Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 30 November 2010

Segala Sesuatu Itu Berawal dari Cinta

Hari ini berkah. Ya, tes lisan mendadak di mata kuliah Kemahiran Membaca Naskah Klasik itu sebuah anugerah. Saya bisa keluar kelas dengan cepat, yang memang sejak awal sudah ingin membolos. Bukan kok. Saya hanya ingin menonton pertunjukan karawitan jawa yang sindennya berasal dari Jepang. Waw! Itu kata yang terucap dari mulut saya saat pertama kali melihat posternya. Ehm, saya merasa malu. Saya orang Jawa. Tulen. Tapi sungguh, bahasa Jawa yang ada di tembang-tembang karawitan itu pun banyak yang tidak saya mengerti. Apalagi untuk menyinden, lebih-lebih memainkan kendang dan kawan-kawan. Beuh! Boro-boro! Sangat memalukan.
Ah ya, saya lupa. Pesinden itu bernama Hinomi Kano. Lebih senang dipanggil dengan Mbak Hinomi. Sudah lebih dari 10 tahun menjadi sinden. Sudah lebih dari 20 tahun berada di Indonesia. Ehm, luar biasa.

Ya, ya, ya,
Sebenarnya bukan itu yang ingin saya ceritakan di sini. Tapi hanya satu hal saja.
CINTA. Indah bukan kata itu? Lima fonem, satu morfem.
CINTA. Damai bukan kata itu?

Seorang penonton bertanya pada Mbak Hinomi, alasan apa yang membuat Mbak Hinomi begitu cinta dengan karawitan. Dengan singkat, Mbak Hinomi berkata, "Ya, ya, kalau orang jatuh cinta itu kan tidak ada alasannya!"

Deg! Iya. Itu betul. Jawaban yang singkat, tapi menyentuh. Sangat.
Semua berawal dari cinta.
Ah, cinta itu luas. Coba saja kau katakan pada setiap orang. Pasti ada definisi yang berbeda-beda.
Cinta.
Satu hal saja yang ingin saya perluas dari cinta ini. Bahwa memulai segala sesuatu itu dengan cinta. dengan rasa suka. dengan ketertarikan. Tidak perlu terpengaruh karena opini publik. Tak usah peduli pad konstruksi sosial. Tak perlu itu semua. Cukup ikuti saja cintamu berjalan. Ya, ke mana saja. Cinta takkan pernah salah menuntun. Tak pernah salah mendefinisikan.

Ah iya, contoh paling nyata dalam hidup saya adalah pilihan saya. Saya tidak pernah peduli dengan omongan orang. Banyak yang mencibir dan mempertanyakan akan jadi apa saya kelak? Kuliah jauh-jauh dan bayar mahal-mahal hanya untuk memperlajari sastra. Hanya untuk mempelajari bahasa. Buang-buang saja. Sungguh, saya sama sekali tak peduli dengan pendapat itu. Yang penting, saya cinta pada bahasa. Saya cinta pada sastra. Saya cinta pada kata. Itu saja. Tak lebih.
Saya yakin, suatu saat nanti, cinta yang saya perjuangkan ini akan membawakan hasil yang luar biasa. Cinta yang saya perjuangkan ini akan menghidupi saya dengan layak.
Ya, saya yakin itu. Sebab Tuhan pun akan memberikan sebuah jembatan untuk saya. Jembatan yang akan lebih mendekatkan saya dan cinta.
Iya, semuanya berawal dari cinta. Ini tak bohong.

Senin, 29 November 2010

Saya Belajar Memaafkan Hari Ini!

Ya, maaf. Satu kata itu.
Tuhan memang membalas semuanya. Tak lebih tak kurang.
Rasa sakit hati saya pada seseorang itu bisa dibilang sudah mencapai titik puncaknya. Bagaimana tidak. Dia dengan mudahnya mencaci saya. Mencaci banyak orang. Entah. Saya pun sudah jengah untuk mencari siapa yang salah. Siapa yang benar. Siapa yang mulai. Siapa yang mengakhiri. Bosan saja.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Sebelumnya saya dan dia tak pernah ada apa-apa. Biasa-biasa saja. Baik-baik saja. Dia baik pada saya, saya pun baik padanya.
Tiba-tiba saja, dia meliar. Mengeluarkan semua caciannya pada saya. Saya tidak tahu, apa salah saya. Saya diam saja. Ah iya, menangis saja. Cengeng. Tapi lebih cengeng kalau saya harus mengadu pada orang lain. Biarkan saja. Air mata ini hanya saya dan Tuhan yang tahu. Ehm, niat baik kita pada seseorang memang tak selalu berbanding lurus dengan balasannya pada kita. Tak selalu. Saya maklum. Diam saja. Mendengarkan saja caciannya. Menangis saja kalau perlu. Meski saat itu, rasa sakit hati saya tak terperikan. Ehm...

Ya, maaf. Satu kata itu.
Kemarin dia tak berdaya. Kekuatan supernya sementara diambil oleh Tuhan. Ingin rasanya menunjukkan rasa empati saya. Fiuh!! Tak mudah. Rasa sakit hati vs rasa empati saya berperang dulu. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya saya berangkat menemuinya. Di jalan, saya tidak tahu apa yang saya pikirkan. Antara rasa sakit dan rasa empati. Argh! Mereka belum damai ternyata.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Akhirnya, saya bertemu dengannya. Dia tersenyum. Saya membalas senyumnya. Kami mengobrol, layaknya tidak terjadi apa-apa. Hufht! Tidak tahu lagi apa yang ada di pikirannya. Apalagi di pikiran saya.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Gampang saja saya bilang, "Iya, gue maafin kok!"
Terus setelah itu, apakah bekas lubang karena tancapan luka itu akan hilang? Saya rasa tidak. Apakah kertas yang tersobek itu akan kembali utuh? Lalu, apakah ludah yang telanjur menyakitkan itu bisa dijilat lagi? Ehm, itu tidak akan.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Setelah bertemu dengannya. Sakit hati saya sepertinya sudah mau kompromi. Paling tidak, dia sudah tidak meracuni rasa empati saya. Saya sudah mulai bisa membalas dengan tulus senyum dan ucapan terima kasihnya.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Perasaan saya bekerja.
"Iya, gue maafin kok!"
Kalimat itu memang tidak pernah bisa mengubah sesuatu yang telah lalu.
Tidak bisa menambal lubang bekas luka. Tidak bisa mengembalikan kertas yang tersobek. Dan tidak bisa menjilat ludah sendiri. Takkan pernah bisa.
Tapi, satu yang saya ingat. Kalimat itu akan mengubah masa depan saya. Akan mendamaikan hati saya. Dan akan menjadikan saya pribadi yang baru.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Hanya empat huruf. Coba saja praktikkan kalau tidak ampuh membuatmu menjadi pribadi yang damai, potong saja leher saya.

Ya, maaf.
Saya belajar memaafkan hari ini! Bukan saja untuk dia, tetapi untuk orang-orang di sekitar saya.

Jumat, 26 November 2010

Maaf

Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu yang hanya bisa memanggil namaku saat hujan tiba. Yang menggigil di bawah hujan menungguku pulang. Yang merelakan separo waktumu untukku. Ya, hanya untukku.

Kamu yang hanya bisa memandangi fotoku di luar sana. Yang setiap hari mengirimiku ucapan ”Selamat Malam” lewat pesan singkat. Yang aku tahu itu hanya untukku.

Kamu yang tak pernah sanggup mengeja kalimat Aku cinta kamu. Kamu yang hanya tersenyum saat aku tertawa. Kamu yang menangis hebat saat aku kesakitan.

Maaf. Aku tak pernah bisa membaca matamu. Aku tak pernah bisa merasakan isyarat itu. Maaf.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu yang selalu kelu saat berbicara denganku. Kamu yang selalu menolak menatap mataku. Kamu yang selalu berkeringat saat aku melihatmu tertawa.

Aku tahu, kemarin lusa. Kamu ada di depan rumahku. Sebatang cokelat dan sepucuk surat kausembunyikan di balik tubuhmu. Mengintipku dari celah pagar rumahku. Ah, kenapa kamu tak meminta bantuan merpati saja untuk mengantar surat itu untukku. Tak perlu repot-repot. Tapi, kamu selalu bilang tak ingin merepotkan yang lain.

Kamu tahu? Aku sudah menunggumu di dalam. Sudah kupoleskan sedikit pemerah di bibirku yang tipis. Sudah kukenakan baju yang kamu pilihkan. Aku gelisah di dalam. Menerka-nerka apa yang ada di dalam sepucuk surat itu. Sayang sekali, kamu tak pernah masuk. Ah, mungkin kali ini, malaikat kecil itu lupa membawa panah cintanya. Atau panah cintanya masih diasah di surga? Entahlah. Aku juga tak mengerti.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu egois. Atau aku yang terlalu apatis? Sudahlah. Tak perlu dibahas. Kamu masih saja diam. Aku juga masih saja tak peduli. Atau kamu ingin menjadi sosok romantis yang aku idamkan? Mungkin kemarin kamu sempat melihat coretanku. Romantis itu Tanpa Kata. Ah iya, aku lupa.

Kamu gunung es. Atau aku yang suka ngeles? Mungkin juga. Aku selalu mengalihkan perhatianmu saat kamu mulai berucap tentang cinta, tentang hujan, dan tentang kita.

Maaf. Bukan maksudku. Hanya saja aku takut. Aku takut.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Kamu bukan batu. Dan aku juga bukan sepatu. Yah, hari ini. Saat aku berbicara dengan hatiku, kamu datang. Mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang mungkin sudah berhasil membuat gelombang di hatimu. Yang mungkin sudah mengacak-ngacak sistem otakmu. Aku mencintaimu. Hanya itu yang kamu ucapkan. Aku menunduk. Kamu tertunduk. Kita diam. Bergeming. Maaf. Hanya itu yang bisa aku ucapkan padamu. Kamu terlihat tegar. Iya, tak apa. Mencintaimu adalah sebuah ketulusan. Kamu mengusap lenganku dengan lembut. Aku yang menangis. Bukan kamu. Maaf. Sekali lagi aku mengucap kata itu. Lalu pergi meninggalkanmu yang mematung. Mungkin hatimu sudah penuh abu letusan gunung cintamu. Maaf.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.

Maaf. Belum ada namamu di sudut hatiku.

Senin, 22 November 2010

Aku Takut

Di rumah sendirian. Dua orang malaikat itu sedang pergi. Menonton Harry Potter terbaru, katanya. Aku hanya menggeleng saat mereka mengajakku. Aku tak suka nonton film. Apalagi Harry Potter. Itu hanya akan membuatku terlelap di kursi empuk dan ruangan ber-AC itu. Ah iya, buang-buang uang.
Aku sedang berpikir tentang hujan. Tentang cinta. Proyek antologi. Argh! Aku tidak tahu harus menulis apa. (Lagi-lagi) otakku tak berkenan diajak berpikir. Padahal, temanya mudah bukan? Ya, hanya hujan dan cinta. Begitu dekat. Tapi tidak kali ini, mereka menjauh. Enggan kucumbu.
Ingin rasanya kututup saja mataku. Tak usah lagi melihat tulisan. Tak usah menulis. Tak usah membaca. Aku takut. Aku takut. Takut sekali.
Maaf. Rasa takutku belum bisa kuceritakan padamu hari ini. Terlalu berisiko. Aku tak mau itu. Yang pasti, aku tidak suka caranya. Aku takut. Ssstt... jangan bilang siapa-siapa dulu ya! Kalau ada orang yang bertanya apa yang aku takutkan, bilang saja, aku takut di rumah sendirian. haha

Minggu, 21 November 2010

Sepertinya, Rasa Syukur Saya Belum Cukup

Doa yang saya panjatkan rasanya belum sebanding dengan rasa syukur saya. Begitu banyak doa, tak ada syukur. hah. Manusia macam apa saya? Malu rasanya.
Ah ya, rasa syukur seharusnya tak hanya ucapan Alhamdulillah ratusan kali. Tak hanya terima kasih pada Tuhan. Tak perlu itu. Tuhan tak perlu ucapan itu berkali-kali.
Hal yang membuat saya menulis coretan ini karena hari ini saya benar-benar galau. Layaknya ABG Labil yang sedang galau. Selesai ikut seminar. Jauh-jauh datang ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Seorang pembicara. Ehm, membuka mata saya.

"Cara bersyukur itu cukup buat orang lain merasakan kebahagiaan kita!" pembicara tersebut membuka kalimatnya. Saya hanya terdiam. Ehm, perjuangan kelas. Pikir saya.
"Iya, kalau kita makan 3x sehari, pastikan orang lain juga makan 3x sehari. Kalau kita tidur nyaman, buat orang lain tidur senyaman kita. bla... bla... bla...."
Entahlah, apa yang beliau bicarakan lagi. Saya sudah terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran liar saya.
Dari titik itu, (yang mungkin tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan oleh beliau), saya mulai berpikir. Ya, saya sangat bersyukur dilahirkan dari keluarga yang tingkat ekonominya menengah. Tidak kurang, lebih sedikit. haha.
Dalam hidup saya selama ini, saya harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, tapi saya tidak perlu mengemis di pinggir jalan. Saya bisa minta apa saja yang saya butuhkan, meski bukan semua yang saya inginkan pada kedua orang tua saya. Saya bisa merasakan panasnya berjalan kaki, yah, walaupun kadang-kadang saya juga bisa merasakan dinginnya AC mobil. Saya juga berdesak-desakan di dalam kereta ekonomi, tapi saya tak jarang merasakan nyamannya kereta ekspress.
Itu hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya ketika ada penyebutan kata bersyukur.
Tentu saja, ada rasa-rasa syukur lainnya yang tidak bisa saya sebutkan di sini.
Yah, lagi-lagi kelas dalam sosial telah mengotak-ngotakkan golongan. Ada kelas "punya" dan "tidak punya". Menyakitkan.
Kemarin, saya memberikan tambahan pelajaran secara privat di rumah anak orang kaya. Benar-benar kaya. Bahkan belajar saja harus membayar mahal. Dia, bisa dikatakan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan sedetik kemudian. Hanya mengikuti irama angin. Butuh apa-apa tinggal teriak "Mama". Perutnya lapar tinggal teriak "Mbaaaakkk". Ah, benar-benar seperti bayi.
Hari ini, saya melihat anak yang jauh lebih muda dari anak orang kaya tadi. Berteriak-teriak di pinggir jalan. Membantu mencarikan penumpang untuk Kopaja yang saya tumpangi. Badannya kurus. Wajahnya tirus. Tak terurus. Saya menghela napas. Uang itu. Uang yang dia dapatkan. Sungguh. Tak seberapa dibandingkan kerjanya yang kepanasan dan berkeringat. Uang itu untuk menyambung hidupnya. Melunasi buku-buku sekolahnya. Membelikan obat ibu bapaknya. Membelikan mainan untuk adik-adiknya. Ah, paling tidak itu cerita yang saya dapatkan. Hampir saja saya menangis.
Dua hal yang membuat saya berpikir. Yah, untuk sementara saya masih menikmati rasa syukur saya. Suatu saat nanti, eh, bukan, setelah ini, ya setelah menulis catatan ini, saya ingin berjuang untuk menghapuskan kelas itu. Namun, saya bukan penganut Marx yang terlalu ekstrim. Saya hanya ingin membuat anak-anak yang kurang beruntung itu, paling tidak, bisa merasakan pendidikan seperti saya. Bisa makan seenak saya. Bisa berpakaian selayak saya. Ya, ya, ya, itu yang saya pikirkan sekarang.

Selasa, 16 November 2010

Sudah Lama tak Menulis Puisi

Entah sejak kapan
Sejak Lebaran tahun lalu
Sekarang sudah hampir Natal
Belum juga ada aksara
Ada apa?
Denganku atau denganmu?

Minggu, 07 November 2010

Hati-Hati, Ya!

Sebuah pesan singkat diucapkan nenekku saat aku mencium pipinya. Kupeluk tubuh ringkihnya. Ada kehangatan. Ada kenyamanan. Rasanya, tak ingin aku berpisah dengannya. Tak bisa. Aku harus kembali ke kota yang katanya megapolitan ini. Aku harus mengulik-ulik lagi mimpiku. Mewujudkannya. Lalu mempersembahkan pada nenek.
"Hati-hati, ya!" hanya itu pesannya. Seperti biasa. Tak banyak suara.
Aku mengangguk. Sekali lagi aku menciumi kedua pipinya bergantian. Tak ada air mata. Tak ada tangis. Tanpa ada kejadian dramatis. Semuanya biasa saja.
Nenekku orang hebat. Nenekku orang hebat.
Itu yang berkali-kali kutanamkan dalam otakku. Nenekku memang hebat. Masakannya lezat. Pelukannya hangat.
Kulambaikan tangan padanya. Pada tanteku. Pada sepupuku. Pada kota Bandung. Bandung mendung. Bandung dingin. Tapi ada hangat di pelukan nenekku.

"Hati-hati, ya!"
Itu pesan biasa. Terasa biasa saja.
Namun, saat nenekku mengucapkan itu, ada hal lain. Makna itu terasa dalam. Padahal, sebenarnya memang, makna klausa itu harus dalam. Tak sekadar ungkapan tanpa maksud. Tak sekadar klausa pemisah raga. Tak sekadar salam yang kehilangan jiwa.
Hati-hati

Sebuah bentuk reduplikasi dari kata hati.
Hati itu peka. Hati itu lembut. Hati itu perasaan. Jadi, kata hati-hati memiliki makna melakukan segala sesuatu dengan perasaan. dengan rasa. dengan lembut. Hah? Ngaco?
Biarlah. Tapi, inilah kenyataan. Klausa itu harusnya tak sekadar angin lalu. Harusnya, menjadi bagian dalam setiap langkah kita.
Yeah, hati-hati, ya!

Senin, 01 November 2010

Romantis Itu Tanpa Kata

Aku duduk di bangku depan di mata kuliah penulisan populer. Seperti biasa. Di kuliah-kuliah lain biasanya juga seperti itu. Aku duduk di garda depan. Bukan apa-apa, hanya saja mataku tak dapat melihat jika aku harus duduk di belakang.
Dosenku bertanya, "Apa definisi romantis menurut kalian?"
Aku hanya bengong. Ada satu tersirat di kepalaku. Satu per satu temanku ditanya. Ah, untung aku terlewat.
"Romantis itu rokok makan gratis!"
Seorang temanku nyeletuk seperti itu. Aku hanya tersenyum. Ingin tertawa, tapi kalimat itu sudah umum.
"Romantis itu kejutan yang tak terduga!"
Dua orang temanku menjawab seperti itu. Ah, masih normatif. Bagaimana jika kejutan itu menyakitkan? Bagaimana jika kejutan itu akan memberimu airmata? Aku bergidik.
"Romantis itu bla... bla... bla..."
Entahlah, apa lagi komentar teman-temanku. Hanya seperti dengungan lalat yang menari-nari di otakku. Hah!
Romantis? Entahlah. Definisi apa yang tepat untuk menggambarkan kata itu. Delapan fonem. Satu morfem.
Romantis menurutku itu tanpa kata. Tanpa puisi. Tanpa bunga. Tanpa lilin. Tanpa kejutan. Cukup sediakan sapu tangan dan bahumu saat aku menangis. Cukup ulurkan tanganmu saat aku terjatuh. Dan cukup pinjamkan sayapmu saat aku tak mampu terbang lagi.
Sesederhana itukah definisi romantis menurutku? Iya. Hanya itu. Tak lebih. Tak kurang. Kenapa? Kamu masih tak sanggup melakukannya untukku? Tak apa. Aku takkan marah dan takkan menuntut. Romantis menurutmu pun tak sama dengan menurutku.