Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 30 September 2017

Menyimpan, Mengenang-Ngenang Memori



Dulu, dulu sekali. Saya teramat suka menyimpan apa saja. Baju kesayangan yang sudah tak muat, catatan semasa sekolah, benda-benda berwarna ungu, atau apa saja yang bisa saya simpan. Saya tumpuk-tumpuk, agar kenangan tak hilang, dalih saya.

Terlebih semasa kuliah, ada seseorang yang sempat membuat saya berbahagia. Kegemaran saya menyimpan semakin menjadi karena ternyata orang-yang-sempat-membuat-saya-berbahagia pun senang menyimpan barang apa saja.

Saya mulai menyimpan tiket parkir, tiket masuk museum, bon makan berdua, tiket kereta api, buku-buku darinya, resi pengiriman barang, terlebih kartu pos-kartu pos dari dia. Saya menyimpannya rapi di dalam sebuah kotak. Saya bilang, itu kotak kenangan.

Selayaknya kenangan, kotak itu pun hanya sekumpulan masa lalu. Sebab, orang itu ternyata beranjak, tanpa pamit. Bukan, bukan tentang kepergian orang itu yang akan saya ceritakan di sini. Tapi, sebuah proses melepaskan, keberpisahan dengan benda-benda.

Setelah kepergiannya, jangan ditanya betapa hancurnya saya. Ada banyak hal yang ikut pergi, termasuk harapan-harapan yang terlalu tinggi kepadanya. Salah satu hal yang pertama kali saya lakukan adalah ikut berpisah dengan segala barang yang menghubungkan saya dengan dia.

Terlampau tampak berat pada mulanya. Namun, saya tetap harus melakukannya. Kotak-yang-saya-beri-nama-kotak-kenangan-itu akhirnya saya masukkan ke dalam trash bag, lalu meletakkannya di tempat sampah. Tanpa menengok-nengok lagi isinya apa. Termasuk, menyingkirkan benda-benda milik saya yang akan mengingatkan saya padanya, misalnya Tupperware yang sering saya gunakan untuk mengirimi ia makanan atau parfum yang selalu saya pakai ketika bertemu dengannya.

Lalu, apakah berhasil?

Saya lebih lega, lebih lapang, dan lebih merelakan.

Sejak saat itu, saya hampir tak pernah lagi menyimpan-nyimpan sesuatu--jika bukan dokumen/sesuatu yang sangat penting. Bahkan, saya sudah sangat berusaha agar sama sekali tak terikat dengan benda-benda milik saya. 

Hal tersebut ternyata lebih menyenangkan. Lebih melegakan perasaan secara psikologis. Tak perlu menumpuk-numpuk benda-benda tak penting. Satu benda baru, berarti yang lama seharusnya dihilangkan, entah dibuang atau dikasih ke orang. Awalnya saya merasa, "Duh, kalau suatu saat perlu bagaimana?" Tapi, setelah saya coba jalani, ternyata benda-benda yang telah saya buang benar-benar terlupakan. Seringkali saya tak ingat lagi, pernah punya ini, pernah punya itu. Lalu, saya berpikir, bahwa sesungguhnya, saya tak benar-benar membutuhkan benda-benda yang saya tumpuk-tumpuk itu--meski banyak memori di dalamnya, misalnya.

Begitu, bukankah, seharusnya hidup? Tak perlu terlalu terikat dengan sesuatu atau seseorang. Biar segalanya lebih mudah. Lebih mudah berkemas, lebih mudah berpindah. Biar tak sakit terlalu lama, biar lukanya cepat terobati. Dan, benda-benda atau orang-orang yang (di)hilang(kan) akan diganti dengan hal-hal yang jauh lebih baik, bukan?

Jadi, tak perlu risau pada apa-apa yang seharusnya perlu dibuang atau perlu dipaksa berpisah jika memang sudah tak layak dipertahankan. Ada hal-hal baru yang sedang menunggu, yang saya percaya sepenuhnya bahwa pengganti sesuatu yang hilang akan jauh lebih baik, pun itu berlaku untuk seseorang yang pergi.

Kamis, 16 Februari 2017

Dear You,


Malam ini aku bercerita panjang lebar dengan seseorang di luar sana. Tentang kemalangannya yang ditinggal pergi begitu saja oleh seorang perempuan--yang ternyata juga teman baikku. Aku tertawa-tawa saja mendengar kisahnya yang bagiku semacam cerita bocah kecil yang belum tahu bagaimana menghadapi seorang perempuan metropolitan. Sementara, pada sore harinya, aku juga mendengar cerita yang sama dari versi sang perempuan. Perempuan itu hanya menganggap bocah lelaki yang baru saja bercerita padaku itu seorang teman, cukup teman berbagi yang menyenangkan di awal, tetapi membosankan selanjutnya. Tak ada beda, aku juga hanya tertawa-tawa mendengar kisah-kisah semacam itu.

Pada akhirnya, mereka tidak lagi melanjutkan percakapan. Barangkali karena lelakinya terlalu bocah atau perempuannya terlalu banyak pilihan. Lantas, sekarang, lelaki itu masih saja menjadi bocah yang mencari perhatian di sana-sini, sedangkan perempuan itu sudah menemukan lelakinya dari belahan dunia lain dan barangkali mereka akan hidup bahagia selamanya.

Lalu, hubungannya denganku? Aku hanya bisa tertawa kali ini. Mengingat segala yang pernah kita lewatkan. Tentangmu yang tetiba datang mengetuk pintu berkali-kali. Dan, aku yang dengan mudah membukakannya. Ternyata kamu tak pernah benar-benar ingin tinggal. Sebab di luar hujan deras, kamu hanya ingin mencari tempat singgah yang lebih nyaman daripada sekadar teras warung burjo.

Begitulah. Barangkali, kisah dua orang tersebut hampir sama seperti kisah kita. Hanya saja, aku yang sedang berada dalam posisi lelaki itu. Aku yang malam ini bernasihat panjang lebar agar lelaki itu tak lagi terjerembab dalam harapan-harapan palsu, sesungguhnya, sedang menasihati diriku sendiri. Dan, aku yang sedang menertawakan kisah mereka, sesungguhnya pun sedang menertawakan diriku sendiri--yang pada beberapa waktu lalu menaruh harapan terlalu tinggi padamu.

Pada dasarnya, aku sama sekali tak masalah, ketika kamu harus mengatakan bahwa kamu hanya menganggapku teman. Tak ada masalah sebab tak selamanya rindu harus berbalas rindu. Dan, perasaan ini sungguh tak ada hubungannya denganmu. Aku sudah terbiasa mengatasinya sendiri. Pergilah sesukamu, tak perlu lagi berkunjung jika tak benar-benar ingin tinggal!