Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 29 November 2010

Saya Belajar Memaafkan Hari Ini!

Ya, maaf. Satu kata itu.
Tuhan memang membalas semuanya. Tak lebih tak kurang.
Rasa sakit hati saya pada seseorang itu bisa dibilang sudah mencapai titik puncaknya. Bagaimana tidak. Dia dengan mudahnya mencaci saya. Mencaci banyak orang. Entah. Saya pun sudah jengah untuk mencari siapa yang salah. Siapa yang benar. Siapa yang mulai. Siapa yang mengakhiri. Bosan saja.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Sebelumnya saya dan dia tak pernah ada apa-apa. Biasa-biasa saja. Baik-baik saja. Dia baik pada saya, saya pun baik padanya.
Tiba-tiba saja, dia meliar. Mengeluarkan semua caciannya pada saya. Saya tidak tahu, apa salah saya. Saya diam saja. Ah iya, menangis saja. Cengeng. Tapi lebih cengeng kalau saya harus mengadu pada orang lain. Biarkan saja. Air mata ini hanya saya dan Tuhan yang tahu. Ehm, niat baik kita pada seseorang memang tak selalu berbanding lurus dengan balasannya pada kita. Tak selalu. Saya maklum. Diam saja. Mendengarkan saja caciannya. Menangis saja kalau perlu. Meski saat itu, rasa sakit hati saya tak terperikan. Ehm...

Ya, maaf. Satu kata itu.
Kemarin dia tak berdaya. Kekuatan supernya sementara diambil oleh Tuhan. Ingin rasanya menunjukkan rasa empati saya. Fiuh!! Tak mudah. Rasa sakit hati vs rasa empati saya berperang dulu. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya saya berangkat menemuinya. Di jalan, saya tidak tahu apa yang saya pikirkan. Antara rasa sakit dan rasa empati. Argh! Mereka belum damai ternyata.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Akhirnya, saya bertemu dengannya. Dia tersenyum. Saya membalas senyumnya. Kami mengobrol, layaknya tidak terjadi apa-apa. Hufht! Tidak tahu lagi apa yang ada di pikirannya. Apalagi di pikiran saya.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Gampang saja saya bilang, "Iya, gue maafin kok!"
Terus setelah itu, apakah bekas lubang karena tancapan luka itu akan hilang? Saya rasa tidak. Apakah kertas yang tersobek itu akan kembali utuh? Lalu, apakah ludah yang telanjur menyakitkan itu bisa dijilat lagi? Ehm, itu tidak akan.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Setelah bertemu dengannya. Sakit hati saya sepertinya sudah mau kompromi. Paling tidak, dia sudah tidak meracuni rasa empati saya. Saya sudah mulai bisa membalas dengan tulus senyum dan ucapan terima kasihnya.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Perasaan saya bekerja.
"Iya, gue maafin kok!"
Kalimat itu memang tidak pernah bisa mengubah sesuatu yang telah lalu.
Tidak bisa menambal lubang bekas luka. Tidak bisa mengembalikan kertas yang tersobek. Dan tidak bisa menjilat ludah sendiri. Takkan pernah bisa.
Tapi, satu yang saya ingat. Kalimat itu akan mengubah masa depan saya. Akan mendamaikan hati saya. Dan akan menjadikan saya pribadi yang baru.

Ya, maaf. Satu kata itu.
Hanya empat huruf. Coba saja praktikkan kalau tidak ampuh membuatmu menjadi pribadi yang damai, potong saja leher saya.

Ya, maaf.
Saya belajar memaafkan hari ini! Bukan saja untuk dia, tetapi untuk orang-orang di sekitar saya.

2 komentar:

Mansyur mengatakan...

Ya Maaf...^_^

Lanjutkan calon sastrawati besar

Fitria Sis Nariswari mengatakan...

wah, mas mansyur...
suwon mas udah mau mampir... ehehe

amiiiinnnn...
terima kasih doanya...

Iya, baik Pak Guru, saya akan melanjutkan tulisan2 saya. Nanti beri nilai yang sesuai yah...
ehehe