Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 30 Juni 2011

Cerpen Terbaik Kompas 2010

Tak ada yang benar-benar murni di dunia ini.

Mungkin, itulah ungkapan yang sedikit tepat untuk menggambarkan dunia literasi kita. Atau mungkin takhanya di dunia literasi, teknologi, sosiologi, atau mungkin biologi. Semua hal yang ada di dunia ini hanyalah mimesis atau, mungkin, hanya kelanjutan gagasan yang pernah ada. Bahkan mungkin, menurut salah satu filsuf, semua hal di dunia ini hanyalah tiruan dari ide. Entahlah. Boleh percaya, boleh tidak. Saya tidak begitu paham mengenai dunia filsafat yang dihubungkan dengan sastra.

Yang pasti, kemarin saya membaca berita bahwa cerpen terbaik Kompas 2010 sudah ditentukan pemenangnya, yaitu “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma. Saya senang bukan kepalang. Penulis favorit saya kembali berjaya di cerpen terbaik Kompas. Saya sudah membaca cerpen itu semenjak dimuat di Kompas, sekitar 9 atau 10 bulan yang lalu. Saya takingat tepatnya. Inti ceritanya pun lupa-lupa ingat. Untuk memuaskan rasa penasaran saya, saya kembali membuka file laptop untuk membaca kembali cerpennya.—saya mengopi dari web www.cerpenkompas.wordpress.com,  Fiuh. Saya bernapas lega. Karena memang, cerpennya layak menang. Cerita yang sederhana, namun menyadarkan saya untuk tidak merasa paling benar terhadap segala sesuatu yang saya anut dan menyalahkan segala sesuatu yang tidak saya anut, termasuk kepercayaan pada Tuhan.

Namun, tiba-tiba, raut muka saya sedikit berubah, ketika membaca obrolan singkat Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, dan satu kawannya lagi (Saya takingat namanya) di sebuah jejaring sosial yang berkarakter 140. Mereka membahas cerpen SGA yang katanya mirip sekali dengan short story karya Tolstoy yang berjudul “Three Hermits”.

Daripada saya mati penasaran, saya akhirnya mencari cerpen yang mereka maksud. Untung. Pencarian cerpen Tolstoy tidak memakan banyak waktu. Singkat cerita, mau tak mau, saya membandingkan juga antara “Dodolitdodolitdodolibret” dan “Three Hermits”.

Hemm. Ada beberapa kemiripan alur. Hanya saja, cerpen SGA lebih singkat dan gaya bahasanya masih Seno. Dalam “Three Hermits”, cerita dibuka dengan pelayaran seorang Uskup (Bishop) yang pada akhirnya singgah ke sebuah pulau kecil karena cerita sang nelayan yang ikut dalam pelayarannya. Nelayan bercerita bahwa di pulau kecil itu ada tiga pertama yang hidupnya untuk keselamatan bagi jiwa mereka. Di pulau tersebut, Uskup bertemu juga dengan tiga pertapa yang dimaksud. Mereka berdoa terus menerus, tapi cara mereka berdoa sangat salah dan tidak tunduk pada aturan Tuhan. Lantas, Uskup memutuskan tinggal sementara di pulau tersebut untuk mengajari mereka cara berdoa hingga mencapai tahap benar. Setelah berhasil, Uskup kembali pulang dengan hati yang lega. Namun, tanpa disangkanya, dalam perjalanan pulang, Uskup tersebut melihat ketiga pertapa menyusul kapalnya dengan berlarian di atas laut tanpa menggunakan suatu alat pun. Mereka berteriak pada Uskup agar kembali untuk mengajari mereka cara berdoa yang benar. Sebab, mereka sudah lupa ketika berhenti sejenak saja. Uskup terdiam. Akhirnya, Uskup berkata bahwa masing-masing dari kita memiliki cara berdoa untuk mencapai Tuhan, tidak seharusnya dia mengajari para pertapa itu berdoa. “Pray for us sinners”, ucapnya terakhir kali.

