. Aku. Kau. Kamu. Dan Engkau. Kita cepat-cepat menyelesaikan makan malam agar cepat-cepat pula memainkan permainan.
Dulu aku selalu mengelak memainkan ini. Otakku pusing. Alasanku saat itu. Tapi Kau selalu memaksa. Aku mengalah. Dengan sigap, Kamu membalikkan buah-buah Rummikub agar tertutup. Aku sedikit membantumu. Permainan dimulai. Seperti biasa. Tujuh buah untukku. Tujuh buah untuk Kau. Tujuh buah untuk Kamu. Dan tujuh buah untuk Engkau. Kujejerkan buahku di papan penyangganya. Aku merengut. Angka-angka yang tertera di buahku tak berkompromi kali ini. Kulihat Kau biasa saja. Itu ekspresi yang rutin Kau tampakkan. Lalu kutatap raut mukamu. Tersenyum getir. Ah, mungkin itu kepura-puraanmu saja. Sementara Engkau? Sudah sedikit menggebrak-gebrak meja. Kutahu. Angkamu bukan maumu.
Kau selalu memulai permainan. Lalu kamu. Engkau. Dan terakhir aku. Angkaku belum juga pantas keluar. Sementara kalian sudah mencapai angka 30. Buahku semakin berkembang biak. Aku menahan napas. Buahmu tinggal beberapa, mungkin.
Akhirnya, angkaku mencapai 30 juga. 10 merah, 10 jingga, dan 10 biru. Kombinasi yang romantis.
Permainan semakin gerah. Kau selalu mendominasi permainan ini. Memakan waktu lama-lama untuk giliranmu. Untuk mengombinasikan angka-angka di meja agar angka punyamu habis.
Aku santai-santai saja. Meskipun takpernah tahu apa yang terjadi dengan angkaku selanjutnya.
Ah, jika bermain seperti ini. Aku teringat hidup.
"Apa hubungannya?" Engkau ikut campur dengan pikiranku.
Bermain Rummikub itu seperti hidup. Angka-angka yang kita pilih itu garis takdir kita. Kita asal memilih. Takpernah tahu berapa angka yang kita terima.
"Ah, ngaco!" Kau tiba-tiba datang menyusup di teoriku.
Buktikan saja. Kita takbisa menolak atau mengembalikan angka-angka itu ke tempat semula. Sama seperti takdir kita. Kita memilih menang atau kalah dengan angka yang ada. Semua tergantung kecerdasan kita mengombinasikan angka-angka kita dengan angka-angka lawan kita.
"Dasar bodoh! Ini hanya permainan!" Kamu mencercaku. Padahal Kamu yang mengenalkan permainan ini padaku. Katamu, ini dari negeri Kincir Angin. Aku percaya saja.
Permainan kadang-kadang terinspirasi dari hidup. Atau hidup yang terinspirasi dari permainan? Retoris!
Angka-angka itu akan tetap menjadi angka yang takberguna jika kita terlalu bodoh mengakalinya. Lawan pun taksepenuhnya membahayakan. Kadangkala, kita membutuhkan joker darinya untuk menyelamatkan angka kita. Menyelamatkan hidup kita dari kekalahan yang memalukan.
Kalah. Menang. Kalah. Hidup. Hidup. Mati. Hidup. Mati. Sungguh. Itu semua pilihan. Pilihan yang kadang kita takbisa memilih. Aku takpernah memilih hidup. Begitu juga aku takpernah memilih mati. Tapi itu pasti. Aku hidup. Aku pasti akan mati. Aku mati. Aku pasti tak akan hidup.
"Tik.. tik.. Rummikub!" teriakmu memecah keheningan. Itu kalimat wajib diucapkan ketika angka-angka di papan penyangga kita telah habis. Entah. Itu aturan internasional ataukah hanya aturan kita? Aku takpernah bertanya padamu.
Aku terbengong. Kalah lagi. Sudah sekian putaran aku belum juga menjadi pemenang. Tak apa.
Kulihat angka di papan penyanggaku masih banyak. Mungkin lima buah. Tak ada yang cocok. Aku kalah telak. Kalian menang lagi.
Baiklah. Aku akan ke dapur. Membawakan kalian jus jambu merah dan setoples kacang tupai.
Aku meletakkan jus dan kacang tepat di atas meja makan. Aku menunggu kalian memakannya. Sebab aku kalah. Aku takboleh makan.
Bergeming. Tak ada suara. Kalian belum juga ada yang menuang jus jambu segar ataukah membuka tutup toples kacang tupai. Hening.
Tiba-tiba Engkau menangis. Memandang buah-buah Rummikub yang berserakan. Kau hanya menatap kosong ke arahku. Sementara Kamu berkali-kali menarik napas panjang.
Tak biasanya.
Ayoo, jus jambu merah dan kacang tupai sudah menunggu! Segera makan dan minum. Lalu, permainan dilanjutkan! Teriakku pada kalian.
Percuma, sepertinya.
Tak ada yang mendengarkanku.
Ayoolah, aku ingin bermain. rengekku pada kalian. Geming.
Kamu menggeleng. Lalu, kalian menangis.
Oh, Tuhan! Aku hanya ingin bermain Rummikub seperti biasanya. Umpatku pada Tuhan.
Seperti biasanya, Tuhan diam.
Kamu memandangku sekali lagi. Tapi tak memandang mataku. Hanya menatap lurus pada kursi yang kududuki.
"Sudahlah, dia tak akan kembali. Kereta senja tak pernah memulangkan penumpangnya!" Kau mengusap lembut punggungmu. Lantas, kamu mengusap lembut kursiku. Bukan aku!
Apa maksudmu? Teriakku.
Takpernah ada jawaban. Hingga nanti.