Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Rabu, 25 Juni 2014

The Fate of Pedestrians in Jakarta, Indonesia

Some years ago, 11 pedestrians died because of car accident. The car who is driven by Afianty--a young woman--hit eleven pedestrians who were walking on the sidewalk, Tugu Tani area, Central Jakarta, Indonesia. The case showed us how the pedestrians did not save too. Jakarta is a metropolitan city which many problems occur here, included high traffic jam, even car accident. The case of Afianty is the one case, because there are many others case which happen in Jakarta, especially for pedestrians.
Detik.com upload a news about a pedestrian who get abusive words from the biker because the biker hit him in sidewalk. The biker was angry whereas the accident occur on the sidewalk. It is irony. How come the biker who is angry, whereas the pedestrian walks on the sidewalk? Is the pedestrian right?
In Jakarta, it becomes a habit when the bikers ride their motorcycle on the sidewalk. I'm sure that Jakarta's government has many efforts to give some good facilitates for the people, like a sidewalk, public transportation, and so on. Yet, the people oftentimes negotiate what the given of government. The simplest example is sidewalk's function. In Jakarta, the sidewalk normally becomes a place for selling something, riding a motorcycle, parking, even placing of pet, like cow. Is it interested, right? The phenomena can be seen in pictures below.
Picture is taken from here http://jakartapedestrian.wordpress.com/
The biker was riding her motorcycle on the sidewalk
The generic is sidewalk for pedestrians, but here sidewalk can be anything. The people negotiate how can maximized the empty space around the crowded space in Jakarta. Therefore, they are able to sell something or to bike their motorcycle when traffic jam on the sidewalk. I think, it is their way to adapt the new system.
However, some people think that the sidewalk's functions have to restore. Therefore, some people make a community which wanna restore the function of sidewalk for pedestrians' right. For the first time, they make the community in Facebook and Twitter, the name is "Gerakan Koalisi Pejalan Kaki" or Pedestrians' Coalition Movements. Then, they demonstrate on the sidewalk to give awareness for the bikers. On the others side, government try to put some iron barrier on the sidewalk which purpose the bikers can not pass the barrier.
The picture was taken from here http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/69867-kegigihan-gerakan-koalisi-pejalan-kaki-kembalikan-hak-pedestrian-di-jalan
Gerakan Koalisi Pejalan Kaki demonstrate to give awareness about pedestrians' right to the bikers.
I think, all of the efforts restore the function of sidewalk, but, I'm sure, the people of Jakarta always find the new way for negotiating the new system, whatever it is. Let's see, the sidewalks in Jakarta only have a little probability to get their mainly function for the pedestrians. It can be concluded that the fate of pedestrians in Jakarta never change well if the people are not awareness about the pedestrians' right.

Source of picture:
Picture 1: http://jakartapedestrian.wordpress.com/
Picture 2: http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/69867-kegigihan-gerakan-koalisi-pejalan-kaki-kembalikan-hak-pedestrian-di-jalan

*This article also was published in http://aquantumcityjakarta.wordpress.com/2014/06/26/the-fate-of-pedestrians-in-jakarta-indonesia/ for the result of Quantum City Jakarta Workshop, in University of Indonesia, 23 until 26 June 2014

Senin, 23 Juni 2014

Perayaan Kehilangan

Rasanya terlampau susah jika hidup dengan kepala yang di dalamnya sedang ada peperangan. Ricuh. Setiap kata saling bertabrakan entah akan menghasilkan apa. Saya sedang berada di dalam sebuah lokakarya yang berbicara tentang Quantum City. Entahlah. Saya juga tidak terlalu paham dengan segala macam yang dibicarakan dalam ruangan ini. Kepala saya sedang berperang untuk hal yang lain. Sedang ada kericuhan di kepala saya tentang sebuah hal di luar sana yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ruangan ini. Mungkin ada hubungannya, hanya saja saya belum bisa mengelaborasi perang di kepala saya dengan apa yang terjadi di ruangan ini. Semoga nanti.

Tentang ruang, tentang waktu, tentang jarak, tentang kecepatan, yang semuanya berada dalam satu aliran yang sama. Hanya saja ada banyak persimpangan. Entah saya berada di persimpangan yang mana. Saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya. Setiap hal tumpang tindih dan selalu berseberangan. Saya sedang mencoba memilah-milah apa penyebab perang di kepala saya. Nyatanya pun saya bukan pemilah yang baik. Saya sama sekali tak berhasil. Jadi, maafkan saya, jika kalimat-kalimat selanjutnya adalah kalimat yang melompat-lompat, bahkan mungkin tidak saling berhubungan.

Tiba-tiba saja, saya teringat kalimat Seno Gumira Ajidarma bahwa dalam setiap diri pertemuan sudah terkandung perpisahan. Iya. Cepat atau lambat. Perpisahan selalu saja dekat dengan kehilangan. Lantas, kehilangan selalu saja memenuhi ruang, menebas jarak, dan menghentikan waktu. Rasanya begitu cepat. Saya masih teringat bagaimana keranda membawa tubuh kakek saya. Kakek yang beberapa waktu sebelum pergi selalu berjanji akan mengantar saya sekolah TK. Pada saat itu, saya masih berusia empat tahun, beberapa bulan lagi akan memasuki sekolah. Sayangnya, di atas janji kakek saya, masih ada Tuhan. Pada bulan Juni, kakek saya harus pergi. Meninggalkan saya menunggu janji itu. Padahal, tinggal beberapa hari lagi, ayah saya mendaftarkan saya ke sekolah. Jadilah, sejak kepergian kakek saya itu, saya harus menjalani hari-hari TK saya sendirian. Tidak pernah ada yang menunggui saya sebagaimana teman-teman saya yang lain. Pada akhirnya, saya pun terbiasa menjalani hidup sendirian.

Barangkali, Sapardi benar. Bahwa tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.

Atau mungkin Tuhan memang senang bercanda. Dia suka mendatangkan orang-orang di tengah-tengah kehidupan, lalu tiba-tiba saja menyuruhnya pergi. Tanpa permisi. Entah lama, entah sebentar, orang itu singgah atau menetap. Kalaupun menetap, suatu waktu pasti akan tetap pergi. Jadi, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar menetap dalam hidup. Datang dan pergi begitu saja jika kata Letto.

Maafkan saya yang tiba-tiba saja teringat pada kakek saya. Pada janjinya yang akan selalu mengantar saya sekolah. Pada kebiasaannya yang selalu membawakan saya sekotak Buavita rasa jeruk setiap bulannya. Pada rutinitasnya yang pagi-pagi sudah membersihkan halaman. Pada hangat pelukannya. Pada cerah senyumnya. Dan, pada keranda yang telah membawanya pergi. Membuat kehilangan. Membuat kesepian.

Namun, kepergian seseorang dalam hidup selalu mengajarkan banyak hal. Agar tak melulu bergantung, tak selalu berharap, dan tak sering meminta. Kepergian selalu menyisakan kehilangan. Dan, kehilangan tak melulu dimaknai dengan kesedihan meskipun kata kehilangan dan kesedihan adalah dua saudara kandung. Hanya saja, kehilangan dapat sedikit dirayakan dengan atau tanpa kembang api.

Saya bisa keluar rumah sejenak. Melihat langit, entah sedang berwarna apa. Atau pergi naik kereta listrik, menghitung panjang rel entah dengan apa. Atau saya bisa mengikuti lokakarya seperti ini entah membahas apa. Atau mungkin saya bisa pergi sejenak dari rutinitas entah ke mana.

Ah, Kakek, sedang apa di sana? Semoga selalu bahagia. Semoga juga sedang merindukanku. Semoga baik-baik saja.

Rabu, 18 Juni 2014

Semester Dua yang Selesai

Dan, percayalah, segala sesuatu akan selesai pada tenggatnya.


Begitulah. Akhirnya, semester ini pun selesai juga. Tiga hari yang lalu, lebih tepatnya, setelah makalah terakhir terkumpul. Segala macam perjuangan semester ini berakhir secara simbolis. Jika boleh menganalogikan, semester ini adalah sebuah perjalanan mendaki gunung. Dua belas makalah tugas akhir untuk lima mata kuliah, semacam terdengar tidak masuk akal untuk dikerjakan dalam waktu tidak lebih dari dua minggu. Perjalanan selalu mengajarkan banyak hal, termasuk semester ini. Mengajarkan saya untuk berhenti mengeluh dan sering-sering bersyukur. Bahwa segala sesuatu tidak ada yang sia-sia.

Pun, perjalanan selalu menemui banyak rintangan. Tengah semester yang lalu, saya harus opname karena terkena typhoid. Opname pertama dan semoga yang terakhir. Lima hari di rumah sakit rasanya sewindu. Setelah itu pun tak juga pulih. Saya harus meminta izin untuk tidak masuk kuliah kurang lebih dua minggu karena saya masih ringkih untuk kembali ke rutinitas. Dua minggu saya hanya lontang-lantung di rumah tanpa tahu harus melakukan apa, selain main Candy Crush. Saya juga harus menunda untuk mengumpulkan beberapa tugas karena saya sama sekali tak bisa berpikir. Lalu, saya juga harus terpaksa menolak beberapa pekerjaan dengan alasan kesehatan. Ah, padahal, dulu saya selalu merasa tangguh untuk melakukan banyak hal sekaligus. Nyatanya, setiap hal selalu ada limitnya.

Bagaimanapun, saya sudah seharusnya bersyukur. Semester ini akhirnya berlalu, padahal sebelumnya saya sempat mengajukan cuti, tetapi ditolak dengan alasan sudah separo semester. Sekarang, kondisi saya sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa hari pascaopname. Semoga sampai nanti selalu baik, dalam segala hal.

Semester dua telah selesai, tinggal satu semester lagi untuk merencanakan segala sesuatunya. Waktu itu seperti terbang, ya? Rasanya baru kemarin saya wisuda sarjana, sekarang saya sudah harus merencanakan topik tesis. Ah, di penghujung semester dua ini pun saya belum tahu akan membahas apa, sedangkan bab I harus sudah selesai pada semester tiga.

Sudahlah. Saya yakin, segala sesuatunya pasti akan selesai pada waktunya. Meskipun belum memiliki topik tesis sekarang, pada waktunya nanti juga akan ketemu, akan mendapatkan ilham, sebagaimana skripsi saya tempo lalu. Saya percaya, dua tahun adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan kuliah ini. Tidak perlu lebih, kalau bisa kurang. Demi senyum yang merekah di wajah kedua orang tua saya. Semoga. Semoga saya masih sempat membahagiakan banyak orang.

Kamis, 05 Juni 2014

Ayah dan Cerita-Ceritanya yang Tak Pernah Ada

"Raden Patih Gajahmada itu pengkhianat, Yah!" kata saya sambil tertawa.
"Kamu itu, semua orang aja dibilang pengkhianat, Prabowo pengkhianat, SBY pengkhianat. Siapa coba yang gak kamu bilang pengkhianat? Gajahmada orang besar dibilang pengkhianat."

Saya hanya tertawa. Bukan. Bukan tentang isi percakapan yang sedikit absurd. Atau tentang pembelaan ayah saya pada orang-orang itu. Saya hanya bahagia. Bahagia saja ketika bisa bercerita dan berbicara apa saja dengan ayah saya meskipun sekali lagi percakapan kami absurd. Bahkan, ayah saya suka sekali mengarang cerita bahwa dia sedang rapat koordinasi dengan PKD (Partai Kekuasaan Desa), PKW (Partai Kebugaran Wanita), atau PKPR (Partai Kebugaran Pria). Katanya, rapat itu untuk mempersiapkan pemilu 2019 dan saat ini sedang menggalang dukungan untuk kemenangan Prabowo-Hatta.

Sudahlah. Jangan hiraukan cerita karangan itu. Demi apa pun, cerita itu tidak pernah ada. Ayah saya sedang mencari topik untuk obrolan di telepon bersama saya. Telepon yang tak jarang berjam-jam itu hanya dihabiskan dengan membicarakan hal-hal yang tak pernah ada. Saya menanggapinya agar kami sama-sama bahagia.

Iya. Jarak yang entah berapa ratus kilometer di antara kami memang terasa sedikit mengganggu waktu bertemu kami. Berapa bulan sekali saya pulang pun tak tentu. Berapa kali ayah menjenguk saya di kota ini pun hanya sekali. Itu pun saat saya wisuda sarjana.

"Kamu kalau kuliah di Gadjahmada, nanti Ayah bisa menjenguk kamu kapan pun. Dan, kamu bisa pulang kapan aja," kelakar ayah saya. Saya hanya mengaminkan dalam hati. Semoga. Semoga segala sesuatunya bisa berjalan sesuai rencana.

Saya tahu sekarang. Barangkali, ayah saya sedang kesepian. Adik saya sudah besar, sudah kuliah, sudah tinggal di luar kota, sudah tidak di rumah setiap hari. Lalu, di rumah tinggal ayah dan mama. Saya bisa membayangkan betapa sepi hari mereka. Pulang kerja, sama-sama capek, tanpa hiburan dari kedua anaknya. Ah, rasanya ingin sekali bisa pulang kapan pun. Namun, entahlah. Di sini terlalu penat.

Satu hal saja yang saya takutkan jika saya masih terlampau egois melawan jarak. Saya takut tidak bisa menghitung lagi uban di kepala ayah saya atau sekadar memijit punggungnya atau membuatkan segelas teh--yang katanya tak ada rasanya itu. Tapi, saya bahagia. Semoga ayah saya juga bahagia memiliki saya. Semoga.

Rabu, 04 Juni 2014

Dibutuhkan Segera: Bahu dan Telinga

Maafkan saya, yang akhir-akhir ini sedang banyak berkeluh kesah di ruang ini. Namun, entahlah. Saya juga tidak tahu bagaimana harus membuat rasa yang membuncah ini agar memiliki tempat. Satu-satunya ruang hanya di sini. Yang sepi. Tanpa kericuhan yang sedang ada di luar sana.

Sudah beberapa hari ini saya sulit memejamkan mata: satu hal yang hampir tidak mungkin bagi saya. Saya terjaga hingga pukul tiga dini hari, bahkan puncaknya semalam saya tidak bisa tidur sama sekali. Sementara paginya saya harus ke kampus.

Alhasil, dari semalam, kepala saya sakitnya tak mereda, malah bertambah setiap saat. Rasanya seperti sedang ditekan oleh tangan yang kuat. Sakit sekali. Sudah istirahat juga tadi sore. Ah, tetap sakit. Entah mengapa. Mungkin saya sedang stres tentang banyak hal. Satu hal saja sebenarnya yang saya inginkan: bahu dan telinga. Entah berapa kali saya membutuhkan ini. Saya hanya ingin bercerita panjang lebar pada seseorang seperti biasanya, lalu berdiskusi memecahkan masalah atau sekadar mencari ide untuk makalah. Agar sakit ini cepat mereda. Sebab semacam waktu saya terbuang percuma. Saya sakit dan tak bisa tidur. Lantas, saya juga tidak bisa menyelesaikan tugas akhir. Semakin menambah sakit rasanya.

Barangkali, harga bahu dan telinga pun sekarang sedang mengikuti harga dolar. Untuk kali ini, saya tak mampu membelinya. Jadi, saya harus tetap bertahan. Pada rasa sakit dan cerita-cerita yang tak bisa lagi diceritakan.