Sementara itu, cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma dibuka dengan polemik dalam diri Kipli (tokoh dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”). Kipli memikirkan bagaimana mungkin seseorang dapat berjalan di atas air. Bagaimanapun seseorang yang ingin membaca doa, haruslah diucapkan dengan benar. Karena keyakinannya itu, dia mengajarkan caranya berdoa kepada siapa pun yang ditemuinya. Mengajarkan kebahagiaan, katanya. Suatu ketika, Kipli—yang sekarang berubah panggilan menjadi Guru Kipli—tiba di tepi danau. Singkat cerita, Guru Kipli tiba di pulau yang berada tepat di tengah-tengah danau tersebut. Dia bertemu dengan sembilan orang penduduk pulau tersebut takhenti-hentinya berdoa. Namun, sayang, mereka berdoa dengan cara yang salah, pikirnya. Akhirnya, Guru Kipli pun mengajari mereka cara berdoa yang benar. Setelah merasa sudah berhasil, Guru Kipli pamit dan ingin meneruskan perjalanannya. Takselang berapa lama perahunya berlayar, seseorang berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arah laut. Guru Kipli tercengang. Sembilan orang tersebut berlari-lari di atas air. Dia berpikir bahwa orang-orang itu sudah sangat benar cara berdoanya sehingga mampu melakukan hal seperti itu. Sembilan orang itu mendekati perahu Guru Kipli dan mengatakan bahwa mereka ingin diajari lagi cara berdoa yang benar sebab mereka telah lupa.

 

Diakui atau tidak, kedua cerpen ini memiliki kesamaan garis besar cerita dan susunan alur. Jika dalam “Three Hermits” ditutup dengan penyesalan Uskup, dalam “Dodolitdodolitdodolibret”, Seno tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai reaksi Guru Kipli. Saya tidak tahu harus berkomentar apa. Entahlah. Saya pun tidak tahu siapa terinspirasi siapa. Yang pasti kedua cerpen tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan mirip. Untung saja. Seno tidak serta merta hanya mengganti prolog dan ending cerita, seperti yang dilakukan oleh Dadang Arimurtono dalam cerpen “Nenek Tua dalam Rashomon” yang isinya hanya menyalin tempel dari cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryonosuke. Bahkan, cerpen tempelan ini juga termuat di Kompas pada tanggal 30 Januari 2011.

Urusan jiplak menjiplak memang terlalu sensitif untuk dibicarakan ketika menyangkut nama penulis besar, seperti Seno. Kasus seperti ini bukan yang pertama kali, saya kira. Ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka terbit, kelompok Lekra sempat ramai menyebut novel tersebut jiplakan dari novel Magdalena karya Al-Manfalutfhi, pengarang dari Mesir. Atau sajak Chairil Anwar yang “Krawang—Bekasi” juga pernah dituduh sebagai sajak jiplakan dari sajak yang berjudul “The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish. Dan pada akhirnya, sajak “Karawang—Bekasi” disebut sebagai sajak saduran oleh HB. Jassin.

Saya suka pada pemikiran positif Goenawan Mohamad. Mungkin saja Seno mengadaptasi dongeng yang sama dengan Tolstoy. Di akhir tulisannya, Seno menuliskan cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi. Aha, mungkin Seno sudah mengantisipasi kejadian seperti ini sehingga dia berdalih demikian. Oh, lupakan. Yang ini hanya pemikiran nakal saya. Jika dipikir-pikir, sesuatu yang berasal dari dongeng, otomatis menjadi sebuah tradisi lisan. Semua orang berhak menceritakannya kembali. Ya, seperti dongeng Sangkuriang, Puteri Salju, atau apa pun lainnya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk membuat varian bahkan versi dari induk cerita yang sama. Meskipun demikian, sebuah formula--bahasa mudahnya alur cerita--tetaplah sama. Mungkin, ya, sekali lagi ini masih kemungkinan saya, Seno dan Toltstoy bisa saja mengadaptasi dari dongeng yang sama. Tolstoy pun menuliskan di awal ceritanya bahwa ini berasal dari legenda tua dari daerah Volga. Ya, semoga saja benar seperti itu.

Terlepas dari plagiat, menjiplak, menyadur, atau apa pun namanya. Saya rasa, itu adalah sesuatu yang wajar. Meniru sesuatu untuk kemudian menemukan jati diri. Bahasa yang digunakan Seno tidaklah sama persis dengan yang digunakan Tolstoy. Redaksi yang dipilih masih mewakili pemikiran Seno. Selain itu, sumbangan Seno terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia takbisa dibilang remeh. Kecuali, Seno hanya menerjemahkan karya Tolstoy lalu diakuinya sebagai karyanya. Itu mungkin sedikit membuat geram pembacanya, apalagi penggemarnya.

Ah iya, plagiat atau tidak sebuah karya sastra, tergantung dari sudut pandang apa yang dipakai untuk melihat.

 

PS.

Ini link untuk melihat cerpen “Three Hermits” karya Tolstoy http://www.online-literature.com/tolstoy/2896/

Ini link untuk melihat cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/09/26/dodolitdodolitdodolibret/

Minggu, 26 Juni 2011

Tiba-Tiba Saja, Aku Ingin Menghabiskan Hujan Bulan Juni Bersamamu


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono



Sekarang bulan Juni. Hampir habis. Tiba-tiba saja aku ingin menghabiskan hujan bulan juni bersamamu. Berdua saja bersama hujan. Kapan terakhir kita bertemu? Setahun yang lalu? Sebulan yang lalu? Entahlah. Penghitung waktu di otakku sudah membeku.
Dulu, aku selalu merengek padamu agar diizinkan bermain hujan. Kamu selalu menggeleng. Nanti sakit, katamu. Aku menurut meski agak cemberut. Kamu terlalu takut air hujan membuatku menggigil lantas menyerang kekebalan tubuhku. Aku tahu itu.
Kubaca sajak itu. Mengingatkanku padamu. Pada waktu yang membawa kita terlalu cepat berlalu. Pada usia yang membuatmu dan membuatku semakin menua. Aku masih ingin bersamamu. Entah sampai kapan. Mungkin sampai aku terbawa kereta kencana ke negeri senja.
Mungkin, jika Tuhan mengizinkan, aku ingin hidup sehari saja setelah kepergianmu. Sebab, aku taksanggup berlama-lama tanpamu. Terlalu sepi hidup ini.
Aku ingin menghabiskan hujan bulan Juni kali ini bersamamu. Duduk di teras rumah sambil sesekali menyeruput teh hangat atau mulut kita kepanasan menggigit pisang goreng. Saling bercerita. Aku berceloteh, engkau mendengarkan. Menatap hujan yang jatuh. Menunggu teduh datang, atau kalau beruntung pelangi hadir di tengah-tengah kita.
Lantas, kita tertawa. Menekuri hidup yang takpernah sederhana. Aku selalu suka saat-saat seperti ini. Pantas saja, kamu begitu cemburu saat aku didekati lelaki lain. Aku tahu. Kamu takingin aku terluka. Pantas saja, kamu takpernah suka pada lelaki yang mempermainkanku. Kamu benar-benar marah ketika aku mulai jatuh cinta pada seseorang di luar sana. Yang katamu dia bukan lelaki baik-baik. Aku takpercaya, tapi benar katamu. Dia melukaiku.
Aku jatuh dan sakit karenanya. Tapi kamu hanya tersenyum, lalu membantuku bangun. Mendekapku erat. Mengusap rambutku. Semuanya akan baik-baik saja, bisikmu saat itu. Aku mengangguk lega. Terima kasih.
Ah iya, aku lupa. Aku lupa memberimu nama, seorang Ayahkah atau malaikat yang diutus Tuhan menjagaku.

Kamis, 23 Juni 2011

Kisah Kita, seperti Hujan dan Teduh

Tiba-tiba saja aku mengingatmu. Mengingat hubungan kita yang semakin lelah untuk dipertahankan. Sayang, bukankah dulu kamu pernah berjanji bahwa seberapa pun jauh jarak kita, kamu akan tetap mengirimiku cinta setiap hari. Sementara aku, aku akan selalu menghabiskan tintaku untuk menulis namamu di langit. Ingatkah kamu? Aku masih sangat mengingatnya. Entah kamu.
Ah, jarak kita takjauh sebenarnya. Hanya saja hati kita yang terlampau jauh. Aku taktahu pasti tujuan Tuhan mempertemukan kita. Seperti hujan dan teduhkah? Selalu bertemu, tapi takpernah ditakdirkan untuk bersama. Ya, mungkin. Seperti itulah kisah kita. Kita saling melengkapi. Saling bercerita. Saling berhadapan. Tapi, jalan kita bersimpangan. Takapa. Semoga saja aku bisa melupakanmu kali ini. Benar-benar melupakanmu. Sebab, bagiku. Melupakanmu itu membutuhkan keberanian. Berani untuk membuka mata tanpamu.
*Hujan selepas senja tadi mengajarkanku banyak hal, termasuk melupakanmu.

Senin, 20 Juni 2011

#Cinta Itu

Setelah beberapa hari meratapi IP dan IPK saya yang terjun bebas, saya akhirnya menyadari bahwa bukan itu satu-satunya tujuan hidup saya. Masih ada banyak hal yang harus saya kejar. Ada banyak hal yang harus saya capai.

Tadi siang, saya bertemu dengan teman sekelas saya. “Ah, hidup menjadi lebih indah dengan cinta, ya?” dia bergumam di sebelah saya. Tentu saja, saya terhenyak dan hanya mengangguk takpasti. Saya tidak tahu mengapa airmuka saya berubah. Cinta? Ah, lagi-lagi satu kata itu. Teman saya itu bercerita bahwa dia baru saja menemukan seseorang yang selama ini dia impikan. Mirip dongeng, tapi biarlah. Dia terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar. Layaknya remaja yang baru saja menemukan cinta monyetnya. Saya ikut senang. Sangat senang. Namun, kesenangan itu hanya untuk dia. Lantas, saya berpikir ulang. Cinta. Satu kata itu. Lagi-lagi memenuhi rongga dada. Membuat sesak ruang yang sudah memang sudah menyempit. Membuat mata saya berkaca-kaca.

Red heartRed heartRed heart

protect_me_from_the_rain_by_captain_x

Aku takpernah tahu rasa yang ada ini cinta atau bukan. Yang pasti, aku bahagia melihatmu bahagia. Aku bahagia membiarkanmu bahagia dengannya. Ya. Kamu tiba-tiba saja pergi. Meninggalkanku di sini. Sendiri. Dan berharap padamu agar datang suatu saat nanti. Entah kapan. Tapi, mungkin, kamu takpernah hadir kembali di tengah-tengah kebahagiaanku. Alangkah sepi halaman. Alangkah sepi ladang hatiku. Lalu, pinus-pinus di halaman pun layu. Aku pun takbisa lagi merayumu. Atau mencumbumu agar tetap bersamaku. Aku kesepian sekarang. Tanpa namamu. Tanpa kamu.

Inikah cinta? Cinta yang membiarkanmu pergi tanpa menengok lagi ke perigi. Perigi yang pernah kita lukis bersama di langit. Sumber kisah kita yang tak pernah kering, katamu. Aku hanya mengangguk senang. Ataukah inikah kisah? Kisah yang selalu saja berulang padaku. Yang takpernah berubah formula ceritanya. Layaknya tradisi lisan yang didongengkan berkali-kali. Mungkin, hanya berubah tempat dan waktu. Tokohnya aku dan kamu. Entahlah.

Aku pun takpernah mengerti. Apa yang ada di otakku. Aku bahagia bersamamu. Itu saja. Yang membuatku senang di dekatmu. Itu saja. Yang membuatku menangis ketika kamu lebih memilih dia meskipun aku rela. Kamu dan dia taksalah. Di antara kita takpernah ada komitmen. Apa pun. Hanya saja. Aku yang terlalu menikmati setiap detik bersamamu.

Red heartRed heartRed heart

“Emang kamunya yang gak membuka diri, gimana bisa dia tahu?” teman saya berceloteh tiba-tiba. Seolah tahu apa yang saya pikirkan. Saya mengangkat bahu. Sedikit setuju. Sedikit taksetuju. Selama ini, saya tidak merasa menutup diri dari orang-orang. Saya senang berteman dengan banyak orang. Saya senang berkenalan dengan banyak orang. Tapi, entahlah. Saya belum terlalu memikirkan jodoh atau apa pun yang berkaitan dengan itu.

Kembali lagi ke paragraf pertama, saya masih ingin mengejar mimpi-mimpi saya. Masih ingin mendapatkan apa pun yang saya mau. Saya tidak ingin jatuh dan terjebak pada kisah cinta picisan seperti ini. Saya tidak ingin karier saya hancur hanya gara-gara saya perempuan lemah yang jatuh cinta pada lelaki yang tidak mencintai saya. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Saya menulis ini hanya ingin menyadarkan diri saya sendiri bahwa kisah seperti ini hanya layak masuk dustbin hidup saya. Tidak untuk dikenang. Ya. Orang tua saya jauh lebih bahagia ketika melihat saya berprestasi.

Jumat, 17 Juni 2011

Confession in the Last of Fourth Semester

Oke. Pagi-pagi buta seperti ini saya sudah ingin menulis. Ada apa? Banyak hal. Tentunya masih berkaitan dengan semester ini. Yeah, semester 4 yang penuh penundaan kesuksesan.
Saya mengawali semester 4 lima bulan lalu, eh, empat bulan lalu. Diiringi dengan hati agak dongkol karena IP dan IPK semester 3 udah turun (meskipun gak terjun). Semester 4 saya banyak acara yang menyebabkan konsentrasi saya terpecah. Awal semester saya harus pergi ke Bali untuk menghadiri Rakernas IMABSII, bulan Mei ke Jogja untuk Simposium Bahasa Indonesia (yang juga diadakan oleh IMABSII), ngurusin surat-surat untuk mencari dana, ngurusin organisasi, ngurusin jadwal anak-anak privat, belum lagi ditambah kesibukan saya ngajar di salah satu bimbingan belajar yang gak kira-kira padatnya kalo ngasih jadwal. Well. Saya menikmati itu semua. Sangat. Tapi, di antara kenikmatan saya tersebut, tugas-tugas kuliah saya mulai agak berantakan, UTS dan UAS yang saya kerjakan ala kadarnya, ngumpulin tugas--meskipun tepat waktu--gak maksimal dan ngerjainnya deadline serta berantakan, dan absensi saya mulai sering. Yeah, saya menyadari itu.
Semua kesibukan yang duniawi itu membuat saya melupakan apa yang dinamakan kebutuhan rohani. Saya hampir tidak pernah lagi sholat malam, sholat 5 waktu juga mepet waktu, sholat dhuha sudah tidak khusuk, puasa Senin--Kamis kalau sempat, apalagi untuk membaca Al-Quran (hampir tidak). Percaya atau tidak, hal-hal seperti inilah yang menyeimbangkan kerja keras kita. Saya baru sadar ketika melihat IP saya yang berangka 3.51. Semua pencapaian duniawi yang saya ingin raih dengan usaha saya sendiri semuanya sia-sia tanpa ada penyeimbangan. Yah. That's true!
Saya sudah jarang berdoa pada Tuhan. Biarkan saja, Marx dan pengikutnya bilang agama adalah candu. Ketika ada masalah makhluk-makhluk yang mengaku beragama akan mengadu dan meratap-ratap pada Tuhannya. Dan itu akan sia-sia menurut mereka. Tapi bagi saya tidak. Justru saat saya sedang ada dalam lembah kenistaan seperti ini. Agak berlebihan. Hanya Tuhan yang mau mendengar keluh saya. Hanya Tuhan yang menyediakan tempat untuk saya menangis. Ya, hanya Dia. Dan kedua orang tua saya yang masih setia membesarkan hati saya. Terima kasih. Terima kasih pada Allah. Terima kasih pada dua malaikat yang membuat saya ada hingga sekarang. Terima kasih.
Sungguh. Ini pelajaran. Dulu, saya selalu berpikir bahwa hidup itu layaknya naik gunung. Arahnya selalu ke atas meskipun ada halangan dan rintangan kanan kiri. Tapi, ternyata hidup taksekadar analogi seperti itu. Hidup jauh lebih rumit dari sekadar naik gunung atau bahkan roda berputar. Ada hal-hal yang takterprediksi. Ada faktor-faktor yang takselalu bisa dijelaskan dengan nalar dan akal. Yah, itulah hidup dengan segala kemungkinannya.
Baiklah. Penataan ulang rencana hidup saya harus segera saya lakukan. Anggap saja, kemunduran ini saya perlukan agar saya bisa melompat lebih tinggi dan jauh ke depan. Saya bersyukur dengan IP saya yang terjun bebas. Dengan begitu, saya belajar mengerti untuk apa Tuhan menciptakan saya. Yang terpenting untuk saya sekarang adalah komitmen saya untuk semester depan. Komitmen saya untuk mengatur waktu dengan lebih baik. Intensitas beribadah yang banyak dan rutin. Dan cara belajar saya yang harus saya perbaiki. Semoga Tuhan dan saya mencatat komitmen ini!

PS. Saya menulis ini dengan airmata yang takberhenti menetes.
Thanks to Allah.

Sabtu, 04 Juni 2011

Masih Saja Proletar yang Harus Menangis

Beberapa hari yang lalu, teman SMP saya dikabarkan meninggal. Saya kaget. Entahlah. Padahal, ketika SMP, dia baik-baik saja. Tidak sakit-sakitan. Dia meninggal disebabkan oleh penyakit paru-paru. Ah, kasihan.

Kemarin, saya bertemu dengan teman SMP saya yang lain. Otomatis, yang menjadi pembicaraan adalah masalah teman saya yang meninggal itu. Ternyata, selepas SMK, dia bekerja menjadi buruh di pabrik sepatu, sebut saja PH. Gajinya hanya kurang lebih 800 ribu/bulan, sedangkan obat untuk paru-parunya lebih dari itu. Dia menderita penyakit paru-paru setelah bekerja di pabrik tersebut. Oh Tuhan, sebegitu tidak berharganya sebuah nyawa dibandingkan dengan produksi sepatu tanpa memperhatikan keselamatan kerja karyawannya. Bukan hanya dia saja yang menjadi korban, banyak teman-temannya yang lain yang juga menderita penyakit paru-paru karena setiap hari terkena gempuran zat kimia berbahaya yang ada dalam pabrik tersebut.

Saya hanya bisa menarik napas panjang. Lagi-lagi. Kaum buruh yang harus merasakan edannya kapitalis. Lantas siapa yang salah? Entahlah. Ini seperti memainkan permainan telur dan ayam. Tinggal dari sudut pandang mana kita berbicara. Hanya saja, saya berharap. Suatu saat nanti—entah kapan—kaum buruh mendapat haknya dengan baik. Tidak seperti ini, yang selalu dijadikan korban oleh setan yang bernama kapitalisme kontemporer. Ah, semoga.