Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 24 Oktober 2013

Untuk Kamu. Terima kasih.

"Seberapa lama kamu bisa berpindah?" aku menatap matamu lekat. Ada luka di sana. Entah dari siapa. Mungkin dari aku.
Hening.
"Iya. Berpindah hati." aku kembali menegaskan. Kamu masih bergeming. Masih menatapku. Aku salah tingkah. Pertemuan tak sengaja kali ini membawa kita pada percakapan tentang hal yang sama. Sudah lebih dari satu tahun. Tapi, masih saja tentang aku. Terlalu absurd memang kebetulan yang dicipta.
"Selama lamanya," kamu menjawab singkat. Giliran aku yang terdiam.
"Apa lagi yang kamu harapkan dari aku?"
"Selama harapan itu masih ada, tak ada salahnya aku berharap," kamu memainkan sedotan dalam minumanmu. Aku menghela napas. Tak tahu apa yang harus kukatakan padamu.
Selalu.
"Ada banyak perempuan di luar sana yang sedang menunggumu," aku mencoba mengalihkan perhatianmu. Kamu menggeleng.
"Cuma kamu,"
"Tapi, hidupku takhanya tentang kamu,"
"Bukan urusanku. Aku mencintaimu. Itu saja,"
"Aku sudah memilih yang lain," kataku hambar.
"Lantas?"
"Seharusnya kamu juga memilih yang lain saja," nada suaraku mulai sedikit kacau. Kamu menggeleng lagi. Aku semakin bersalah. Ah, bukankah hidup, terlebih cinta, memang hanya soal pilihan? Apa salahnya aku memilih orang lain, sedangkan kamu tetap memilihku?
Terlalu egois kelihatannya. Tapi, siapa yang tahu isi hati. Aku tak mungkin memaksakan perasaan, sementara perasaan dengan pasti memilih jalannya sendiri.
Lalu, di antara kita hanya ada sekat yang takterlihat. Yang membuat kaku setiap kali bertemu. Yang membuat lidah terlalu kelu.
"Terima kasih sudah mencintaiku," ucapku singkat, lalu berlalu dari hadapanmu.
Entahlah. Aku pun taktahu apa yang sedang kamu pikirkan setelah ini. Yang pasti, ada yang mengganjal di pelupuk mataku.