Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 29 Desember 2015

Desember Hampir Habis

Radio di pojok ruangan itu sedang memutar keras-keras lagu "Desember" dari Efek Rumah Kaca. Lagu itu terputar tepat ketika aku selesai mengetik judul di atas. Takada yang meminta. Lagu itu tiba-tiba terputar. Mungkin memang sedang berjodoh. Entahlah, setelah April, setelah Juni, Desember selalu bercerita banyak-banyak. Tentang apa saja. Tentang hujan yang setiap harinya mencuri langkah di genting rumah. Tentang ikan paus yang entah masih ada atau tidak di lautan. Atau tentang bunga padi di sawah tetangga.

Kau, apa kabar?
Apakah kau sudah menerima kartupos-kartuposku? Kartupos-kartupos yang kukirimkan melalui senja yang semburat, yang belum sempat dipotong-potong seseorang untuk diberikan kepada pacarnya. Atau suatu hari, aku menitipkan kartupos-kartupos itu melalui merpati yang katanya takpernah ingkar janji itu. Apakah kau sudah menerimanya?

Penantian yang tanpa ujung itu menyeretku pada ombak yang bergulung-gulung, pada sepertiga air mata yang belum sempat kuseka. Pusaran itu diam-diam menelan tubuhku yang semakin lemah karena ada kenangan dan harapan yang berbaur menjadi satu, tanpa jeda. Kau boleh tertawa kapan saja dalam hal ini. Sebelum tertawa itu dilarang, kata grup komedian yang legendaris itu.

Apakah aku menanti balasan kartupos-kartuposku darimu? Aku takpunya kesabaran yang sunyi, kata seorang penyair di kotamu. Pun denganku. Kesabaran yang kupupuk diam-diam ini barangkali takkan menjadi belukar, barangkali akan terkikis, pelan-pelan. Waktu terlampau singkat jika kuisi dengan sebuah penantian balasan kartupos-kartuposku darimu.

Hanya saja, jika suatu hari kau sempat membalas seluruh kartuposku, percayalah bahwa cintaku masih tetap seperti hujan pada bulan Desember. Tetap jatuh di tempat yang sama tanpa pernah merasa bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Ia takpernah peduli tentang penghakiman dari semesta sebab ia turun dengan sebuah pemakluman. Ia pun takperlu membuatmu menggigil sebab ia sudah menyediakan tempat pulang yang di dalamnya tersedia tungku api yang siap menghangatkanmu, kapan saja. Cintaku akan tetap seperti rumah yang pintunya tetap terbuka lebar menunggu kepulanganmu.

Tidak ada komentar: