Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 05 Juni 2014

Ayah dan Cerita-Ceritanya yang Tak Pernah Ada

"Raden Patih Gajahmada itu pengkhianat, Yah!" kata saya sambil tertawa.
"Kamu itu, semua orang aja dibilang pengkhianat, Prabowo pengkhianat, SBY pengkhianat. Siapa coba yang gak kamu bilang pengkhianat? Gajahmada orang besar dibilang pengkhianat."

Saya hanya tertawa. Bukan. Bukan tentang isi percakapan yang sedikit absurd. Atau tentang pembelaan ayah saya pada orang-orang itu. Saya hanya bahagia. Bahagia saja ketika bisa bercerita dan berbicara apa saja dengan ayah saya meskipun sekali lagi percakapan kami absurd. Bahkan, ayah saya suka sekali mengarang cerita bahwa dia sedang rapat koordinasi dengan PKD (Partai Kekuasaan Desa), PKW (Partai Kebugaran Wanita), atau PKPR (Partai Kebugaran Pria). Katanya, rapat itu untuk mempersiapkan pemilu 2019 dan saat ini sedang menggalang dukungan untuk kemenangan Prabowo-Hatta.

Sudahlah. Jangan hiraukan cerita karangan itu. Demi apa pun, cerita itu tidak pernah ada. Ayah saya sedang mencari topik untuk obrolan di telepon bersama saya. Telepon yang tak jarang berjam-jam itu hanya dihabiskan dengan membicarakan hal-hal yang tak pernah ada. Saya menanggapinya agar kami sama-sama bahagia.

Iya. Jarak yang entah berapa ratus kilometer di antara kami memang terasa sedikit mengganggu waktu bertemu kami. Berapa bulan sekali saya pulang pun tak tentu. Berapa kali ayah menjenguk saya di kota ini pun hanya sekali. Itu pun saat saya wisuda sarjana.

"Kamu kalau kuliah di Gadjahmada, nanti Ayah bisa menjenguk kamu kapan pun. Dan, kamu bisa pulang kapan aja," kelakar ayah saya. Saya hanya mengaminkan dalam hati. Semoga. Semoga segala sesuatunya bisa berjalan sesuai rencana.

Saya tahu sekarang. Barangkali, ayah saya sedang kesepian. Adik saya sudah besar, sudah kuliah, sudah tinggal di luar kota, sudah tidak di rumah setiap hari. Lalu, di rumah tinggal ayah dan mama. Saya bisa membayangkan betapa sepi hari mereka. Pulang kerja, sama-sama capek, tanpa hiburan dari kedua anaknya. Ah, rasanya ingin sekali bisa pulang kapan pun. Namun, entahlah. Di sini terlalu penat.

Satu hal saja yang saya takutkan jika saya masih terlampau egois melawan jarak. Saya takut tidak bisa menghitung lagi uban di kepala ayah saya atau sekadar memijit punggungnya atau membuatkan segelas teh--yang katanya tak ada rasanya itu. Tapi, saya bahagia. Semoga ayah saya juga bahagia memiliki saya. Semoga.

Tidak ada komentar: