Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 26 Maret 2011

Kartini

"Kamu sekarang dengan siapa?" seseorang di ujung sana bertanya padaku.
"Dengan siapa?" aku mengulang pertanyaannya. Aku tidak tahu apa maksudnya.
"Pacar kamu sekarang, siapa?" dia memperjelas maksudnya. Aku hanya menelan ludah.
"Oh. Masih sama. Seperti dulu."
"Apa? Jadi, kamu belum punya pacar? Hampir 20 tahun?"
Aku hanya mengangguk. Bodoh. Dia tidak akan tahu. Ini kan telepon.
Telepon ditutup. Aku mendengus. Aku jengah dengan pertanyaan itu. Tak ada pertanyaan lain kah? Aku sama sekali tak peduli bahwa aku belum punya pacar. Itu bukan menjadi masalah. Tapi, pertanyaan itu sudah berkali-kali terlontar kepadaku dari mulut orang yang berbeda. Aku jenuh.

Pacar. Bahkan, sampai sekarang aku tak pernah berpikir untuk punya pacar. Tak pernah berpikir mau menikah kapan. Tak pernah berpikir mau punya anak berapa.

"Iya, menikah. lalu punya anak." aku ingat teman sekamarku--yang sudah aku anggap kakak kandungku--menegaskan lagi pernyataannya saat aku bertanya dengan heran kenapa dia ingin menikah. Dia lebih terheran-heran dengan pertanyaanku.
"Kamu tak ingin menyempurnakan hidupmu?" dia bertanya padaku. Aku hanya menggeleng.
"Hidupku sudah sempurna," jawabku singkat.
"Dasar arek edan. Dargombes!" dia mengacak-acak rambutku. Kami tertawa. Mungkin, baginya pemikiranku sudah tidak normal. Aku tak acuh.
Ya. Bagiku hidupku sudah sangat sempurna. Aku punya Tuhan. Mama. Ayah. Adik. Nenek. Tante. Om. Sepupu. Sahabat. Teman. Mereka mencintaiku. Aku mencintai mereka. Lalu, kurang sempurna apa lagi?
Entahlah. Sejak kecil aku tak pernah membayangkan punya pacar. Apalagi membayangkan pangeran tampan yang kaya raya lalu menikahiku dan kami hidup bahagia di dalam istananya yang megah. Sama sekali tidak pernah. Aku tak pernah ingin jadi Cinderella. Meskipun aku suka ceritanya. Aku muak ketika teman-teman sekelasku membicarakan lelaki tampan yang kaya raya. Yang bermotor merk inilah. Yang bermobil merk itulah. Yang berhandphone lima. Yang punya gadget ini. Yang punya gadget itu. Lalu mereka bermohon-mohon--entah pada siapa--agar lelaki tersebut suka padanya dan dalam sekejap kehidupannya akan berubah. Omong kosong.
Aku sama sekali tak pernah tertarik pada bahasan itu. Itu norak. Itu merendahkan kami sebagai perempuan. Ya, keinginanku memang dari kecil tidak banyak yang berubah. Aku hanya ingin menjadi perempuan yang tidak dipandang remeh. Itu saja.

Oke. Aku tidak tahu. Aku berbeda atau aku ketinggalan zaman. (mungkin fragmen ini tidak begitu berhubungan, tetapi kukira ini juga yang sangat memengaruhi mimpiku).
Aku suka musik, tapi aku tak tahu perkembangannya. Aku tak suka nonton film meskipun sesekali aku nonton. Aku tak suka nonton TV. Aku selalu menjadi pupuk bawang saat bermain permainan tradisional. Aku tidak tahu tren yang beredar. Aku tidak tahu artis luar negeri. Aku membaca karya sastra yang tidak dibaca teman seusiaku. Aku tidak bisa membaca komik. Aku tidak tahu fashion yang lagi booming. Aku tidak punya geng. Aku tidak pernah punya pacar. Aku lebih senang menghabiskan waktu di depan komputer untuk menulis, daripada harus nongkrong dengan teman-temanku. Saat sekolah pulang lebih awal, aku lebih senang langsung pulang daripada jalan-jalan. Aku tidak suka belajar. Aku suka membaca karya sastra orang Indonesia. Aku suka matematika, tapi aku nol dalam fisika dan biologi. Aku tak keberatan untuk ke mana-mana sendiri. Ketika jalan bertiga, aku tak suka di posisi pinggir. Aku suka di tengah. Aku tak berani tidur sendiri.

Ah, kurasa tak penting. Ya, anggap saja itu intermezo. Dari fragmen-fragmen itu, aku merajut keinginanku. Aku menyulam mimpiku.
Saat teman-temanku ingin menjadi Cinderella, aku ingin membangun istana itu tanpa pangeran. Membangun sendiri. Dari hasil kerjaku. Aku ingin punya istana lengkap dengan isinya. Agar kelak, aku bisa istirahat dengan tenang. Aku ingin bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa harus mengandalkan uang dari orang lain, bahkan orang tuaku. Aku ingin menjadi editor. Chief editor lebih tepatnya. Karena aku tak suka bekerja di bawah orang lain. Aku ingin menjadi perempuan pekerja. Yang berangkat pagi, pulang malam. Gaji besar. Melakukan segala sesuatunya sendiri. Yeah, because I'm single and very happy.
Aku tak perlu memikirkan pendamping hidup. Toh, jodoh ada di tangan Tuhan. Ditambah lagi, aku tak bisa melihat pengkhianatan. (Ini tak ada hubungannya, tapi ini satu-satunya alasan aku enggan menjalin hubungan dengan lelaki. Ada trauma yang berkepanjangan pad bab pengkhianatan. Aku belum bisa bercerita. Nanti saja. Saat luka hatiku benar-benar kering).
Sungguh, aku benar-benar ingin menjadi perempuan yang tak bisa diremehkan, terlebih oleh kaum adam. Perempuan itu hebat. Perempuan itu tak sebatas sumur, dapur, dan kasur. Perempuan itu bisa keliling dunia. Perempuan itu bisa jadi guru besar.
Semoga, aku bisa menjadi Kartini. Paling tidak untuk diriku sendiri. Sebentar lagi April. Aku ulang tahun. Kartini ulang tahun. Dekat bukan? Ya, semoga semangat Kartini juga sangat dekat denganku.

Tidak ada komentar: