Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 22 Agustus 2011

Kematian





Kematian itu pasti. Bukan lagi unda-undi undian.
Aku mati. Kamu mati. Entah kapan.

Ah, kematian. Selalu mengingatkanku pada Tuhan. Pada-Nya yang kelak aku kembali. Ada takut. Ada bahagia.
Mungkin saja, ini tulisanku yang terakhir. Mungkin saja setelah ini Izrail membawaku menghadap-Nya. Kalau saja. Ya, kalau saja setiap saat orang-orang itu ingat mati. Takkan pernah ada orang yang mati-matian mengejar harta seperti orang-orang brengsek yang sering muncul di televisi. Aku muak.
Banyak cara menuju kehidupan yang abadi. Entah. Aku akan menghadap-Nya dengan cara seperti apa. Mungkin sakit. Mungkin terlempar. Mungkin tiba-tiba. Mungkin terjatuh. Tak tahu. Hanya saja. Aku ingin menghadap-Nya dalam keadaan baik. Agar Tuhan pun berkenan menerimaku dengan baik.
Kemarin. Aku teringat semua cerita kematian. Ketika aku tiba-tiba merasa waktuku segera tiba. Aku menggigil.

Dua orang perempuan cantik pergi setelah dibawa kebut-kebutan oleh temannya.
Tiga orang harus rela terseret kereta api lantas meninggal begitu saja.
Dua belas remaja gereja terlempar dari truk yang dinaikinya sepulang dari Retreet Gereja.
Lima belas orang masuk ke jurang bersama bus yang ditumpanginya.


Itu kecelakaan. Rencana Tuhan. Hanya saja itu hanya terjadi dalam waktu seminggu. Entahlah. Pertanda apa.
Lantas, temanku berceloteh.
"Hati-hati ya, lebaran tahun ini hari selasa. Selasa itu berelemen api. Panas. Jadi banyak hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi."
Aku hanya mengangkat bahu. Antara percaya dan tidak.
Semua manusia takpernah meminta untuk dilahirkan. Tidak pernah terpikirkan untuk mengemban tugas hidup yang tak sederhana. Semua terjadi begitu saja. Kita memang takbisa menentukan. Hanya saja kita bisa memilih meskipun terkadang kita terjebak pada pilihan simalakama.

Tidak ada komentar: