Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 06 Februari 2012

Berharap Cerita Ini akan Berlanjut

Berdua saja. Kamu menunduk. Saya bercerita panjang. Derap langkah di depan kita seolah bayangan yang taknyata. Datang dan pergi. Tanpa kenangan. Serupa figuran. Kita pemeran utamanya. Sesekali kamu menanggapi obrolan saya. Saya pun mendengarkan.
Sepi.
Kamu tahu? Saya bisa mencium wangi rambutmu yang baru tercuci itu. Jarang sekali saya memperhatikan rincian. Tapi kali ini lain. Saya suka ketika pertama kali melihatmu menunggu saya di ujung pintu itu. Menarik sekali.
Saya memakai baju ungu. Kacamata ungu. Jam tangan ungu. Sepatu ungu. Tas ungu. Dan ponsel ungu. Entahlah. Mungkin kamu menganggap saya pesakitan. Yang semuanya harus berwarna sama. Sebenarnya tidak. Tadi hanya kebetulan.
Baiklah. Ini pertemuan pertama kita. Setelah beberapa kali mengirim pesan singkat. Yang benar-benar singkat.
Saya hanya ingin mengambil kumpulan puisi yang kamu janjikan itu. Cuma-cuma.
Lantas, kita bertemu.
Berbicara banyak. Ah, tidak. Saya yang berbicara. Kamu lebih banyak mendengarkan. Diam. Ya. Lelaki yang takbanyak bicara memang selalu terlihat sangat menarik di mata saya. Termasuk kamu.
"Nanti lupa," kamu menyerahkan kumpulan puisi(mu) dan teman-temanmu. Antologi kecil. Yang sepertinya menarik.
Saya menerimanya. Mengucap terima kasih.
Temanmu datang. Lalu meminjam antologi itu dari tangan saya. Pasrah.
"Ini terlalu mahal kalau lo jual dengan harga segitu!" temanmu itu berceloteh.
Kamu hanya bergidik.
"Lo tahu kan pemikiran teman-teman kita? Duit segitu lebih baik buat nongkrong daripada buat beli buku? Apalagi kumpulan puisi." temanmu itu masih meneruskan kalimatnya yang tadi.
"Gue gak ngeliat pasar. Tapi idealis! Sastra bukan kacang goreng yang bisa dijual murah pinggir jalan. Ini karya yang harus dihargai!" nadamu tetap tenang. Tapi cukup menusuk. Untuk saya dan (mungkin) untuk temanmu. Diam-diam. Saya mengagumimu pada pertemuan pertama.
Setelah itu, temanmu pergi. Kita masih betah duduk di bangku yang sama. Takada dari kita yang berniat mengakhiri pertemuan ini.
Sesekali saya mencuri pandang pada matamu. Mencoba menemukan bening. Atau melihatmu lekat ketika kamu menghisap sebatang rokok. Meskipun saya harus terbatuk. Tapi itu sedikit membuatmu lebih seksi.
Saya melirik jam di tangan. Sudah hampir pukul 1 siang. Hampir 4 jam kita di sini. Berdua. Bercerita.
Ponsel saya berdering. Teman saya memanggil. Sebentar saja saya menyelinap dari kamu.
Untunglah. Teman saya sudah selesai dengan urusannya. Saya harus ke rumahnya sekarang. Terima kasih. Sedikit menyelematkan saya dari pesonamu. Ah.
Lima menit yang lalu, pesan singkatmu masuk ke kotak masuk saya.
"Bolehlah, lain kali kita diskusi sastra lagi." katamu singkat.
"Tentu saja. Dengan senang hati!" saya juga menjawab dengan singkat.
Saya tersenyum. Menyenangkan. Terima kasih untuk hari ini. Yakinkan saya bahwa kita akan bertemu lagi.

Tidak ada komentar: