Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Jumat, 03 April 2020

Kepada Ricky,

Depok, 3 April 2020

Kamu apa kabar? Aku selalu memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja sebab kamu ada di dalam daftar panjang orang-orang yang aku harus selalu tahu kabarnya.

Aku tahu ini cukup berat untuk banyak orang yang terlibat dalam hidupmu. Aku pun tak tahu harus bagaimana, selain berdoa banyak-banyak agar semua ini segera berakhir. Tapi, Tuhan tidak pernah memberikan hal-hal yang kita takbisa melampauinya, bukan? Termasuk ini.

Menyebalkan memang ketika yang kita risaukan hanya dibalas dengan kalimat-kalimat semacam paragraf sebelum ini. Hanya saja, saat ini, memang tak ada lagi yang bisa kita lakukan, selain berdiam di rumah dan berdoa.

Sudah. Sudah. Nanti makin sedih.

Jadi bagaimana? Sudah sampai mana hal-hal yang sedang kamu perjuangkan itu? Aku sebenarnya turut bahagia dengan pencapaianmu akhir-akhir ini, tapi sejujurnya, dalam hati yang paling dalam, aku jauh lebih bahagia ketika kamu menerima dirimu tanpa tapi, selama itu sehat dan tidak menyakiti hati orang lain. Tapi, percayalah, aku sangat bahagia dengan perubahan positifmu.

Lalu, bagaimana dengan perjalanan-perjalanan selanjutnya? Sepertinya aku akan refund tiket yang untuk ke Penang bulan depan. Ini adalah bagian tersedih dalam hidupku, tetapi akan lebih sedih jika segalanya tak juga membaik. Kemungkinan juga perjalanan pulang lebaran tidak akan kulakukan. Dari sebelas tahun yang lalu, ini pertama kalinya aku akan lebaran tanpa rumah. Itu berarti, waktu kita akan makin panjang untuk sebatas buka bersama atau sebatas bercakap di meja makan.

Sudahlah. Dalam hidup memang akan selalu ada bagian-bagian tersedih seperti ini. Tidak apa-apa. Bukankah kita sudah banyak-banyak bahagia sebelum ini? Maka, bumi sedang menjalankan tugasnya: berputar.

Semoga tetap baik-baik saja, ya, kamu.

Salam hangat,
Fitria.

Kamis, 02 April 2020

Kepada Rahim Ibu,

Depok, 2 April 2020

Mungkin 29 tahun yang lalu, kita terakhir bertemu. Apakah kamu masih setangguh dulu? Apakah rumahmu masih hangat? Namun, satu hal dari tulisan ini, aku hanya ingin berterima kasih kepadamu. Sudah bertahan membawaku, mungkin sembilan, mungkin sepuluh bulan. Kukira bukan waktu yang singkat.

Semenjak kita tak lagi bertemu, aku tak lagi tinggal dalam dirimu, aku bertemu dengan banyak malaikat tanpa sayap juga iblis tanpa tanduk. Tidak seperti dalam kamu yang aman dan tanpa resah, di luar kamu, sering kali aku menggigil karena ketakutan, menangis karena kesakitan, hingga berdiam diri karena kebingungan. 

Ada banyak jalan yang harus kupilih, lalu kutempuh. Sendirian.

Jika kamu bertanya, apakah aku baik-baik saja? Kukira jawaban yang akan kuberikan pada orang-orang dan juga kamu masih sama: aku baik-baik saja. Seharusnya memang aku baik-baik saja. Tak perlu kau risaukan aku. Sepuluh bulan bersamamu sudah cukup membuatku memiliki gambaran bahwa nantinya hidup akan begini dan begitu saja. Meski aku pun tak ingat apa yang aku lakukan di dalam kamu kala itu. 

Sekarang giliranku bertanya, apakah kamu masih sekuat dulu? Sebab jika kamu tak baik-baik saja, ibuku juga tak akan baik-baik saja. Kamu tahu, bukan, ibuku adalah hampir seluruh aku? Duniaku berputar mengelilingi tubuhnya. Aku tak pernah membayangkan jika sehari pun aku tanpanya. Bagaimana mungkin aku bisa menjalani kehidupan ini tanpanya.

Maka, demi ibuku, aku mohon, tetaplah baik-baik saja dan kuat meski aku tahu, usiamu maupun usia ibuku terus berjalan.

Salam hangat,
Aku yang sedang rindu ibuku.

Rabu, 01 April 2020

Kepada Semesta,

Depok, 1 April 2020


Aku tidak akan menanyakan kabarmu sebagaimana surat-surat lain dibuka sebab aku tahu, kamu sedang tidak baik-baik saja. Kita semua sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, kita sedang mencoba baik-baik saja, terlihat tegar dengan tagar-tagar #dirumahsaja yang bertebaran di mana-mana. Tagar itu seolah penanda bahwa hidup kita sedang baik-baik saja, padahal kukira tidak.

Ada banyak yang hilang, ada banyak yang merutuk, tetapi beberapa mencoba tetap baik-baik saja agar segala sesuatunya tidak makin berat.

Kondisi seperti ini tidak pernah ada dalam skenario masa kecilku ketika membayangkan sebuah kehidupan dewasa. Tapi, barangkali kamu sudah mempersiapkannya, mungkin juga sudah memperkirakan bahwa waktu ini akan datang, cepat atau lambat. Sementara aku tidak. Aku sama sekali tidak siap ketika melihat beberapa kekacauan mulai muncul. Mencoba tenang, tetapi tetap panik.

Apa kamu tidak rindu membuat semuanya benar-benar baik-baik saja? Berjalan sebagaimana mestinya. Tapi kemudian pertanyaanku itu membuatku kembali bertanya, siapa yang sebenarnya tidak ingin baik-baik saja? Jangan-jangan aku. Siapa yang sebenarnya sangat rindu semuanya kembali baik-baik saja? Jangan-jangan aku juga.

Maaf.

Segala pertanyaan dan kecamuk dalam kepalaku hanya disebabkan oleh satu hal: aku rindu pulang. Karena kamu yang sedang dituduh tak baik-baik saja, aku harus menunda banyak perjalanan untuk pulang pada rumah yang sejak di rahim ibu aku sudah menandainya sebagai tempat melepas segala lelah.

Jika tak pulang, lelahku akan tetap bertumpuk, tidak terurai. Sebagaimana pemikiran-pemikiran manusia yang rumit tanpa sebab.

Hanya di bawah ketiak ibu, aku merasa bisa terbebas dengan napas sesak. Jika sudah seperti itu, pelan-pelan otakku bisa kembali menata hidup yang mungkin juga tidak menyenangkan-menyenangkan amat untuk dijalani, tetapi hidup tetap harus berjalan, bukan?

Begitulah. Kali ini, aku harus mampu bertahan. Semoga kamu cepat dinyatakan membaik.

Sabtu, 02 November 2019

Tanpamu

sumber di sini!

Aku pernah berdoa suatu kali pada Tuhan: memohon agar aku sekali saja sempat dipertemukanmu kembali setelah malam-malam sepiku tanpa kamu. Pada saat itu, aku hanya rindu tentang banyak hal tentangmu. Namun, hidup harus tetap berjalan, bukan? Dengan atau tanpa kamu.

Aku mengobati lukaku sendiri, tanpa mencari orang lain sebagai pengering luka-luka yang diam-diam kamu tanam. Aku melakukannya seorang diri. Mencintai diri pun kulakukan berkali-kali lipat agar aku tak mudah terluka, agar panah dari orang tak mudah tertancap dalam. Aku belajar banyak darimu: mencintaimu yang terlalu, membuatku tak kebal peluru.

Hingga akhirnya, aku menyadari satu hal: hidupku ternyata jauh lebih baik tanpa kamu. Tangis berhari-hari untukmu kuanggap sebagai peluruh rindu. Hingga akhirnya, aku pun lupa pada doaku pada Tuhan yang terlalu itu: bertemu kamu. Kukira sudah tidak perlu lagi kamu hadir dalam hidupku. 

Aku tetap bahagia melihatmu bersamanya, tanpa syarat dan embel-embel. Hanya saja memang, setelah kamu, hidupku jauh berubah. Aku tak lagi bisa menaruh hati sembarangan, aku setakut itu untuk terluka kembali. 

Hanya saja, Tuhan memang suka bercanda, ya?

"Hei, apa kabar?" Ada suara yang bagiku sangat tidak asing. Aku mendongak. Kamu. Berdiri di depanku secara tiba-tiba. Untuk pertama kalinya, setelah kepergianmu yang tiba-tiba itu.

Pertemuan ini, sudah kuperhitungkan sebab aku melihat nama panjangmu di daftar peserta seminar yang juga kuikuti.

Aku hanya tersenyum, lalu menjawab baik dengan tersenyum lebar. Padahal, ingin sekali aku menjawab, "I'm totally fine. My life is running better without you!"

Aku tak ingin bercakap lebih lanjut. Itu saja.

"Duluan, ya!" Aku melambaikan tangan, gesture tubuhmu seolah menahan. Aku harus menyelesaikan sesuatu di tempat lain. Dan, memang, aku tak ingin terlibat apa-apa lagi denganmu, termasuk hanya menanyakan "Sedang sibuk apa sekarang?"

Bagaimanapun, aku harus berterima kasih padamu. Tanpamu, aku tidak tahu caranya mengobati luka yang begitu menyakitkan seorang diri.

Jumat, 09 Agustus 2019

Setelah Kamu



Kamu apa kabar?
Kalimat aku bahagia melihatmu bahagia masih berlaku untukmu sampai saat ini. Jangan khawatir. Aku tidak akan menarik perkataanku, dalam sedih maupun bahagia.

Aku tahu tanpa kamu cerita. Kamu sudah menemukan kebahagiaanmu, bukan? Lama. Sudah lama sekali. Terlihat lengkap sekali kebahagiaanmu. Tentu saja, tanpa ada aku di dalamnya. Tidak masalah.

Lalu, aku bagaimana?
Tentu saja bukan kamu yang bertanya atas pertanyaan itu. Aku saja yang sedang mempertanyakan diriku sendiri.

Jika mungkin kau sempat memikirkanku, kubilang, tidak perlu terlalu mencemaskanku. Aku sudah sangat andal dalam menyembunyikan segala sesuatunya, termasuk kecemasan-kecemasan yang mulai menghantuiku. Aku masih bisa terbahak di antara banyak-banyak orang. Jangan sedih.

Kegiatan sehari-hariku masih seperti biasanya. Pagi mengajar hingga sore, kadang diselingi dengan menulis dan meneliti. Lalu sore menjelang malam, aku pulang. Dan, malam-malam sepi akan berulang setiap harinya.

Setelah kamu, hampir tidak ada lagi malam-malam yang berlalu begitu cepat. Semuanya melambat dan menyepi. Aku tak lagi bisa bercerita panjang-panjang pada seseorang lainnya. Aku tak lagi punya kepercayaan diri untuk menemukan rumah. Sebab, kamu yang kukira rumah saja, ternyata hanya singgah. Ternyata aku hanya sewa dari tubuh perempuan yang memintamu pulang.

Kamu pernah memintaku jangan pergi, nyatanya kamu yang pergi. Jauh, jauh sekali.

Sudah berapa lama dari terakhir kita berbicara? Mungkin empat, mungkin lima tahun yang lalu. Apa kamu juga masih mengingatnya? Kukira tidak. Dan memang tidak perlu.

Aku tetiba saja mengingatmu. Sebab, aku sedang rindu pulang. Terakhir kali aku merasa punya rumah adalah kamu. Sedang sekarang yang kukira rumah itu ternyata milik perempuan lain.

Tenang saja, aku sama sekali tidak ada niatan untuk menjadikanmu rumahku lagi. Aku hanya sedang membenci diriku sendiri yang tidak juga percaya bahwa rumah bukan hanya utopia.

Setelah kamu, perihal hati ini memang jauh lebih rumit.

Untuk K.

Depok, 9 Agustus 2019

Rabu, 08 Agustus 2018

Review Suka-Suka: Si Doel Anak Betawi Asli, Kerjaannye Bikin Anak Orang Sakit Hati

Baiklah.

Kita mulai isi blog ini dengan hal-hal yang cukup berfaedah (lagi), setelah banyak-banyak kegalauan nirfaedah yang seharusnya sudah tidak perlu terungkapkan. Setelah banyak-banyak hari terlewati tanpa menulis karena kebanyakan kerjaan yang (diam-diam) menjauhkan diri ini dari kegiatan menulis. Macem hubunganmu sama dia, kan? Yang suka tiba-tiba menjauh tanpa alasan. #halah

Sudah cukup.

Mari mulai saja dengan review film yang semoga saja memberi pandangan lain. Film pertama yang tertonton dalam bulan ini adalah: Si Doel the Movie!

Gambar dari sini.

Seperti biasanya, buanglah ekspektasi apa pun ketika menonton atau membaca sesuatu. Resapi saja. Nikmati. Nanti penilaian akan lebih objektif, paling tidak itu menurut saya.

Film ini dibuka dengan nukilan dialog-dialog dari masa lampau, entah dari Babe Sabeni, Mak Nyak, Mandra. Dan, kutipan tersebut cukup membangunkan kenangan bagi sebagian orang yang pasti sudah hafal betul dialog-dialog dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan atau Si Doel Anak Betawi. Babe Sabeni, yang menurut saya adalah tokoh sentral dalam rangkaian sinetron ini, dihadirkan kembali melalui dialognya. Tak banyak, tapi cukup membuatnya ada.

Lalu, film berjalan dengan menampilkan Mandra dan Doel yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke Belanda. Tak terelakkan, banyolan-banyolan khas Mandra dan Atun menjadi bumbu penyedap yang sangat pas, macem mecin dalam Indomie yang takpernah gagal bikin enak.

Tidak dapat dimungkiri pula, Mandra (dan Atun) menjadi primadona dalam film ini. Celetukannya mampu membuat seisi bioskop terkekeh, tanpa terkecuali. Kisah cinta menye-menye barangkali terselamatkan oleh kedua orang ini meskipun banyak candaan yang bodyshaming, yang mungkin dulu terdengar sangat lucu, tapi sekarang BIG NO!

Namun, kisah yang sedang ditonjolkan dalam Si Doel the Movie ini adalah (tentu saja) kisah cinta segitiga antara Doel, Sarah, dan Zaenab. Kisah cinta Atun dan Mas Karyo--yang di sinetronnya menjadi cerita tersendiri--juga tidak dibahas. Terlebih kisah cinta Mandra--yang sampai 14 tahun berlalu, ia tak juga menikah, tak sempat disinggung sama sekali.

Dulu, saya ingat sekali, ketika menonton sinetronnya, saya selalu mengganti channel ketika cerita sudah mulai memperlihatkan kegalauan Doel--Sarah--Zaenab. Saya hanya suka menonton kisah-kisah tokoh sampingan yang guyonannya lucu, segar, dan sangat menghibur.

Hanya saja, ketika menonton ini, saya tidak bisa mengganti channel. Mau tak mau, saya harus juga mengikuti bagaimana kerumitan cinta segitiga yang sesungguhnya tak perlu terjadi jika Si Doel berlaku tegas. Ketidaktegasan itu lalu tergambar dalam wajah Doel-Sarah-Zaenab yang cemas sepanjang film.

Tentang Sarah yang dialognya kaku dan puitis? Banyak yang protes tentang hal ini. Tapi coba bayangkan, seorang perempuan bertemu kembali dengan laki-laki yang masih sangat dicintainya setelah terpisah (dengan tidak baik-baik) selama 14 tahun? Tidak semua perempuan bisa bersikap wajar dalam situasi seperti itu. Dalam hal ini, coba bandingkan percakapan Sarah dan Mandra atau Sarah dan Hans, yang terdengar lebih luwes.

Tentang Zaenab yang juga sangat mencintai Doel meskipun ia sangat tahu bahwa hati Doel hanya untuk Sarah? Mungkin banyak juga yang kesal, yang berpikir bahwa Zaenab bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik daripada Doel. Sementara, Zaenab tetap memilih mendampingi Doel. Terlihat menyebalkan memang, namun relasi seperti ini sangat (di)wajar(kan) terjadi: Si Doel butuh istri yang bisa ngurusin dia dan Mak Nyak, gak cinta-cinta amat ama si bini juga kagak ape-ape. Terbukti, Doel dan Zaenab hanya menikah siri. Posisi Zaenab sama sekali tidak aman. Ia bisa saja terdepak dari kehidupan Doel jika Sarah kembali dan Mak Nyak tidak ada, misalnya. Karena satu-satunya orang yang mempertahankan Zaenab ada dalam hidup Si Doel adalah Mak Nyak.

Dan, Doel, lelaki yang dulu mati-matian disekolahin sama Babe agar jadi gubernur sekali-kali, dari puluhan tahun yang lalu masih saja terjebak dalam dua perempuan. Ia bekerja menjadi teknisi lepas, yang kadang ada panggilan, kadang tidak. Selama puluhan tahun itu, ia pun tidak (mampu) membangun dan berpindah ke rumahnya sendiri--terlepas dari film ini ingin menghadirkan suasana rumah masa lalu--karena ia masih saja tinggal di rumah Babe dan Nyak-nya. Tidak ada perkembangan secara materiil yang nyata dalam diri Si Doel, kecuali handphone yang bisa buat whatsapp-an. Mungkin, film ini memang ingin menghadirkan sosok Doel yang lugu dan sederhana. Dan, keluguan itu pulalah yang sekarang bikin gemesh karena kesal, sedangkan dulu nontonnya lempeng-lempeng aja.

Dia juga masih tidak pernah tahu, hatinya untuk siapa. Antara cinta pada Sarah atau sayang pada Zaenab. Menurut saya yaa, ia sama sekali tidak pernah ada usaha untuk memperjuangkan atau minimal mempertahankan cinta. Selempeng itu ia berlaku pada Sarah, terlebih Zaenab.

Contohnya, ia tidak pernah ada usaha untuk mencari Sarah selama 14 tahun dengan alasan tidak tahu harus mencari Sarah ke mana dan tidak punya cukup uang untuk menyusul Sarah, sedangkan ia tahu, Sarah sedang mengandung anaknya ketika pergi. Meskipun, di atas hitam dan putih, ia tidak pernah menceraikan Sarah. Cem manalah enaknya digantung gitu? Lalu, ia malah nikah siri dengan Zaenab. Oh, men, bagaimana perasaan Sarah? Lalu, bagaimana perasaan Zaenab yang tetiba dituduh pelakor

Sebab, Doel semacam terjebak dalam pikiran-pikirannya yang belum terjadi. Perasaan "tidak pantas" untuk Sarah masih terus menghantuinya. Sementara Sarah tidak pernah menuntut untuk itu. Ia hanya ingin Doel ada dan hadir dalam kehidupannya, tanpa ada Zaenab. Sedangkan, ia pun tidak bisa memberikan kejelasan status pada Zaenab.

Dan, Doel tetaplah Doel, yang takpernah bisa mengambil keputusan tegas, bahkan hingga film selesai. Jadi, bersiaplah, yang kemarin sempat ribut #timsarah atau #timzaenab pasti akan langsung berpindah pada #timmandra atau #timatun karena macem tidak ada gunanya membela salah satu dari mereka karena mereka sesungguhnya menikmati terjebak dalam cinta segitiga macem itu. Lah, kok, emosi. Sabar, Mbak, sabar!

Jadi gini, hal itu sebenernya bisa dijelaskan secara logika. Cinta Sarah dan Zaenab tidak akan tetap sebesar itu tanpa ada pesaingnya. Sarah membutuhkan Zaenab agar tetap mencintai Doel dengan menggebu, begitu pula Zaenab. Ia tidak akan tetap setia pada Doel tanpa adanya Sarah. Mereka membutuhkan rival agar merasa menang, agar merasa lebih baik dari perempuan lain. Dan, perasaan itu ada pada dua perempuan itu. Barangkali, mereka bersaing sudah tidak murni lagi untuk mendapatkan Doel, tetapi lebih kepada pemenuhan self-esteem dengan cara sama-sama berlaku (sok) ikhlas agar Doel melepaskan dirinya, lalu kembali pada rivalnya. Mereka tahu kelemahan Doel yang tidak pernah bisa memilih. Jadi, mereka merasa lebih aman berlaku demikian daripada meminta Doel tetap tinggal bersamanya.

Sementara Doel? Dalam hal ini, perasaan tidak ingin kehilangan fans sudah terpupuk rapi dalam lubuk hati Doel yang paling dalam. Ia pada dasarnya tidak ingin kehilangan keduanya, tapi juga tidak ingin terlihat menginginkan keduanya. Ia akan membuat batas dalam dirinya untuk melihat siapa yang paling gigih memperjuangkannya dan ia membiarkan seleksi alam yang menyingkirkan salah satunya. Tapi itu tidak pernah terjadi sebelum luar angkasa mulai dihuni manusia.

Terkesan jahat? Oh, tidak. Cara Doel sangat halus sehingga dua perempuan cantik itu masih sangat tergila-gila padanya. Come on, tanyain gih, dia pakai susuk apa? Wk.

Well, tapi dari awal sampai akhir, sih, film ini cukup terekomendasikan untuk ditonton dan cukup menguras emosi juga, terlepas dari beberapa detail yang terlewat, misalnya tas-tas barang bawaan Bang Mandra yang pas berangkat banyak banget, eh, pas sampai Belanda tinggal koper dan kardus. Atau baju Zaenab yang tetiba ganti pas lagi duduk di oplet, padahal ga sampai 10 detik. Dan, mengenai kebudayaan Betawi yang ingin dihadirkan melalui dialog, tapi kesannya lagi baca paparan Teori Kebudayaan.

Terlepas dari itu semua, bolehlah kasih 8 out of 10 untuk film ini karena sudah bikin saya tak berasa nontonnya karena tetiba sudah selesai dan juga nangis dalam bioskop pas adegan Sarah ketemu Doel, Zaenab membayangkan Sarah ketemu Doel, dan satu lagi, ketika Doel Jr. memeluk Doel di Bandara Schiphol. Saya kalau jadi anaknya cukup sakit hati juga sih sama Doel. Tapi, yaudahlah, ya. Hubungan anak dan bapak untuk kali ini masih dimaafkan. 

Jadi, saya #timsarah atau #timzaenab? Saya #timmakanindomiepakaiboncabe ajalah yaaa ....

#SiDoelTheMovie #ReviewDoelTheMovie #Fitriview

Jumat, 22 Juni 2018

Welcome to the 27's Club

Well, selamat datang kembali!

Sudah lama tidak menulis. Sudah lama (hampir) pergi. Alasan terlalu banyak pekerjaan dan kuliah jenjang ini pasti akan selalu menjadi alasan-alasan utama atas segala ketidaksempatan terjadi. Padahal, itu hanya butuh prioritas.

Lalu, liburan sekaligus lebaran menjadi momen yang tadinya tanpa jeda menjadi terlampau banyak jeda. Lalu, kembali memikirkan hal-hal yang sempat terlupa, yang terlewatkan. Membuat mules, membuat bernapas banyak-banyak.

Dua bulan lalu, resmilah menjadi penghuni usia 27, katanya usia keramat, katanya banyak yang meninggal pada usia 27. Apa pun itu, saya masih merasa begini-begini saja.

Saya masih bahagia mendengar kabar pernikahan teman-teman saya, kabar kehamilan, dan yang paling sering adalah kabar melahirkan. Sungguh. Itu membahagiakan buat saya.

Hal-hal macem itu adalah sesuatu yang pernah saya bayangkan ketika saya berusia belasan tahun. Bahwa usia 27 tahun adalah saya yang sudah menikah dan sudah memiliki anak pertama.

Nyatanya, saya bahkan masih suka menjadi pemuja rahasia untuk seseorang. Tentu saja itu menggelikan. Apa bedanya saya sekarang dengan saya ketika SMP, yang pasti tidak akan punya nyali untuk menyukai seseorang?

Haha. Tentu saja. Saya masih saja diam. Diam-diam mendoakan keselamatan dan kebahagiannya. Jodoh tidak akan lari, bagi saya.

"Ya, tapi jodoh juga harus ditahan kali biar gak lari. Lagian mana dia tahu kalo kamu diem aja?"

Kalimat sejenis akan selalu muncul dari teman-teman terdekat saya. Sudahlah. Barangkali sudah sangat lelah berharap, mencari, tapi tak kunjung menemukan. Berkali-kali patah untuk orang yang salah membuat saya lebih tidak ingin mengejar siapa-siapa.

Abaikanlah tulisan ini. Saya sendiri merasa geli ketika seseorang yang berada pada usia 27 tahun masih menulis panjang lebar tentang perasaannya kepada seseorang yang tak juga tersampaikan. Seharusnya, makin dewasa usia, makin dewasa pula kisah percintaannya. Haha. Ternyata hal itu tidak berlaku bagi saya. Mungkin belum. Ya, belum.