Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Minggu, 26 Juni 2011

Tiba-Tiba Saja, Aku Ingin Menghabiskan Hujan Bulan Juni Bersamamu


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono



Sekarang bulan Juni. Hampir habis. Tiba-tiba saja aku ingin menghabiskan hujan bulan juni bersamamu. Berdua saja bersama hujan. Kapan terakhir kita bertemu? Setahun yang lalu? Sebulan yang lalu? Entahlah. Penghitung waktu di otakku sudah membeku.
Dulu, aku selalu merengek padamu agar diizinkan bermain hujan. Kamu selalu menggeleng. Nanti sakit, katamu. Aku menurut meski agak cemberut. Kamu terlalu takut air hujan membuatku menggigil lantas menyerang kekebalan tubuhku. Aku tahu itu.
Kubaca sajak itu. Mengingatkanku padamu. Pada waktu yang membawa kita terlalu cepat berlalu. Pada usia yang membuatmu dan membuatku semakin menua. Aku masih ingin bersamamu. Entah sampai kapan. Mungkin sampai aku terbawa kereta kencana ke negeri senja.
Mungkin, jika Tuhan mengizinkan, aku ingin hidup sehari saja setelah kepergianmu. Sebab, aku taksanggup berlama-lama tanpamu. Terlalu sepi hidup ini.
Aku ingin menghabiskan hujan bulan Juni kali ini bersamamu. Duduk di teras rumah sambil sesekali menyeruput teh hangat atau mulut kita kepanasan menggigit pisang goreng. Saling bercerita. Aku berceloteh, engkau mendengarkan. Menatap hujan yang jatuh. Menunggu teduh datang, atau kalau beruntung pelangi hadir di tengah-tengah kita.
Lantas, kita tertawa. Menekuri hidup yang takpernah sederhana. Aku selalu suka saat-saat seperti ini. Pantas saja, kamu begitu cemburu saat aku didekati lelaki lain. Aku tahu. Kamu takingin aku terluka. Pantas saja, kamu takpernah suka pada lelaki yang mempermainkanku. Kamu benar-benar marah ketika aku mulai jatuh cinta pada seseorang di luar sana. Yang katamu dia bukan lelaki baik-baik. Aku takpercaya, tapi benar katamu. Dia melukaiku.
Aku jatuh dan sakit karenanya. Tapi kamu hanya tersenyum, lalu membantuku bangun. Mendekapku erat. Mengusap rambutku. Semuanya akan baik-baik saja, bisikmu saat itu. Aku mengangguk lega. Terima kasih.
Ah iya, aku lupa. Aku lupa memberimu nama, seorang Ayahkah atau malaikat yang diutus Tuhan menjagaku.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

belajar banyak