Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 23 Desember 2010

Surat Untuk Kakek (Yang Entah Keberapa)

Depok, 23 Desember 2010

Dear Kakek,
Apa kabar? Entah Kek, ini surat yang ke berapa. Aku lupa. Sungguh. Ya, aku tak pernah bosan Kek, menulis surat untuk Kakek. Aku sangat merindukan Kakek. Sangat. Hingga sekarang, dadaku terasa bergemuruh dan tak tenang. Ada yang mengganjal di hatiku. Aku pun tak tahu apa itu.

Kakek,
Aku sekarang mengajar. Ya, mengajar anak-anak SMP dan SMA di sini. Aku senang Kek. Mereka lucu-lucu. Mereka semangat-semangat. Ada pertanyaan yang kritis. Ada jawaban yang menggelitik. Ada tawa yang tergelak. Ada suara nada kecewa. Aku menikmati itu semua, Kek. Hatiku bahagia. Sangat bahagia. Bila mata mereka berbinar mendengar penjelasanku. Mulut mereka membentuk ’O’ tanda mengerti. Tawa mereka meledak. Aku senang, Kek. Mereka sedikit bisa menghibur hatiku yang sepi. Namun, aku juga takut Kek. Aku tak enak. Aku merasa bodoh. Ya, saat mereka berbisik-bisik di belakangku ketika penjelasanku ada kesalahan. Ketika jawabanku kurang memuaskan. Ah, apalagi ketika kehadiranku tak diharapkan. Rasanya ingin menangis. Airmata ini ingin tumpah ruah. Tapi tak bisa Kek. Di depan mereka, aku harus selalu tersenyum. Selalu semangat. Selalu ceria. Ah, Kakek. Aku ingin bercerita banyak Kek.

Kakek,
Seharusnya aku mengajar privat hari ini. Aku sudah datang ke rumahnya. Naik angkot dua kali. Naik ojek. Lalu jalan kaki. Ternyata dia tak ada, Kek. Dia sudah tidak pulang sejak kemarin pagi. Ke mana dia, Kek? Aku khawatir. Sungguh. Ponselnya tidak aktif. Di rumahnya hanya ada pembantu. Ah, ke mana orang tuanya? Tak khawatirkah pada anaknya? Ingin rasanya aku menunggu di rumahnya.

Kakek,
Jujur. Rasanya aku ingin menangis sekarang. Ingin airmata ini lancar mengalir karena di dadaku sudah sesak. Sudah penuh. Ingin membuncah.
Aku lupa cerita, Kek. Empat belas orang adikku kemarin ada masalah. Masalah internal. Ya, semoga setelah pertemuan kemarin masalah itu bisa terselesaikan. Aku berharap itu. sangat berharap. Ya, aku sayang sama mereka Kek. Bukan hubungan darah yang membuatku mencintai mereka, melainkan sebuah ketulusan cinta atas dasar kedekatan hati.

Kakek,
Aku capek sekarang. Jari-jariku sudah enggan mengetik. Sudah dulu ya, nanti pasti aku akan cerita lagi. Entah kapan. Tapi pasti.

Senin, 13 Desember 2010

Surat Inspiratif: Surat untuk Kakek

Dear Kakek,
Selamat malam Kek,
Apa kabar? Kakek di mana sekarang? Apakah di tempat yang sama saat kita terakhir bertemu? Atau di tempat yang menjadi tujuan Kakek? Tempat yang luas, indah, segar, dan menyenangkan. Itu yang Kakek sering ceritakan padaku. Itu tempat apa Kek? Tanyaku dulu. Itu surga. Jawab Kakek singkat. Yah, aku rasa Kakek sekarang di surga. Semoga surga memang tempat kebahagiaan, ya, Kek. Kalau Kakek bahagia, aku juga bahagia. Sangat bahagia malahan.
Kek, di luar sana, teman-temanku berlomba-lomba ingin menulis surat untuk presiden, sekjen PBB, Obama, rektor, atau siapalah. Namun, aku tidak, Kek. Aku hanya ingin menulis surat pada Kakek. Ya, hanya untuk Kakek. Sudah lebih dari 15 tahun Kakek meninggalkan aku. Meninggalkan Nenek. Meninggalkan Ayah, Om, dan Tante. Meninggalkan dunia ini. Aku ingin cerita banyak, Kek. Seperti dulu. Tapi Kakek tak pernah berkirim kabar padaku, bahkan sebuah senyum dalam mimpi pun tidak. Akhirnya, aku beranikan mengetik kalimat-kalimat ini. Sebab, aku rindu pada Kakek. Sangat rindu. Merindukan semua tentang Kakek. Merindukan dekap hangat Kakek. Aku berharap Tuhan akan menyampaikan surat ini pada Kakek. Ya, semoga saja Pak Pos masih mau mengantar surat walau sudah di surga. Atau merpati masih berkenan menjalankan tugasnya.

Kakek,
Aku sudah besar sekarang. Usiaku sudah 19 tahun, hampir 20 malah. Bukan lagi aku yang kecil. Yang merengek pada Kakek untuk dibelikan sekotak Buavita atau sebatang SilverQueen. Aku sudah tak tinggal di kampung kita, Kek. Aku sudah merantau jauh ke kota yang katanya metropolitan ini. Ada banyak hal di sini. Ada banyak peristiwa. Ada banyak senyum. Ada banyak airmata.

Aku senang Kek di sini. Aku senang kuliah di sini. Ada banyak yang kudapatkan. Ada banyak yang aku pelajari. Tak hanya teori, tetapi juga praktik. Dulu, aku hanya bisa membaca nama-nama sastrawan besar di sampul buku yang aku baca, Kek. Sekarang, aku bisa berdiskusi langsung dengan mereka. Mengobrol, bahkan aku bisa dengan leluasa bertanya pada mereka. Dulu, gedung-gedung tinggi itu hanya bisa kupelototi dalam layar kaca. Sekarang, aku bisa dengan mudah keluar masuk ke dalamnya. Bercengkerama dengan petinggi-petingginya, bahkan meminta nomor ponselnya. Aku senang Kek. Ada banyak malaikat di sini. Teman-temanku yang bisa menerimaku apa adanya. Yang mau mendengarkan ceritaku. Yang mau tertawa untuk leluconku. Mereka malaikat tak bersayap Kek. Tapi mereka mampu menerbangkanku.

Kakek,
Tahun baru Islam kemarin, aku ke Bandung Kek. Mengunjungi Nenek dan Tante di sana. Aku membantu nenek bikin kue. Ah, lebih tepatnya hanya membantu mencetaknya. Tak sempat aku membantu membuat adonannya, sebab saat itu, aku sedang sibuk ber-facebook-an ria.
"Untuk dibawa ke masjid," katanya. Nenek masih seperti dulu, suka membawa makanan ke masjid. Suka membuat kue untuk orang lain. Tapi Kek, cucumu ini memang benar-benar tak bisa membuat kue, cetakan satu sampai tiga tak tertolong. Gosong. Hitam. Pahit. Haha. Nenek tak marah, malah tertawa. Aku pun ikut tertawa. Setelah itu, aku masih mencetaknya, tak peduli bentuknya, yang penting rasanya.
Sambil mencetak, aku bercerita pada nenek, menanyakan sesuatu. "Bagaimana bila niat baik kita kepada seseorang tak mendapatkan timbal balik yang setimpal dari orang tersebut?" sebuah pertanyaan yang jawabannya sudah pernah aku nasehatkan pada seseorang, tapi aku sekarang merasakannya Kek. "Kamu masih punya Tuhan kan? Kenapa balasannya tak minta dari-Nya saja?" jawaban nenek masih seperti dulu. kaku. Tak puitis apalagi romantis. tapi selalu mengena di hati. Ah iya, niat baik kita pada seseorang memang tak selalu berbanding lurus dengan timbal balik darinya. Itu kalimat yang sering aku ucapkan pada seseorang dan setiap orang. Sekarang Kek, rasanya memang sulit, tapi aku yakin bisa Kek, menerima dengan lapang dada setiap hal buruk yang mereka lontarkan kepadaku. Seseorang yang pernah aku tolong ingin memperburuk citraku, Kek. Tak apa. Sungguh. Aku tak pernah peduli itu. Ya, Tuhan takkan pernah tidur.

Kakek,
Setelah mencetak kue, lalu membungkusnya. Aku iseng-iseng bertanya pada Nenek tentang perasaannya pada Kakek. Aku hanya menggoda. Tapi, Nenek malah terdiam. Nenek terkadang juga bahkan mungkin setiap detik sangat merindukan Kakek. Apa Kakek tak rindu pada nenek? Ah, kisah cinta sepanjang masa, pikirku. Terlalu manis. Sudah hampir 50 tahun, tapi nenek masih menyimpan rasa cinta yang sama pada Kakek. Semoga Kakek juga begitu. Ya, meski tanpa raga. Andai saja, Kakek masih bersama kami, sekarang ini pasti kami sudah sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun emas Kakek dan Nenek. Romantis.
Kek, cucumu sekarang sudah ada 6 ekor. hehe. Ini buah cinta dari Kakek dan Nenek. Kami besar dengan cerita-cerita hebat tentang Kakek dan belaian lembut dari Nenek. Dua kombinasi yang sungguh hebat. Nenek sering bercerita tentang kehebatan Kakek. Aku senang mendengarnya dan menunggu cerita-cerita selanjutnya. Ada tawa. Ada haru. Ada canda. Ada tangis.

Kakek,
Sepertinya, surat pertamaku ini sudah cukup, aku hanya ingin bercerita itu saja. Tak perlu panjang lebar dulu. Aku takut Kakek terlalu lelah membaca tulisanku. Nanti, aku akan berkirim kabar lagi jika Tuhan mengizinkan. Ya, semoga surat ini bisa sampai walaupun Kakek di surga. Nanti, akan aku titipkan saja pada merpati yang biasa hinggap di pohon depan rumah sebab Pak Pos tidak tahu di mana alamat surga. Kakek, aku sangat merindukan Kakek. Apakah Kakek juga merindukanku?

*Di sebuah ruang tanpa batas, 21.17

Senin, 06 Desember 2010

Perempuan Bersayap Ungu


Dan aku lupa. Kapan terakhir aku terbang. sudah lama. sayap ungu pemberian-Nya pun hanya tergantung di dinding kamarku. Berdebu. Sesekali kubersihkan. Lalu kuletakkan lagi di tempatnya. Dulu, dulu sekali. hampir setiap hari aku mengepakkan sayap ini. mengelilingi cakrawala. menembus awan. ungu pada sayapku berpendar indah. menimbulkan iri setiap orang. Tuhan (selalu) baik. Memberikan sayap ini padaku. Padahal aku tahu. Tuhan tak memberikannya pada setiap orang. Sayap ungu ini hanya untukku. Ya, harusnya aku bisa terbang jauh lebih tinggi daripada orang-orang yang tak punya sayap. bisa tahu lebih banyak. tapi, sayang. aku sama saja. aku malas untuk terbang. hanya melihat sayap ungu tergantung begitu saja. Maafkan aku Tuhan. Setelah ini, sayap ungu itu akan aku pasang kembali di punggungku. kukepakkan lagi. dan aku akan terbang. terbang menemuimu. di sana. entah di alam mana.

Selasa, 30 November 2010

Segala Sesuatu Itu Berawal dari Cinta

Hari ini berkah. Ya, tes lisan mendadak di mata kuliah Kemahiran Membaca Naskah Klasik itu sebuah anugerah. Saya bisa keluar kelas dengan cepat, yang memang sejak awal sudah ingin membolos. Bukan kok. Saya hanya ingin menonton pertunjukan karawitan jawa yang sindennya berasal dari Jepang. Waw! Itu kata yang terucap dari mulut saya saat pertama kali melihat posternya. Ehm, saya merasa malu. Saya orang Jawa. Tulen. Tapi sungguh, bahasa Jawa yang ada di tembang-tembang karawitan itu pun banyak yang tidak saya mengerti. Apalagi untuk menyinden, lebih-lebih memainkan kendang dan kawan-kawan. Beuh! Boro-boro! Sangat memalukan.
Ah ya, saya lupa. Pesinden itu bernama Hinomi Kano. Lebih senang dipanggil dengan Mbak Hinomi. Sudah lebih dari 10 tahun menjadi sinden. Sudah lebih dari 20 tahun berada di Indonesia. Ehm, luar biasa.

Ya, ya, ya,
Sebenarnya bukan itu yang ingin saya ceritakan di sini. Tapi hanya satu hal saja.
CINTA. Indah bukan kata itu? Lima fonem, satu morfem.
CINTA. Damai bukan kata itu?

Seorang penonton bertanya pada Mbak Hinomi, alasan apa yang membuat Mbak Hinomi begitu cinta dengan karawitan. Dengan singkat, Mbak Hinomi berkata, "Ya, ya, kalau orang jatuh cinta itu kan tidak ada alasannya!"

Deg! Iya. Itu betul. Jawaban yang singkat, tapi menyentuh. Sangat.
Semua berawal dari cinta.
Ah, cinta itu luas. Coba saja kau katakan pada setiap orang. Pasti ada definisi yang berbeda-beda.
Cinta.
Satu hal saja yang ingin saya perluas dari cinta ini. Bahwa memulai segala sesuatu itu dengan cinta. dengan rasa suka. dengan ketertarikan. Tidak perlu terpengaruh karena opini publik. Tak usah peduli pad konstruksi sosial. Tak perlu itu semua. Cukup ikuti saja cintamu berjalan. Ya, ke mana saja. Cinta takkan pernah salah menuntun. Tak pernah salah mendefinisikan.

Ah iya, contoh paling nyata dalam hidup saya adalah pilihan saya. Saya tidak pernah peduli dengan omongan orang. Banyak yang mencibir dan mempertanyakan akan jadi apa saya kelak? Kuliah jauh-jauh dan bayar mahal-mahal hanya untuk memperlajari sastra. Hanya untuk mempelajari bahasa. Buang-buang saja. Sungguh, saya sama sekali tak peduli dengan pendapat itu. Yang penting, saya cinta pada bahasa. Saya cinta pada sastra. Saya cinta pada kata. Itu saja. Tak lebih.
Saya yakin, suatu saat nanti, cinta yang saya perjuangkan ini akan membawakan hasil yang luar biasa. Cinta yang saya perjuangkan ini akan menghidupi saya dengan layak.
Ya, saya yakin itu. Sebab Tuhan pun akan memberikan sebuah jembatan untuk saya. Jembatan yang akan lebih mendekatkan saya dan cinta.
Iya, semuanya berawal dari cinta. Ini tak bohong.

Senin, 29 November 2010

Saya Belajar Memaafkan Hari Ini!

Ya, maaf. Satu kata itu.
Tuhan memang membalas semuanya. Tak lebih tak kurang.
Rasa sakit hati saya pada seseorang itu bisa dibilang sudah mencapai titik puncaknya. Bagaimana tidak. Dia dengan mudahnya mencaci saya. Mencaci banyak orang. Entah. Saya pun sudah jengah untuk mencari siapa yang salah. Siapa yang benar. Siapa yang mulai. Siapa yang mengakhiri. Bosan saja.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Sebelumnya saya dan dia tak pernah ada apa-apa. Biasa-biasa saja. Baik-baik saja. Dia baik pada saya, saya pun baik padanya.
Tiba-tiba saja, dia meliar. Mengeluarkan semua caciannya pada saya. Saya tidak tahu, apa salah saya. Saya diam saja. Ah iya, menangis saja. Cengeng. Tapi lebih cengeng kalau saya harus mengadu pada orang lain. Biarkan saja. Air mata ini hanya saya dan Tuhan yang tahu. Ehm, niat baik kita pada seseorang memang tak selalu berbanding lurus dengan balasannya pada kita. Tak selalu. Saya maklum. Diam saja. Mendengarkan saja caciannya. Menangis saja kalau perlu. Meski saat itu, rasa sakit hati saya tak terperikan. Ehm...

Ya, maaf. Satu kata itu.
Kemarin dia tak berdaya. Kekuatan supernya sementara diambil oleh Tuhan. Ingin rasanya menunjukkan rasa empati saya. Fiuh!! Tak mudah. Rasa sakit hati vs rasa empati saya berperang dulu. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya saya berangkat menemuinya. Di jalan, saya tidak tahu apa yang saya pikirkan. Antara rasa sakit dan rasa empati. Argh! Mereka belum damai ternyata.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Akhirnya, saya bertemu dengannya. Dia tersenyum. Saya membalas senyumnya. Kami mengobrol, layaknya tidak terjadi apa-apa. Hufht! Tidak tahu lagi apa yang ada di pikirannya. Apalagi di pikiran saya.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Gampang saja saya bilang, "Iya, gue maafin kok!"
Terus setelah itu, apakah bekas lubang karena tancapan luka itu akan hilang? Saya rasa tidak. Apakah kertas yang tersobek itu akan kembali utuh? Lalu, apakah ludah yang telanjur menyakitkan itu bisa dijilat lagi? Ehm, itu tidak akan.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Setelah bertemu dengannya. Sakit hati saya sepertinya sudah mau kompromi. Paling tidak, dia sudah tidak meracuni rasa empati saya. Saya sudah mulai bisa membalas dengan tulus senyum dan ucapan terima kasihnya.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Perasaan saya bekerja.
"Iya, gue maafin kok!"
Kalimat itu memang tidak pernah bisa mengubah sesuatu yang telah lalu.
Tidak bisa menambal lubang bekas luka. Tidak bisa mengembalikan kertas yang tersobek. Dan tidak bisa menjilat ludah sendiri. Takkan pernah bisa.
Tapi, satu yang saya ingat. Kalimat itu akan mengubah masa depan saya. Akan mendamaikan hati saya. Dan akan menjadikan saya pribadi yang baru.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Hanya empat huruf. Coba saja praktikkan kalau tidak ampuh membuatmu menjadi pribadi yang damai, potong saja leher saya.

Ya, maaf.
Saya belajar memaafkan hari ini! Bukan saja untuk dia, tetapi untuk orang-orang di sekitar saya.

Jumat, 26 November 2010

Maaf

Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu yang hanya bisa memanggil namaku saat hujan tiba. Yang menggigil di bawah hujan menungguku pulang. Yang merelakan separo waktumu untukku. Ya, hanya untukku.

Kamu yang hanya bisa memandangi fotoku di luar sana. Yang setiap hari mengirimiku ucapan ”Selamat Malam” lewat pesan singkat. Yang aku tahu itu hanya untukku.

Kamu yang tak pernah sanggup mengeja kalimat Aku cinta kamu. Kamu yang hanya tersenyum saat aku tertawa. Kamu yang menangis hebat saat aku kesakitan.

Maaf. Aku tak pernah bisa membaca matamu. Aku tak pernah bisa merasakan isyarat itu. Maaf.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu yang selalu kelu saat berbicara denganku. Kamu yang selalu menolak menatap mataku. Kamu yang selalu berkeringat saat aku melihatmu tertawa.

Aku tahu, kemarin lusa. Kamu ada di depan rumahku. Sebatang cokelat dan sepucuk surat kausembunyikan di balik tubuhmu. Mengintipku dari celah pagar rumahku. Ah, kenapa kamu tak meminta bantuan merpati saja untuk mengantar surat itu untukku. Tak perlu repot-repot. Tapi, kamu selalu bilang tak ingin merepotkan yang lain.

Kamu tahu? Aku sudah menunggumu di dalam. Sudah kupoleskan sedikit pemerah di bibirku yang tipis. Sudah kukenakan baju yang kamu pilihkan. Aku gelisah di dalam. Menerka-nerka apa yang ada di dalam sepucuk surat itu. Sayang sekali, kamu tak pernah masuk. Ah, mungkin kali ini, malaikat kecil itu lupa membawa panah cintanya. Atau panah cintanya masih diasah di surga? Entahlah. Aku juga tak mengerti.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu egois. Atau aku yang terlalu apatis? Sudahlah. Tak perlu dibahas. Kamu masih saja diam. Aku juga masih saja tak peduli. Atau kamu ingin menjadi sosok romantis yang aku idamkan? Mungkin kemarin kamu sempat melihat coretanku. Romantis itu Tanpa Kata. Ah iya, aku lupa.

Kamu gunung es. Atau aku yang suka ngeles? Mungkin juga. Aku selalu mengalihkan perhatianmu saat kamu mulai berucap tentang cinta, tentang hujan, dan tentang kita.

Maaf. Bukan maksudku. Hanya saja aku takut. Aku takut.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu bukan batu. Dan aku juga bukan sepatu. Yah, hari ini. Saat aku berbicara dengan hatiku, kamu datang. Mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang mungkin sudah berhasil membuat gelombang di hatimu. Yang mungkin sudah mengacak-ngacak sistem otakmu. Aku mencintaimu. Hanya itu yang kamu ucapkan. Aku menunduk. Kamu tertunduk. Kita diam. Bergeming. Maaf. Hanya itu yang bisa aku ucapkan padamu. Kamu terlihat tegar. Iya, tak apa. Mencintaimu adalah sebuah ketulusan. Kamu mengusap lenganku dengan lembut. Aku yang menangis. Bukan kamu. Maaf. Sekali lagi aku mengucap kata itu. Lalu pergi meninggalkanmu yang mematung. Mungkin hatimu sudah penuh abu letusan gunung cintamu. Maaf.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Maaf. Belum ada namamu di sudut hatiku.

Senin, 22 November 2010

Aku Takut

Di rumah sendirian. Dua orang malaikat itu sedang pergi. Menonton Harry Potter terbaru, katanya. Aku hanya menggeleng saat mereka mengajakku. Aku tak suka nonton film. Apalagi Harry Potter. Itu hanya akan membuatku terlelap di kursi empuk dan ruangan ber-AC itu. Ah iya, buang-buang uang.
Aku sedang berpikir tentang hujan. Tentang cinta. Proyek antologi. Argh! Aku tidak tahu harus menulis apa. (Lagi-lagi) otakku tak berkenan diajak berpikir. Padahal, temanya mudah bukan? Ya, hanya hujan dan cinta. Begitu dekat. Tapi tidak kali ini, mereka menjauh. Enggan kucumbu.
Ingin rasanya kututup saja mataku. Tak usah lagi melihat tulisan. Tak usah menulis. Tak usah membaca. Aku takut. Aku takut. Takut sekali.
Maaf. Rasa takutku belum bisa kuceritakan padamu hari ini. Terlalu berisiko. Aku tak mau itu. Yang pasti, aku tidak suka caranya. Aku takut. Ssstt... jangan bilang siapa-siapa dulu ya! Kalau ada orang yang bertanya apa yang aku takutkan, bilang saja, aku takut di rumah sendirian. haha

Minggu, 21 November 2010

Sepertinya, Rasa Syukur Saya Belum Cukup

Doa yang saya panjatkan rasanya belum sebanding dengan rasa syukur saya. Begitu banyak doa, tak ada syukur. hah. Manusia macam apa saya? Malu rasanya.
Ah ya, rasa syukur seharusnya tak hanya ucapan Alhamdulillah ratusan kali. Tak hanya terima kasih pada Tuhan. Tak perlu itu. Tuhan tak perlu ucapan itu berkali-kali.
Hal yang membuat saya menulis coretan ini karena hari ini saya benar-benar galau. Layaknya ABG Labil yang sedang galau. Selesai ikut seminar. Jauh-jauh datang ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Seorang pembicara. Ehm, membuka mata saya.

"Cara bersyukur itu cukup buat orang lain merasakan kebahagiaan kita!" pembicara tersebut membuka kalimatnya. Saya hanya terdiam. Ehm, perjuangan kelas. Pikir saya.
"Iya, kalau kita makan 3x sehari, pastikan orang lain juga makan 3x sehari. Kalau kita tidur nyaman, buat orang lain tidur senyaman kita. bla... bla... bla...."
Entahlah, apa yang beliau bicarakan lagi. Saya sudah terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran liar saya.
Dari titik itu, (yang mungkin tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan oleh beliau), saya mulai berpikir. Ya, saya sangat bersyukur dilahirkan dari keluarga yang tingkat ekonominya menengah. Tidak kurang, lebih sedikit. haha.
Dalam hidup saya selama ini, saya harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, tapi saya tidak perlu mengemis di pinggir jalan. Saya bisa minta apa saja yang saya butuhkan, meski bukan semua yang saya inginkan pada kedua orang tua saya. Saya bisa merasakan panasnya berjalan kaki, yah, walaupun kadang-kadang saya juga bisa merasakan dinginnya AC mobil. Saya juga berdesak-desakan di dalam kereta ekonomi, tapi saya tak jarang merasakan nyamannya kereta ekspress.
Itu hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya ketika ada penyebutan kata bersyukur.
Tentu saja, ada rasa-rasa syukur lainnya yang tidak bisa saya sebutkan di sini.
Yah, lagi-lagi kelas dalam sosial telah mengotak-ngotakkan golongan. Ada kelas "punya" dan "tidak punya". Menyakitkan.
Kemarin, saya memberikan tambahan pelajaran secara privat di rumah anak orang kaya. Benar-benar kaya. Bahkan belajar saja harus membayar mahal. Dia, bisa dikatakan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan sedetik kemudian. Hanya mengikuti irama angin. Butuh apa-apa tinggal teriak "Mama". Perutnya lapar tinggal teriak "Mbaaaakkk". Ah, benar-benar seperti bayi.
Hari ini, saya melihat anak yang jauh lebih muda dari anak orang kaya tadi. Berteriak-teriak di pinggir jalan. Membantu mencarikan penumpang untuk Kopaja yang saya tumpangi. Badannya kurus. Wajahnya tirus. Tak terurus. Saya menghela napas. Uang itu. Uang yang dia dapatkan. Sungguh. Tak seberapa dibandingkan kerjanya yang kepanasan dan berkeringat. Uang itu untuk menyambung hidupnya. Melunasi buku-buku sekolahnya. Membelikan obat ibu bapaknya. Membelikan mainan untuk adik-adiknya. Ah, paling tidak itu cerita yang saya dapatkan. Hampir saja saya menangis.
Dua hal yang membuat saya berpikir. Yah, untuk sementara saya masih menikmati rasa syukur saya. Suatu saat nanti, eh, bukan, setelah ini, ya setelah menulis catatan ini, saya ingin berjuang untuk menghapuskan kelas itu. Namun, saya bukan penganut Marx yang terlalu ekstrim. Saya hanya ingin membuat anak-anak yang kurang beruntung itu, paling tidak, bisa merasakan pendidikan seperti saya. Bisa makan seenak saya. Bisa berpakaian selayak saya. Ya, ya, ya, itu yang saya pikirkan sekarang.

Selasa, 16 November 2010

Sudah Lama tak Menulis Puisi

Entah sejak kapan
Sejak Lebaran tahun lalu
Sekarang sudah hampir Natal
Belum juga ada aksara
Ada apa?
Denganku atau denganmu?

Minggu, 07 November 2010

Hati-Hati, Ya!

Sebuah pesan singkat diucapkan nenekku saat aku mencium pipinya. Kupeluk tubuh ringkihnya. Ada kehangatan. Ada kenyamanan. Rasanya, tak ingin aku berpisah dengannya. Tak bisa. Aku harus kembali ke kota yang katanya megapolitan ini. Aku harus mengulik-ulik lagi mimpiku. Mewujudkannya. Lalu mempersembahkan pada nenek.
"Hati-hati, ya!" hanya itu pesannya. Seperti biasa. Tak banyak suara.
Aku mengangguk. Sekali lagi aku menciumi kedua pipinya bergantian. Tak ada air mata. Tak ada tangis. Tanpa ada kejadian dramatis. Semuanya biasa saja.
Nenekku orang hebat. Nenekku orang hebat.
Itu yang berkali-kali kutanamkan dalam otakku. Nenekku memang hebat. Masakannya lezat. Pelukannya hangat.
Kulambaikan tangan padanya. Pada tanteku. Pada sepupuku. Pada kota Bandung. Bandung mendung. Bandung dingin. Tapi ada hangat di pelukan nenekku.

"Hati-hati, ya!"
Itu pesan biasa. Terasa biasa saja.
Namun, saat nenekku mengucapkan itu, ada hal lain. Makna itu terasa dalam. Padahal, sebenarnya memang, makna klausa itu harus dalam. Tak sekadar ungkapan tanpa maksud. Tak sekadar klausa pemisah raga. Tak sekadar salam yang kehilangan jiwa.
Hati-hati

Sebuah bentuk reduplikasi dari kata hati.
Hati itu peka. Hati itu lembut. Hati itu perasaan. Jadi, kata hati-hati memiliki makna melakukan segala sesuatu dengan perasaan. dengan rasa. dengan lembut. Hah? Ngaco?
Biarlah. Tapi, inilah kenyataan. Klausa itu harusnya tak sekadar angin lalu. Harusnya, menjadi bagian dalam setiap langkah kita.
Yeah, hati-hati, ya!

Senin, 01 November 2010

Romantis Itu Tanpa Kata

Aku duduk di bangku depan di mata kuliah penulisan populer. Seperti biasa. Di kuliah-kuliah lain biasanya juga seperti itu. Aku duduk di garda depan. Bukan apa-apa, hanya saja mataku tak dapat melihat jika aku harus duduk di belakang.
Dosenku bertanya, "Apa definisi romantis menurut kalian?"
Aku hanya bengong. Ada satu tersirat di kepalaku. Satu per satu temanku ditanya. Ah, untung aku terlewat.
"Romantis itu rokok makan gratis!"
Seorang temanku nyeletuk seperti itu. Aku hanya tersenyum. Ingin tertawa, tapi kalimat itu sudah umum.
"Romantis itu kejutan yang tak terduga!"
Dua orang temanku menjawab seperti itu. Ah, masih normatif. Bagaimana jika kejutan itu menyakitkan? Bagaimana jika kejutan itu akan memberimu airmata? Aku bergidik.
"Romantis itu bla... bla... bla..."
Entahlah, apa lagi komentar teman-temanku. Hanya seperti dengungan lalat yang menari-nari di otakku. Hah!
Romantis? Entahlah. Definisi apa yang tepat untuk menggambarkan kata itu. Delapan fonem. Satu morfem.
Romantis menurutku itu tanpa kata. Tanpa puisi. Tanpa bunga. Tanpa lilin. Tanpa kejutan. Cukup sediakan sapu tangan dan bahumu saat aku menangis. Cukup ulurkan tanganmu saat aku terjatuh. Dan cukup pinjamkan sayapmu saat aku tak mampu terbang lagi.
Sesederhana itukah definisi romantis menurutku? Iya. Hanya itu. Tak lebih. Tak kurang. Kenapa? Kamu masih tak sanggup melakukannya untukku? Tak apa. Aku takkan marah dan takkan menuntut. Romantis menurutmu pun tak sama dengan menurutku.

Kamis, 28 Oktober 2010

Saya Lupa Memasukkan Kesabaran dalam Adonan Es Krim Saya


Saya suka membuat es krim. Meracik sendiri adonannya. Memutar campuran antara tepung es krim, susu, dan cokelat. Memasukkannya dalam lemari pendingin. Menunggunya. Dan tentu saja, segera melumatnya bila sudah beku.
Itu mudah. Murah.
"Ah, lebih baik beli. Lebih cepat. Bikin sendiri tak pernah berhasil!" celoteh teman saya.
"Masak sih?" hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut saya. Ya, saya heran. Berkali-kali saya selalu meracik adonan es krim saya sendiri. Tinggal membeli tepung es krim yang dijual bebas. Mengaduknya di rumah. Selesai.
"Gimana caranya? Bikin es krim yang enak seperti itu? Setiap kali saya buat selalu saja gagal. Tak bisa membeku." teman saya masih penasaran. Saya lebih penasaran lagi.
"Ehm, apa ya?" saya berpikir keras.
"Coba teliti merknya, sudah samakah dengan merk yang saya pakai?" oh iya, bukannya saya promosi, tetapi hanya merk tertentu yang menurut saya bisa menghasilkan es krim yang lebih baik. Memang, harganya sedikit lebih mahal.
"Sama dengan yang kamu pakai biasanya!" dia menjawab sekenanya.
"Takaran air yang kamu gunakan? Waktu mengaduk dan mengocoknya? Tempat yang kamu gunakan?" saya menanyakan detail teknis dalam membuat es krim.
"Ya, seperti yang tertera di petunjuk pembuatan. Tak ada yang kurang atau lebih!" dia hanya menggelengkan kepalanya.
"Wah, itu mah berarti keterampilan tangan si pembuat juga berpengaruh! Haha" saya bercanda. Dia terlihat mengangguk.
"Eh, biasanya kamu nyimpen es krimnya di lemari es berapa lama?" tiba-tiba dia menanyakan itu kepada saya.
"Ya, biasanya sih semalam atau bahkan sehari." saya merasa waktu penyimpanan adalah hal yang biasa. Hampir semua orang tahu, begitu dugaan saya.
"Wah, lama juga ya?" dia sedikit heran.
"Lha, emangnya kamu menyimpan es krimmu berapa lama? Kok sampai dibilang gagal?"
"3 jam!" tanpa dosa dia menjawab seperti itu. Saya tertawa. Ngakak. Saya hanya berpikir bagaimana mungkin es krim membeku dalam lemari pendingin biasa dalam waktu 3 jam. Aneh-aneh saja.
Namun, anehnya, adanya percakapan saya dengan teman saya itu membuat saya tersadar bahwa kadang-kadang kita juga lupa untuk memasukkan kesabaran dalam setiap usaha kita. Ya, kita merasa sudah melakukan semua hal yang seharusnya dilakukan. Dalam kasus es krim tersebut, teman saya sudah membeli merk yang tepat dan segala bentuk pembuatan ditaatinya. Tetap saja gagal. Karena dia lupa untuk sabar dalam menunggu es krimnya membeku.
Begitulah kehidupan. Biasanya kita menuntut Tuhan bila semuanya tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Protes pada Tuhan sebab kita merasa sudah berusaha semaksimal dan seoptimal mungkin. Kita lupa. Tuhan memberikan kita jeda bukan untuk menunda keinginan kita. Tetapi untuk mengajari kita arti kesabaran. Tuhan ingin hamba-Nya tidak serba instan. Ada proses yang harus ditempuh.
Begitulah kehidupan. Biasanya kita mengecam usaha kita yang tak kunjung menuai hasil. Merasa putus asa dengan usaha kita. Padahal, kita hanya perlu sedikit waktu untuk bersabar. Untuk menghirup kasih sayang Tuhan. Kita hanya perlu berprasangkan baik pada Tuhan atas jeda yang diberikan Tuhan pada kita. Bukankah Tuhan akan selalu menjawab doa-doa umatnya? Kalau tidak sekarang, nanti, atau besok di kehidupan yang kekal.

Selasa, 26 Oktober 2010

Maaf, Aku Menganggumu Kawan...




Maaf Kawan. Bila aku menganggumu. Bila kehadiranku membuatmu tak senang. Aku hanya ingin menyapamu. Itu saja. Sebenarnya aku tak minta banyak, hanya ingin pesanku di dindingmu kamu acuhkan. Bahkan hanya sekadar jempol. Tapi nyatanya tidak. Kukira kamu juga tak membalas pesan-pesan lainnya, ternyata tidak juga. Hanya pesanku saja yang tak kamu balas. Maaf. Kawan. Kiranya aku menganggu kegiatanmu. Kiranya aku mengusik kesibukanmu. Aku tahu kamu sibuk. Aku juga tahu kamu pintar.
Katakan saja bila aku membuatmu marah. Katakan saja bila kamu tak senang denganku. Ah, hanya sebuah atau duabuah pesan di dinding facebookmu. Tak sempatkah dirimu, Kawan? Atau memang enggan menyempatkan diri. Jawab saja, baik. Toh, aku hanya bertanya kabarmu. Aku tak bertanya mata kuliahmu. Aku tak bertanya siapa kekasihmu sekarang. Sebuah kabar saja enggan kamu jawab. Ya, semoga saja kamu memang tak sempat membalas atau memang tak sempat mengingat. Sudahlah. Lupakan saja racauanku ini. Tak penting untukmu. Maaf, sudah sedikit menganggu kesibukanmu. Lain kali tidak lagi kok!

Jumat, 22 Oktober 2010

I'm Stuck Fast


Tak ada ide lagi untuk menulis. Menulis tugas kuliah. Kisah cinta. Aku bingung. Mana yang harus kutulis. Bukannya banyak, tapi memang tak ada. Tak ada kisah tentang cintaku yang dapat kubagi. Yah, selain kisah cintaku dengan keluarga dan teman-temanku. Ah, ingin rasanya aku mengumpulkan saja kertas kosong pada dosenku. Sebab kosong itu kisah. Aku mencoba menulis tentangmu. Tentang buram. Tentang hitam. Kupikir akan lancar. Tetap saja, macet di tengah jalan. Aku tak tahu. Oh iya, kisahnya harus berkilas balik. Mana bisa? Sedangkan kisahmu dan kisahku baru saja dimulai. Ups, bahkan belum dimulai sama sekali. Belum berada di titik nol, melainkan masih minus. Aku kesulitan kali ini. Sangat. Senandika. Kamu. Perempuan. Semuanya tak bisa menjalin cerita. Imajinasiku tak keluar. Terlalu susah.
Kali ini hujan. Harusnya lebih mudah aku menulis. Terbawa suasana. Seperti biasanya. Ini lain. Aku malas romantis. Aku malas berandai-andai. Kisah senduku sudah terbawa banjir kemarin. Rumahku banjir. Ada banyak air dari atas. Kalau kau ke rumahku sekarang, kau bisa melihat hujan di dalam rumah. Bagus. Air mengalir di tembok. Seperti hiasan air di hotel-hotel mewah. Oh, berarti rumahku hotel mewah kalau begitu. Tidak tahu. Kapan hujan ini akan reda. Kulupakan setiap wajahmu yang pernah tiba. Aku ingin melupakanmu sebaik aku melupakan UTS dan tugas-tugas makalahku.
Ah, sebenarnya kau tak penting untukku. Hanya saja, aku terlalu sayang melewatkanmu untuk tugas menulis kisah cinta ini. Aku harus menulis tentangmu. Agar kau mengerti. Aku juga bisa menulis sebaik kau. Aku juga bisa memilih diksi seteliti kau. Aku juga bisa merangkai kalimat serunut kau. Dan aku juga bisa berimajinasi seliar kau. Itu saja sebenarnya. Tak lebih. Tapi itu tak mudah, aku butuh stimulus. Berikan aku ide untuk ini. Aku benar-benar iri padamu. Tulisanmu bagus. Tulisanku jelek. Tak pernah bisa sebagus kau. Argh!

Selasa, 19 Oktober 2010

Festival Perdamaian Dunia

Ini acara apa? Pemberantasan kemiskinan? Bodoh!! Berapa uang yang dihabiskan untuk ini. Mengapa tak dibuat sesuatu yang lebih bermanfaat laiinnya? Pembangunan sebuah sekolah kurasa cukup bila dibarter dengan semua huruhara ini. Tak dapat dimungkiri, acaranya bagus, tapi hanya hiburan. Tanpa nilai. Cukup menikmati, tapi hati kecil tak menemani. Lelucon. Ironi.
Agamaku, agamaku. Agamamu, agamamu. Saling menghormati sudah cukup. Tak perlu doktrin, "Satu Keluarga, Satu Tuhan". Tuhan kita beda, tak pernah sama. Hah.
Katanya pemberantasan kemiskinan. Katanya cinta perdamaian. Katanya ingin membangkitkan rasa peduli sesama. Sepertinya memang hanya katanya, kata ganti -nya tak jelas yang digantikan. Semua mengelak bila dituntut. Katanya memang kata yang paling mudah. Tak perlu pembuktian. Tak perlu argumen.
Oh, sudah terlanjur. Biarlah. Aku tak peduli. Hanya ingin mengisi. Nanti. Bila ada acara lagi. Dengan sesuatu yang jauh lebih berguna dari ini. Semoga saja.

Kamis, 23 September 2010

Kamu

Ini bulan September. Hampir Oktober. Harusnya masih kemarau atau sudah kemarau? Entah. Tapi ini hujan. Setiap hari hujan. Tanpa jeda. Membingungkan. Begitu pula perasaanku padamu. Seperti unda-undi yang tak pasti. Harusnya aku sudah melupakanmu. Tak lagi mengingatmu. Tak harus merindukanmu. Ada yang salah denganku.
Kamu masih saja hadir. Dalam gerimis. Dalam kerontang. Dalam normal. Tak terbantahkan.

Aku Hanya Ingin Menulis

Aku tak pernah peduli. Tulisanku dibaca orang atau tidak. Disukai atau tidak. Ya, untuk sementara ini aku tak pernah peduli akan semua itu. Aku hanya ingin menulis. Itu saja. Makanya, aku lebih senang menulis tanpa harus memberitahu orang lain. Aku tak pernah peduli siapa yang akan membaca tulisanku. Karena aku ingin menjadi pengarang, bukan penulis. Pengarang menulis dengan hati, penulis menulis dengan uang. Tidak. aku tidak menginginkan itu.
Aku ingin membebaskan rasa malu kata dan kalimat dari tatapan tajam pembaca. Bahkan, kalau bisa aku ingin membebaskan kata dari makna, seperti yang dilakukan oleh Sutardji. Aku bosan. Kebosanan yang memuncak. Kau boleh saja tak membaca ini. Sangat boleh. Membaca pun tak ada untungnya. Hanya coretan tak penting.

Selasa, 21 September 2010

Surat Kedua untuk Kakek

Depok, 12 Agustus 2010

Selamat malam Kek,
Apa kabar? Hari ini hari kedua puasa Kek. Di sana pasti Kakek sudah tidak puasa. Ya aku tahu itu. Ini surat kedua Kek. Kakek tak sempat membalas suratku yang pertama. Mungkin, di surga memang tak ada kertas dan tinta, atau pak posnya sudah enak hidup di surga, jadi sudah enggan mengantar surat. Atau, burung dara di surga sudah tidak bertugas mengantar surat. Ya sudahlah.

Kakek,
Semoga memang kau bahagia di sana. Ah, Kek, tadi aku naik KRL, ini sejenis kereta listrik yang beroperasi di daerah Jabodetabek. Menunggu kereta di stasiun. Ada dua kakek, mungkin seusia Kakek. Mereka mengemis. Mengais rezeki di jalan. Kasihan. Tak ada yang peduli. Di mana anak dan cucu bahkan cicit mereka? Bernasib samakah? Ah, Kek, harusnya mereka sudah istirahat di rumah. Menikmati hari tua. Tapi mereka malah di jalan. Berkeliaran. Masih bingung harus makan apa. Betapa hidup ini tak adil.

19.43

Sudah, Terbang Saja Semaumu!

Dulu saja, kau membutuhkanku. Meyakinkanku dengan perintahmu. Sekarang? Mudah saja untukmu. Hinggap sana-Hinggap sini. Tak tahu, apa yang ada di otakmu. Akukah? Atau kerjamukah? Atau bahkan diakah?
Sudah, jangan temui aku lagi. Sudah bosan. Terbang saja, semaumu... aku sudah tak peduli lagi....