Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 29 Desember 2015

Desember Hampir Habis

Radio di pojok ruangan itu sedang memutar keras-keras lagu "Desember" dari Efek Rumah Kaca. Lagu itu terputar tepat ketika aku selesai mengetik judul di atas. Takada yang meminta. Lagu itu tiba-tiba terputar. Mungkin memang sedang berjodoh. Entahlah, setelah April, setelah Juni, Desember selalu bercerita banyak-banyak. Tentang apa saja. Tentang hujan yang setiap harinya mencuri langkah di genting rumah. Tentang ikan paus yang entah masih ada atau tidak di lautan. Atau tentang bunga padi di sawah tetangga.

Kau, apa kabar?
Apakah kau sudah menerima kartupos-kartuposku? Kartupos-kartupos yang kukirimkan melalui senja yang semburat, yang belum sempat dipotong-potong seseorang untuk diberikan kepada pacarnya. Atau suatu hari, aku menitipkan kartupos-kartupos itu melalui merpati yang katanya takpernah ingkar janji itu. Apakah kau sudah menerimanya?

Penantian yang tanpa ujung itu menyeretku pada ombak yang bergulung-gulung, pada sepertiga air mata yang belum sempat kuseka. Pusaran itu diam-diam menelan tubuhku yang semakin lemah karena ada kenangan dan harapan yang berbaur menjadi satu, tanpa jeda. Kau boleh tertawa kapan saja dalam hal ini. Sebelum tertawa itu dilarang, kata grup komedian yang legendaris itu.

Apakah aku menanti balasan kartupos-kartuposku darimu? Aku takpunya kesabaran yang sunyi, kata seorang penyair di kotamu. Pun denganku. Kesabaran yang kupupuk diam-diam ini barangkali takkan menjadi belukar, barangkali akan terkikis, pelan-pelan. Waktu terlampau singkat jika kuisi dengan sebuah penantian balasan kartupos-kartuposku darimu.

Hanya saja, jika suatu hari kau sempat membalas seluruh kartuposku, percayalah bahwa cintaku masih tetap seperti hujan pada bulan Desember. Tetap jatuh di tempat yang sama tanpa pernah merasa bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Ia takpernah peduli tentang penghakiman dari semesta sebab ia turun dengan sebuah pemakluman. Ia pun takperlu membuatmu menggigil sebab ia sudah menyediakan tempat pulang yang di dalamnya tersedia tungku api yang siap menghangatkanmu, kapan saja. Cintaku akan tetap seperti rumah yang pintunya tetap terbuka lebar menunggu kepulanganmu.

Rabu, 16 Desember 2015

Anak Perempuan dan Ayahnya

Apa yang bisa dilakukan seorang anak perempuan ketika ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-mengutuknya demi membela perempuan lain-yang bukan ibunya? Lalu, anak perempuan itu-bahkan takpunya teman untuk bercerita-kecuali memang hanya Tuhan-nya. 

Sementara selama ini dia sedang berusaha mati-matian untuk membuat ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-itu bangga kepadanya. Dia sedang berusaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya-yang barangkali sekarang dia sudah tidak bisa lagi membedakan antara mimpinya atau mimpi ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-itu. Dia sedang menjalani hidup-yang barangkali dia pun sesungguhnya tidak pernah membayangkan kehidupan seperti itu. Tapi, dia selama ini hanya diam. Menjalani saja semua yang didiktekan ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-itu. Tanpa pernah punya keberanian untuk menolak, selain mengiyakan. Karena semua ada hitungannya. Biaya hidup, biaya sekolah, biaya kuliah, biaya ini-itu semuanya masih bergantung pada ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-itu.

Sekali dia berbuat kesalahan, semua hitungan pembiayaan itu akan dirinci, dijabarkan secara gamblang di depannya. Diungkit-ungkit bahwa anak perempuannya itu belum punya apa pun yang bisa dibanggakan, padahal anak perempuan itu takpernah mempunyai cita-cita untuk menyakiti siapa pun, bahkan setelah ia punya segalanya yang bisa dibanggakan, kelak. Cacian sebagai anak-yang-taktahu-membalas-budi-kepada-ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-pun meluncur dengan lancar di depan anak perempuan itu. Ditambah lagi dengan umpatan semacam-percuma-menyekolahkan-tinggi-tinggi-sebab-tidak-akan-berhasil-jika-kelakuan-kepada-orang-tua-seperti-itu. Satu kali pun, anak perempuan itu takpernah punya kesengajaan untuk menyakiti hati kedua orang tuanya.

Jika sudah demikian, lalu anak perempuan itu bisa apa? Sementara ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-itu takpernah tahu, ia berdoa siang-malam agar ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-itu selalu sehat dan bahagia. Ia sudah mengubur mimpinya dalam-dalam tentang bekerja kantoran, kuliah di luar negeri, berbisnis, dan hal-hal lain yang perlahan tapi pasti akan lenyap.

Ayah-satu-satunya-yang-sangat-dicintainya-itu-pun takpernah tahu bahwa anak perempuannya itu takpernah punya cita-cita lain, kecuali: membahagiakan orang tua.

Minggu, 11 Oktober 2015

Jauh Sebelum Hari Itu

Aku takingat, apakah aku pernah bercerita panjang lebar tentang masa sebelum mataku bertemu matamu itu. Jauh sebelum hari itu, jauh sebelum tanganku menjabat tanganmu untuk pertama kalinya. Lebih jauh dari itu mungkin. Aku sama sekali takingat.

Jauh sebelum hari itu, aku pernah jatuh cinta pada sebuah kota yang di dalamnya aku ingin tinggal, berlama-lama atau bahkan mungkin selamanya meskipun aku takpernah tahu dengan siapa aku di dalamnya. Hanya saja kota itu semacam cerita yang ingin sekali kubaca habis, pelan-pelan.

Jauh sebelum hari itu, aku sudah mencintai kota itu dengan sangat. Membayangkan suatu hari aku akan membaca buku di suatu senja dengan gerimis yang sedikit deras, di teras rumah, dengan menghabiskan secangkir cokelat panas. Betapa menyenangkannya. Atau pada hari-hari tertentu aku akan memakai rok berwarna jingga senja, kemudian datang pada sebuah pertunjukan tari atau sandiwara, duduk saja di sana, barangkali juga akan kedinginan karena suhu pendingin ruangan yang terlalu rendah. Tidak masalah kukira, sebab aku akan memakai selendang bidadari yang akan kulilitkan pada leherku agar terasa hangat. Atau aku akan datang dengan setumpuk pertanyaan yang kurangkum dari setumpuk buku pada banyak-banyak diskusi yang diadakan pada waktu-waktu tertentu.

Jauh sebelum hari itu, aku pernah berdoa banyak-banyak pada Tuhan agar hasil ujian yang aku kerjakan tempo lalu itu membawaku tinggal di kota itu. Sayangnya, pada saat itu, Tuhan mengirimku ke kota lain, yang jaraknya hampir 500 kilometer dari kota itu. Aku takbisa berbuat banyak selain menghadapi kehidupan dengan sebaik-baiknya di kota lain itu.

Jauh sebelum hari itu, aku pun pernah membayangkan betapa menyenangkannya jika aku bisa memiliki toko roti dan sebuah penerbitan. Sederhana saja, aku suka makan roti dan membaca buku. Haha. Selain itu, betapa menyenangkannya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain, biar hidup tidak sekadar hidup tanpa ada manfaat untuk orang lain. Barangkali, angan-angan itu muncul ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan, jauh sebelum hari itu, aku sudah memiliki mimpi banyak-banyak tentang masa depan.

Jauh sebelum hari itu, aku sudah punya mimpi yang ternyata sekarang hampir semuanya ada pada kamu. Tetapi aku tahu, segala mimpiku dan kamu adalah hal yang berbeda.

Selasa, 15 September 2015

Perihal Asisten Rumah Tangga

Hidup sendirian di rumah bersama dengan seorang penjaga rumah membuat saya harus berpikir berulang kali lipat untuk nantinya merekrut seorang asisten rumah tangga. Kedua orang tua saya sedang pergi haji, saya bertugas untuk menjaga dua rumah, satu rumah oma saya dan satu rumah keluarga saya. Seorang penjaga rumah akan datang ketika malam menjelang dan tidur di rumah oma saya, sedangkan saya tetap sendirian di rumah saya.

Meskipun demikian,  ada hal-hal yang kadang membuat saya jengkel karena saya tidak terlalu berani menegur pada si penjaga rumah. Jadi, begini, kadang saya harus bernapas panjang-panjang ketika bangun tidur dan membuka pintu, kemudian mendapati sampah kupasan kulit mangga di pinggir kolam. Atau kulit telur yang tercecer di bawah jemuran. Atau juga gelas dan piring kotor yang diletakkan begitu saja di meja. Atau sampah-sampah daun yang dibiarkan menumpuk. Dan, tentu saja, yang akan membersihkan semua itu adalah saya.

Saya tidak berani menyuruh si penjaga rumah untuk membersihkan segala macam persampahan itu--meskipun sebenarnya bayaran yang diterimanya sudah termasuk bayaran membersihkan rumah--karena alasan ia hampir seusia oma saya. Ada lapisan tebal rasa sungkan dan takut untuk menegurnya. Pun dengan omelan-omelan yang harus saya simpan rapat-rapat agar tidak perlu menyakiti siapa pun. Seharusnya memang hal itu remeh-temeh dan saya tidak perlu jengkel, hanya saja itu tidak terjadi sekali atau dua kali. Atau mungkin saya saja yang bersikap berlebihan. Sesungguhnya, saya pun tidak terlalu rajin membersihkan rumah, tapi saya tidak pernah tahan melihat sampah atau piring kotor yang tidak pada tempatnya.

Dari kejadian semacam ini, saya jadi berpikir ulang berkali-kali untuk nantinya merekrut asisten rumah tangga, terlebih baby sitter. Bukan maksud saya untuk menggeneralisasikan bahwa semua orang yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga selalu seperti itu--tipe orang-orang yang tidak sepenuhnya peduli pada rumah yang dijaganya--tetapi ternyata saya bukan tipe orang yang bisa percaya untuk menyerahkan pekerjaan kepada orang lain.

Saya jadi berpikir, pasti akan lebih menenangkan jika semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri saja, semampunya. Tidak perlu terlalu ambisius untuk rumah yang selalu tertata sangat rapi, yang penting bersih, tidak bau, dan cukup rapi. Barangkali bagi saya itu cukup daripada harus merekrut asisten rumah tangga, tetapi saya tidak pernah berani menegur perihal kebiasaan-kebiasaan kecil yang tidak sesuai dengan kebiasaan saya. Yang pada akhirnya, saya harus menahan emosi setiap hari, yang bisa jadi meledak pada malam Lebaran.

Begitulah. Barangkali keputusan saya hingga kalimat terakhir ini sudah bulat, saya tidak akan menggunakan jasa asisten rumah tangga nanti setelah saya sudah berumah tangga atau mulai memiliki rumah sendiri.

Jumat, 11 September 2015

Empati Takmelulu tentang Like dan Share

Beberapa tahun terakhir ini, saya jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti perkembangan berita dengan saksama, baik dari surat kabar cetak, surat kabar elektronik, terlebih televisi. Saya hanya cukup tahu apa yang terjadi, tanpa harus memiliki niat untuk mengikuti perkembangannya secara mendalam. Meskipun demikian, saya masih saja kebanjiran informasi dari linimasa jejaring sosial yang berasal dari unggahan teman-teman saya.

Mengapa saya memutusukan untuk tidak lagi membaca koran dan menonton televisi? Saya hanya ingin bahagia. Itu saja. Begini, setiap kali mencoba mengikuti berita, saya selalu saja menarik napas panjang-panjang, adakah berita yang tidak lebih buruk dari ini? Barangkali memang benar bahwa a bad news is a good news. Tapi, apakah dengan mengunggah foto korban yang berdarah-darah juga termasuk sebuah kebaikan bagi sebuah media?

Saya masih bisa sedikit memaklumi ketika berita hanya berisi perspektif dari para jurnalis atau penulisnya sebab saya percaya bahwa segala sesuatu yang didengar adalah opini, bukan fakta, dan segala sesuatu yang dilihat adalah perspektif, bukan kebenaran. Termasuk tulisan ini, termasuk nukilan--yang entah dari siapa--itu. Dan, mungkin memang perspektif saya berbeda dengan perspektif para jurnalis tersebut sehingga saya tidak terlalu setuju dengan segala hal yang dikemukakannya. 

Namun, saya masih percaya, jurnalis yang memang benar-benar memahami dan menerapkan kode etik, tidak akan pernah melanggar segala sesuatu yang sudah tertera di dalam kode etik. Akan tetapi, permasalahan tidak berhenti pada itu saja. Perkembangan arus teknologi dan informasi memungkinkan setiap orang memiliki "media" secara pribadi, yang dikelola secara mandiri dan dikonsumsi oleh orang-orang dalam lingkarannya. Katakanlah, jejaring sosial. Setiap orang pasti punya seminimalnya satu akun yang bebas diisi dengan apa pun.

Media yang dikelola oleh satu orang saja sudah cukup membentuk sebuah "kebenaran", terlebih media yang dikelola oleh jutaan netizen. Media punya andil besar dalam menggiring opini massa. Tentu saja. Itu sudah dibahas berabad-abad tahun yang lalu oleh para ahli media. Bahwa media adalah tangan kapitalis, bahwa media adalah kapital paling berpengaruh pada abad ini. Semacam bahasan yang sudah basi. Percuma saja grandtheory itu digaung-gaungkan kalau masih saja keenakan menerima suapan dari media. Lantas, bagaimana? Barangkali tidak terlalu menyalahkan media adalah salah satu jalan untuk menghentikan informasi yang tidak pada tempatnya. Memulai membatasi diri dari informasi-informasi yang takperlu mungkin bisa sedikit membahagiakan dan membantu agar kebodohan tidak terlalu cepat meluas.

Misalnya saja, satu hari yang lalu, Masjidil Haram tertimpa alat berat, banyak orang luka-luka, bahkan meninggal. Seharusnya, informasi sudah sangat cukup pada hal-hal yang mencakup 5W+1H. Tidak perlu ada foto korban yang berdarah-darah yang dibagikan di setiap akun jejaring sosial, lantas yang melihat kemudian ikut membagikan foto-foto itu. Terlebih, akun-akun yang membagikan foto-foto tersebut adalah akun-akun semacam Golongan Darah, Berdakwah, Dagelan, atau sejenis itu yang entah siapa administratornya dan entah bagaimana cara mendapatkan berita tersebut.

Lalu, setiap orang dengan tidak merasa berdosa mengeklik tombol like atau share, yang otomatis akan turut serta menyebarluaskan berita tersebut dengan alibi turut berempati. Terlebih berita yang entah dari mana datangnya itu disebarkan secara personal melalui aplikasi pesan. Oh, tolong. Empati atau apa pun itulah namanya bukan dengan hanya menge-like atau menge-share sesuatu yang diposting oleh akun-akun yang entah apa dan entah siapa itu. Tolong, menjadi cerdas tidak perlu sekolah setinggi langit, kok.

Saya memang sedikit emosional kali ini. Orang tua saya sedang berada di Makkah ketika kejadian. Sungguh saya tidak tahu-menahu perihal jatuhnya alat berat sampai ketika banyak pesan yang masuk menanyakan kabar orang tua saya kepada saya. Saya yakin orang tua saya baik-baik saja, tetapi menjadi miris ketika foto-foto jamaah haji yang terluka disebarluaskan tanpa ada pertanggungjawaban. Saya membayangkan saja, bagaimana jika yang terekam dalam foto itu adalah orang tua saya, tentu saja kesedihan saya akan berkali lipat.

Sebenarnya, sudah sejak lama saya ingin menulis tentang permohonan dengan sungguh-sungguh untuk tidak menyebarluaskan foto korban apa pun, baik foto dengan blur terlebih foto yang tampak jelas. Barangkali itu adalah salah satu empati yang bisa dilakukan--selain doa--ketika tangan taksanggup terulur untuk membantu korban maupun keluarga korban. Sekian.

Kamis, 09 Juli 2015

Kabar Gembira(?)

"Aku lulus sidang dengan nilai A!" aku mengetik pesan itu dengan cepat, tetapi cepat-cepat pula menghapusnya kembali. Pesan itu takjadi terkirim sebab segala sesuatunya taklagi seperti dulu. Barangkali, memilih menghela napas panjang-panjang adalah sebuah pilihan yang menenangkan untuk kali ini.

Sungguh, hingga detik ini, satu-satunya orang yang ingin kukabari cepat-cepat setelah kedua orang tuaku adalah kamu. Masih kamu. Tapi, aku taklagi bisa menulis rentetan pesan semacam "Aku dapat IPK tertinggi lagi, loh." atau "Aku cum laude lagi." atau "Semester ini IP-ku 4.00!" kepadamu. Dulu, jika seperti itu, sebentar lagi kamu pasti akan meneleponku untuk mengucapkan selamat berkali-kali. Lalu, pipiku merona. Bahagia sekali rasanya. Tapi, itu dulu. Dulu sekali.

Ah, sudahlah. Seharusnya memang aku segera bangun. Segala macam cum laude dan IPK tertinggi itu memang sebaiknya disimpan rapat-rapat. Kamu takperlu tahu, toh, barangkali kamu pun taklagi ingin tahu. Kabar gembira tentangku barangkali taklagi penting untukmu. Padahal, aku hanya ingin berbagi kebahagian denganmu, bukan untuk mengintimidasimu. Terlebih untuk membuatmu merasa kecil. Sudah, sudah, lupakan. Sebab, seberapa keras pun berjuang, aku takpernah bisa meyakinkanmu bahwa aku akan tetap berada di sampingmu, apa pun yang terjadi. Apa pun.

Namun, barangkali ketabahan bulan Juni kemarin mengajariku banyak hal. Bahwa aku harus merelakan segala sesuatu yang tidak tercipta untukku, dan mungkin kamu salah satunya. Bahwa aku harus mulai berhenti menunggu seseorang yang sedang berbahagia menunggu kedatangan orang lain, dan mungkin itu kamu yang sedang menunggu kepulangan orang-yang-bukan-aku. Dan, bahwa aku harus memperjuangkan hal lain yang patut diperjuangkan, mungkin kamu yang takberkenan ada di dalamnya. Dan, aku harus cepat-cepat pergi memang.

Sesungguhnya, ada satu lagi kabar (yang seharusnya) gembira untuk kita. Tapi, barangkali itu dulu. Sekarang takperlu lagi kuceritakan di sini. Toh, di kota mana pun nanti aku tinggal, tidak akan membuatmu kembali. Rumahmu bukan lagi aku. Aku cukup tahu diri. Sekian dan terima kasih. Aku undur diri.

Kamis, 02 Juli 2015

Selamat, Segala Sesuatunya (akan) Selesai!

Kurang dari 24 jam saya akan menghadapi sidang tesis. Sementara itu, saya baru saja menyelesaikan membuat poin-poin presentasi beberapa menit yang lalu. Tetiba saja, perut saya rasanya sedikit mulas. Untuk pertama kalinya, saya grogi menghadapi hal-hal presentasi seperti ini. Pun untuk pertama kalinya juga saya bergadang selama hampir seminggu untuk menyelesaikan tesis ketika tenggat waktu pengumpulan dua bulan yang lalu. Dan, begitulah. Tesis kali ini selesai pada waktunya dengan segala macam suka-dukanya.

Saya memilih topik tentang fenomena pesugihan di Gunung Kawi. Sedikit yakin, banyak ragunya saat itu. Sempat mengajukan ganti topik, tetapi ditolak oleh pembimbing. Akhirnya, saya pun takada pilihan lain selain menyelesaikan topik ini hingga selesai. Penelitian pertama saya lakukan pada bulan Januari. Sekira 10 hari saya menginap di Gunung Kawi, menghitung hari agar cepat selesai, tetapi lama-lama saya menikmati proses ini.

Data lapangan menunjukkan banyak hal yang takterlihat pada mulanya, tetapi memang seharusnya demikian. Setiap orang yang berkepentingan di sana selalu menekankan bahwa di Gunung Kawi bukanlah tempat pesugihan, tetapi hanya tempat ziarah atau ngalap berkah. Akan tetapi, logikanya, tempat ziarah "biasa" tidak mungkin dikunjungi hingga sepuluh ribu pengunjung setiap bulannya. Sesungguhnya, penelitian saya ini memang tidak mempermasalahkan ada atau tidaknya pesugihan di sana, tetapi hal-hal yang di luar itu, misalnya ideologi, politik, dan narasi dalam ritual ngalap berkah.

Karena pembahasan tentang persilangan hal-hal tersebut antara pemangku kepentingan di Gunung Kawi, saya pun harus mengkroscek data ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat karena pihak Gunung Kawi menyatakan bahwa kedua makam tersebut ada hubungannya dengan Hamengkubuwono III.

Baiklah. Singkatnya, saya harus penelitian ke sana kemari mencari data. Semacam lelah, tapi takbisa berhenti di tengah jalan. Saya harus lulus pada semester ini jika takmau membuang delapan juta untuk bayaran semesteran dan mau mempertahankan predikat cumlaude (yang sesungguhnya juga taktahu fungsinya untuk apa).

Sekarang, segala sesuatunya sudah hampir selesai. Barangkali 15 jam lagi saya sudah bisa menyandang gelar M.Hum. di belakang nama saya. Namun, sekarang saya tahu, apa yang membuat saya mulas. Lalu, setelah M.Hum. saya akan bagaimana? Akan ke mana? Akan melakukan apa? Akan bekerja apa? Pertanyaan-pertanyaan yang takkan habis itu sedikit-sedikit menghantui saya.

Dulu, ketika lulus jenjang sarjana, saya sama sekali takmemikirkan hal tersebut. Sebab saya langsung melanjutkan S2 dengan salah satu tujuannya adalah penundaan status pengangguran. Tapi sekarang? Saya mau lari ke mana lagi? Menunda segala sesuatunya dengan sekolah S3? Saya rasa menunda tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Satu hal sesungguhnya yang ingin saya lakukan selepas lulus: saya ingin mengajar. Tapi, entahlah, universitas mana yang rela menerima saya. Haha. Pilihan untuk tetap di kota ini atau pindah ke kota lain pun masih harus dipikirkan masak-masak. Pilihan untuk menikah--yang entah dengan siapa pun--harus masuk ke dalam daftar rencana. Atau pilihan melanjutkan S3 di mana dan kapan sebenarnya bisa dipikirkan mulai sekarang. Atau mungkin beberapa bulan mempersiapkan beasiswa dengan les bahasa Inggris dan kerja freelance di penerbitan bisa juga menjadi pilihan. Dan, segala sesuatunya sekarang berkumpul dalam perut, membuat melilit. Padahal saya harus istirahat, sebentar lagi waktu sahur, sebentar lagi sidang tesis.

