Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 01 Agustus 2013

Firasat

Ada kalanya memang. Alam memberi tahu segala hal yang (mungkin) akan terjadi dengan caranya. Saya percaya. Semesta itu semacam tautan. Hal yang satu akan menghubungkan dengan hal lainnya. Meski kelihatannya takada sangkut pautnya. Semacam cerita bersambung yang takpernah diketahui ujungnya, tapi pasti berujung. Begitulah. Alam bekerja.

Lalu, memang takada yang kebetulan dan keberuntungan dalam hidup. Kebetulan dan keberuntungan hanya alibi orang-orang yang takingin kerjanya diketahui orang lain. Yang ingin menyimpannya. Sambil mengucap syukur pada Tuhan. Dalam-dalam.

Kemarin lusa dan kemarinnya lagi. Saya bermimpi. Entahlah. Saya tidak bisa mendefinisikan mimpi saya tersebut dengan rinci. Satunya, saya bermimpi bertemu dengan orang yang ingin saya temui. Sudah lama, saya ingin berbincang dengannya. Bertanya segala sesuatu tentang (salah) saya yang mungkin mengganjal hidupnya atau kisah cintanya. Dalam mimpi itu, dia datang ke rumah saya. Bersikap manis. Dan, saya pun senang berbicara panjang lebar dengannya. Entah. Apa yang kami bicarakan.

Mimpi selanjutnya, saya menikah. Memakai kebaya putih. Memakai jilbab putih. Wajah saya pucat. Jilbab putih saya takselesai dipasang. Masih ada juntai panjang yang mengatung. Lalu, perias saya pergi begitu saja. Saya ditinggal sendirian di depan cermin.

Bangun dari kedua mimpi tersebut, saya tergeragap. Ada bulir yang mengalir. Ada detak yang takbiasa. Entahlah. Padahal, saya tipe orang yang takterlalu percaya pada mimpi. Namun, terbangun dengan mimpi aneh dua hari berturut-turut membuat saya merasa ada yang salah.

Kemarin. Saya harus ke rumah sakit untuk memeriksakan sakit saya yang sudah hampir seminggu. Telinga saya berdengung. Tidak ada yang mengantar. Jadilah, saya pergi sendirian. Menaiki motor, padahal sudah sangat lama saya tidak mengendarai motor. Saya hanya berpikir, ini bulan baik. Tidak apa-apa. Kalaupun mimpi saya itu berdampak buruk pada saya, toh, semuanya juga akan kembali. Cepat atau lambat.

Perjalanan berangkat saya baik-baik saja. Pulang juga demikian. Sampailah tepat di depan rumah. Saya membelokkan motor saya. Entahlah. Apa yang sedang terjadi. Tetiba saja saya sudah terguling. Tertindih motor saya. Tidak berdampak terlalu buruk memang. Hanya lecet sedikit di lutut dan tangan saya. Nyeri. Lebam. Juga dalam porsi sedikit.

Lalu, saya mengurai kembali. Firasat kadang memang takpernah berbohong. Manusia saja yang sudah telanjur sombong sering mengabaikannya. Entah. Saya mengutip di mana kalimat itu. Ataukah peristiwa jatuh saya juga merupakan firasat untuk sesuatu hal yang lain. Mungkin. Sekarang, saya sedang mencoba membaca lebih. Membaca pertanda. Semoga semuanya terasa baik-baik saja.

Tidak ada komentar: