Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 19 November 2011

Truth or Death

Terbuat dari apakah kenangan itu? Aku takpernah tahu. Dari serpihan jerami yang menumpukkah? Atau dari debu di atas laci mejaku. Hanya saja, kenangan selalu membuatku mengingat-ingat sesuatu yang takingin kuingat, atau malah menghilangkan file penting dalam memori. Seperti jelangkung. Membuatku takut.
Kenangan jugalah yang menggedor-gedor ingatan. Tentang apa pun. Seperti halnya dini hari ini. Tiba-tiba aku mengingat permainan "Truth or Death" yang beberapa hari lalu kumainkan bersama teman-temanku. Mungkin kau akan bingung dengan permainan ini. Ya, harusnya, permainan ini bernama "Truth or Dare". Kami punya aturan sendiri. Takada tantangan. Atau memilih mati dan melompat dari lantai dua. Oh, tidak. Ini terlalu berlebihan.
Kami melingkar. Mungkin sepuluh atau sebelas orang. Tertawa. Aku duduk di sebelah utara, menghadap ke barat daya. Botol diputar. Setiap orang memasang muka (sok) tegang. Baiklah. Putaran pertama, kedua, ketiga, keempat. Aku lolos. Botol itu dengan baik hati tidak mengarah kepadaku. Sayangnya, ini takberlaku ketika putaran kelima. Dengan tepat, kepala botol itu menunjukku. Ya. Menunjukku untuk menjawab pertanyaan gila dari teman-temanku. Mereka bersorak. Aku mengernyit. Perasaanku sedikit takenak.
"Oke pertanyaan pertama yaaa!! Lo pernah jatuh cinta gak sih?"
Damn! Sudah kuduga. Pertanyaan itu akan muncul.
"Ehm, gimana ya? Sepertinya belum pernah!" aku mencoba mengatakan yang sejujurnya.
"Mana mungkin!!! Kami kan butuh kebenaran. Tapi, kenapa tulisan lo menandakan kalau lo (sepertinya) pernah bener-bener sakit hati?" sebuah pertanyaan tambahan dari orang yang sama.
"Haha. That's just writing! Gak ada hubungannya sama gue! Gue suka nulis, and that's why, I'll writing everything, termasuk rasa sakit hati!" Ini juga jujur. Yeah, selama ini aku hanya menulis. Tanpa harus memperhatikan apa yang kutulis.
Iya, ada sedikit kebenaran di situ. Aku memang pernah sakit hati. Tapi, sakit hati yang kualami memang berbeda dengan anggapan mereka. Bukan sakit hati pada cerita picisan seperti itu. Biarlah. Itu takapa.
"Pernah deket sama seseorang gak?" Sial. Pertanyaannya takcukup satu.
"Pernahlah! Gue deket sama orang tua gue, sama adik gue, sama temen-temen gue, sama kalian! Haha"
"Ishhh, maksud gue, lawan jenis!"
"Bokap gue!" entah. Ini bercanda atau serius. Sebab, sepersekian detik yang lalu aku mengingat-ingat segala sesuatunya, tak ada lelaki yang benar-benar dekat denganku, kecuali ayah.
"Lo bakalan pacaran gak?" Ini menyebalkan. Permainan sepertinya berhenti pada giliranku. Setelah ada pertanyaan itu, ada beberapa orang yang bersorak. "Gak pacaran lah, kan mau pakai proposal!" entah. Itu kalimat milik siapa. Sumpah. I never know about proposal of marriage. On my mind, proposal just for events! Haha
"Haha. Kok lo nanyanya pacaran sih? Lo nanya gue bakalan nikah atau enggak, itu aja gue masih binguung!" Yeah. That's true.
Derrr! Seperti tersengat lebah. Ruangan menjadi semakin gaduh dan sedikit ricuh. Ada banyak pertanyaan penyangkalan, kenapa?
"Yah, gue gak pernah tahu apa yang akan terjadi di kehidupan gue kelak. Tapi, yang pasti, untuk saat ini, gue belum bisa memutuskan gue bakalan nikah atau enggak!"
That's my choice!
"Kenapa? Kalau gue malah pengen cepet-cepet nikah. Buat menyempurnakan ibadah dan mengikuti sunnah Rasul. Haha" pernyataan itu didukung oleh beberapa orang lainnya.
"Emang kenapa lo gak pengen nikah? Pasti ada sesuatu yang membuat lo berpikiran seperti itu?"
Dasar manusia kepo!!
"Just about choices!" aku menjawab singkat.
Untung saja. Di tengah-tengah situasi yang memojokkan seperti ini, seorang temanku mengusulkan untuk mengakhiri saja giliranku. Sebab, pertanyaan yang diajukan sudah masuk ke ranah yang terlalu pribadi. Good advice! Thanks a lot to my friend!
Kuputar botol itu. Menunjuk ke teman sebelahku. Thanks God!
Maaf. Setelah pertanyaan tadi aku memang takbisa fokus lagi dalam permainan gila ini. Aku taktahu apa yang diungkapkan oleh teman-temanku pada giliran selanjutnya. Pikiranku terfokus pada pilihan menikah atau tidak.
Masih sangat tabu untuk memilih tidak menikah di negeri ini. Setiap orang punya alasan. Menikah atau tidak adalah soal pilihan. Dan setiap orang wajib menghormati terhadap pilihan orang lain. Lantas alasanku? Maaf. Aku takbisa menceritakan di sini. Terlalu umum. Mungkin, aku bis menghampirimu di lorong kosong untuk bercerita atau aku akan mengendap-endap memanjat tembok rumahmu agar bisa sampai ke kamarmu. Lalu, kita berbincang banyak di jendela lebarmu.

Kau takpernah tahu bukan,
rasanya takpernah jatuh cinta? Itu sepi.
Serupa musim dingin tanpa api. Lantas,
bagaiman mungkin kau memaksaku menikah.
Sementara aku takpernah bisa mencintai.
Terserah. Kau bilang hatiku terbuat dari
baja macam apa.
Bukankah kau pernah bilang,
cinta itu takpernah memaksa?
Sungguh. Aku percaya itu. Tapi, mengapa
kau takpernah percaya: aku takpernah jatuh
cinta!
Berapa kali harus kukatakan itu?
Aku takbisa.
Terlebih untuk menikah.
Menikah, bagiku, adalah upacara paling
sakral yang pernah ada. Penggabungan kembali
jiwa satu yang sempat terpisah. Bagaimmana
mungkin aku menikah, sedangkan jiwaku telah
satu.
Kau taktega melihatku tersiksa, bukan? Maka,
jangan paksa aku menikah.
Dengan siapa pun!

Tidak ada komentar: