Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Rabu, 07 November 2012

Tempat Singgah

Ke Lombok. Ya. Tinggal beberapa hari lagi saya berangkat ke Lombok. Antara buncah dan gelisah. Entahlah. Saya memang selalu senang perjalanan. Terkadang, tujuan dalam sebuah perjalanan takpernah saya nanti-nantikan. Saya hanya ingin melakukan perjalanan. Ke mana pun. Menikmati setiap sentimeter perpindahan dari satu ruang ke ruang lainnya. Itu menyenangkan.

Mungkin, kali ini saya akan melewati beberapa moda transportasi yang lengkap: udara, laut, dan darat. Terlebih itu. Saya suka duduk di ruang tunggu bandara yang senyap. Tapi, seringkali bising. Melihat lalu-lalang orang. Sibuk dengan perangkat elektronik mereka. Hampir takada percakapan di ruang tunggu bandara. Atau mungkin saya yang enggan membuka percakapan dengan orang di sebelah. Entahlah. Dan, saya juga suka ketika pesawat sudah terbang. Jendela sudah boleh dibuka. Saya bisa melihat gumpalan awan putih. Terbang. Menari-nari. Lantas, membayangkan diri saya berlarian di sana. Ya. Pastinya, saya pun taksuka ketika telinga saya sakit.

Namun, ruang tunggu bandara itu tidak pernah semenyenangkan peron stasiun. Bangku memanjang. Berderet-deret. Suara sirine. Rel kereta api. Decit ferum. Bau pesing. Suara bising. Gerbong yang berjajar. Serupa ular naga. Saya suka berlama-lama di sana. Datang jauh lebih awal sebelum kereta datang. Mengamati pedagang asongan. Melihat peluh yang menetes. Mendengar celoteh kasar. Menunggu senja yang akan datang. Menunggu kereta yang berubah warna menjadi jingga ketika terkena tempias senja. Ya. Atau apa pun itu. Jika di peron stasiun, saya bebas bercakap dengan siapa pun. Tentang apa pun. Saya suka tertawa mendengar obrolan kami. Yang kadang taktahu arahnya. Hanya pengisi kekosongan. Biar sama-sama takbosan. Biar takbosan dengan rasa bosan.

Laut. Laut itu seperti ibu: dalam dan menunggu. Saya suka ketika kapal mulai melepas jangkar. Bergerak perlahan. Lalu, ketika sudah berada di laut lepas. Saya jarang bisa membedakan antara langit dan laut. Mereka menyatu. Membentuk sebuah lengkung indah. Ujung langit adalah ujung laut. Mungkin, bisa jadi seperti itu. Senja. Ya. Itu yang membuat saya betah di laut lepas. Saya bisa melihat senja dengan jelas. Melihat bulat matahari yang (seolah) tertelan oleh laut. Kemudian, berganti dengan semburat jingga. Lantas, jingga itu hilang perlahan. Menjadi kelam. Lalu berganti dengan bintang dan bulan. Saya bisa dengan bebas menerka-terka bintang apa yang sedang menampakkan diri. Jika hujan, laut akan menjadi semakin menyenangkan. Rintiknya lembut. Bisa dengan mudah bercumbu dengannya di geladak.

Ya. Intinya. Saya suka melakukan perjalanan. Ke mana pun. Ah iya, satu lagi. Saya suka ketika tempat tujuan perjalanan saya itu tidak ada sinyal. Sama sekali. Saya takperlu repot-repot dihubungi atau menghubungi seseorang. Saya bisa menikmati perjalanan ini dengan utuh. Dengan menyerahkan sepenuhnya diri saya ke ruang tersebut. Tanpa berbagi dengan kenangan saya. Takada sinyal juga membuat rindu saya pada banyak hal terkumpul. Sebab, kadang saya memerlukan sedikit waktu dan jarak untuk merindukan sesuatu, ah, mungkin juga seseorang.

Tidak ada komentar: