Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Minggu, 21 November 2010

Sepertinya, Rasa Syukur Saya Belum Cukup

Doa yang saya panjatkan rasanya belum sebanding dengan rasa syukur saya. Begitu banyak doa, tak ada syukur. hah. Manusia macam apa saya? Malu rasanya.
Ah ya, rasa syukur seharusnya tak hanya ucapan Alhamdulillah ratusan kali. Tak hanya terima kasih pada Tuhan. Tak perlu itu. Tuhan tak perlu ucapan itu berkali-kali.
Hal yang membuat saya menulis coretan ini karena hari ini saya benar-benar galau. Layaknya ABG Labil yang sedang galau. Selesai ikut seminar. Jauh-jauh datang ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Seorang pembicara. Ehm, membuka mata saya.

"Cara bersyukur itu cukup buat orang lain merasakan kebahagiaan kita!" pembicara tersebut membuka kalimatnya. Saya hanya terdiam. Ehm, perjuangan kelas. Pikir saya.
"Iya, kalau kita makan 3x sehari, pastikan orang lain juga makan 3x sehari. Kalau kita tidur nyaman, buat orang lain tidur senyaman kita. bla... bla... bla...."
Entahlah, apa yang beliau bicarakan lagi. Saya sudah terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran liar saya.
Dari titik itu, (yang mungkin tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan oleh beliau), saya mulai berpikir. Ya, saya sangat bersyukur dilahirkan dari keluarga yang tingkat ekonominya menengah. Tidak kurang, lebih sedikit. haha.
Dalam hidup saya selama ini, saya harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, tapi saya tidak perlu mengemis di pinggir jalan. Saya bisa minta apa saja yang saya butuhkan, meski bukan semua yang saya inginkan pada kedua orang tua saya. Saya bisa merasakan panasnya berjalan kaki, yah, walaupun kadang-kadang saya juga bisa merasakan dinginnya AC mobil. Saya juga berdesak-desakan di dalam kereta ekonomi, tapi saya tak jarang merasakan nyamannya kereta ekspress.
Itu hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya ketika ada penyebutan kata bersyukur.
Tentu saja, ada rasa-rasa syukur lainnya yang tidak bisa saya sebutkan di sini.
Yah, lagi-lagi kelas dalam sosial telah mengotak-ngotakkan golongan. Ada kelas "punya" dan "tidak punya". Menyakitkan.
Kemarin, saya memberikan tambahan pelajaran secara privat di rumah anak orang kaya. Benar-benar kaya. Bahkan belajar saja harus membayar mahal. Dia, bisa dikatakan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan sedetik kemudian. Hanya mengikuti irama angin. Butuh apa-apa tinggal teriak "Mama". Perutnya lapar tinggal teriak "Mbaaaakkk". Ah, benar-benar seperti bayi.
Hari ini, saya melihat anak yang jauh lebih muda dari anak orang kaya tadi. Berteriak-teriak di pinggir jalan. Membantu mencarikan penumpang untuk Kopaja yang saya tumpangi. Badannya kurus. Wajahnya tirus. Tak terurus. Saya menghela napas. Uang itu. Uang yang dia dapatkan. Sungguh. Tak seberapa dibandingkan kerjanya yang kepanasan dan berkeringat. Uang itu untuk menyambung hidupnya. Melunasi buku-buku sekolahnya. Membelikan obat ibu bapaknya. Membelikan mainan untuk adik-adiknya. Ah, paling tidak itu cerita yang saya dapatkan. Hampir saja saya menangis.
Dua hal yang membuat saya berpikir. Yah, untuk sementara saya masih menikmati rasa syukur saya. Suatu saat nanti, eh, bukan, setelah ini, ya setelah menulis catatan ini, saya ingin berjuang untuk menghapuskan kelas itu. Namun, saya bukan penganut Marx yang terlalu ekstrim. Saya hanya ingin membuat anak-anak yang kurang beruntung itu, paling tidak, bisa merasakan pendidikan seperti saya. Bisa makan seenak saya. Bisa berpakaian selayak saya. Ya, ya, ya, itu yang saya pikirkan sekarang.

Tidak ada komentar: