Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Jumat, 30 Mei 2014

Listrik Sudah Nyala, Nyatanya Aku Masih Memikirkanmu

Hampir tengah malam. Beberapa waktu yang lalu listrik padam, hampir lima jam. Aku takbisa tidur, sama sekali. Kamu pun sangat tahu jika aku takbisa tidur dalam gelap sebab rasanya sedikit sesak. Biasanya, aku hanya tinggal menunggu teleponku berdering tepat ketika aku mengatakan bahwa listrik padam kepadamu. Sayangnya, malam ini aku harus melewatinya sendirian. Namun, takapa. Aku masih bisa mengingatmu dengan baik, tandanya aku masih baik-baik saja.

Maka dari itu, aku pun berpindah-pindah kamar: mencari teman. Namun, tetap saja aku takbisa tidur hingga detik ini, padahal listrik sudah nyala. Barangkali, memikirkan kamu yang membuatku takbisa tidur hingga pukul sekian. Ditambah lagi bau obat kecoa yang menguar memenuhi ruangan. Teman sebelah kamarku takut kecoa, lantas ia seolah berperang dengan kecoa-kecoa yang keluar dari lubang kamar mandi karena efek listrik padam.

Ah, kamu. Apa kabar? Semoga tetap baik-baik saja. Semoga taklupa makan, mandi, dan istirahat. Aku rindu. Sangat. Ah, tapi sudahlah. Lupakan sejenak rinduku ini. Aku hanya ingin meminta maaf. Sungguh-sungguh minta maaf. Aku sama sekali takmembantu, malah menghancurkan hasil kerjamu. Maafkan aku, sekali lagi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, selain mendoakan untuk kebaikanmu. Semoga kamu tetap baik-baik saja, sebaik aku memikirkanmu. Dan, tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu. Namun, untuk kali ini aku takbisa berbuat banyak.

Semoga kamu tetap memaafkanku. Semoga. Barangkali, aku memang terlalu sibuk hingga takada waktu untuk membantumu. Lagi-lagi aku hanya bisa meminta maaf. Namun, sungguh, pada saat itu, aku sudah melakukan hal yang terbaik. Sudahlah. Maafkan aku. Yang sampai saat ini pun belum bisa menjadi orang yang baik, paling tidak untukmu. Maafkan aku untuk yang entah keberapa kali. Maaf untuk segala hal.

Kamis, 29 Mei 2014

Kali ini tentang saya

Menjadi perempuan manusia yang baik itu sedikit butuh usaha, ya? Harus kuat menghadapi banyak hal dan banyak orang. Harus tahan dengan rasa kecewa dan sedih. Entahlah. Ini saya sedang tidak ingin membicarakan gender--apakah perempuan atau laki-laki yang lebih kuat menahan rasa kecewa--anggap saja saya sedang berbicara tentang manusia, atau jika masih terlalu umum, saya sedang membicarakan diri saya sendiri yang diatasnamakan manusia berwujud perempuan.

Baiklah. Sesungguhnya saya bingung harus memulai segala macam rasa ini dari mana. Entah dari mana rasa sedih yang tetiba banyak ini. Saya hanya ingin melakukan segala hal yang terbaik untuk orang-orang yang saya sayangi. Mencoba banyak cara agar mereka bahagia. Namun, terkadang, niatan baik itu tidak berbanding lurus dengan timbal baliknya. Lantas saya kecewa? Barangkali sudah tidak. Barangkali saya juga sudah menuliskan hal yang sama ini berkali-kali. Tapi, saya masih merasakan kesedihan yang sama. Ohh. Mungkin saya hanya belum banyak belajar bagaimana mengatasi rasa ini.

Mungkin benar, bahwa manusia tidak bisa membahagiakan semua orang. Ah, tapi, jika ingin membahagiakan beberapa orang pun saya belum mampu. Mungkin masalahnya ada pada saya. Saya yang terlalu memaksakan agar mereka bahagia. Nyatanya, mungkin sebaliknya. Duh. Jangan-jangan saya sedang membuat beberapa orang berpura-pura bahagia di hadapan saya. Ah, maafkan saya.

Saya tidak tahu harus bagaimana ketika seseorang yang saya sayang mengatakan bahwa dia kecewa dengan saya. Sementara, saya sudah melakukan hal terbaik dari diri saya untuknya. Ohh. Barangkali, terbaik dari saya belum tentu bisa menyamai standarnya. Saya hanya bisa minta maaf, tanpa tahu dimaafkan atau tidak. Lalu, saya tidak tahu harus bagaimana ketika saya ingin mengingatkan seorang teman agar tidak terjebak ke dalam sesuatu yang merugikan, teman saya tersebut malah menyalahkan saya karena menurutnya dia batal mendapat keberuntungan. Saya juga hanya bisa minta maaf. Saya juga tidak tahu harus berbagi dengan siapa lagi. Sesungguhnya, masih banyak hal lain yang membuat saya tidak tahu harus bagaimana. Saya hanya bisa meminta maaf. Berlagak kuat bahwa saya baik-baik saja di depan semua orang.

Begini saja, bagaimana jika kamu sudah melakukan segala hal dan apa pun untuk orang-orang terdekatmu, tetapi orang-orang terdekatmu tidak pernah menganggapmu ada? Lalu, jika kamu mengeluhkan hal ini pada entah siapa, dan entah siapa itu mengatakan bahwa kamu yang terlalu berpikiran aneh-aneh. Apa yang bisa kamu lakukan? Jika saya memang hanya bisa menangis diam-diam. Namun, menangis diam-diam pun, masih dikatakan terlalu sensitif dan aneh. 

Ah, menjadi manusia pun terlalu rumit rupanya, terlebih perempuan seperti saya. Yang menjadi serbasalah. Terlalu perhatian pada orang-orang yang saya sayang juga takut. Tidak perhatian pun saya merasa bersalah. Sebab, sungguh, saya menyayangi mereka. Jika rasa sayang ini pun belum cukup untuk membuat mereka bahagia, saya tidak pernah tahu lagi apa yang bisa saya berikan untuk mereka. Mungkin kebahagiaan tanpa saya.

Selasa, 20 Mei 2014

Dear Kamu,

Barangkali, memang benar apa yang dikatakan oleh seseorang di luar sana, Sayang. Bahwa cinta itu membuat cukup, membuat menerima.

"Pergilah. Kamu pasti akan menemukan lelaki yang jauh lebih baik daripada aku," katamu suatu waktu yang entah berapa kali. Yang entah ke berapa kali juga aku menangis setiap kamu mengatakan kalimat itu. Kamu bilang aku terlalu sensitif. Namun, perempuan mana yang tidak menangis ketika lelakinya menyuruhnya pergi untuk mencari kebahagiaan lain. Sementara, lelaki itulah sumber kebahagiannya.

Ada nyeri yang takterungkap.

Aku takpernah tahu, apa yang sedang ada dalam pikiranku tentangmu. Hanya saja aku mencintaimu. Itu saja. Barangkali, itu cukup bagi seseorang--termasuk aku--untuk memutuskan bertahan. Pada apa pun. Pada setiap apa, mengapa, dan bagaimana. Bertahan untuk tetap ada.
Aku takpernah menunggu lelaki lain--yang katamu akan lebih baik dari kamu--sebab aku mencintaimu. Cinta itu membuat cukup, membuat menerima. Aku takpernah tahu--atau lebih tepatnya takpernah mencari--siapa yang lebih baik. Bagiku, takada lelaki yang lebih baik daripada kamu. Sebab aku mencintaimu. Hanya kamu. Mencintaimu hanya tahu perkara waktu yang sedang dijalani. Bukan kemarin, terlebih besok.
Aku mencintaimu. Jika dengan cinta yang aku gembar-gemborkan ini takcukup, tentu saja, kamu boleh memilih: untuk pergi atau memilih yang lain. Ah, tetapi, tentu saja, kamu boleh bertahan selama kamu mau. Kamu juga masih boleh takpercaya jika aku akan tetap membuka lebar-lebar lenganku untuk menyambut pelukanmu selama apa pun.

Bukankah kita sudah sangat hafal kalimat ini: aku takkeberatan menunggu siapa pun seberapa lama pun, selama aku mencintainya? Aku hanya mencintaimu. Itu saja. Semoga itu cukup untuk membuatmu nyaman, bersamaku.