Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 31 Oktober 2011

Dan Keajaiban itu Selalu Ada

Selepas Oktober. Saya berjanji untuk pergi ke suatu tempat. Hanya sekadar menyegarkan emosi. Tapi ternyata saya salah. Saya kehilangan Oktober sebab Oktober tahun ini memberikan banyak hal.
Jujur saja. Memasuki awal Oktober, saya ingin sekali Oktober cepat berkemas. Meninggalkan saya. agar saya bisa menjalani rutinitas dengan normal. Tapi, Oktober tetap bergeming. Berjalan lambat seperti adanya.
Ah, iya. tentu saja. acara itu yang membuat saya ketakutan setengah mati. acara yang diadakan tingkat nasional dan saya dipercaya sebagai ketua pelaksana. terlihat biasa saja dan sederhana memang. hanya saja, bagi saya ini luar biasa. berada di sebuah kepanitiaan dan saya sebagai pemimpinnya. ketidaksuksesan acara ini, tentu saja, merupakan kesalahan saya seutuhnya.
Tapi, saya beruntung. saya berada di antara orang-orang hebat. orang-orang yang punya komitmen dan karakter.
Baiklah. Tuhan memang selalu baik. Selalu mendengar. Ada banyak hal yang tak terduga saat acara ini sudah di ambang mata. Ada banyak bantuan. Saya tidak bisa mengisahkannya satu per satu. Yang pasti, saya hanya ingin berterima kasih pada Tuhan Yang Selalu Baik memberikan bantuan.
Keajaiban. Itu yang Tuhan berikan pada kami. Saya bersyukur. Paling tidak saya bisa memegang acara ini. Saya bisa bertukar pesan dengan Seno Gumira Ajidarma dan Sapardi Djoko Damono. Sungguh. Saya ingat ketika kelas 1 SMP dan pertama kali membaca cerpen "Pelajaran Mengarang" karya SGA, saya tidak pernah terpikirkan untuk bertemu langsung dengannya. Bahkan sekarang, saya bisa memberikan plakat untuknya. Terima kasih Tuhan. Saya juga ingat, ketika saya pertama kali membaca puisi-puisi Sapardi Djoko Damono ketika SMA, saya berjanji untuk bisa melihatnya secara langsung suatu saat nanti. Tapi, jawaban Tuhan lain. Saya diizinkan untuk menjabat tangannya dan mengobrol banyak dengannya. Terima kasih sekali lagi Tuhan.
Ah iya, Tuhan selalu memberikan keajaiban-Nya lewat tangan-tangan yang takterduga. Orang-orang yang berada di dekat saya, contohnya. Tuhan mengirimkan orang-orang hebat ini untuk membantu saya. untuk menyelesaikan semuanya agar semua berakhir dengan baik-baik saja. Terima kasih pada mereka yang sudah sangat sangat membantu saya.

Yang pasti, Tuhan itu selalu memberikan sebesar apa yang kita usahakan. Keajaiban yang kita terima itu sesuai dengan seberapa besar kerja kita untuk Tuhan.

Rabu, 19 Oktober 2011

Selepas Oktober

Selepas Oktober. Mungkin saya harus melepaskan penat. Pergi ke Bandung atau ke mana pun. Atau mungkin cukup berjalan-jalan santai di kampus. Menikmati pemandangan tanpa harus diburu waktu atau senja. Atau berlama-lama menghabiskan waktu di Salihara. Menonton pertunjukan.
Sedikit saja saya meluangkan waktu untuk mengetik ini. Agar kelak, setelah Oktober berkemas. Saya tidak lupa apa yang harus saya lakukan.

Minggu, 16 Oktober 2011

Maaf, Ceritakan Padaku Kisah tentang Ranjang

Setiap yang datang akan sedikit tegang. Setiap yang pergi tak
elak menggigil. Ada rindu yang tersisa di sini.
di sprei yang putih dengan sedikit noda perih.
dan sedikit bunyi merintih.
kau boleh meretas kisah di sini. sebelum ia datang.
sebelum ia menampakkan sangarnya di balik pintu.
jika kau belum sempat pergi, kau boleh tiarap di bawah sini.
menahan napas dan kentut. agar dia tak kalut.
ada yang telah merajut cinta di tempatnya.
kau tahu? di sinilah perginya bermuara
meski kau juga tahu, singgasana ini bukan laut.

