Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 06 November 2012

seseorang yang ingin memotong senja untuk dikirim ke surga

[1]

ia pernah duduk di bangku taman ini sendirian. ketika hujan. lalu, buku-buku yang dia baca basah. dia bergeming. menengadah. dia ingin sekali menanyakan mengapa hujan yang harus jatuh ke bumi. bukan senja saja. sebab jika senja yang turun. dia bisa bermandi jingga. sebab dia ingin sekali menjadi jingga. semburatnya manis, katanya.

[2]

titik-titik air itu semakin membuat rambut dan bukunya basah. dia sudah tidak memikirkan sesuatu apa pun. termasuk tentang daun-daun yang tinggal tulang. atau mengapa ada penyair gadungan yang sedang menulis puisi tanpa huruf kapital. dia hanya ingin hujan yang turun ini akan menjelma menjadi senja. nanti beberapa menit lagi. maka dia masih duduk di kursi itu.

[3]

dia akan mengerat senja yang jatuh ke bumi. memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. mungkin, seukuran kartu pos. lalu, dia akan menempeli senja itu dengan perangko seharga lima ribu rupiah. pergi ke kantor pos yang kian hari kian berdebu. tanpa pengunjung. ia akan berdiri lama-lama. ingin menulis surat, tapi dia takpandai berkata. akhirnya, dia hanya menyerahkan senja yang ditempelinya perangko itu kepada mbak-mbak penjaga kantor pos.

[4]

tanpa melihat alamat yang dituju. senja yang tertempeli perangko itu dimasukkan begitu saja ke dalam tumpukan surat lainnya. ia mendesah. tersenyum simpul. berharap banyak. bahwa senja yang tertempeli perangko itu akan segera sampai di surga. ia hanya ingin ayahnya tahu bahwa ia rindu. ingin bertemu. sebab, sampai senja yang tertempeli perangko itu diserahkan. ia takpernah tahu dipeluk ayahnya. yang ia tahu hanya cerita-cerita kosong dari ibunya bahwa ayahnya sedang berbahagia di surga.

[5]

ia hanya mengangguk-angguk ketika ibunya bercerita. padahal, dia sedang teringat cerita gurunya bahwa di surga semua lelaki akan mendapatkan bidadari yang mereka inginkan. dari situ, ia mulai membenci surga. ia mulai membenci keberadaan surga yang telah merebut ayahnya. ia mulai mengumpulkan ingatannya tentang sosok bidadari. ia gemetar. ketika melihat ibunya, kemudian menengok ingatannya. ibunya renta, sedangkan bidadari cantik sempurna. ia kasihan melihat ibunya. yang sudah renta, tapi masih pandai membual.

[6]

sementara, di ruang yang terpisah. ibunya setiap malam menangis. mengutuk tuhan yang pernah menciptakan kata surga. sehingga membuatnya bercerita banyak tentang surga kepada anaknya. lelaki yang oleh ia disebut ayah, sebenarnya takpernah masuk surga. ia pergi bersama bidadari murahan pinggir jalan. bertahun-tahun. entah. sekarang di mana. mungkin sudah dimakan kenangan. atau tertelan ingatan.

[7]

ia masih duduk di kursi itu. senja yang harus dipotongnya takjuga jatuh. hanya rintik hujan yang menjelma gerimis. bukunya sudah hanyut. rindunya sudah teresap oleh tanah basah. lantas, kenangannya pun sedang mengembara bersama rintik.

Tidak ada komentar: