Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Jumat, 03 April 2020

Kepada Ricky,

Depok, 3 April 2020

Kamu apa kabar? Aku selalu memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja sebab kamu ada di dalam daftar panjang orang-orang yang aku harus selalu tahu kabarnya.

Aku tahu ini cukup berat untuk banyak orang yang terlibat dalam hidupmu. Aku pun tak tahu harus bagaimana, selain berdoa banyak-banyak agar semua ini segera berakhir. Tapi, Tuhan tidak pernah memberikan hal-hal yang kita takbisa melampauinya, bukan? Termasuk ini.

Menyebalkan memang ketika yang kita risaukan hanya dibalas dengan kalimat-kalimat semacam paragraf sebelum ini. Hanya saja, saat ini, memang tak ada lagi yang bisa kita lakukan, selain berdiam di rumah dan berdoa.

Sudah. Sudah. Nanti makin sedih.

Jadi bagaimana? Sudah sampai mana hal-hal yang sedang kamu perjuangkan itu? Aku sebenarnya turut bahagia dengan pencapaianmu akhir-akhir ini, tapi sejujurnya, dalam hati yang paling dalam, aku jauh lebih bahagia ketika kamu menerima dirimu tanpa tapi, selama itu sehat dan tidak menyakiti hati orang lain. Tapi, percayalah, aku sangat bahagia dengan perubahan positifmu.

Lalu, bagaimana dengan perjalanan-perjalanan selanjutnya? Sepertinya aku akan refund tiket yang untuk ke Penang bulan depan. Ini adalah bagian tersedih dalam hidupku, tetapi akan lebih sedih jika segalanya tak juga membaik. Kemungkinan juga perjalanan pulang lebaran tidak akan kulakukan. Dari sebelas tahun yang lalu, ini pertama kalinya aku akan lebaran tanpa rumah. Itu berarti, waktu kita akan makin panjang untuk sebatas buka bersama atau sebatas bercakap di meja makan.

Sudahlah. Dalam hidup memang akan selalu ada bagian-bagian tersedih seperti ini. Tidak apa-apa. Bukankah kita sudah banyak-banyak bahagia sebelum ini? Maka, bumi sedang menjalankan tugasnya: berputar.

Semoga tetap baik-baik saja, ya, kamu.

Salam hangat,
Fitria.

Kamis, 02 April 2020

Kepada Rahim Ibu,

Depok, 2 April 2020

Mungkin 29 tahun yang lalu, kita terakhir bertemu. Apakah kamu masih setangguh dulu? Apakah rumahmu masih hangat? Namun, satu hal dari tulisan ini, aku hanya ingin berterima kasih kepadamu. Sudah bertahan membawaku, mungkin sembilan, mungkin sepuluh bulan. Kukira bukan waktu yang singkat.

Semenjak kita tak lagi bertemu, aku tak lagi tinggal dalam dirimu, aku bertemu dengan banyak malaikat tanpa sayap juga iblis tanpa tanduk. Tidak seperti dalam kamu yang aman dan tanpa resah, di luar kamu, sering kali aku menggigil karena ketakutan, menangis karena kesakitan, hingga berdiam diri karena kebingungan. 

Ada banyak jalan yang harus kupilih, lalu kutempuh. Sendirian.

Jika kamu bertanya, apakah aku baik-baik saja? Kukira jawaban yang akan kuberikan pada orang-orang dan juga kamu masih sama: aku baik-baik saja. Seharusnya memang aku baik-baik saja. Tak perlu kau risaukan aku. Sepuluh bulan bersamamu sudah cukup membuatku memiliki gambaran bahwa nantinya hidup akan begini dan begitu saja. Meski aku pun tak ingat apa yang aku lakukan di dalam kamu kala itu. 

Sekarang giliranku bertanya, apakah kamu masih sekuat dulu? Sebab jika kamu tak baik-baik saja, ibuku juga tak akan baik-baik saja. Kamu tahu, bukan, ibuku adalah hampir seluruh aku? Duniaku berputar mengelilingi tubuhnya. Aku tak pernah membayangkan jika sehari pun aku tanpanya. Bagaimana mungkin aku bisa menjalani kehidupan ini tanpanya.

Maka, demi ibuku, aku mohon, tetaplah baik-baik saja dan kuat meski aku tahu, usiamu maupun usia ibuku terus berjalan.

Salam hangat,
Aku yang sedang rindu ibuku.

Rabu, 01 April 2020

Kepada Semesta,

Depok, 1 April 2020


Aku tidak akan menanyakan kabarmu sebagaimana surat-surat lain dibuka sebab aku tahu, kamu sedang tidak baik-baik saja. Kita semua sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, kita sedang mencoba baik-baik saja, terlihat tegar dengan tagar-tagar #dirumahsaja yang bertebaran di mana-mana. Tagar itu seolah penanda bahwa hidup kita sedang baik-baik saja, padahal kukira tidak.

Ada banyak yang hilang, ada banyak yang merutuk, tetapi beberapa mencoba tetap baik-baik saja agar segala sesuatunya tidak makin berat.

Kondisi seperti ini tidak pernah ada dalam skenario masa kecilku ketika membayangkan sebuah kehidupan dewasa. Tapi, barangkali kamu sudah mempersiapkannya, mungkin juga sudah memperkirakan bahwa waktu ini akan datang, cepat atau lambat. Sementara aku tidak. Aku sama sekali tidak siap ketika melihat beberapa kekacauan mulai muncul. Mencoba tenang, tetapi tetap panik.

Apa kamu tidak rindu membuat semuanya benar-benar baik-baik saja? Berjalan sebagaimana mestinya. Tapi kemudian pertanyaanku itu membuatku kembali bertanya, siapa yang sebenarnya tidak ingin baik-baik saja? Jangan-jangan aku. Siapa yang sebenarnya sangat rindu semuanya kembali baik-baik saja? Jangan-jangan aku juga.

Maaf.

Segala pertanyaan dan kecamuk dalam kepalaku hanya disebabkan oleh satu hal: aku rindu pulang. Karena kamu yang sedang dituduh tak baik-baik saja, aku harus menunda banyak perjalanan untuk pulang pada rumah yang sejak di rahim ibu aku sudah menandainya sebagai tempat melepas segala lelah.

Jika tak pulang, lelahku akan tetap bertumpuk, tidak terurai. Sebagaimana pemikiran-pemikiran manusia yang rumit tanpa sebab.

Hanya di bawah ketiak ibu, aku merasa bisa terbebas dengan napas sesak. Jika sudah seperti itu, pelan-pelan otakku bisa kembali menata hidup yang mungkin juga tidak menyenangkan-menyenangkan amat untuk dijalani, tetapi hidup tetap harus berjalan, bukan?

Begitulah. Kali ini, aku harus mampu bertahan. Semoga kamu cepat dinyatakan membaik.