Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 01 Desember 2014

Betapa saya diam-diam menunggu kepulanganmu

Betapa saya diam-diam merindukanmu. Semacam perempuan remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Masih merona ketika taksengaja seseorang di luar sana menyebut namamu. Masih memerah pipi saya ketika taksengaja bercerita banyak tentangmu. Atau masih berbinar ketika taksengaja mengingat segala tentangmu. Kamu boleh bilang saya bodoh atau apa pun. Saya cukup menyebutnya ini rindu.

Betapa saya diam-diam membanding-bandingkanmu dengan beberapa lelaki yang tetiba datang. Semacam tidak adil memang. Tapi, nyatanya, semua kebaikan masih tentang kamu. Kamu boleh takpercaya, pada akhirnya saya pelan-pelan mundur, lalu diam-diam mengingatmu. Tentang kita. Tentang pembicaraan kita pada malam-malam panjang yang takkan pernah terganti itu. Tentang hari-hari pada kalender yang menjadi lebih lambat pada Desember tahun lalu.

Betapa saya diam-diam mengutuk Desember yang datang terlampau cepat. Semacam mengingatkan saya pada banyak hal. Pada titik segala sesuatu hampir dimulai. Nyatanya belum ke mana-mana. Dan, hujan pada Desember tahun ini barangkali hanya menyisakan harapan yang masih terus bertumbuh entah dengan penopang apa. Takapa. Selama masih ada harapan, saya masih percaya keajaiban itu selalu ada.

Betapa saya diam-diam mengambil jarak. Sejenak pergi dari kota ini menuju kota-kota lain. Berharap menemukan rumah, selain kotamu dan kamu. Hanya saja, kali ini saya memang harus menertawakan diri saya sendiri. Semacam sia-sia ketika tubuh harus pergi, sedangkan hati tetap tinggal. Dan, di kota-kota yang saya singgahi itu selalu ada banyak hal yang menghubungkan saya dengan kamu. Sesempit itu, kah, dunia ini? Entahlah.

Betapa saya diam-diam mengaminkan segala doa yang baik. Barangkali memang benar, tidak perlu mencari-cari alasan untuk berkemas jika memang itu tidak pernah ada. Dan, pada akhirnya saya pun setuju. Sebab, sampai sekarang, saya tidak pernah menemukan alasan mengapa saya harus berkemas dari kamu. Hanya saja, sekarang saya tahu bahwa saya harus membiarkan kamu melewati jalanmu sendiri. Sebab, tidak semua jalan bisa terlewati berdua, bukan?

Betapa saya pun diam-diam berdoa agar kamu taklupa jalan pulang. Dan, tahu bahwa di sini masih ada rumah yang pintunya selalu terbuka lebar menunggu kepulanganmu.