Ternyata menjadi dewasa itu dilematis, ya? 

Selasa, 30 Juni 2015

Dan, Tetiba Segala Sesuatunya Menjadi Sendu

Gambar diambil dari sini.

Apa yang tersisa dari penghujung bulan Juni selain gerimis yang hanya ada dalam tulisan penyair tua favoritmu itu? Gerimis yang tidak akan pernah datang. Jikalau memang datang, ia menjelma sebagai sebuah ketabahan, lalu menguap begitu saja dimakan waktu.

Terbuat dari apakah waktu? Apa pun itu. Saya rasa, waktu adalah hal yang paling rakus yang pernah Tuhan ciptakan. Ia suka menghabiskan hal-hal yang belum selesai sehingga selamanya takkan pernah selesai. Ia juga suka bersijingkat mencuri-curi segala tenggat yang terlewat begitu saja. Atau, diam-diam ia seringkali mengubah segala sesuatunya menjadi abu.

Saya takbisa mengeluh lagi tentang waktu yang takpernah tahu malu itu. Saya hanya bisa mengikutinya, kadang harus berlari atau berjalan sangat pelan. Agar segala sesuatu yang saya usahakan tidak pernah usang dimakan waktu.

Pun waktu yang tetiba membuat segalanya menjadi sendu. Pada selepas senja tadi. Pada jalanan kecil yang setiap kali saya lewati. Sudah hampir enam tahun, saya menempati kota ini. Kota yang pun dengan tetiba menjadi tempat pulang saya yang kesekian. Pada selepas senja tadi, temaram di langit dan jalanan kecil itu menjadi lebih syahdu. Seolah nantinya saya akan sangat merindukan hal-hal itu di luar sana. Di kota lain yang saya pun masih taktahu.

Segala sesuatunya hampir selesai pada hari ini meskipun sesungguhnya saya tahu segala sesuatunya hampir dimulai dari hari ini. Hari-hari setelah ini, saya harus segera memutuskan apakah tetap tinggal di kota ini atau pergi. Segalanya berubah menjadi dilematis karena jauh lebih rumit daripada sekadar pertanyaan "Akan memakai baju apa saya hari ini?" yang sering saya pertanyakan menjelang mandi pagi.

Dan, untuk kali ini, kali ini saja, saya harus menggantungkan pertanyaan itu kepada waktu. Sebab, takpernah ada yang tahu ke mana kaki melangkah setelah ini, selain waktu.

Sabtu, 20 Juni 2015

Pertemuan Kembali

"Aku sudah di stasiun," katamu dalam sebuah pesan singkat. Diam-diam saya berdebar, kereta yang saya yakin kecepatannya takpernah berubah itu rasanya melambat. Perjalanan Solo--Jogjakarta yang hanya tertempuh waktu 50 menit itu semacam melambat menjadi 12 jam. Diam-diam saya merindukan kamu, merindukan kita.

Apa yang tersisa dari sebuah rindu, selain pertemuan? Saya pun takpernah tahu. Itu kali pertama kita bertemu kembali setelah malam-malam panjang yang hanya berisikan saya dan kamu, bukan kita. Pertemuan tanpa rencana yang akhirnya menyeret kembali segala debar yang sesungguhnya takpernah hilang itu.

Kereta berhenti tepat di stasiun pertama kali saya mengenalmu. Semacam cerita picisan memang, tapi begitulah nyatanya. Saya melihat kamu di sudut yang sama dengan pertemuan-pertemuan kita yang lalu, berdiri menunggu. Menghampirimu kala itu bukan perkara mudah. Ada hati yang diam-diam sedang ditata baik-baik agar takterlihat terlalu berantakan di matamu.

"Hai," sapamu mengawali pertemuan kala itu. Saya hanya menjawab sekadarnya, bukan taksenang, hanya terlampau bahagia. Saya takmau kamu melihat kebahagiaan itu atas alasan harga diri yang entah berapa harganya itu.

Selanjutnya, kamu berbicara tentang jadwal makan saya yang berantakan karena belum makan seharian, mengomeli saya karena terlalu lelah, dan hal-hal tentang saya yang masih kamu ingat dengan jelas. Dalam hati, saya bersorak. Kamu sama sekali takberubah, pun matamu yang membuat saya jatuh cinta berkali-kali itu.

Pertemuan yang takdirencanakan itu terasa sangat sebentar. Waktu terlalu cepat ketika ada kamu, saya kira. Sebuah pelukan yang lebih lama dari biasanya menjadi sebuah penanda bahwa akan ada pertemuan-pertemuan setelahnya. Kala itu, saya takberpikir banyak. Saya sudah terlampau bahagia ketika akhirnya bisa berbicara denganmu lagi setelah penantian panjang.

Adakah yang lebih dahsyat dari sebuah rindu, selain pertemuan (kembali)?

Senin, 25 Mei 2015

Kapital

Sudah lama tidak menulis di sini. Tentu saja, kesibukan mengerjakan tesis bisa dijadikan kambing hitam tunggal yang barangkali memang patut dipersalahkan. Kurang dari 24 jam lagi dari waktu menulis ini, saya harus menghadapi sidang seminar tesis, semacam sidang pertama yang nantinya akan ada revisi-revisi untuk sidang tesis sesungguhnya. Rasanya? Entahlah. Saya hampir lupa rasanya deg-degan ketika menghadapi hal-hal seperti ini. Hingga detik ini, saya baru membuat sekitar sepertiga dari tampilan presentasi yang seharusnya, tetapi saya malah pergi.

Sudahlah. Lupakan sejenak. Saya baru saja membaca sebuah tulisan seseorang yang entah siapa yang sedang mengimbau untuk bijak menggunakan layanan Go-Jek, utamanya layanannya yang berupa Go-Food. Jadi, layanan itu memudahkan para pelanggan untuk memesan makanan yang nantinya akan diantar oleh petugas Go-Jek tanpa harus menambah biaya, selain biaya makanan. Kemudian, takjarang, orang-orang hanya memesan satu porsi makan siang, tetapi tetap komplain karena pesanan datangnya lama tanpa memedulikan kondisi jalanan Jakarta yang macet ketika jam makan siang.

Hal itu mengingatkan saya pada banyak hal. Tentang orang-orang yang sama sekali takpunya kapital. Mungkin kali ini bolehlah meminjam pembagian kapital yang dikemukakan Bourdieu: kapital budaya, kapital simbolik, kapital ekonomi, dan kapital sosial. Seberapa banyak dunia terbagi-bagi atas dasar kapital tersebut. Barangkali, tulisan ini memang terlalu terlambat atau terlalu emosional. Hanya saja, saya sedang berpikir banyak-banyak tentang banyak hal.

Seberapa banyak penghasilan sopir angkot sehari setelah dikurangi iuran ini-itu, bayar pajak buat penguasa jalan, pembagian jatah untuk preman pasar, dan setoran kepada yang punya angkot? Seberapa banyak yang mereka bawa pulang untuk anak dan istrinya? Namun, masih banyak penumpang yang membayar tarif angkot di bawah tarif yang seharusnya dengan alasan yang entah apa.

Seberapa banyak uang yang didapatkan pedagang asongan dalam sehari? Jika yang membeli dagangannya juga takjauh-jauh dari sopir angkot atau tukang parkir? Barangkali, satu barang yang mereka jual hanya menghasilkan laba seratus atau paling banyak seribu rupiah. Namun, masih ada yang membeli barang dagangan mereka dengan menawar.

Masih banyak contoh lainnya. Namun, saya sudah tidak punya daya untuk melanjutkannya. Saya sedang ditunggu untuk segera mengerjakan presentasi. Semoga tetap bahagia, siapa pun itu.

Minggu, 22 Maret 2015

Kepada Sang Pemberi Debar

Saya tidak pernah tahu harus menyebut "kita" sebagai apa. Serupa catatan harian yang menumpuk tanpa pernah berniat memberi judul. Barangkali, itu kita, sekarang. Entah nanti.

Barangkali, hari-hari yang pernah dan sedang kita lalui sekarang, hanya serupa daun-daun yang meranggas pada musim gugur tahun lalu, yang barangkali juga takterganti pada musim semi kemudian. Dan, guguran itu lantas luruh begitu saja. Menyatu dengan tanah atau termakan burung atau mungkin tersapu angin, lalu hanyut ke sungai. Lenyap.

Percakapan-percakapan yang tentang apa saja itu pun tanpa pernah ada tentang kita. Kita hanya tahu bahwa kita suka bercakap panjang-panjang dan banyak-banyak dalam sebuah ruang yang seringkali saya sebut sebagai ruang kosong. Serupa angin malam yang tanpa pernah kita sadari suka menyelip di antara pori-pori, lalu menyisakan kembung dalam perut. Begitulah, kita. Takterlihat, tetapi barangkali nanti akan menyisakan bekas. Yang bentuknya entah apa.

Sekali lagi, saya juga tidak pernah tahu apakah kata "kita" cukup mendefinisikan antara saya dan kau. Atau sebenarnya kita hanya cukup disebut sebagai saya dan kau. Sudahlah lupakan. Apalagi yang kita cari, selain percik bahagia pada raut muka ketika percakapan-percakapan panjang pada malam-malam yang sama sekali takpanjang itu tersulut? 

Namun, di antara banyak hal itu, saya hanya tahu satu hal tentang kau. Terima kasih, wahai, Sang Pemberi Debar!

Senin, 16 Februari 2015

Kepada Cinta Yang Nanti

Bandung, 16 Februari 2015

Kepada Cinta Yang Nanti,
Kali ini, aku sama sekali takberharap banyak. Hanya ingin merasa cukup, lalu semoga semua akan baik-baik saja. Ini surat pertama, pada hari yang kuanggap pertama. Beberapa minggu yang lalu, beberapa orang berbondong-bondong untuk menulis surat pada momentum #30harimenulissuratcinta. Aku tertinggal. Maka, tanpa ada alasan apa pun, semoga saja selama tiga puluh hari ke depan, aku bisa berkomitmen untuk menulis surat. Pada siapa saja, termasuk ikan paus di lautan, mungkin.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Aku tahu, kamu pun tahu bahwa kita sama sekali belum tahu perihal apa pun tentang nanti. Kita hanya sedang berlari menuju ke ujung jalan itu. Seolah sendirian. Namun, kita sama-sama tahu bahwa di seberang rel itu kita sedang tertuju pada arah yang sama.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Apa yang kuharapkan padamu? Tidak ada. Aku sama sekali takmengharapkan apa pun sebab seringkali harapan akan berbanding lurus dengan kekecewaan. Terlalu sering mengecewakan dan dikecewakan tidak baik untuk kesehatan, bukan? Maka dari itu, aku hanya ingin berbahagia pada waktu yang sedang ada. Berbahagia untuk apa pun, bukan mencari kebahagiaan karena sesuatu, termasuk berbahagia denganmu nanti.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Entahlah. Apa yang harus kukatakan lagi, selain aku akan menunggumu di ujung jalan itu. Semoga kamu datang tepat waktu, tidak terlambat dan tidak tergesa-gesa. Jika kamu terlambat, aku takut gempa bumi menghancurkan ujung jalanan itu hingga aku pun tinggal nama. Namun, jika kamu terlalu cepat, aku juga takut, langkah kecilku ini belum tiba di sana, di tempat seharusnya kita bertemu karena perjalanan terlampau panjang.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Kamu percaya, bukan, bahwa hidup hanya tentang waktu? Yang fana adalah waktu, kita menurut saja. Dan, aku pun percaya bahwa waktu juga yang akan menyembuhkan dan mengeringkan lukamu dan lukaku yang entah dari mana dan siapa. Hingga nanti, pada waktu ketika kita seharusnya bertemu, takada lagi luka lama yang akan membuat luka baru.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Begitulah, suratku ini. Dibuat dalam sela-sela menunggu pagi. Untuk kamu, yang entah siapa.

Rabu, 07 Januari 2015

Kepada Angka Tujuh pada Kalender

When you can tell a story and it doesn't make you cry. You know at that time you have healed. (Anonymous)

Januari tujuh dua ribu lima belas. Semacam angka-angka yang begitu saja terlewat. Sudah hampir sepertiga bulan terlewat, sedangkan saya belum melakukan apa pun untuk menyambut angka-angka itu. Barangkali, doa-doa pada tahun yang akan terlewati ini taksemuluk pada tahun-tahun yang sudah terlewati. Angka-angka itu mengajarkan banyak hal. Bahwa hidup bukan tentang memberi lalu sudah pasti menerima. Seringkali hidup hanya menerima, tanpa sama sekali memberi. Atau sebaliknya.

Pada tahun ini, satu saja, saya hanya ingin bisa berdamai dengan apa pun yang terjadi. Tidak perlu terlalu mencaci atau mencintai. Sebab, tuhan lebih senang bermain dadu. Kotak-kotak dadu itu mudah terbolak-balik, apalagi hanya sebentuk hati. Berdamai dengan segala sesuatu yang terjadi semoga bukanlah sesuatu yang terlampau sulit. Sebab, sekarang, saya pun harus memahami bahwa hidup akan terasa lebih hidup jika tanpa ekspektasi yang terlalu tinggi. Pada apa pun. Ekspektasi berbanding lurus dengan kekecewaan. Percayalah.

Hanya saja, saya juga berterima kasih. Kepada waktu-waktu yang telah lalu. Yang dengan bercandanya yang sama sekali taklucu. Terima kasih. Paling tidak, saya jadi pandai untuk membalut luka meskipun masih keteteran di sana-sini. Paling tidak, saya lebih bisa menjaga kesehatan saya. Paling tidak, saya mengerti bahwa tidak semua harapan itu terkabul. Terima kasih, pada apa pun yang terjadi.

Hanya saja, sekarang dan sampai nanti, saya harus berkali-kali mengingatkan diri sendiri agar tidak kesulitan untuk berdamai dengan apa pun. Amin.