Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Rangkaian K2N: Tentang Desa yang Saya Tinggali

Hai, apa kabar kamu di sana? Tetiba saja ingat kamu. Pada panah yang menebas jarak. Sudah lama sekali. Kamu takmembalas suratku. Padahal kamu yang meminta. Mungkin kamu sibuk. Iya. Takapa.
Sedang apa kamu? Aku rindu. Rindu menulis pada lamanku. Sudah sangat lama taksinggah. Sudah banyak sarang laba-laba. Atau sarang semut.
Setiap kali aku rindu menulis, aku juga rindu kamu. Rindu kamu yang akan membacanya. Terima kasih.
Aku baik. Baik sekali. Tapi mungkin sedikit letih. Ada senyum dan luka sekarang. Ada banyak cerita yang ingin kusampaikan padamu. Buncah. Aku takingin menahannya lebih lama. Tapi takbisa. Sebulan terakhir ini aku selalu berlomba dengan masa dan letih. Hampir takpernah bisa menang. Bahkan sekadar mengingatmu pun baru kali ini.
Sudah lebih dari sebulan aku keluar dari zona aman kamar. Aku mengalahkan rasa takut untuk mengikuti kuliah lapangan. Akhirnya. Aku harus berangkat. Pergi ke Kalimantan. Menengok saudara-saudara kita yang di perbatasan.
Aku harus menghela napas dulu sebelum bercerita banyak. Ada banyak hal di sini. Di tempat yang mungkin takterpikir oleh orang. Hampir di antahberantah. Tapi ada kehidupan.
Pada mulanya adalah asing. Tanpa kata. Dan sedikit ragu. Tapi, itu taklama. Sebab, di sini ternyata rumah. Rumah yang memberi rasa hangat.
Aku bisa merasakan hangat. Tanpa dibuat-buat. Aku mencoba segala hal yang takpernah kulakukan sebelumnya. Memasak. Bercerita banyak pada orang. Menyapa setiap orang yang kutemui. Rasanya takseburuk yang kukira. Sangat menyenangkan ternyata.
Jatuh cinta pada segala sesuatu di sini memang terlampau mudah. Lantas, jangan kautanya cara melupakannya. Mungkin hingga ujung usia.
Banyak hal yang takterungkap sebelumnya. Masalah hutan lindung. Tanah yang didiami mereka selama ratusan tahun tetiba saja berubah statusnya menjadi hutan lindung. Sementara mereka tetap harus membayar pajak. Membayar tanpa ada hak untuk memiliki dan mengatasnamakan tanahnya. Miris. Ironi.
Hidup di perbatasan terlampau penuh dengan daya juang. Tanah tanpa aspal. Kala hujan akan berlumpur, kala panas akan sangat berdebu. Sudah berkali-kali aku jatuh.
Jarak antarrumah sedikit jauh. Jalannya licin dan berbukit. Sedikit berat, memang. Aku bisa merasakan betapa letihnya mereka hidup di sini. Tanpa akses. Tanpa informasi. Kalau saja mereka protes ingin mengibarkan bendera negara tetangga, aku takheran. Sebab, negeri ini terlampau luas. Terlampau penuh dengan orang-orang yang takpeduli.
Kamu bisa membayangkan bagaimana bentuk rumah yang halaman depannya dibiarkan saja. Tanpa dirawat. Seperti itulah negeri ini.
Harga-harga kebutuhan pokok dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari harga di pusat. Mencengangkan. Sementara mereka takpernah merasakan fasilitas apa pun.
Banyak cukong kayu yang sama sekali takkasihan pada mereka. Kamu tahu kayu gaharu? Kayu mahal itu. Cukong-cukong itu membeli dari penduduk sini hanya 3 juta rupiah per kilo, sedangkan mereka menjualnya lagi bisa mencapai 70 juta rupiah per kilo. Brengsek memang.
Entahlah. Semoga kamu takbosan membaca ceritaku.

Tidak ada komentar: