Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 13 Februari 2012

hampir tujuh tahun

sesekali bolehlah saya tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. ini sekali saja. saya janji.
saya sudah kembali ke rutinitas. diajar dan mengajar. dipimpin dan memimpin. semuanya kembali pada semangat baru.
sore tadi gerimis. ketika saya baru berangkat ke tempat ngajar. saya berjalan terus. tanpa berniat membawa payung. seperti biasanya. saya juga taktakut make-up di wajah saya luntur. sebab saya takpernah memoles wajah saya dengan sapuan warna-warni. cukup pelembap dan lipgloss tipis. itu sudah lebih dari cukup.
di jalanan itu, tetiba saya teringat kamu. teman di sekolah menengah pertama dan atas. teman seorganisasi intrasekolah. kamu wakilnya, saya sekretarisnya. seringkali kita menghabiskan waktu berdua, atau bertiga dengan adik saya. berenang. memasak. atau apa pun hal menyenangkan lainnya.
dari kamu pula saya belajar sabar dan toleransi. menghargai kekurangan dan kelebihan orang lain. banyak hal. saya kenal baik dengan orang tuamu. kamu pun kenal baik dengan orang tua saya.
ah, kita sama-sama perempuan yang sedikit maskulin. kamu suka lihat pertandingan sepak bola. saya suka main bola. entahlah. mungkin itu yang membuat kita akrab.
hal yang paling saya senangi ketika kita berada di kolam renang. beratapkan langit. kadang muncul pelangi di sana. kita suka memandangi langit itu lama-lama. hingga taksadar baju renang kita sudah hampir mengering.
lantas kita tertawa.
"yuk, bikin janji." kamu memecah keheningan di antara kita. saya mendelik. bingung.
"tentang?"
"tentang laki-laki. kita berjanji. tidak akan menerima cinta laki-laki sebelum kita meraih mimpi tertinggi kita masing-masing." kamu mengucapkan kalimat itu dengan lancar. saya menanggapinya dengan antusias. mengangguk dengan cepat.
kelingking kita tertaut. saya tahu, ketika itu, kamu punya mimpi sebesar saya. bahkan mungkin lebih besar.
janji itu hampir tujuh tahun yang lalu. ketika kita sedang berada di tingkat dua sekolah menengah pertama.
kamu tahu? saya masih memegang janji itu. taktergoda untuk mengingkarinya. meski saya tahu. di tahun yang kedua, kamu sudah mulai menerima cinta laki-laki. mengakuinya sebagai kekasihmu.
saya bergeming. tetap dengan pendirian ini. mimpi tertinggi saya belum tercapai. ini terdengar naif dan tolol memang. tapi biarlah. saya tidak pernah diajarkan untuk mengingkari janji yang telah saya buat.
saya tak marah padamu. sama sekali tidak. tapi saya tahu. kamu menjauh dari saya ketika kamu punya kekasih yang pertama. entahlah. apa yang ada di pikiranmu saat itu.
hampir tujuh tahun. saya masih setia pada janji bocah ingusan. yang mungkin diucapkan di tengah kegalauan. tapi percayalah, saya masih menyayangimu. berharap kita bisa tertawa di kaki langit lagi.
itulah mengapa. saya tak ingin mengawali semua kalimat ini dengan huruf besar. sederhana. jika ada (tanda) untuk awal, selalu ada masanya berakhir. saya tak ingin hubungan kita terhenti.

Tidak ada komentar: