Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Sabtu, 24 September 2011

Sekadar Cerita Lalu tentang Hujan dan Pulang

Langit menjingga. Kelas terakhir hari ini baru saja usai. Sudah pukul lima. Biasanya, kuliahku tidak sesore ini. Kampus sudah mulai sepi. Hanya terlihat beberapa pegawai yang mengecek ruang kelas yang terkunci.
Kurapikan tasku, lalu mengecek barang-barangku. Mungkin kurang sesuatu. Atau lebih sesuatu. Ah, tak perlu.
Aku berjalan pelan. Menikmati setiap langkah di koridor ruangan. Di luar semakin sepi, jingga yang kupikirkan pada langit sudah berganti warna. Mungkin menghitam atau mengabu. Ada tetes-tetes mungil yang menitik di map dan bajuku. Bau hujan. Mungkin sebentar lagi dia datang. Hujan. Aku suka berlindung di bawahnya. Menikmati setiap tetesnya. Membiarkan tubuhku basah. Hujan selalu membuatku betah berlama-lama di luar.
Rintik air semakin kerap dan lebat. Kulambatkan langkahku. Menyusun ingatanku tentang hujan dan semuanya. Kampusku terlalu panjang dan luas untuk dilewati, kadang kusyukuri, kadang kurutuki. Kali ini aku bersyukur.
Syukur. Ah, iya. Kata itu selalu mengingatkanku pada semua hal yang Tuhan berikan padaku. Aku teringat, kelas terakhir yang kutinggalkan hari ini adalah kelas Bahasa Isyarat. Aku yang mendengar dipaksa untuk diam dan takmendengar di kelas itu. Semua menggunakan isyarat. Tanganku kaku. Mulutku kelu.
Aku kagum. Pengajar-pengajarku adalah orang-orang tunarungu. Manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk menerima kelebihan--jika tidak ingin mengatakan itu sebuah keterbatasan. Mereka bisa menangkap isyarat dengan benar. Tanpa kata. Mampu memahami dan "mendengarkan" orang lain. Aku selalu terharu ketika melihat mereka mengajar. Ada lelatu yang meluap-luap. Membuatku malu dan terkesiap. Kurasa, kepekaan mereka jauh lebih besar daripada orang-orang yang mengaku bisa mendengar dan berbicara.
Langkahku semakin pelan. Hujan semakin bergairah. Kupandangi rusa-rusa yang teronggok kedinginan di kandangnya. Setiap hari aku melihat rusa-rusa itu. Mereka menatap nanar setiap orang yang lewat. Mungkin lapar, mungkin mengaduh. Rusa-rusa itu semakin kurus. Ah, menyedihkan. Jatah makannya dimakan anjing rektor atau malah dimakan rektor? Ups. Aku takboleh membicarakan ini di depan umum. Maaf. Sedikit keceplosan.
Jalanan semakin basah. Kandang rusa di sisi kiriku, hutan di sisi kananku. Oh, ini kampus atau tempat wisata. Entahlah. Aku takpeduli. Aku berjalan saja. Menuju stasiun. Suara sirine kereta datang dan berangkat menambah riuh denting hujan. Memekikkan sekaligus menikmatkan. Aku juga selalu suka stasiun. Bangku peron yang memanjang. Orang-orang yang lalulalang. Ada penantian panjang. Ada pertemuan dan perpisahan. Kehilangan dan proses menemukan. Stasiun punya cerita itu. Kalau tidak hujan, aku sering mampir ke stasiun ini, sekadar duduk di peron. Melihat orang-orang bergegas keluar dan masuk. Mendengar dengung sirine. Melihat pengamen berceloteh tentang hidupnya yang malang. Atau menunggu penjual permen menjajakan dagangannya. Semuanya indah.
Lantas, aku menyusuri lorong belakang stasiun. Genangan air di mana-mana. Atau jika hari panas, tempat ini seperti neraka yang menawarkan keeksotisan oven 100 derajat celcius. Terlalu berlebihan memang, tapi panas di tempat itu memang mampu membuatku meleleh. Aku takbetah berlama-lama di sana.
Setelah itu, aku harus melewati jalanan lebar yang takberperikemanusiaan. Mesin-mesin bergerak itu takpunya hati, termasuk pengemudinya. Aku selalu berhenti sejenak di tepi jalan, menunggu orang yang punya kepentingan yang sama denganku: menyeberang! Aku hanya berani menyeberang ketika banyak orang. Jalanan ini seperti ibu yang takbertanggung jawab. Yang membiarkan anak-anaknya berlarian taktentu arah. Tanpa arahan. Tanpa pegangan.
Sederhana. Aku hanya ingin dibangun jembatan penyebrangan di jalan ini. Hanya itu.
Setelahnya, aku harus berjalan melewati gang yang sedikit lebar. Selalu. Bau makanan yang tercium di gang ini mampu membuat nafsu makanku meningkat drastis. Jika di gang ini, aku suka berjalan di sebelah kanan. Aku suka melihat wajah orang-orang yang berpapasan denganku. Meski aku tahu: aku tak pernah mengenal mereka.
Gang yang kulewati masih cukup lebar dibandingkan dengan gang yang menuju kamarku. Gang menuju kamarku berada di antara tembok dari dua rumah yang menjulang. Di sepanjang jalan gang ini, ada banyak tai kucing. Kucing-kucing itu tak punya malu untuk berak sembarangan. Persetan dengan tai kucing! Aku bisa menghindarinya dengan meloncat. Seperti menari di atas panggung. Mungkin, setelah ini akan ada tarian tai kucing. haha
Kamarku ada di ujung gang. Sederhana. Namun selalu membuatku (ny)aman. Aku membuka pintu kamarku dengan segera. Baju dan tubuhku basah dan dingin. Aku takpernah tahan dengan dingin yang berlama-lama di tubuhku. Segera kuganti bajuku dengan kaos oblong dan celana pendek. Ini nyaman.
Di luar masih hujan. Jalanan depan kosku terlalu sepi. Hanya rintik hujan dan kodok. Sudah pukul enam. Biasanya senja datang dengan warna jingga atau orange yang menyala dan menyilaukan. Indah. Tapi senja kali ini takkurang indah. Ada hujan.
Aku duduk di jendela. Memandangi rintik hujan. Entah sampai kapan ku di sini. Mungkin sampai hujan berhenti atau sampai senja menghilang.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tes...tes...