Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 29 Juni 2013

Sore

Mari, kita bertemu di antara barat dan timur dari angin. Kita berbincang. Tertawa. Menangis. Bersama. Seolah teman lama yang bertemu kembali. Aku menyeduh teh. Dan, kita menyesapnya sedikit demi sedikit. Sembari menunggu senja yang sebentar lagi datang. Ada pisang goreng yang mengepul. Yang hari ini khusus kubuat untukmu. Kamu boleh mencicipinya tentu saja. Takusah ragu. Aku takmemasukkan apa pun ke dalamnya.

Mari, mari kita berbincang sewajarnya. Seolah kita takpernah kehabisan cerita. Atau seolah kita sudah mengenal lama sebelumnya. Mari, kita bicara. Seirama dengan ritme angin di belakang kita. Rasakan aroma tanah yang semalam terbasahi hujan. Hei, bukankah kau juga suka hujan? Aku hanya menebak sebab aku suka hujan.

Mari, mari kita tertawa. Bersama. Menertawakan segala hal yang mungkin menurutmu konyol. Ha-ha. Bukankah tawa adalah kegetiran yang menumpuk? Semoga. Semoga kamu setuju.

Mari, mari kita pulang. Sesudah menangis puas. Pulang ke rumah masing-masing. Semoga. Semoga kamu taklupa jalan pulang.

Kamis, 27 Juni 2013

Juni Hampir Habis

Dan, bulan Juni pun hampir habis. Lalu semua pelan-pelan terkikis.
Apa kabar, kamu? Sudah lama. Entah. Sejak kapan.
Aku takpandai menghitung waktu. Dan harusnya kamu tahu itu.
Lalu, tentang kenangan yang menjelma bintang pagi itu pun telah habis
Aku sudah membuangnya ke sungai.
Tepat. Setelah kamu pergi.

Aku takpandai menyimpan. Terlebih kenangan.
Biarlah dia kembali. Pada laut.
Yang telah melahirkannya.

Hei,
Apa kabar, kamu?
Semoga kamu tetap baik-baik saja.
Sama seperti terakhir aku bertemu denganmu.
Tentang perpisahan. Tentang ucapan selamat tinggal.

"Apa yang kaurasakan ketika dia pergi? Apa ada sesuatu yang hilang?"
seorang temanku mencercaku. Terdiam.
Lalu, semuanya kembali syahdu.
Ada yang berat di pelupukku.
"Bukan ada yang hilang. Tapi, aku yang hilang.
Luruh dalam kenangan yang kubuang."
Kataku lirih.

Selasa, 11 Juni 2013

Bagaimana Jika Kartu Pos yang Kukirim Padamu Takpernah Sampai?

Ya. Bagaimana jika senja yang kukerat seukuran kartu pos itu takpernah sampai padamu? Entah. Mereka sedang menyangkut di mana. Mungkin di pohon-pohon. Atau di rel kereta. Atau mungkin kartu pos itu masih di Pak Pos. Sebab, Pak Pos masih menginginkan ada seseorang yang mengirimkan kartu pos untuknya. Lantas, sampai rambutnya memutih, Pak Pos takkunjung mendapati sebuah kartu pos dari siapa pun untuknya. Lalu, aku datang, kepadanya. Membawa selembar kartu pos yang kutulisi dengan rindu. Kartu pos ini untukmu.

Tapi, yang terjadi. Kartu posku takpernah sampai kepadamu. Pak Pos itu dengan senang hati menyimpan kartu posku bergambar senja, tertulis rindu. Aku taktahu bagaimana cara memintanya kembali. Agar dia mau mengirimnya untukmu. Sebab, menunggu kartu posku sampai kepadamu itu serupa menyaksikan perjalanan rinduku kepadamu. Perjalanan pendek yang terlalu panjang. Rasanya.

Bagaimana jika kartu posku selanjutnya takpernah sampai kepadamu juga? Kukira sama saja. Aku takmengerti apa yang harus kulakukan jika semua Pak Pos suka menyimpan kartu posku untukmu. Mungkin, itu satu-satunya cara mereka untuk mengenang pekerjaan mereka. Mengirim kartu pos: entah ke alamat yang dituju atau bukan.