Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Rabu, 15 Februari 2012

Rutinitas

Kembali ke rutinitas itu selalu mampu membuat saya tertegun. Kembali belajar hidup. Seorang diri.
Ada banyak hal. Awalnya memang selalu merasa jetlag. Merasa memulai sesuatu dari awal lagi setelah berminggu-minggu hidup di istana (baca: rumah). Rumah takpernah mengizinkan saya melihat sekitar. Pagar yang menjulang. Dan gembok yang terkunci rapat. Sangat melindungi saya dari dunia luar. Boleh dikatakan mengisolasi.
Sekarang tidak. Saya harus berpanas-panas lagi. Mengejar angkutan umum. Antri di terminal.
Sekarang pukul enam sore. Hampir magrib. Terminal penuh. Macet. Bahkan, di kota ini perjuangan dimulai dari titik awal perjalanan. Saya hanya menghela napas. berharap ini akan baik-baik saja sampai tujuan.
Ada banyak pengamen.
Penjaja makanan.
Penjaja es teh manis dalam plastik.
Penjaja permen.
(bahkan) mungkin penjaja tubuh.
Saya selalu kasihan melihat mereka. Ada rasa haru yang luar biasa pada orang-orang itu.
Seorang anak kecil. Mungkin masih 8 tahun. Terseok-seok membawa botol-botol minuman untuk dijual. berkeringat. sangat.
Mbak pengamen. Ada banyak tato dan pearching di tubuhnya. Suaranya cempreng. Tapi masih nekad mengamen.
Ah, betapa kadang hidup ini terlihat tidak adil. Mereka mencari koin untuk makan, sedangkan orang-orang yang ada Senayan itu dengan ganasnya menghabiskan koin--yang sebenarnya--milik mereka. Sudahlah, saya semakin ngelantur.
Rutinitas ini selalu mampu membuat saya merasa. Ada banyak hal yang terjadi. Yang rutin terjadi--meski dengan cerita dan pemeran yang berbeda.

Tidak ada komentar: