Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 15 September 2015

Perihal Asisten Rumah Tangga

Hidup sendirian di rumah bersama dengan seorang penjaga rumah membuat saya harus berpikir berulang kali lipat untuk nantinya merekrut seorang asisten rumah tangga. Kedua orang tua saya sedang pergi haji, saya bertugas untuk menjaga dua rumah, satu rumah oma saya dan satu rumah keluarga saya. Seorang penjaga rumah akan datang ketika malam menjelang dan tidur di rumah oma saya, sedangkan saya tetap sendirian di rumah saya.

Meskipun demikian,  ada hal-hal yang kadang membuat saya jengkel karena saya tidak terlalu berani menegur pada si penjaga rumah. Jadi, begini, kadang saya harus bernapas panjang-panjang ketika bangun tidur dan membuka pintu, kemudian mendapati sampah kupasan kulit mangga di pinggir kolam. Atau kulit telur yang tercecer di bawah jemuran. Atau juga gelas dan piring kotor yang diletakkan begitu saja di meja. Atau sampah-sampah daun yang dibiarkan menumpuk. Dan, tentu saja, yang akan membersihkan semua itu adalah saya.

Saya tidak berani menyuruh si penjaga rumah untuk membersihkan segala macam persampahan itu--meskipun sebenarnya bayaran yang diterimanya sudah termasuk bayaran membersihkan rumah--karena alasan ia hampir seusia oma saya. Ada lapisan tebal rasa sungkan dan takut untuk menegurnya. Pun dengan omelan-omelan yang harus saya simpan rapat-rapat agar tidak perlu menyakiti siapa pun. Seharusnya memang hal itu remeh-temeh dan saya tidak perlu jengkel, hanya saja itu tidak terjadi sekali atau dua kali. Atau mungkin saya saja yang bersikap berlebihan. Sesungguhnya, saya pun tidak terlalu rajin membersihkan rumah, tapi saya tidak pernah tahan melihat sampah atau piring kotor yang tidak pada tempatnya.

Dari kejadian semacam ini, saya jadi berpikir ulang berkali-kali untuk nantinya merekrut asisten rumah tangga, terlebih baby sitter. Bukan maksud saya untuk menggeneralisasikan bahwa semua orang yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga selalu seperti itu--tipe orang-orang yang tidak sepenuhnya peduli pada rumah yang dijaganya--tetapi ternyata saya bukan tipe orang yang bisa percaya untuk menyerahkan pekerjaan kepada orang lain.

Saya jadi berpikir, pasti akan lebih menenangkan jika semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri saja, semampunya. Tidak perlu terlalu ambisius untuk rumah yang selalu tertata sangat rapi, yang penting bersih, tidak bau, dan cukup rapi. Barangkali bagi saya itu cukup daripada harus merekrut asisten rumah tangga, tetapi saya tidak pernah berani menegur perihal kebiasaan-kebiasaan kecil yang tidak sesuai dengan kebiasaan saya. Yang pada akhirnya, saya harus menahan emosi setiap hari, yang bisa jadi meledak pada malam Lebaran.

Begitulah. Barangkali keputusan saya hingga kalimat terakhir ini sudah bulat, saya tidak akan menggunakan jasa asisten rumah tangga nanti setelah saya sudah berumah tangga atau mulai memiliki rumah sendiri.

Jumat, 11 September 2015

Empati Takmelulu tentang Like dan Share

Beberapa tahun terakhir ini, saya jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti perkembangan berita dengan saksama, baik dari surat kabar cetak, surat kabar elektronik, terlebih televisi. Saya hanya cukup tahu apa yang terjadi, tanpa harus memiliki niat untuk mengikuti perkembangannya secara mendalam. Meskipun demikian, saya masih saja kebanjiran informasi dari linimasa jejaring sosial yang berasal dari unggahan teman-teman saya.

Mengapa saya memutusukan untuk tidak lagi membaca koran dan menonton televisi? Saya hanya ingin bahagia. Itu saja. Begini, setiap kali mencoba mengikuti berita, saya selalu saja menarik napas panjang-panjang, adakah berita yang tidak lebih buruk dari ini? Barangkali memang benar bahwa a bad news is a good news. Tapi, apakah dengan mengunggah foto korban yang berdarah-darah juga termasuk sebuah kebaikan bagi sebuah media?

Saya masih bisa sedikit memaklumi ketika berita hanya berisi perspektif dari para jurnalis atau penulisnya sebab saya percaya bahwa segala sesuatu yang didengar adalah opini, bukan fakta, dan segala sesuatu yang dilihat adalah perspektif, bukan kebenaran. Termasuk tulisan ini, termasuk nukilan--yang entah dari siapa--itu. Dan, mungkin memang perspektif saya berbeda dengan perspektif para jurnalis tersebut sehingga saya tidak terlalu setuju dengan segala hal yang dikemukakannya. 

Namun, saya masih percaya, jurnalis yang memang benar-benar memahami dan menerapkan kode etik, tidak akan pernah melanggar segala sesuatu yang sudah tertera di dalam kode etik. Akan tetapi, permasalahan tidak berhenti pada itu saja. Perkembangan arus teknologi dan informasi memungkinkan setiap orang memiliki "media" secara pribadi, yang dikelola secara mandiri dan dikonsumsi oleh orang-orang dalam lingkarannya. Katakanlah, jejaring sosial. Setiap orang pasti punya seminimalnya satu akun yang bebas diisi dengan apa pun.

Media yang dikelola oleh satu orang saja sudah cukup membentuk sebuah "kebenaran", terlebih media yang dikelola oleh jutaan netizen. Media punya andil besar dalam menggiring opini massa. Tentu saja. Itu sudah dibahas berabad-abad tahun yang lalu oleh para ahli media. Bahwa media adalah tangan kapitalis, bahwa media adalah kapital paling berpengaruh pada abad ini. Semacam bahasan yang sudah basi. Percuma saja grandtheory itu digaung-gaungkan kalau masih saja keenakan menerima suapan dari media. Lantas, bagaimana? Barangkali tidak terlalu menyalahkan media adalah salah satu jalan untuk menghentikan informasi yang tidak pada tempatnya. Memulai membatasi diri dari informasi-informasi yang takperlu mungkin bisa sedikit membahagiakan dan membantu agar kebodohan tidak terlalu cepat meluas.

Misalnya saja, satu hari yang lalu, Masjidil Haram tertimpa alat berat, banyak orang luka-luka, bahkan meninggal. Seharusnya, informasi sudah sangat cukup pada hal-hal yang mencakup 5W+1H. Tidak perlu ada foto korban yang berdarah-darah yang dibagikan di setiap akun jejaring sosial, lantas yang melihat kemudian ikut membagikan foto-foto itu. Terlebih, akun-akun yang membagikan foto-foto tersebut adalah akun-akun semacam Golongan Darah, Berdakwah, Dagelan, atau sejenis itu yang entah siapa administratornya dan entah bagaimana cara mendapatkan berita tersebut.

Lalu, setiap orang dengan tidak merasa berdosa mengeklik tombol like atau share, yang otomatis akan turut serta menyebarluaskan berita tersebut dengan alibi turut berempati. Terlebih berita yang entah dari mana datangnya itu disebarkan secara personal melalui aplikasi pesan. Oh, tolong. Empati atau apa pun itulah namanya bukan dengan hanya menge-like atau menge-share sesuatu yang diposting oleh akun-akun yang entah apa dan entah siapa itu. Tolong, menjadi cerdas tidak perlu sekolah setinggi langit, kok.

Saya memang sedikit emosional kali ini. Orang tua saya sedang berada di Makkah ketika kejadian. Sungguh saya tidak tahu-menahu perihal jatuhnya alat berat sampai ketika banyak pesan yang masuk menanyakan kabar orang tua saya kepada saya. Saya yakin orang tua saya baik-baik saja, tetapi menjadi miris ketika foto-foto jamaah haji yang terluka disebarluaskan tanpa ada pertanggungjawaban. Saya membayangkan saja, bagaimana jika yang terekam dalam foto itu adalah orang tua saya, tentu saja kesedihan saya akan berkali lipat.

Sebenarnya, sudah sejak lama saya ingin menulis tentang permohonan dengan sungguh-sungguh untuk tidak menyebarluaskan foto korban apa pun, baik foto dengan blur terlebih foto yang tampak jelas. Barangkali itu adalah salah satu empati yang bisa dilakukan--selain doa--ketika tangan taksanggup terulur untuk membantu korban maupun keluarga korban. Sekian.