Katamu, orang-orang yang berkisah di sini
akan berakhir. aku sedikit bergidik.
aku bukan pengisah, hanya saja terkisah, kataku.
kau mengangguk.
maka aku terduduk. diam. berharap tak ada kisah
yang muncul lagi dari mulutku.
serupa tunarungu yang gagu.
kau juga hanya berdiam. menungguiku.
menungguiku menunggu pengisah.

aku berkemas. segera memakai sweater.
membuka pintu. lantas membiarkan tubuhku
melebur pada panas dan kisah.
aku tak ingin berakhir di sana.
sebab kau takpernah tahu.
apa itu lelah. mengalah.

Rabu, 12 Oktober 2011

Isyarat

Aku selalu senang belajar di kelas ini. Diam. Sepi. Kadang ada tawa, secuil saja. Sebab tak ada gunanya tertawa keras-keras. Tak akan terdengar.
Ya. Sepertinya aku sudah pernah bercerita bahwa semester ini aku mengambil kelas bahasa Isyarat. Kelas yang belajar tentang kehidupan, lebih tepatnya.
Mereka orang-orang hebat. Masih mampu menyalakan lilin terang di antara gerhana pekat. Kalau aku jadi mereka, aku takpernah tahu apa yang akan terjadi. Mungkin bunuh diri. Ah, Tuhan memang memberi cobaan takpernah lebih besar dari kemampuan hamba-Nya. Kemampuan bertahanku taklebih besar dari mereka. Dan aku menyadari itu.
Takgampang mengikuti mereka. Seperti belajar bahasa asing dari antahberantah. Tanganku kaku. Ngilu. Terlalu kelu. Ekspresiku tak mampu merayu.
Sebelum memulai kelas, tanganku harus digerak-gerakkan. Seperti gerakan pemanasan sebelum lari, mungkin. Bersama mereka, aku harus bisa mengungkapkan semua hal hanya dengan ekspresi dan gerak tangan. Ada aku. kamu. kita. Ada senja. jinggga. dan hujan.
Komposisi yang sederhana.
Tapi, aku selalu saja kesulitan menyampaikan isyarat, (mungkin) seperti halnya mereka yang kesulitan menyampaikan suara.
Kamu tahu kan aku suka berada di kelas ini? Seperti halnya aku suka berjalan di lorong-lorong sepi. sendirian. Seperti halnya aku suka memandang hujan di balik kaca. Seperti halnya aku suka mendengarmu bernyanyi.

Minggu, 09 Oktober 2011

Ayah. Ayah. Ayah



Jika sedang banyak hal seperti ini, aku jadi kangen ayah. Kangen lelucon-leluconnya yang kadang terasa garing dan kering, tapi bisa membuatku terbahak. Kadang aku hanya menyenangkannya atau memang tak ada hal lain yang patut ditertawakan.
Tak ada nasihat yang diucapkannya untuk menyederhanakan masalahku. Tapi, aku tahu. leluconnya itu untuk memastikan bahwa aku masih baik-baik saja. Leluconnya itu mewakili kalimat-kalimatnya yang (seharusnya) panjang. Yang mungkin berinti, "Ini bahu dan telinga untukmu!"
Aku sering menangis di bahunya. Meski tak kekar, tapi mampu membuatku betah berlama-lama di sana. Aku sering bercerita banyak dan ayah hanya mendengarkan. Kadang menimpali ceritaku dengan lelucon yang sama sekali tak penting. Tapi itulah yang membuatku rindu.
Ah, ayah. Selalu mampu membuatku terharu.
Aku tak tinggal serumah lagi dengan ayah. Sudah lebih dari 2 tahun. Selalu. Ayah yang memulai percakapan denganku. meneleponku. Kadang terangkat, kadang tidak. Maaf. Aku selalu (terlalu) sibuk di kota ini. Hampir tak pernah ada waktu untuk sekadar bilang, "Aku baik-baik saja," pada ayah. Senggangku ketika sudah larut. Ketika malam seperti ini. Ketika di sana sudah tak ada kehidupan lagi. Aku tak bisa menelepon ayah. Jam di dinding kamarku sudah bertengger di angka 11.35. Hampir tengah malam. Ayahku sudah terlelap, pastinya. Dan aku tak mau mengganggu istirahatnya.
Aku tahu, tak ada laki-laki yang mencintaiku melebihi dirinya, selain ayahku.
Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang harus kukerjakan. Aku ragu. Apakah aku sanggup mengerjakannya atau tidak. Jika sedang begini. Aku butuh ayah. Butuh ayah untuk menenangkanku dan mengatakan semuanya akan terselesaikan dengan baik.
Sungguh. Aku rindu ayah.


**pada kamar yang menjagaku sepanjang malam
bangunkan aku pagi-pagi agar aku bisa menelepon ayah.
jangan sampai keduluan matahari

Sabtu, 08 Oktober 2011

9 10 11

9 10 11
Seperti hitungan sebelum berlari. Bagus. Berurutan.
Itu tanggal hari ini. Mungkin tanggal terbagus sebelum kiamat. Bolehlah kukatakan seperti itu meski aku taktahu kapan kiamat.
9 10 11
Mengingatkanku pada urutan kematian. Kesempurnaan pada 9. Lantas 10 dan 11 adalah kembali pada hitungan awal: 1 2. Kembali adalah pulang, lalu mati.
9 10 11
Akhirnya aku ke Anyer. Iya, tak apa. Norak. Baru pergi sekarang.
Otakku sedikit acak hari ini. Antara senang ke Anyer dan muak dengan penghakiman.
Berkali-kali aku menulis, takperlu kita membawa palu untuk menyatakan: saya benar, kau salah.
Dunia ini terlalu berharga untuk meributkan siapa yang paling benar atau paling salah.
Baiklah. Akan sedikit kudeskripsikan. Mayoritas memang selalu mengintimidasi minoritas. Mereka lupa bahwa menjadi minoritas adalah pilihan yang wajib dihormati oleh siapa pun.
Tapi, sepertinya tidak begitu. Meskipun sebenarnya aku masuk dalam mayoritas tersebut, aku selalu merasa ada orang-orang yang teranggap salah.
Menyakitkan.
9 10 11
Jujur. Aku suka pada urutan angka ini. Nanti saja ya, aku lanjutkan. Sepulang dari Anyer jikat takterlelap.

Minggu, 02 Oktober 2011

Seruas Jalanan, antara Aku dan Kamu

Lantas kamu menghilang. Di balik sebuah lorong
yang takbertuan. Sepi.
Kemarin. Kemarinnya lagi. Aku selalu melihat
tubuhmu yang sedikit kaku di jalanan yang
setiap hari kulewati. Aku menghembuskan napas,
dan kamu menatapku berharap.
Maaf.
Taksetiap hari ada sisa receh untukmu. atau sisa rotiku
tadi pagi. syukurlah. kamu tidak tahu, ada sebotol kecil
wine yang kusimpan dalam tasku.
Tubuhmu legam. kausmu hitam.
serupa jelaga yang menempel di dinding
kamar bambu.
Aku. Kamu. di tempat ini. (tidak) jatuh cinta.
hanya saja menyimpan cerita.
Jika melihatmu, aku ingat adikku. mungkin seusiamu.
kita sering bersitatap. saling mengamati. aku selalu iba
melihatmu di situ. tidur di jalan ini. tanpa ranjang yang
bisa membuatmu menggelinjang. atau selimut yang
memelukmu lembut.
(lagi). maaf.
aku takpernah bisa membawamu ke kamarku.
jangan khawatir. aku selalu berdoa pada Tuhanku,
suatu saat kelak. kamu akan mendapat tempat yang layak.
yang bisa memberimu rasa nyaman, senyaman rasa anggur
yang membuatku tertidur.