Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 25 Mei 2015

Kapital

Sudah lama tidak menulis di sini. Tentu saja, kesibukan mengerjakan tesis bisa dijadikan kambing hitam tunggal yang barangkali memang patut dipersalahkan. Kurang dari 24 jam lagi dari waktu menulis ini, saya harus menghadapi sidang seminar tesis, semacam sidang pertama yang nantinya akan ada revisi-revisi untuk sidang tesis sesungguhnya. Rasanya? Entahlah. Saya hampir lupa rasanya deg-degan ketika menghadapi hal-hal seperti ini. Hingga detik ini, saya baru membuat sekitar sepertiga dari tampilan presentasi yang seharusnya, tetapi saya malah pergi.

Sudahlah. Lupakan sejenak. Saya baru saja membaca sebuah tulisan seseorang yang entah siapa yang sedang mengimbau untuk bijak menggunakan layanan Go-Jek, utamanya layanannya yang berupa Go-Food. Jadi, layanan itu memudahkan para pelanggan untuk memesan makanan yang nantinya akan diantar oleh petugas Go-Jek tanpa harus menambah biaya, selain biaya makanan. Kemudian, takjarang, orang-orang hanya memesan satu porsi makan siang, tetapi tetap komplain karena pesanan datangnya lama tanpa memedulikan kondisi jalanan Jakarta yang macet ketika jam makan siang.

Hal itu mengingatkan saya pada banyak hal. Tentang orang-orang yang sama sekali takpunya kapital. Mungkin kali ini bolehlah meminjam pembagian kapital yang dikemukakan Bourdieu: kapital budaya, kapital simbolik, kapital ekonomi, dan kapital sosial. Seberapa banyak dunia terbagi-bagi atas dasar kapital tersebut. Barangkali, tulisan ini memang terlalu terlambat atau terlalu emosional. Hanya saja, saya sedang berpikir banyak-banyak tentang banyak hal.

Seberapa banyak penghasilan sopir angkot sehari setelah dikurangi iuran ini-itu, bayar pajak buat penguasa jalan, pembagian jatah untuk preman pasar, dan setoran kepada yang punya angkot? Seberapa banyak yang mereka bawa pulang untuk anak dan istrinya? Namun, masih banyak penumpang yang membayar tarif angkot di bawah tarif yang seharusnya dengan alasan yang entah apa.

Seberapa banyak uang yang didapatkan pedagang asongan dalam sehari? Jika yang membeli dagangannya juga takjauh-jauh dari sopir angkot atau tukang parkir? Barangkali, satu barang yang mereka jual hanya menghasilkan laba seratus atau paling banyak seribu rupiah. Namun, masih ada yang membeli barang dagangan mereka dengan menawar.

Masih banyak contoh lainnya. Namun, saya sudah tidak punya daya untuk melanjutkannya. Saya sedang ditunggu untuk segera mengerjakan presentasi. Semoga tetap bahagia, siapa pun itu.

Tidak ada komentar: