Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Minggu, 26 Agustus 2012

Ssstt... Jangan Bilang Siapa-Siapa!

Ini rahasia! haha
Sudah pernah saya katakan padamu, kan? Saya bisa jatuh cinta pada seseorang dari tulisannya. Seriously!
Ya. Saya memang sedang jatuh cinta sekarang. Sudah lama. Tapi berhasil memendam. Ah, mirip cerita picisan. Entahlah. Saya bahagia saja jatuh cinta padanya. Mungkin nanti, ada definisi lain tentang jatuh cinta semacam ini. Intinya, saya jatuh cinta pada tulisannya. Pada pemikirannya. Ya. Bisa saja jatuh cinta semacam ini berdampak pada cinta orangnya. Abaikan. Saya semakin konyol.
Baiklah. Pada mulanya memang kesalahan saya yang suka jalan-jalan di blog orang. Membaca-baca tanpa dosa. Kalau menarik, saya langganan. Kalau tidak, sekali saja mampir. Okelah. Berawal dari sebuah pernyataan teman saya di twitter, yang menyatakan bahwa blog www.catatanugahari.wordpress.com itu bagus. Naluri jalan-jalan saya bekerja dengan baik. Sekali klik. Blognya muncul.
Dari judulnya saja, saya tahu. Itu tulisan takbiasa. Tulisan yang muncul dari pemikiran seorang yang sedikit anti-mainstream. Semacam candu. Saya ketagihan. Mengikuti setiap tulisan yang dibuatnya. Perlahan. Saya mulai jatuh cinta. Ya. Sebatas jatuh cinta. Tanpa berani komentar apa pun di blognya. Sedikit pengecut. haha. Dari rasa cinta itu, saya sempat mencari makna kata ugahari dalam KBBI. Artinya 'sederhana'. Ya. Semacam itulah dia. Kesederhanaan.
Dia sering bercerita tentang ayahnya. Tentang perjalanan yang telah dia lakukan. Tentang rasa muaknya pada dunia yang penuh artifisial ini. Tentang buku-buku yang sedang atau telah dia baca. Tentang bola. Tentang sastra dan sosiologi. Tentang hal-hal sederhana di sekitarnya.
Semua topik itu menarik hati saya. Ya. Kecuali bola. Dia berbicara secara jujur tentang apa yang dia rasakan. Saya bisa merasakannya itu. Memandang dunia dengan analisis dalam sudut pandang sosiologis.
Dari ceritanya, saya mulai sadar. Dia tidak berada jauh dari saya. Baiklah. Dia sering bercerita tentang kuliahnya. Tentang universitas. Akhirnya, saya bisa menebak. Dia kuliah di universitas yang sama dengan saya. Yang fakultasnya bersebelahan. Beruntungnya lagi, dia adalah teman seangkatan teman baik saya. Ah, hidup memang kadang-kadang terlalu sempit.
Saya pun tahu namanya. Tahu sedikit cerita tentangnya dari teman baik saya itu. Semacam pengagum yang gila. Saya pun sudah tahu orangnya. haha. Berharap. Suatu saat nanti, saya bisa mengobrol banyak dengannya. Tentang apa pun. Tentang hal-hal sederhana.
Bahkan, kemarin, saya dan dia sempat berada dalam satu acara Kuliah Kerja Nyata. Sayangnya, sekali pun saya takberani menegurnya. Terlebih dia. Sama sekali takkenal saya. Konyolnya lagi, saya berdoa pada Tuhan, siapa tahu kami ditempatkan di lokasi yang sama. Ternyata tidak. Bahkan satu armada pun tidak. Dia berada di armada timur, sedangkan saya di armada barat. Benar-benar belum berjodoh. haha. Jadilah, sampai sekarang. Saya masih menguntit tulisannya saja. Seperti dulu. Taklebih. haha

Senin, 13 Agustus 2012

Rangkaian K2N: Tanah Surga, Katanya!

