Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Rabu, 12 Oktober 2011

Isyarat

Aku selalu senang belajar di kelas ini. Diam. Sepi. Kadang ada tawa, secuil saja. Sebab tak ada gunanya tertawa keras-keras. Tak akan terdengar.
Ya. Sepertinya aku sudah pernah bercerita bahwa semester ini aku mengambil kelas bahasa Isyarat. Kelas yang belajar tentang kehidupan, lebih tepatnya.
Mereka orang-orang hebat. Masih mampu menyalakan lilin terang di antara gerhana pekat. Kalau aku jadi mereka, aku takpernah tahu apa yang akan terjadi. Mungkin bunuh diri. Ah, Tuhan memang memberi cobaan takpernah lebih besar dari kemampuan hamba-Nya. Kemampuan bertahanku taklebih besar dari mereka. Dan aku menyadari itu.
Takgampang mengikuti mereka. Seperti belajar bahasa asing dari antahberantah. Tanganku kaku. Ngilu. Terlalu kelu. Ekspresiku tak mampu merayu.
Sebelum memulai kelas, tanganku harus digerak-gerakkan. Seperti gerakan pemanasan sebelum lari, mungkin. Bersama mereka, aku harus bisa mengungkapkan semua hal hanya dengan ekspresi dan gerak tangan. Ada aku. kamu. kita. Ada senja. jinggga. dan hujan.
Komposisi yang sederhana.
Tapi, aku selalu saja kesulitan menyampaikan isyarat, (mungkin) seperti halnya mereka yang kesulitan menyampaikan suara.
Kamu tahu kan aku suka berada di kelas ini? Seperti halnya aku suka berjalan di lorong-lorong sepi. sendirian. Seperti halnya aku suka memandang hujan di balik kaca. Seperti halnya aku suka mendengarmu bernyanyi.

Tidak ada komentar: