Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Jumat, 17 Juni 2011

Confession in the Last of Fourth Semester

Oke. Pagi-pagi buta seperti ini saya sudah ingin menulis. Ada apa? Banyak hal. Tentunya masih berkaitan dengan semester ini. Yeah, semester 4 yang penuh penundaan kesuksesan.
Saya mengawali semester 4 lima bulan lalu, eh, empat bulan lalu. Diiringi dengan hati agak dongkol karena IP dan IPK semester 3 udah turun (meskipun gak terjun). Semester 4 saya banyak acara yang menyebabkan konsentrasi saya terpecah. Awal semester saya harus pergi ke Bali untuk menghadiri Rakernas IMABSII, bulan Mei ke Jogja untuk Simposium Bahasa Indonesia (yang juga diadakan oleh IMABSII), ngurusin surat-surat untuk mencari dana, ngurusin organisasi, ngurusin jadwal anak-anak privat, belum lagi ditambah kesibukan saya ngajar di salah satu bimbingan belajar yang gak kira-kira padatnya kalo ngasih jadwal. Well. Saya menikmati itu semua. Sangat. Tapi, di antara kenikmatan saya tersebut, tugas-tugas kuliah saya mulai agak berantakan, UTS dan UAS yang saya kerjakan ala kadarnya, ngumpulin tugas--meskipun tepat waktu--gak maksimal dan ngerjainnya deadline serta berantakan, dan absensi saya mulai sering. Yeah, saya menyadari itu.
Semua kesibukan yang duniawi itu membuat saya melupakan apa yang dinamakan kebutuhan rohani. Saya hampir tidak pernah lagi sholat malam, sholat 5 waktu juga mepet waktu, sholat dhuha sudah tidak khusuk, puasa Senin--Kamis kalau sempat, apalagi untuk membaca Al-Quran (hampir tidak). Percaya atau tidak, hal-hal seperti inilah yang menyeimbangkan kerja keras kita. Saya baru sadar ketika melihat IP saya yang berangka 3.51. Semua pencapaian duniawi yang saya ingin raih dengan usaha saya sendiri semuanya sia-sia tanpa ada penyeimbangan. Yah. That's true!
Saya sudah jarang berdoa pada Tuhan. Biarkan saja, Marx dan pengikutnya bilang agama adalah candu. Ketika ada masalah makhluk-makhluk yang mengaku beragama akan mengadu dan meratap-ratap pada Tuhannya. Dan itu akan sia-sia menurut mereka. Tapi bagi saya tidak. Justru saat saya sedang ada dalam lembah kenistaan seperti ini. Agak berlebihan. Hanya Tuhan yang mau mendengar keluh saya. Hanya Tuhan yang menyediakan tempat untuk saya menangis. Ya, hanya Dia. Dan kedua orang tua saya yang masih setia membesarkan hati saya. Terima kasih. Terima kasih pada Allah. Terima kasih pada dua malaikat yang membuat saya ada hingga sekarang. Terima kasih.
Sungguh. Ini pelajaran. Dulu, saya selalu berpikir bahwa hidup itu layaknya naik gunung. Arahnya selalu ke atas meskipun ada halangan dan rintangan kanan kiri. Tapi, ternyata hidup taksekadar analogi seperti itu. Hidup jauh lebih rumit dari sekadar naik gunung atau bahkan roda berputar. Ada hal-hal yang takterprediksi. Ada faktor-faktor yang takselalu bisa dijelaskan dengan nalar dan akal. Yah, itulah hidup dengan segala kemungkinannya.
Baiklah. Penataan ulang rencana hidup saya harus segera saya lakukan. Anggap saja, kemunduran ini saya perlukan agar saya bisa melompat lebih tinggi dan jauh ke depan. Saya bersyukur dengan IP saya yang terjun bebas. Dengan begitu, saya belajar mengerti untuk apa Tuhan menciptakan saya. Yang terpenting untuk saya sekarang adalah komitmen saya untuk semester depan. Komitmen saya untuk mengatur waktu dengan lebih baik. Intensitas beribadah yang banyak dan rutin. Dan cara belajar saya yang harus saya perbaiki. Semoga Tuhan dan saya mencatat komitmen ini!

PS. Saya menulis ini dengan airmata yang takberhenti menetes.
Thanks to Allah.

Tidak ada komentar: