Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 09 Desember 2013

aku mencintaimu

waktu memang terlalu cepat membawa kita pada hal lain. termasuk jatuh cinta. siapa sangka. aku bisa jatuh cinta padamu. setelah waktu-waktu yang lalu. yang takpernah ada kata kita. siapa sangka. pada akhirnya kita mengayuh sepeda bersama. menuju ujung jalan itu. melipat jarak. menyimpan rindu. atau bahkan merayu waktu. siapa sangka. pada akhirnya tuhan mempertemukan kita dengan cara yang takpernah dibayangkan. lalu, perasaan ini mengalir begitu saja. sebab, aku percaya, kamu akan datang tepat waktu. tidak terlambat. tidak tergesa-gesa.

begitulah. aku mengingatmu banyak-banyak. bukan sekadar mengingat. merindu lebih tepatnya. terlebih pada sore manis yang gerimis. setelah aku berjeda dengan banyak hal yang seringkali kaubilang sibuk itu. dan berkali aku bilang bahwa aku taksibuk. aku hanya mengisi waktu di antara jarak ratusan kilometer ini. menunggu pertemuan selanjutnya. percaya saja. toh, itu kenyataannya.

Pada Sore yang Takmanis

Sudah terlalu lama saya berdiam di kamar. Hanya menekuni satu per satu huruf dalam jurnal. Membuat reviewnya. Begitu seterusnya hingga akhirnya saya sadar. Ada banyak sarang laba-laba di ruang ini. Berdebu. Membuat ngilu.
Akhir-akhir ini, frekuensi menulis saya sungguh buruk. Saya hampir saja tidak menulis. Bahkan, sesingkat kicauan di jejaring sosial pun tidak. Rasanya saya sedang berada di antah. Yang terlalu sibuk dengan sesuatu yang entah apa.
Iya. Kuliah baru saya benar-benar menyita waktu saya. Membuat onar tatanan hidup saya--yang dulu hanya berisi senang-senang dan hura-hura. Jangan ditanya sekarang saya sedang apa. Ini pun saya sedang mencuri-curi waktu. Sekadar membersihkan debu dan jaring laba-laba di ruang ini. Pada sore gerimis yang sebentar lagi senja. Yang akan jauh lebih manis jika tanpa kejaran tenggat waktu. Tidak seperti sore ini yang sama sekali takmanis.
Ini pekan menjelang uas. Tidak terasa hampir sesemester saya sudah berada di jenjang ini. Tentu saja. Ada banyak hal yang berubah. Ada jadwal yang bernegosiasi dengan banyak hal. Ada banyak mimpi baru yang terus bertumbuh. Semoga tidak layu begitu saja seperti jenjang yang lalu.
Sudah. Sudah. Mari menulis yang lain. Agar sore yang takmanis ini bisa ditambah rempah. Biar tetap bisa ternikmati.

Kamis, 24 Oktober 2013

Untuk Kamu. Terima kasih.

"Seberapa lama kamu bisa berpindah?" aku menatap matamu lekat. Ada luka di sana. Entah dari siapa. Mungkin dari aku.
Hening.
"Iya. Berpindah hati." aku kembali menegaskan. Kamu masih bergeming. Masih menatapku. Aku salah tingkah. Pertemuan tak sengaja kali ini membawa kita pada percakapan tentang hal yang sama. Sudah lebih dari satu tahun. Tapi, masih saja tentang aku. Terlalu absurd memang kebetulan yang dicipta.
"Selama lamanya," kamu menjawab singkat. Giliran aku yang terdiam.
"Apa lagi yang kamu harapkan dari aku?"
"Selama harapan itu masih ada, tak ada salahnya aku berharap," kamu memainkan sedotan dalam minumanmu. Aku menghela napas. Tak tahu apa yang harus kukatakan padamu.
Selalu.
"Ada banyak perempuan di luar sana yang sedang menunggumu," aku mencoba mengalihkan perhatianmu. Kamu menggeleng.
"Cuma kamu,"
"Tapi, hidupku takhanya tentang kamu,"
"Bukan urusanku. Aku mencintaimu. Itu saja,"
"Aku sudah memilih yang lain," kataku hambar.
"Lantas?"
"Seharusnya kamu juga memilih yang lain saja," nada suaraku mulai sedikit kacau. Kamu menggeleng lagi. Aku semakin bersalah. Ah, bukankah hidup, terlebih cinta, memang hanya soal pilihan? Apa salahnya aku memilih orang lain, sedangkan kamu tetap memilihku?
Terlalu egois kelihatannya. Tapi, siapa yang tahu isi hati. Aku tak mungkin memaksakan perasaan, sementara perasaan dengan pasti memilih jalannya sendiri.
Lalu, di antara kita hanya ada sekat yang takterlihat. Yang membuat kaku setiap kali bertemu. Yang membuat lidah terlalu kelu.
"Terima kasih sudah mencintaiku," ucapku singkat, lalu berlalu dari hadapanmu.
Entahlah. Aku pun taktahu apa yang sedang kamu pikirkan setelah ini. Yang pasti, ada yang mengganjal di pelupuk mataku.

Rabu, 18 September 2013

Dari Baju Kebesaran Sang Raja Hingga Vickinisasi

Seorang Raja sedang kebingungan mencari penjahit untuk baju kebesarannya. Banyak penjahit yang telah datang, tetapi tidak ada yang pas dengan selera Raja. Sampai, suatu ketika, datanglah dua orang. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah penjahit paling terkenal di negeri seberang. Mereka akan membuatkan baju kebesaran yang sangat istimewa untuk Sang Raja. Raja merasa hebat. Sebab, hanya orang pintar saja yang bisa melihat baju kebesarannya. Raja semakin senang.
Waktu  berjalan,  baju kebesaran telah siap. Raja becermin. Meskipun pada dasarnya Raja tidak melihat apa pun yang menempel di tubuhnya, Raja diam dan hanya mengangguk-angguk. "Iya. Iya. Bagus." komentarnya. Ya. Katanya hanya orang pintar yang bisa melihat rupa baju kebesaran itu. Para menteri pun hampir sama komentarnya. Tidak ada satu pun orang yang ingin terlihat bodoh dengan mengatakan bahwa dirinya tidak melihat apa pun.
Sampailah pada hari yang ditunggu. Raja ingin berkeliling wilayah kerajaannya dengan memakai baju kebesarannya itu. Rakyat menyambut gembira. Semua rakyat mengangguk-angguk dan (seolah) terkagum-kagum dengan kemewahan baju Sang Raja itu. Padahal, tak ada apa pun yang sedang menempel di tubuh Sang Raja. Sebab takada satu orang pun yang ingin terlihat bodoh.
"Raja telanjang! Raja telanjang!" seorang anak kecil yang taktahu apa pun berteriak lantang. Kasak-kusuk mulai terjadi. Kerumunan mulai riuh. Raja mulai panik. Lalu, satu per satu orang mengiyakan teriakan anak kecil itu. Diam-diam menertawakan Sang Raja. Tapi, lupa menertawakan dirinya sendiri. 

Baiklah. Mungkin itu cerita sederhana. Tentang baju kebesaran Sang Raja. Namun, paling tidak, bagi saya cukup lucu dan miris. Orang-orang dalam cerita itu menutupi hal yang sebenarnya hanya karena ingin terlihat pintar. Cerita itu mungkin hanya dongeng, tapi menggelitik. Sekarang pun sebenarnya banyak yang melakukan hal yang sama. Membuat diri seolah-olah pintar dengan melakukan berbagai cara. Apa pun. Termasuk berbicara yang sebenarnya entah apa, tapi terlihat keren karena menggunakan bahasa "tingkat tinggi". Iya. Saya memang sedang berbicara tentang fenomena yang baru saja terjadi. Tentang seorang yang bernama Vicky Prasetyo. Yang tetiba menjadi bahan tertawaan semua orang karena bahasa yang digunakannya entah bahasa mana. Yang mungkin hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Lalu, semua orang--yang merasa bahasanya lebih baik dari dia--berbondong menertawakannya. Mungkin, saya juga termasuk orang yang menertawakannya.

Kemudian muncul banyak parodi yang mengejek Vicky. Dari istilah Vickinisasi hingga Kamus Bahasa Vicky. Lucu saja. Vicky hanya salah satu korban yang kebetulan terekspos ke publik. Padahal, masih banyak orang lain yang serupa Vicky. Yang jika berbicara selalu dalam tataran tidak dimengerti. Yang jika menulis berprinsip semakin tidak dimengerti, maka semakin terlihat hebat. Yang banyak nama besar selalu disebut dalam setiap helaan napasnya. Yang selalu mengutip kutipan-kutipan dari tokoh besar, yang sebenarnya tidak pernah dipahami maknanya. Yang selalu menyelipkan bahasa-bahasa asing yang sebenarnya tidak pernah diketahui terjemahannya. Lalu, dengan bahasa tingkat tinggi itu mereka bisa menyebut dirinya orang pintar. Lalu, banyak orang hanya bisa terdiam jika berhadapan dengan orang yang seperti itu.

Pada kenyataannya, itu tidak terjadi di kalangan penyanyi dangdut saja yang dengan mudah terkagum-kagum dengan buaian diksi Vicky. Sebut saja di kalangan akademisi. Sebut saja dosen yang mengajar. Sebut saja teman sekelas yang terlihat pintar. Seringkali mereka berbicara tanpa bisa dimengerti. Hanya karena mereka berasal dari kalangan akademisi, maka yang mendengar pun cukup dibuat percaya. Ada banyak titel di depan dan di belakang namanya. Lalu, mau protes atau bertanya tentang maksudnya? Mungkin, orang di sebelah akan menganggap bodoh. Daripada harus menghadapi hal yang seperti itu, lebih baik diam. Mengangguk-angguk. Seolah mengerti. Padahal, takada satu pun hal yang masuk ke dalam memori. Takada beda dengan orang-orang dalam cerita Sang Raja tersebut, bukan?

Setiap orang memang membutuhkan imajinasi. Mungkin, salah satu imajinasi yang menyenangkan adalah terlihat pintar. Maka, setiap orang mengandai-andaikan dirinya adalah orang yang sangat pintar. Semacam terjebak fantasi. Sebab setiap orang menggunakan bahasa yang tidak dapat dimengerti untuk memenuhi kebutuhan imajinasinya. Ah, mungkin tulisan ini juga salah satu pemenuhan imajinasi saya. Agar saya terlihat mengikuti perkembangan masa. Agar terlihat takketinggalan zaman. Tapi, percayalah, sampai saat ini saya masih percaya bahwa orang yang benar-benar mengerti akan menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang sangat sederhana. Yang setiap orang dapat dengan mudah memahaminya.

Ini lucu, bukan? 

Selasa, 27 Agustus 2013

Pasca-apa pun

Kurang dari tiga hari saya wisuda. Lalu, kurang dari lima hari saya mulai kuliah kembali. Jenjang yang berbeda tentunya. Saya bingung harus memulai cerita dari mana. Yang pasti, saya tidak merasa lulus. Bagaimana bisa merasa lulus jika dua hari setelah wisuda harus sudah kuliah seperti biasanya. Saya hanya ingin bersyukur. Itu saja. Paling tidak, saya ada alasan untuk tidak berbondong-bondong mencari pekerjaan. Ada penundaan. Entah sampai kapan.

Selasa, 13 Agustus 2013

Yang Seharusnya Ditinggalkan

Gambar diambil dari sini.


"Kamu?" Aku tertegun. Saat melihat tubuh yang dulu begitu kukenal sedang berdiri di depan pintu. Tersenyum. Lalu, semuanya tiba-tiba menguap. Dan, selalu saja begitu. Setiap kali matanya menatap lekat.
"Selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan batin, ya!" dia berkata perlahan. Aku hanya mengangguk dan hanya terucap 'sama-sama'. Entahlah. Sudah berapa lama. Aku taklagi mengucap selamat Natal padanya. Sedang mencoba melupa. Dan, mungkin memang sudah terlupa. Meski sesekali masih terkenang.
"Silakan masuk," aku mempersilakannya dengan sedikit kikuk. Lalu, kami sudah berada di kursi masing-masing. Ujung dan ujung. Seolah tanpa pernah bersinggungan. Padahal, dulu. Ah, Sudahlah.
"Kamu apa kabar?" dia membuka hening yang sedang terjadi.
"Baik. Semoga kamu juga baik-baik saja," jawabku sekenanya. Aku takbermaksud menanyakan apa pun tentangnya.
"Begitulah. Aku juga baik. Sebaik aku mengingatmu," dia berkata tanpa perasaan. Aku semakin kikuk.
"Aku ingin mencoba opor ayam dan ketupat buatanmu," dia memecah hening kembali. Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Aku tahu dia sangat tahu bahwa aku takpernah dan takbisa memasak, terlebih opor ayam. Terlalu rumit. Lalu, dia hanya tertawa. Tawanya masih sama. Renyah dan menghangatkan. Aku pun ikut tertawa. Sekadar membiarkan resah menyerah pada gelisah.
Sudah sangat lama. Aku takmelihat matanya. Sejak dia pergi setelah segala sesuatunya (harus) berakhir. Sudah pernah kubilang, setiap kali Natal, aku selalu mengingatnya. Dengan sangat. Sekadar mengingatnya. Dulu, ada rindu yang diam-diam melekat, lalu tertiupkan pada angin agar tersampaikan padanya. Sekarang tidak lagi. Aku hanya mengingatnya. Mungkin, setiap Lebaran seperti kali ini dia juga selalu mengingatku. Tapi, aku takpernah tahu, adakah rindu yang tertitipkan pada udara atau tidak.
Entahlah. Menjadi manusia terkadang terlalu rumit terikat pada nama. Pada aturan-aturan yang entah bagaimana harus terpatuhi. Pada segala hal yang entah bagaimana telah menjadi ritual pemujaan.
"Masih lama di rumah?" Aku mengangguk. Lalu, menyebut sebuah tanggal rencana kepergianku ke kota yang katanya metropolitan itu. Dia mengangguk-angguk.
"Kalau kamu takkeberatan, kamu bisa datang di acara pernikahanku. Tepat seminggu setelah hari ini," masih dengan gayanya yang santai, dia berkata seperti itu. Tentu saja, aku terkejut. Dulu. Kami selalu merencanakan masa depan bersama. Meski aku tahu, takpernah ada kata 'kita' di dalam masa depan kami masing-masing. Dia orang yang ambisius pada karier, kukira.
"Kenapa secepat ini?" aku takkuasa menahan pertanyaan itu.
"Setiap orang akan berubah, termasuk mimpi. Mimpiku taklagi jabatan tinggi,"
Aku tercekat. Rasanya aku ingin mendengarnya cerita banyak-banyak seperti dulu. Tapi, bukan itu.
"Selamat! Semoga kamu bahagia. Aku akan datang," janjiku padanya.
"Terima kasih. Aku tahu, kamu masih bersetia dengan mimpi-mimpimu itu. Semoga kamu juga bahagia,"
Aku mengangguk.
Lalu, perbincangan taklagi lama. Dia harus pergi (lagi). Ada bening yang menggumpal di pelupuk setelah melihat mobilnya menjauh ditelan sudut pandang. Entahlah. Bahagia atau sedih. Aku sama sekali takbisa mendefinisikannya.
Akhirnya, cerita pun berubah. Dan, pertanyaanku terjawab. Takada rindu yang diam-diam tercekat. Yang ingin dia sampaikan lewat udara. Untukku. Mungkin hanya kenangan, yang membawanya kemari. Menemui seseorang yang pernah ada dalam hidupnya. Dulu.
Ah, masa lalu. Selalu saja hanya untuk dikenang. Bukan untuk ditinggali, tapi sebaliknya.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Pindah Hati

Dulu, saya bersetia menggunakan sampo merek A. Bertahun-tahun. Mungkin sejak saya tidak lagi menggunakan sampo bayi. Tapi, entah karena sesuatu hal yang saya lupa. Saya pun berpindah merek sampo B. Itu empat tahun yang lalu. Semenjak saya berkuliah. Lalu, membeli segala keperluan sendiri. Dan, ada beberapa hal yang berubah memang, termasuk merek sampo. Kemarin saya pulang. Keramas. Ternyata, sampo di rumah masih bermerek A. Saya pun memakainya tanpa rasa apa pun. Sempat beberapa kali keramas, rambut saya mulai ada perubahan. Terasa agak kasar. Dan kemerahan.

Iya. Sampo merek A taklagi cocok untuk rambut saya. Meski saya sudah menggunakannya bertahun-tahun. Rambut saya pun tahu, sudah berpindah pada sampo merek B.

Begitulah.

Semacam hati. Perpindahannya kadang takbisa kembali. Tempat yang baru mungkin taksemewah yang lama, tetapi jauh lebih nyaman. Lalu, apa yang dicari lagi? Mungkin, hati sudah berdiam di tempat yang lama dalam waktu yang taksebentar, tapi itu bukan jaminan bahwa hati bisa kembali ke tempat itu kapan pun. Tidak. Hati akan menemukan rumahnya. Dalam bentuk apa pun. Takperlu risau pada tempat yang taklagi cocok. Percayalah. Setiap hati telah memiliki rumah. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk berpindah.

Kamis, 01 Agustus 2013

Firasat

Ada kalanya memang. Alam memberi tahu segala hal yang (mungkin) akan terjadi dengan caranya. Saya percaya. Semesta itu semacam tautan. Hal yang satu akan menghubungkan dengan hal lainnya. Meski kelihatannya takada sangkut pautnya. Semacam cerita bersambung yang takpernah diketahui ujungnya, tapi pasti berujung. Begitulah. Alam bekerja.

Lalu, memang takada yang kebetulan dan keberuntungan dalam hidup. Kebetulan dan keberuntungan hanya alibi orang-orang yang takingin kerjanya diketahui orang lain. Yang ingin menyimpannya. Sambil mengucap syukur pada Tuhan. Dalam-dalam.

Kemarin lusa dan kemarinnya lagi. Saya bermimpi. Entahlah. Saya tidak bisa mendefinisikan mimpi saya tersebut dengan rinci. Satunya, saya bermimpi bertemu dengan orang yang ingin saya temui. Sudah lama, saya ingin berbincang dengannya. Bertanya segala sesuatu tentang (salah) saya yang mungkin mengganjal hidupnya atau kisah cintanya. Dalam mimpi itu, dia datang ke rumah saya. Bersikap manis. Dan, saya pun senang berbicara panjang lebar dengannya. Entah. Apa yang kami bicarakan.

Mimpi selanjutnya, saya menikah. Memakai kebaya putih. Memakai jilbab putih. Wajah saya pucat. Jilbab putih saya takselesai dipasang. Masih ada juntai panjang yang mengatung. Lalu, perias saya pergi begitu saja. Saya ditinggal sendirian di depan cermin.

Bangun dari kedua mimpi tersebut, saya tergeragap. Ada bulir yang mengalir. Ada detak yang takbiasa. Entahlah. Padahal, saya tipe orang yang takterlalu percaya pada mimpi. Namun, terbangun dengan mimpi aneh dua hari berturut-turut membuat saya merasa ada yang salah.

Kemarin. Saya harus ke rumah sakit untuk memeriksakan sakit saya yang sudah hampir seminggu. Telinga saya berdengung. Tidak ada yang mengantar. Jadilah, saya pergi sendirian. Menaiki motor, padahal sudah sangat lama saya tidak mengendarai motor. Saya hanya berpikir, ini bulan baik. Tidak apa-apa. Kalaupun mimpi saya itu berdampak buruk pada saya, toh, semuanya juga akan kembali. Cepat atau lambat.

Perjalanan berangkat saya baik-baik saja. Pulang juga demikian. Sampailah tepat di depan rumah. Saya membelokkan motor saya. Entahlah. Apa yang sedang terjadi. Tetiba saja saya sudah terguling. Tertindih motor saya. Tidak berdampak terlalu buruk memang. Hanya lecet sedikit di lutut dan tangan saya. Nyeri. Lebam. Juga dalam porsi sedikit.

Lalu, saya mengurai kembali. Firasat kadang memang takpernah berbohong. Manusia saja yang sudah telanjur sombong sering mengabaikannya. Entah. Saya mengutip di mana kalimat itu. Ataukah peristiwa jatuh saya juga merupakan firasat untuk sesuatu hal yang lain. Mungkin. Sekarang, saya sedang mencoba membaca lebih. Membaca pertanda. Semoga semuanya terasa baik-baik saja.

Minggu, 28 Juli 2013

Puisi yang Terterjemahkan

Entahlah. Saya lupa tepatnya. Mungkin 15 atau 16 Juli 2013 kemarin, saya diminta tolong oleh salah satu dosen favorit saya, Mas Iben, untuk membaca puisinya dalam bahasa Jawa Timur-an. Mas Iben pada hari itu sedang meluncurkan tujuh buku terbarunya. Ini pengalaman pertama saya! Iya. Baru kali ini saya membaca puisi di depan umum. Paling-paling, biasanya, saya hanya bisa membaca puisi di soundcloud.com. Itu pun tanpa ada orang yang tahu. Haha.

Mas Iben memberi saya lima sajak yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Timur-an. Saya kelabakan. Proses menerjemahkan ternyata taksemudah ngobrol ringan sehari-hari. Alhasil, terjemahan saya itu adalah proses diskusi panjang dengan Mama saya. Siapa lagi yang bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini. Ya. Meskipun ada beberapa kata dan kalimat yang Mama saya pun kebingungan harus menggantinya dengan apa. Mama saya masih saklek. Sementara saya meyakinkan Mama saya bahwa terjemahan itu seperti perempuan, yang cantik itu biasanya tidak setia. Itu kalimat yang saya ingat dari Mas Iben. Dulu. Semester satu atau dua.

Meskipun pada akhirnya, saya hanya membaca satu sajak. Saya cukup senang. Sebab saya telah berproses. Mengingat kembali bahasa Jawa Timur-an yang agak susah saya terapkan kepada teman-teman saya yang rerata orang Jawa Tengah. Satu hal lagi, sajak-sajak Mas Iben yang diserahkan kepada saya termasuk sajak-sajak manis. Sajak-sajak yang merdu dibaca sendiri, bukan untuk ditertawakan. Tapi, saya tidak berhasil mempertahankan suasana itu. Entah karena saya kurang cakap, atau memang bahasa Jawa Timur yang selalu bikin ngakak. Satu sajak favorit saya, saya kutip di bawah ini. Semoga Mas Iben berkenan.



Menjelang Petang

menjelang petang
katene surup
tak juga engkau datang
koen gak teko-teko
sementara aku menunggu
saksuwene aku ngenteni
hanya berkawan waktu
mek dikancani wayah surup

malam bukan milik kita
bengi duduk we’e awake dewe
temaram pun tidak
remeng-remeng ae yo ogak
sebab hanya kata-kata
soale mek ukoro thok
di layar; tercetak
nang geber; gambare ketok
tapi hingga senyap
tapine sampek sepi nyenyep
hanya tinggal harap
mek gari pengarep-arep
: adakah karena pulsa
opo mergo pulsa
  atau memang alpa?
utawa ancene ngamplah?
  
Yang pernah nonton acara TV Jawa Timur, "Pojok Kampung", pasti sedang tersenyum. Membayangkan bahwa ada bahasa yang sedang dicoba untuk dialihkan. Kepada hal-hal yang takpernah terkatakan. Kepada hal-hal yang melebihi segala yang terkatakan.

Selasa, 09 Juli 2013

Kuliah yang (seolah) Selesai. Selamat!

Pada akhirnya, saya pun lulus. Tanggal 9 Juli 2013 saya sidang skripsi. Sidang penghabisan yang--oh ya udah gini doang--yang rasanya taksemewah dan takselega yang saya bayangkan. Skripsi saya membahas pesan-pesan ideologis liberalisme yang ada di dalam Twitter akun @Ulil. Analisis Wacana Kritis. Atau bahasa kerennya Critical Discourse Analysis.

Sudahlah. Takusah ditanyakan bagaimana rasanya sidang. Antara gemes dan dingin. Tentu saja, di dalam sidang itu, kesalahan skripsi saya seolah sangat amat banyak sekali. Kesalahan ejaan dipermasalahkan sampai rinci. Kekurangan definisi dalam tinjauan pustaka seolah menjadi hal utama yang sangat fatal. Kata pengantar yang hanya setengah halaman itu juga menjadi masalah. Katanya saya tidak intelek membuat kata pengantar seperti itu. Lalu, pembahasan saya? Hampir tidak tersentuh. Entahlah. Saya harus lega atau tidak ketika pembahasan saya taktersentuh.

Tentu saja dingin. Saya juga terbawa suasana bahwa skripsi saya amatlah buruk. Tidak sistematis. Dan, banyak lagi. Sudahlah. Yang penting selesai. Sebab skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai. Empat tahun saya ditentukan satu jam kemarin itu.

Sekarang, di belakang nama saya (harusnya) sudah terpasang gelar. Yang sampai saat ini, saya tidak tahu menahu buat apa gelar itu. Selesai sidang. Saya semakin bingung. Apa yang akan saya lakukan setelah ini? Menambah jumlah pengangguran di negeri ini. Haha. Miris.

Kuliah saya memang selesai. Kelihatannya. Tapi, hidup baru akan dimulai. Ada banyak hal di luar sana yang sampai sekarang saya belum tahu. Ada banyak pertanyaan setelah ini. Yang entah bisa saya jawab atau tidak. Yang sangat mungkin pertanyaannya jauh lebih sulit daripada pertanyaan penguji di dalam sidang skripsi.

Mimpi-mimpi di awal kuliah yang terlampau muluk juga perlahan-lahan jatuh. Semacam layang-layang yang putus. Jalan yang dulu yakin saya tempuh, juga sedang menemui persimpangannya. Lalu, saya harus memilih lagi. Terus memilih. Bagi saya, membuat pilihan itu sangat mudah. Yang takmudah adalah setia pada pilihan itu. Lalu, segala sesuatunya sekarang sedang berada di persimpangan. Tinggal saya memilih lurus, belok kanan, belok kiri, atau kembali. Saya yakin. Pilihan saya setelah ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan saya kelak. Dan, sekarang, saya sedang memilih untuk diam di tempat sampai beberapa saat. Sampai waktu yang pas, saya akan memilih. Mau melanjutkan hidup seperti apa.

Selamat! Sudah lulus. Lalu, kehidupan (seolah) selesai. Padahal, baru akan dimulai.

Sekarang, saya masih memikirkan. Tumpukan skripsi hasil revisi yang jumlahnya hampir dua rim kertas dari pembimbing dan penguji ini mau diapakan. Silakan mengambilnya di rumah saya jika berminat!

Sabtu, 29 Juni 2013

Sore

Mari, kita bertemu di antara barat dan timur dari angin. Kita berbincang. Tertawa. Menangis. Bersama. Seolah teman lama yang bertemu kembali. Aku menyeduh teh. Dan, kita menyesapnya sedikit demi sedikit. Sembari menunggu senja yang sebentar lagi datang. Ada pisang goreng yang mengepul. Yang hari ini khusus kubuat untukmu. Kamu boleh mencicipinya tentu saja. Takusah ragu. Aku takmemasukkan apa pun ke dalamnya.

Mari, mari kita berbincang sewajarnya. Seolah kita takpernah kehabisan cerita. Atau seolah kita sudah mengenal lama sebelumnya. Mari, kita bicara. Seirama dengan ritme angin di belakang kita. Rasakan aroma tanah yang semalam terbasahi hujan. Hei, bukankah kau juga suka hujan? Aku hanya menebak sebab aku suka hujan.

Mari, mari kita tertawa. Bersama. Menertawakan segala hal yang mungkin menurutmu konyol. Ha-ha. Bukankah tawa adalah kegetiran yang menumpuk? Semoga. Semoga kamu setuju.

Mari, mari kita pulang. Sesudah menangis puas. Pulang ke rumah masing-masing. Semoga. Semoga kamu taklupa jalan pulang.

Kamis, 27 Juni 2013

Juni Hampir Habis

Dan, bulan Juni pun hampir habis. Lalu semua pelan-pelan terkikis.
Apa kabar, kamu? Sudah lama. Entah. Sejak kapan.
Aku takpandai menghitung waktu. Dan harusnya kamu tahu itu.
Lalu, tentang kenangan yang menjelma bintang pagi itu pun telah habis
Aku sudah membuangnya ke sungai.
Tepat. Setelah kamu pergi.

Aku takpandai menyimpan. Terlebih kenangan.
Biarlah dia kembali. Pada laut.
Yang telah melahirkannya.

Hei,
Apa kabar, kamu?
Semoga kamu tetap baik-baik saja.
Sama seperti terakhir aku bertemu denganmu.
Tentang perpisahan. Tentang ucapan selamat tinggal.

"Apa yang kaurasakan ketika dia pergi? Apa ada sesuatu yang hilang?"
seorang temanku mencercaku. Terdiam.
Lalu, semuanya kembali syahdu.
Ada yang berat di pelupukku.
"Bukan ada yang hilang. Tapi, aku yang hilang.
Luruh dalam kenangan yang kubuang."
Kataku lirih.

Selasa, 11 Juni 2013

Bagaimana Jika Kartu Pos yang Kukirim Padamu Takpernah Sampai?

Ya. Bagaimana jika senja yang kukerat seukuran kartu pos itu takpernah sampai padamu? Entah. Mereka sedang menyangkut di mana. Mungkin di pohon-pohon. Atau di rel kereta. Atau mungkin kartu pos itu masih di Pak Pos. Sebab, Pak Pos masih menginginkan ada seseorang yang mengirimkan kartu pos untuknya. Lantas, sampai rambutnya memutih, Pak Pos takkunjung mendapati sebuah kartu pos dari siapa pun untuknya. Lalu, aku datang, kepadanya. Membawa selembar kartu pos yang kutulisi dengan rindu. Kartu pos ini untukmu.

Tapi, yang terjadi. Kartu posku takpernah sampai kepadamu. Pak Pos itu dengan senang hati menyimpan kartu posku bergambar senja, tertulis rindu. Aku taktahu bagaimana cara memintanya kembali. Agar dia mau mengirimnya untukmu. Sebab, menunggu kartu posku sampai kepadamu itu serupa menyaksikan perjalanan rinduku kepadamu. Perjalanan pendek yang terlalu panjang. Rasanya.

Bagaimana jika kartu posku selanjutnya takpernah sampai kepadamu juga? Kukira sama saja. Aku takmengerti apa yang harus kulakukan jika semua Pak Pos suka menyimpan kartu posku untukmu. Mungkin, itu satu-satunya cara mereka untuk mengenang pekerjaan mereka. Mengirim kartu pos: entah ke alamat yang dituju atau bukan.

Kamis, 30 Mei 2013

Dilarang Punya Kenangan di Negeri ini!

Siang tadi, saya berjalan menyusuri jalan yang sama. Pergi ke kampus. Dari rumah. Menyusuri jalan kecil belakang stasiun.  Yang (dulu) penuh pedagang, dari DVD hingga cokelat mede. Jika lewat jalan itu, saya selalu bahagia. Mendengar seloroh ceria dari para pedagang. Atau mendengar sirine kereta yang terdengar nyaring. Tapi, ada yang berbeda pada siang tadi. Pedagang-pedagang itu sudah tak ada. Digantikan dengan puing-puing. Semacam bangunan yang terdera angin puting beliung.

Ya. Bangunan-bangunan itu sudah luruh. Hampir rata dengan tanah. Mungkin juga sebentar lagi akan hilang, serupa hati nurani orang-orang itu.

Tanggal 29 Mei 2013 kemarin. Segalanya telah berubah. Entahlah. Siapa yang menghancurkan. Siapa yang sedang dihancurkan. Yang pasti ada yang sedang mati pada hari itu. Mungkin nurani atau rasa kemanusiaan.

Saya memang bukan mahasiswa yang pernah ikut aksi. Saya memang tidak pernah berteriak lantang di depan satpol PP. Atau berdiri angkuh membawa spanduk berisi protes dan kecaman. Tidak. Tapi, saya tidak menganggap teman-teman saya yang ikut aksi itu tidak lebih baik dari saya. Saya menghargai perjuangan mereka.

Saya juga tidak tahu-menahu tentang polemik ini. Saya tidak tahu tentang kepemilikan tanah belakang stasiun itu. Entah PT KAI atau pedagang atau pemerintah daerah. Entahlah. Sama sekali taktahu.

Yang saya tahu hanyalah air mata para pedagang itu ketika melihat tempat mereka mencari sesuap nasi roboh begitu saja. Mungkin, tanpa ganti rugi. Mungkin, tanpa relokasi. Lantas, air mata itu mewakili segala beban yang ada. Bagaimana dapur bisa mengepul? Uang sekolah dibayar pakai apa? Harus mencari penghidupan di mana? Tentu saja. Itu mungkin kecamuk yang ada dalam benak mereka.

Saya bisa merasakan meskipun kemarin saya takhadir di tengah mereka. Hanya dengan melihat puing itu. Puing yang sedang bercerita tentang banyak hal. Dalam diam.

Yang saya tahu. Saya kehilangan banyak kenangan. Mungkinkah kenangan terganti? Saya rasa tidak akan. Setiap hari saya menyusuri jalan itu. Bergegas ketika berangkat. Lalu, pelan-pelan ketika pulang. Saya selalu menikmati perjalanan saya ke kampus. Melewati jalan belakang stasiun itu. Kadang mampir ke salah satu toko, membeli permen atau fotokopi materi. Takjarang saya sering nongkrong lama-lama di tukang DVD langganan. Berdiskusi dengan abang penjual DVD, film mana yang layak ditonton.

Sudahlah. Jika ada ungkapan bahwa "Rakyat miskin takboleh sakit", penggusuran ini juga mencipta kalimat bahwa rakyat miskin pun takboleh punya kenangan. Bahkan, hanya sebatas kenangan, kami takpunya. Lantas, apa yang bisa kami miliki di negeri yang katanya "gemah ripah loh jinawi" ini? Mungkin, hanya rasa takut.

Kamis, 25 April 2013

Naskah Melayu yang Terpampang Ayu


Berbicara tentang Negeri Kincir Angin, yang terlintas dalam benak saya adalah naskah-naskah kuno Melayu yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah ini serupa buku harian yang tersimpan di dalam lemari milik orang lain. Ironis. Sebab, yang memiliki tak bisa leluasa jika ingin membacanya. Begitulah kondisinya. Setiap yang ingin mempelajari naskah Melayu Kuno, orang tersebut harus pergi ke Belanda jika ingin versi lengkap atau aslinya. Lantas, apa yang masih tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia? Mungkin, hanya tentang kenangan.
            Di dalam katalog naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, terdapat sejumlah naskah yang sudah rusak dan tidak terdapat mikrofilmnya. Satu naskah hilang, mungkin seribu kearifan lokal yang terkandung di dalamnya juga turut lenyap. Namun, naskah-naskah yang tersimpan di Belanda, khususnya di Perpustakaan Universitas Leiden, berada dalam kondisi baik. Semua naskah yang tersimpan di Belanda telah terdapat mikrofilmnya. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Liaw Yock Fang (1991:23) yang menyatakan bahwa perpustakaan Universitas Leiden telah membuat teknologi untuk menyelamatkan naskah-naskah yang tersimpan di Belanda. Ada lebih dari seribu naskah Melayu yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Naskah-naskah ini dapat tersimpan di Belanda karena beberapa faktor, semisal harta rampasan perang, persembahan raja-raja Nusantara untuk pemerintahan Belanda, upeti, atau memang dibeli oleh pihak Belanda. Sebagaimana karya sastra kuno, naskah-naskah tersebut tidak ada kepemilikannya. Setiap orang berhak memilikinya, termasuk pemerintahan Belanda. Hanya saja, naskah-naskah tersebut beraksara Jawi (aksara Arab, bahasa Melayu). Jika boleh berpendapat, pada dasarnya, naskah-naskah yang berumur ratusan tahun ini lebih aman disimpan di Belanda.
Belanda memiliki teknologi yang cukup canggih untuk membuat naskah tetap bertahan dan bisa dibaca. Tidak dapat dimungkiri bahwa Belanda merupakan negara maju yang memiliki anggaran dana yang besar, bahkan untuk pemeliharaan naskah. Dengan demikian, pembuatan mikrofilm dari setiap naskah tidak memiliki rintangan yang cukup berarti. Selain itu, minat masyarakat—baik lokal maupun global—terhadap naskah-naskah yang berada di Universitas Leiden cenderung lebih baik daripada minat masyarakat terhadap naskah-naskah yang ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Begitulah. Entah mengapa, Belanda masih memesona. Bagi saya, Belanda merupakan negara yang menarik sebab Belanda adalah negara maju yang masih peduli dengan hal-hal budaya, contohnya kepeduliannya terhadap naskah. Itu mengagumkan. Meskipun ketika harus membaca naskah Melayu di Belanda, saya merasa sedang membaca buku harian saya di rumah orang. Rasanya ganjil dan aneh.


Referensi
Liaw Yock Fang. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga

Senin, 22 April 2013

Tentang Penyihir dan Mahasiswa Tingkat Akhir

Lagi-lagi. Saya membiarkan laman saya ini tanpa penghuni. Sarang laba-laba di mana-mana. Ah, maafkan saya. Ya. Tentu saja. Hanya satu makhluk yang menjadi alasan saya. Apa lagi jika bukan skripsi. Kasihan. Selalu jadi kambing hitam. Sudahlah. Lupakan skripsi.

Sekarang, saya sedang menunggu kuliah jadwal berikutnya. Sekira satu jam lagi. Tetiba terlintas. Cita-cita masa kecil saya: seorang penyihir. Haha. Konyol. Bagaimana mungkin. Pada saat teman-teman saya yang lain sedang bercita-cita sebagai dokter, guru, pilot, atau polisi, saya sedang membayangkan diri saya sebagai penyihir. Membawa sapu. Berkawan dengan kucing hitam. Bertopi kerucut yang ujungnya melengkung. Berteman dengan kegelapan. Lalu, bertempat tinggal di sebuah kastel di ujung gunung. Sepi. Setiap malam mencari puteri raja yang lengah untuk dijadikan santapan esok pagi.

Lalu, saya bisa terbang ke mana-mana. Tanpa membeli tiket pesawat. Bisa membuat sesuatu tanpa harus membeli. Bisa menaklukkan segalanya tanpa susah payah. Dan, saya bisa menyihir apa pun menjadi apa pun yang saya suka. Saya suka membayangkan bahwa saya akan menyihir diri saya menjadi air. Lantas mengalir. Diminum. Atau menguap. Saya juga sering membayangkan bahwa saya bisa menyihir teman-teman saya yang jail menjadi kodok. Biar taklagi berisik. Atau, saya juga bisa membebaskan seekor kodok dari kutukan sehingga dapat berubah kembali menjadi pangeran tampan.

Sudahlah. Saya hampir lupa dengan cita-cita saya itu. Saya hampir lupa bahwa saya pernah berharap segala sesuatunya bisa disihir. Lalu, semuanya akan berubah dalam sekejap. Ternyata tidak. Tidak akan pernah. Semuanya butuh proses. Sangat panjang, malah. Tentu saja. Tidak ada hal yang takberproses di dunia ini. Bahkan, mi instan pun membutuhkan waktu agar dapat dinikmati.

Ya. Saya memang sedang mengingatkan diri saya sendiri tentang proses yang saya jalani. Bahwa semuanya harus diusahakan, termasuk melanjutkan kuliah. Baiklah. Sekarang saya sudah taklagi percaya pada penyihir. Namun, saya masih harus percaya bahwa saya bisa mengubah apa pun menjadi apa pun yang saya inginkan. Dan, semua itu tidak mudah.

Saya mahasiswa tingkat akhir. Yang sebentar lagi akan gelagapan ketika ditanya "Setelah lulus mau ngapain?". Mungkin, hanya bisa tersenyum. Atau, dengan jawaban standar, "Mau lanjut S2."

Lantas, bukan berarti jawaban itu tidak menyisakan gemuruh dalam dada. Jawaban itu akan memunculkan pertanyaan lain, "Mau S2 di mana?" atau "Setelah S2 mau ngapain?" atau "Apa gak lebih baik kerja dulu, baru setelah itu ambil S2?"

Mati.

Dan, saya memang hanya bisa menarik napas panjang. Pertanyaan itu mau takmau harus terjawab. Paling tidak, untuk saya sendiri. Jawaban apa yang harus saya berikan untuk saya? Tersenyum tanpa esensi? Lama-lama memuakkan. Takdapat dimungkiri. Semakin lama hidup, semakin banyak pilihan. Karena memang hidup hanya tentang pilihan.

Di tengah kebingungan itu. Saya kembali teringat. Bahwa cita-cita kecil saya menjadi penyihir. Itu saja. Dan, saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan terdampar di pulau manusia yang penuh basa-basi dan kepura-puraan ini. Memang benar. Cita-cita masa kecil dan masa kecil itu menenangkan. Menyenangkan. Tanpa tuntutan.

Boleh saya memutar waktu? Sekadar menghidupkan kembali roh penyihir dalam diri saya.

Minggu, 31 Maret 2013

Untuk Lelaki yang Sudah Terlibat Banyak dengan Hatiku

Halo, kamu, apa kabar? Ya. Aku tahu. Kamu baik-baik saja. Tetiba aku mengingatmu banyak-banyak. Haha. Biasanya, aku selalu menulis kartu pos jika aku rindu kamu. Tapi, Sayang, kartu posku habis. Dan, aku lupa membelinya. Ah, maafkan aku, Sayang. Ingatanku memang takbaik.

Baiklah. Tulisan ini tidak akan kukasih tautannya ke kamu. Buat apa? Toh, aku yakin, kamu bisa menemukannya dengan modal telepati yang kamu sering kamu bilang itu. haha.

Aku akan mengatakan kalimat yang seringkali kamu ucapkan: "aku kangen kamu. kangen banget. kamu percaya?"
Bodoh! Bagaimana mungkin aku takpercaya kamu, sementara kamu sudah mengambil hampir seluruh hari dan hatiku. Kalau aku takpercaya kamu, aku takkan menjalani semua ini. Semua hal yang membuatku ingin melipat jarak. Meski katamu, yang berjarak selalu menggetarkan. Sudahlah. Aku juga percaya itu. Segala sesuatu yang berjarak memang selalu menggetarkan.

Aku menggunakan kata ganti "kamu" dalam tulisan ini. Seperti katamu bahwa "kamu" sudah lebih dari rindu, cinta, dan sayang! Dan, berharap, setiap kali kamu tersebut, ada banyak hal yang tersirat. Semacam banyak hal-hal yang di luar bahasa. haha.

Entahlah, Sayang. Aku tetiba ingat kamu. Dan, memang sedikit norak tetiba aku harus mengunggahnya di blogku. Blog yang setiap hari dibaca banyak orang. Haha. Tujuannya, sih, ingin menyampaikan rindu dengan cara yang lain. Yang penting aku tidak akan menautkannya di Twitter. Biar tidak menjadi terlalu berisik nantinya.

Please, tell me if you have found this letter! So, I can see how fast your telepati working is!

*Untuk seseorang
yang enggan tersebut nama
yang enggan tertulis aksara
saya cinta
itu saja

Terima kasih sudah mengambil hatiku. Jadi, aku tahu harus mengambil hati siapa. Dan, kurasa, bahumu cukup bidang untuk menahanku dari tangis dan kantuk. Ah, kamu tahu, kan, aku suka tidur. Mungkin, telingamu cukup lebar untuk mendengarkanku berkeluh. Terima kasih. Sudah mengakrabkanku dengan kebahagiaan. Mulai sekarang sampai nanti, aku takperlu mengayuh sepedaku sendiri. Ada kamu yang mengayuh di sampingku. Semoga. Nanti, di ujung jalan sana, arah sepeda kita takberlawanan. Sebab, setelah ujung jalan itu masih banyak jalan yang seharusnya kita tempuh bersama tanpa tahu ujungnya.


Untuk
Kun Andyan Anindita

Senin, 18 Maret 2013

Sesederhana Itu Bahagia!

Saya sedang tertawa ketika menulis ini. Mengapa? Terlalu banyak debu dan jaring laba-laba di laman saya ini. ha-ha. Kemarin, saya sempat tertegun ketika salah seorang teman saya berkata, "Saya udah lama nggak kepoin blog kamu!"
"Ohh. Jangankan kamu. Saya aja udah gak pernah kepoin blog saya sendiri!" saya tergelak. Dia pun tergelak.

Kemudian, saya pun teringat. Saya memiliki akun ini yang sudah terlalu lama tidak terurus. Entahlah. Akhir-akhir ini saya (sok) sibuk bercinta dengan satu makhluk yang bernama skripsi. Terlalu asyik. Padahal, sesungguhnya membosankan dan tidak membahagiakan.

Ah iya, tentang kebahagiaan. Saya ingin menulis tentang ini.
Apa yang dicari dalam hidup ini, selain kebahagiaan? Saya kira tidak ada. Orang mengejar uang ke sana kemari pasti dengan kedok mencari kebahagiaan. Entah kebahagiaan macam apa. Orang mengejar jabatan setinggi-tingginya pasti dengan alasan mencari kebahagiaan. Entah kebahagiaan macam apa.
Sesungguhnya, saya kasihan pada kebahagiaan. Harusnya, dia bahagia memiliki nama itu. Namun, banyak orang memalsu ketika memakai namanya.

Definisi kebahagiaan setiap orang pasti berbeda. Sangat. Atau semua orang sebenarnya memiliki definisi bahagia yang sama? Tapi, atas dasar status sosial dan pengotak-kotakan derajat, definisi kebahagiaan menjadi tergeser? Entahlah. Saya juga takpernah mengerti. Yang pasti. Saya selalu saja gelisah ketika sedang sangat sibuk dengan segala macam urusan, lalu tertegun sejenak. Mempertanyakan, ini semua untuk apa? Dan, saya takkunjung menemukan jawaban.

Bukankah, ketika kita merasa bahagia, lantas semuanya bisa menjadi membahagiakan? Bagi saya, bahagia itu rasa nyaman. Rasa aman. Ya. Semuanya dalam porsi cukup. Itu sudah lebih dari cukup.

Sudahlah. Berbicara tentang kebahagiaan takpernah akan habis. Mencintai hidup ini dengan apa adanya juga salah satu kebahagiaan bagi saya. Sesederhana itu bahagia!

Kamis, 17 Januari 2013

Untuk Kotaku yang Sedang Asyik Bercinta dengan Langit

Barangkali. Ya. Barangkali. Kita juga harus keluar rumah, Sayang. Pada kuncup tahun seperti ini. Sekadar bertelanjang kaki. Merasakan hujan dengan kaki kita. Melepas sejenak cerita tentang kita. Menikmati kotaku yang kata banyak orang sedang tidak baik. Pasti. Kau sudah melihat kotaku dari televisi di kamarmu, bukan? Ini kotaku, Sayang. Mungkin juga akan jadi kotamu, kelak.

Ah, mungkin langit sedang ingin berbagi kesedihan. Menangis banyak-banyak. Agar setelahnya dapat tersenyum banyak-banyak. Kotaku baik hati. Dia mau mendengarkan kesedihan langit. Menerima air matanya dengan dada yang lapang. Begitulah. Langit dan kotaku memang sedang dan senang berbagi air mata. Seperti yang sering kita lakukan, bukan? Semacam itulah. Cinta.

Haha
Lalu, untuk apa aku menangis, Sayang? Melihat langit dan kotaku yang sedang bercinta. Sementara mereka bahagia melakukannya. Lalu, untuk apa aku mencaci banyak orang, Sayang? Sementara langit dan kotaku saja takpunya rasa.

Barangkali. Ya. Barangkali, Sayang. Kamu setuju dengan pemikiranku itu, mari, kita keluar. Sekadar hadir melihat langit dan kotaku yang sedang merajut cerita. Atau membagi senyum pada segala sesuatu yang tergenangi air mata. Mencipta kebahagiaan pada semesta. Semuanya bisa dirayakan, bukan? Dengan atau tanpa kembang api.

Baiklah. Kalau kamu setuju. Di ujung jalan pulang itu, aku menunggumu. Aku memakai rok jingga senja. Dan kamu boleh memakai kemeja bening hujan. Lalu, kita bisa berbagi rasa pada rahasia. Siapa tahu. Langit dan kotaku cemburu. Kemudian, mereka berpisah di akhir cerita. Dan kita bisa bahagia. Tanpa pura-pura.