Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 22 Juli 2014

Perkara Kelapangan Hati dalam Pilpres yang (Hampir) Selesai

Akhirnya. Segala macam proses yang entah dari kapan dan mana itu selesai juga. Saya yakin, yang terpilih hari ini adalah kandidat yang terbaik menurut Tuhan. Siapa pun itu yang terpilih--tapi kali ini calon presiden nomor 2--semoga bisa menjaga kepercayaan rakyat. Dan, hidup akan tetap baik-baik saja sampai nanti. Rasa syukur saya yang lain adalah saya tidak perlu membeli dua es krim magnum lagi. Calon presiden nomor 2 terpilih meskipun tidak terlalu telak. Haha

Hanya saja, ada satu hal yang menarik dalam proses pengumuman KPU dari pukul delapan pagi hingga delapan malam: tentang kelapangan hati. Saya yakin, siapa pun di sini sudah mengetahui, bahkan menonton pidato singkat dari calon presiden nomor 1. Mungkin beliau sedang lelah hingga muncullah banyak tuntutan terhadap KPU dan mungkin juga pada MK. Atau entah apa pun yang sedang beliau bicarakan, saya hanya bisa menangkap satu hal bahwa ada perasaan tak rela untuk menyerahkan kursi presiden pada lawannya, apa pun alasannya. Barangkali saya salah simpulan, tapi izinkan saya menguraikan.

Seandainya saja, calon presiden nomor 1 itu menerima kekalahan, lalu pergi ke kediaman presiden terpilih untuk mengucapkan selamat. Barangkali, rakyat yang tidak memilih akan sangat menghormatinya karena kelapangan hati dan sikap ksatria yang ditunjukkannya. Dan, barangkali juga, beliau akan terpilih menjadi presiden selanjutnya. Entah kapan. Tapi, saya tidak akan membahas lebih lanjut perkara siapa yang menang atau kalah dalam perhelatan ini. Sudahlah. Itu biarkan menjadi urusan KPU dan teman-temannya.

Begini saja, saya sedang mencoba mengurai perihal kelapangan hati atau barangkali sebutlah ikhlas. Ikhlas dalam menerima kekalahan atau kekecewaan dalam hal apa pun itu. Dan, jika saya boleh menyimpulkan, yang menghancurkan sebuah ketulusan atau keikhlasan adalah ekspektasi. Iya. Pengharapan atau angan-angan yang terlalu tinggi. Katakan saja, calon presiden nomor 1 sudah berekspektasi bahwa beliau menang, ternyata tidak. Sementara itu, harapan sudah melambung entah ke langit sebelah mana. Ah, itu pasti rasanya sakit sekali.

Seharusnya, ikhlas itu melepaskan. Melepaskan jabatan untuk orang yang lebih layak. Ah, ini mungkin juga berlaku pada perkara cinta. Bahwa cinta itu seharusnya melepaskan, bukan menggenggam erat. Dan, tanpa ekspektasi yang berlebih sebab seringkali ekspektasi itu menghancurkan banyak hal. Harusnya, ikhlas ya ikhlas saja, tanpa embel-embel mendapatkan kembali apa yang telah diberikan. Tanpa bilang-bilang saya tulus menerima kekalahan. Urusan mendapatkan kembali apa yang telah diberikan juga sesungguhnya bukan urusan yang telah diberi. Tuhan lebih tahu.

Duh. Lupakan paragraf sebelum ini, tapi saya ingin mengutip kalimat entah siapa bahwa ikhlas itu seperti surat Al-Ikhlas yang di dalamnya tidak ada kata ikhlas

Tidak ada komentar: