Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 19 Mei 2012

Liberalisme dan Hal-Hal yang Membuat Ragu

Seperti yang saya duga dan saya harapkan. Workshop kali ini memang mengarah pada hal itu. Liberalisme. Takmasalah. Hanya saja, saya belum bisa menolak atau mengiyakan seluruhnya. Ada beberapa hal yang bisa saya terima. Ada beberapa hal yang saya tolak. Wajar bukan?
Kemarin. Setelah makan siang. Pembahasan sudah bukan tentang iklim lagi. Sudah mengarah pada permasalahan negara. Sudah mengarah pada hal-hal yang memang seharusnya sudah dibicarakan.
Saya memang "tersesat" masuk ke dalam workshop ini. Tapi saya bersyukur. Paling tidak. Saya mengerti sudut pandang mereka.
Dari awal workshop ini saya sudah curiga. Ya ya ya. Saya memang terbiasa membaca teks. Yang segala sesuatunya harus dicari struktur batinnya. Harus dicari makna eksplisitnya. Seperti kali ini. Saya bisa membaca ketika mereka memulai acara dengan permainan. Ada empat blok. Lalu, fasilitator memberikan pilihan berbeda di setiap blok. Peserta diberi kebebasan untuk memilih menurut hatinya. Ya. Saya tahu. Kebebasan individu yang ditekankan di situ. Lantas, kebebasan yang seperti apa? Kebebasan yang tanpa mengganggu kebebasan orang lain, kata mereka. Sampai sejauh mana? Ini masih sangat bias.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan dunia ini. Kaya. Miskin. Masuk UI. Tidak masuk UI. Adalah sebuah pilihan. Well, bisalah itu disebut pilihan. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang terkungkung karena sistem kapitalis. Mereka tidak bisa bergerak. Bahkan memilih untuk hidup mereka pun takbisa. Apakah mereka dengan sengaja memilih untuk menjadi tidak kaya? Atau mereka sengaja memilih tidak punya rumah? Saya rasa tidak.
Mereka takpunya pilihan yang bisa diperjuangkan. Terbentur banyak hal. Lantas mereka terperangkap dalam sistem tersebut.
Saya memang sedikit sok tahu tentang hal ini. Tapi, saya gelisah. Unsur kemanusiaan saya memberontak. Oke. Banyak hal memang. Banyak hal yang berbenturan. Bias. Dan takterjelaskan. Pertanyaan saya tidak pernah dijawab. Padahal sederhana, saya hanya menanyakan nasib orang-orang yang takpunya pilihan itu. Nasib orang-orang yang terbentur sistem. Mau diapakan mereka? Masih tetap menganggap itu pilihan mereka? Konyol!
Liberalisme membuat orang berhak menentukan pilihan hidupnya, termasuk tentang mengembangkan modal. Hal ini memunculkan persaingan bebas, yang nantinya berujung pada kapitalisme. Saya juga tidak memungkiri jika saya juga pengguna produk kapitalis. Tapi, menjadi tidak wajar ketika yang kaya menjadi semakin kaya. Yang miskin akan semakin miskin. Pemilik modal itu sama sekali tidak peduli pada orang-orang yang takpunya akses. Sepertinya, bagi mereka, profit menjadi tujuan utama. Pragmatis. Praktis. Yang penting eksis. Mungkin seperti itu.
Saya juga taksuka menganut sistem sama rata sama rasa. Itu pun takadil. Orang yang bekerja keras layak mendapatkan lebih. Tapi sungguh menjadi takadil ketika menjadi takpeduli pada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan.
Kata mereka lagi. Pada dasarnya, setiap orang liberal. Setiap orang sudah memilih kehidupannya masing-masing. Tapi, banyak yang tidak mengakui itu. Untuk bagian ini, saya masih takbegitu paham. Ketika diskusi di luar forum pun, saya takmendapat jawaban lugas. Paling tidak. Saya sudah mengerti jalan pikiran orang-orang liberal. Mengikuti atau tidak, itu penuh menjadi hak saya.
Lantas, apakah saya salah jika meragukan bahwa liberalisme dapat diterapkan secara utuh di negeri ini?

Tidak ada komentar: