Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 24 November 2011

Bau

Kenangan. Masih saja membuat saya bertanya. Tersusun atas apa dia? Beberapa orang teringat sesuatu ketika mendengar lagu atau melihat sesuatu. Ya. Begitulah kenangan. Mampir sejenak. Lantas pergi. Atau mengendap terlalu lama. Seperti hidup.

Kenangan juga tiba-tiba datang ketika saya mencium sesuatu. Entah wangi. [atau] busuk. Seperti kali ini. Ketika saya duduk di ruang megah. Saya mencium bau seduhan kopi. Mungkin dari arah warung kopi seberang ruangan ini.

Bau kopi yang mengepul selalu mengingatkan saya pada wajah Kakek. Yang setiap hari minum secangkir kopi. Duduk di dapur. Menunggui Nenek memasak nasi goreng. Tertawa melihat saya yang masih (sangat) kecil. Berlari-lari. Kadang kami saling memeluk dan berjanji. "Kalau kamu masuk TK, Kakek akan mengantar-jemputmu setiap hari!" Saya bersorak. Takada yang lebih menyenangkan daripada janji seorang kakek pada cucunya. Tapi sayang, Kakek sama sekali taksempat mengantar saya pergi sekolah. Kakek lebih memilih menemui Tuhan.

Bau kopi yang mengepul juga [kadang] membuat saya mengingat rasa mual. Saya ingat ketika saya muntah karena nekad meminum secangkir cappucino hangat di suatu senja.

Begitulah kenangan.

Mengingat kenangan. Saya selalu ingat bagaimana saya mengingat masa-masa SD saya ketika saya mencium aroma yang timbul dari telur ceplok. Saya ingat setiap pagi--setelah kepindahan Nenek ke Bandung--saya harus membuat sarapan sendiri. Apa yang bisa dimasak anak kecil berumur 10 tahun, selain menceplok telur? Belum ada. Ibu dan Ayah saya sudah berangkat ke kantor sebelum sempat menyiapkan sarapan untuk saya. Tidak apa-apa. Ini membuat saya belajar menyiapkan keperluan saya.

Begitu juga saya mengingat masa SMP dan SMA saya ketika mencium asap knalpot angkutan kota. Ini menyenangkan. Saya mengingat bagaimana saya harus berlari mengejar angkot agar takterlambat ke sekolah. Tak ada yang bisa mengantar saya ke sekolah.

Parfum aroma buah juga menyimpan cerita dalam kenangan saya. Saya ingat ketika saya mulai menyukai seseorang, saya mulai menggunakan parfum. Dosis pemakaiannya pun sedikit berlebihan, menurut saya. Bahkan takjarang ayah saya berkomentar jika parfum saya membuatnya pusing. Itu masa-masa labil. Entah. Mungkin SMP atau SMA. Yang pasti saya selalu tergelak ketika mencium parfum yang beraroma buah.

Saya selalu teringat pada Itali--dan keinginan saya untuk ke sana--ketika hidung saya menangkap bau pizza yang masih hangat. Saya teringat pada kegilaan saya pada jalan-jalan.

Sekarang, saya sedang mencium wangi cokelat dari aroma parfum saya. Mungkin, suatu saat kelak, saya akan mengingat hari ini ketika saya mencium parfum beraroma cokelat. Seperti saat ini. Persis. Ketika saya mulai [mencoba] jatuh cinta.

2 komentar:

Ikal Keriting mengatakan...

kenangan, sama seperti waktu. selalu menjadi rahasia.

Fitria Sis Nariswari mengatakan...

:D
haha
iya, mungkin.