Beberapa hari yang lalu, saya melihat acara infotainment. Awalnya, takmenggubris. Namun, setelah ada paparan tentang film baru dari Deddy Mizwar, saya sedikit melongok. Pasalnya, film yang berjudul "Tanah Surga, Katanya" itu bercerita tentang kehidupan perbatasan. Tentu saja, sangat mengingatkan saya pada proses K2N UI beberapa minggu yang lalu.
Saya ditempatkan di desa Wana Bakti, kecamatan Ketungau Tengah, kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Desa ini termasuk wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Hanya terpisah bukit.
Lantas, cuplikan film tersebut juga sangat mengingatkan saya pada kondisi di sana. Rumah panggung. Mandi di sungai. Tanah berlumpur. Jalanan rusak. Anak-anak. Merah putih yang jarang.
Ah. Perbatasan selalu membawa cerita. Setiap hari ketika di sana, saya harus berjalan sekira sekilometer menuju ke lokasi kegiatan. Mungkin, lagu pengiring yang tepat adalah "Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah, la la la...". haha. Memang seperti itu. Saya harus melewati jalanan tanpa aspal. Penuh lumpur. Jika tidak hati-hati, dapat dipastikan kaki akan tercelup pada lumpur itu. Sementara, di Pulau Jawa, hampir tidak ada jalanan yang takteraspal. Kalaupun belum teraspal, tanahnya masih bersahabat.
Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke. Ini Kalimantan. Harusnya masih Indonesia. Namun, sepertinya, campur tangan negeri ini tidak sampai ke tempat ini. Jalanan saja masih jauh dari layak. Terlebih listrik sama sekali belum masuk. Sampai sekarang saya masih menanyakan sila kelima pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kebutuhan mendasar, seperti listrik, saja belum terpenuhi. Padahal, Pulau Kalimantan termasuk penghasil batu bara terbesar. Miris.
Kemudian tentang sungai. Biasanya, saya hanya melihat di televisi tentang kegiatan mencuci, mandi, dan segala macam dilakukan di sungai. Namun, di sini, saya merasakannya. Pertama kali mandi di sungai, saya seperti orang gagu yang ingin bicara. Kaku. Penuh ragu. Hanya memakai kain sebatas dada. Menuju sungai. Mencelupkan seluruh tubuh ke dalam air yang jernih dan sangat dingin itu. Ah, mungkin saya terlihat sangat norak pada saat itu. Namun, lama-lama biasa. Mungkin, keringat saya sudah menyatu dengan air sungai itu. haha. Mandi bersama-sama dengan penduduk setempat. Bercerita. Tentang apa saja.
Oh iya, ada tiga sungai di desa Wana Bakti, yaitu sungai Merakai, Empudau, dan Kemawil. Semuanya menyenangkan. Tapi saya paling suka mandi di sungai Empudau!
"Orang bilang tanah kita tanah surga..." Semacam lagu lawas yang berdengung. Kalau boleh saya meracau, tanah kita masih tanah surga. Surga dengan definisi yang berbeda. Surga di Jawa, mungkin, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Namun, surga di Kalimantan, mungkin, pasir sungai yang bercampur emas. Tuhan Mahaadil.
Beberapa waktu yang lalu, saya pulang dari Bandung. Naik kereta. Mengobrol banyak hal dengan Bapak yang duduk di sebelah saya.
"Tapi, sekarang kan semua daerah sudah terjangkau karena adanya internet." Beliau menanggapi cerita saya tentang Wana Bakti. Saya menggeleng pelan. Bagaimana bisa internet menyebar di sana, sementara sinyal pun takada.
Ya. Berbicara tentang perbatasan memang takakan habis masalah. Semoga saja. Suatu saat. Saya bisa kembali ke sana. Mengabdi lagi. Pada hal yang lebih nyata.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Rangkaian K2N: Tentang Desa yang Saya Tinggali

Hai, apa kabar kamu di sana? Tetiba saja ingat kamu. Pada panah yang menebas jarak. Sudah lama sekali. Kamu takmembalas suratku. Padahal kamu yang meminta. Mungkin kamu sibuk. Iya. Takapa.
Sedang apa kamu? Aku rindu. Rindu menulis pada lamanku. Sudah sangat lama taksinggah. Sudah banyak sarang laba-laba. Atau sarang semut.
Setiap kali aku rindu menulis, aku juga rindu kamu. Rindu kamu yang akan membacanya. Terima kasih.
Aku baik. Baik sekali. Tapi mungkin sedikit letih. Ada senyum dan luka sekarang. Ada banyak cerita yang ingin kusampaikan padamu. Buncah. Aku takingin menahannya lebih lama. Tapi takbisa. Sebulan terakhir ini aku selalu berlomba dengan masa dan letih. Hampir takpernah bisa menang. Bahkan sekadar mengingatmu pun baru kali ini.
Sudah lebih dari sebulan aku keluar dari zona aman kamar. Aku mengalahkan rasa takut untuk mengikuti kuliah lapangan. Akhirnya. Aku harus berangkat. Pergi ke Kalimantan. Menengok saudara-saudara kita yang di perbatasan.
Aku harus menghela napas dulu sebelum bercerita banyak. Ada banyak hal di sini. Di tempat yang mungkin takterpikir oleh orang. Hampir di antahberantah. Tapi ada kehidupan.
Pada mulanya adalah asing. Tanpa kata. Dan sedikit ragu. Tapi, itu taklama. Sebab, di sini ternyata rumah. Rumah yang memberi rasa hangat.
Aku bisa merasakan hangat. Tanpa dibuat-buat. Aku mencoba segala hal yang takpernah kulakukan sebelumnya. Memasak. Bercerita banyak pada orang. Menyapa setiap orang yang kutemui. Rasanya takseburuk yang kukira. Sangat menyenangkan ternyata.
Jatuh cinta pada segala sesuatu di sini memang terlampau mudah. Lantas, jangan kautanya cara melupakannya. Mungkin hingga ujung usia.
Banyak hal yang takterungkap sebelumnya. Masalah hutan lindung. Tanah yang didiami mereka selama ratusan tahun tetiba saja berubah statusnya menjadi hutan lindung. Sementara mereka tetap harus membayar pajak. Membayar tanpa ada hak untuk memiliki dan mengatasnamakan tanahnya. Miris. Ironi.
Hidup di perbatasan terlampau penuh dengan daya juang. Tanah tanpa aspal. Kala hujan akan berlumpur, kala panas akan sangat berdebu. Sudah berkali-kali aku jatuh.
Jarak antarrumah sedikit jauh. Jalannya licin dan berbukit. Sedikit berat, memang. Aku bisa merasakan betapa letihnya mereka hidup di sini. Tanpa akses. Tanpa informasi. Kalau saja mereka protes ingin mengibarkan bendera negara tetangga, aku takheran. Sebab, negeri ini terlampau luas. Terlampau penuh dengan orang-orang yang takpeduli.
Kamu bisa membayangkan bagaimana bentuk rumah yang halaman depannya dibiarkan saja. Tanpa dirawat. Seperti itulah negeri ini.
Harga-harga kebutuhan pokok dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari harga di pusat. Mencengangkan. Sementara mereka takpernah merasakan fasilitas apa pun.
Banyak cukong kayu yang sama sekali takkasihan pada mereka. Kamu tahu kayu gaharu? Kayu mahal itu. Cukong-cukong itu membeli dari penduduk sini hanya 3 juta rupiah per kilo, sedangkan mereka menjualnya lagi bisa mencapai 70 juta rupiah per kilo. Brengsek memang.
Entahlah. Semoga kamu takbosan membaca ceritaku.

Rabu, 01 Agustus 2012

Rangkaian K2N: Tentang Sinyal dan Yang Mengubah Hidup

Baiklah. Saya memulai cerita tentang sinyal. Tentang ketergantungan yang sebenarnya takbegitu penting. Saya sudah hampir sampai di Pontianak. Sinyal mulai nyangkut sedikit. Sedikit saja. Takbanyak. Tapi, teman-teman saya sudah ribut. Meributkan mengapa ponselnya takjua mendapat sinyal. Saya sudah mengganti kartu saya dengan Telkomsel. Ini bukan promosi. Tapi itulah kenyataannya. Cuma provider ini yang bisa bertahan di luar Pulau Jawa. Hanya untuk menghubungi orang tua saya. Mengabarkan bahwa saya baik-baik saja. Selesai.

Saya teringat pada kata dosen saya, tiga hal yang mengubah hidup manusia, yaitu penemuan ponsel, penemuan www, dan penemuan internet. Salah satunya ponsel. Ponsel dekat dengan sinyal. Seolah-olah. Hidup bergantung pada kuat lemahnya sinyal. Mengerikan bagi saya.

Sebelum ikut K2N ini. Saya sudah sangat terbiasa untuk tidak membawa ponsel. Tidak mengeluarkan ponsel ketika di tempat umum. Atau tidak terlalu khawatir ketika ponsel ketinggalan. Untuk apa. Jika perlu. Saya ingin membuangnya ke laut lepas ini. Biar lepas sekalian hidup saya.

Obrolan dari tadi hanya menyangkut ada dan tidaknya sinyal. Apa yang saya pikir? Bosan! Coba saja ada agama baru, mungkin, agama ponsel jadi kandidat terkuat. Sudahlah. Di tengah laut seperti ini saya semakin mabok.

Ya. Saya juga. Saya juga. Sekarang ini ingin sekali menelepon Mama. Bilang bahwa saya baik-baik saja. Semoga Mama juga baik.