Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Jumat, 30 Maret 2012

Bahagia itu sederhana. Seperti kemarin.

Entahlah. Definisi bahagia bagi saya memang terlalu mudah. Menjalani sepanjang hari dengan berjalan-jalan juga membahagiakan. Seharian kemarin saya tersenyum. Hal-hal sederhana memang biasanya membuat saya sangat bersyukur pada Tuhan. Saya masih bisa menikmatinya. Hingga sekarang.

Pagi-pagi. Saya membaca pesan singkat dari teman saya bahwa kuliah Sastra Bandingan ditiadakan. Hari itu hanya satu mata kuliah. Otomatis. Kemarin saya sedikit terbebas dari kuliah yang penuh tuntutan. Saya juga sengaja menolak tawaran mengajar. Alasan saya ada seminar, padahal saya akan hadir di diskusi film. Sudahlah. Berbohong demi kebahagiaan. Sepertinya Tuhan mengerti.

Berangkat ke kampus. Memakai baju ungu. Menyenangkan. Saya akan ke perpustakaan hari ini. Menonton film. Mengerjakan tugas. Lalu mengikuti diskusi filmnya.

Sengaja saya tidak menunggu bus untuk sampai ke perpustakaan. Meminjam sepeda. Menaikinya. Bersepeda selalu menyenangkan. Ya. Mengingatkan pada masa kecil. Takada rasa takut. Takbanyak pertimbangan. Seperti sekarang. Panas. Tapi, takmembuat bersepeda menjadi tidak menyenangkan. Angin masih bertiup. Untunglah, sedikit mendung. Saya memang suka bersepeda atau berjalan kaki. Bebas polusi. Bebas dikejar waktu.

Sesampainya di perpustakaan. Saya langsung masuk ke sinema. Filmnya sudah hampir mulai. Oh iya, saya menonton film “Dilema”. Film yang diproduseri oleh Wulan Guritno. Sangat menarik. Film ini gabungan dari lima film pendek. Yang disutradrai oleh empat orang berbakat. Yang memiliki cerita masing-masing, tetapi tetiba memiliki benang merah. Ada kritik sosial tentang negeri ini. Ada penggambaran hubungan antara ayah dan anak di setiap scene. Garis Keras, The Officer, The Gamblers, Big Boss, dan Rendesvouz. Judul tiap-tiap scene. Menjadi satu kesatuan. Bergerak. Seperti kenangan. Terpisah-pisah. Tapi menyatu. Nanti. Jika ada waktu saya akan menulis resensinya.

Setelah menonton film, saya naik ke lantai tiga. Mengerjakan tugas. Baru kali ini saya mengerjakan tugas yang bahannya berbahasa Inggris dengan senang hati. Entahlah. Mungkin perasaan masih terbawa.

Minum segelas jus jeruk yang berwarna oranye juga menjadi hal yang menyenangkan. Sederhana saja.

Pukul lima. Saya harus ke lantai enam. Diskusi film hampir dimulai. Kembali menyenangkan. Wulan Guritno, empat sutradaranya, dan Ario Bayu hadir sebagai pembicara di diskusi itu. Ario Bayu. Iya. Dia salah satu pemain dalam scene The Officer. Sebagai Brigadir Aryo. Ah, sudah lama saya kagum dengan kemampuan akting dia. Selalu dingin. Dingin yang menghangatkan.

Kebahagiaan itu sepertinya memang datang beruntun. Saya berhasil memenangkan kuis yang diadakan panitia. Mendapat bingkisan. Yang menyerahkan Ario Bayu. Bersalaman. Foto bersama. Hampir berciuman. Oh. Yang ini lupakan. Saya hanya bercanda. Haha

Di luar hujan. Semakin petang. Saya harus pulang sendirian. Iya. Takapa. Sudah biasa. Ada rerintik. Yang semakin membawa pada dejavu. Pada rindu. Terima kasih. Kemarin sangat menyenangkan. Bolehlah nanti. Saya mengajakmu serta dalam bahagia versi saya.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana hujan. Yang takpernah memilih tempat untuk jatuh. Seperti kemarin.

2 komentar:

Megi Tristisan mengatakan...

Bahagia itu sederhana. Sesederhana hujan. Yang takpernah memilih tempat untuk jatuh. Seperti kemarin.

emang bener ya kadang bahagia itu ga selalu tentang materi tapi hal - hal kecil yang membuat kita nyaman itu juga bis bikin bahagia, heheheheh
salam kenal dari saya Megi

Fitria Sis Nariswari mengatakan...

haha
iya, karena bahagia itu memang sederhana sekali. :)
salam kenal juga yaaa. :D