Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Jumat, 03 Februari 2012

Saya Hampir 21 Tahun!

“Umur berapa kamu akan menikah?” tiba-tiba ayah saya menanyakan hal itu di tengah obrolan kami. Saya tercekat. Memandangnya nanar. Saya menggeleng pelan.

“Tidak tahu. Belum ada target.” jawab saya singkat.

“Kok bisa belum ada rencana. Umur kamu sudah hampir 21 tahun. Paling tidak, kamu menikah umur 24!” ayah saya akhirnya menyatakan hal ini. Hal yang paling saya takutkan.

“Sekolah dululah. Baru mikir nikah, Yah!” saya mencoba membuat pilihan.

“Iya, sekolah dulu. Tapi sampai sekarang, kamu belum punya pacar! Setelah S2 kamu sudah harus menikah.” ayah saya masih ceramah panjang lebar. Sementara pikiran saya, sudah entah ke mana.

Setelah S2? Itu berarti 3-4 tahun lagi. Terlalu cepat. Sebenarnya, saya ingin S3 dulu. Meraih gelar doktor. Hidup melajang. Jalan-jalan ke mana pun saya suka. Entahlah. Saya tidak tahu mengapa harus cepat-cepat menikah.

“Kalau cari suami itu yang baik! Menikah itu ibadah. Biar hidupmu sempurna.” mama saya ikut nimbrung. Saya bergeming. Tanpa menolak atau mengiyakan.

Saya tidak mungkin melontarkan pendapat ekstrem saya bahwa saya tidak mau menikah. Atau mengarang cerita bahwa saya seorang penyuka sesama jenis, mungkin. Ah, tidak mungkin. Pernyataan ini akan membunuh kedua orang tua saya.

“Kamu harus menikah! Punya anak. Biar tidak sepi hidupmu.” Mama saya menambahi. Seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan.

Bergeming.

Obrolan terhenti sampai di situ. Telepon dari tempat saya mengajar berhasil mengalihkan eksekusi ini. Bla bla bla. Sesaat saya disibukkan lagi dengan pengaturan jadwal mengajar. Tapi, itu hanya sampai tombol end di ponsel saya tertekan. Setelah itu kembali lagi. Meski tanpa kedua orang tua saya. Saya sudah berhasil izin keluar dari percakapan itu.

Hanya saya dan pikiran saya.

Menikah.

Saya selalu sensitif mendengar satu kata itu. Seperti pesakitan yang sebentar lagi menemui ajal. Ah, ini terlalu berlebihan. Kenapa saya tumbuh terlalu cepat. Tetiba hampir 21 tahun. Dan orang tua saya pun semakin menua. Sungguh. Saya takingin mengecewakan mereka.

Lelah. Waktu memang takpernah ke mana-mana. Tetap berputar di tempatnya. Hanya letih yang berubah. Menjadi semakin perih.

Entahlah. Sampai sekarang pun saya belum bisa memutuskan. Kapan saya harus menikah. Mungkin saja besok. Atau beberapa tahun lagi. Saya masih enggan memikirkannya. Ya. Jika pemikiran saya berubah. Saya janji. Akan segera mengabarimu. Di mana pun. Dan kapan pun!

Tidak ada komentar: